• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak Di Indonesia

N/A
N/A
Donald Hamonangan Siregar

Academic year: 2024

Membagikan "Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak Di Indonesia"

Copied!
537
0
0

Teks penuh

(1)

I

Problematik

s or*\

MAH AGUNG RI

343.04 Ind

P

Sengketa Pajak

Dalam Mekanisme Peradilan Pajak

Di Indonesia

Diterbitkan oleh:

BIRO HUKUM DAN HUMAS BADAN URUSAN ADMINISTRASI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

(2)

Sengketa Pajak

Dalam Mekanisme Peradilan Pajak

Di Indonesia

(3)

T IM PEN YU SU N

PENGARAH : DR. Drs. H. Aco Nur, M.H.

Kepala Badan Urusan Administrasi, Mahkamah Agung RI

PENANGGUNG JAWAB : DR. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.

Kepala Biro Hukum dan Humas, Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI PENULIS : DR. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.

Hakim Agung, Mahkamah Agung RI EDITOR : M.E.R. Herki Artani Richmiani, S.H., M.H.

Kepala Bagian Perpustakaan dan Layanan Informasi, Biro Hukum dan Humas, Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI SEKRETARIS

ANGGOTA

SEKRETARIAT

SIRKULASI

: Hidayat, S.H.

Kepala Sub Bagian Penerbitan Biro Hukum dan Humas BUA Mahkamah Agung RI

: Zamzami Kartiza, S.H., M.H.

Yuni Hayati Putri, S.H.

Nur Cahyo Putro, S.E.

Nicky Anggraini, A.Md.

: Kartika Sandi Taurus, A.Md.

Dwi Listiani, A.Md.

Al Iqbal Lubis, S.Hum.

: Muhamad Udin

ISBN : 978-602-73347-4-8

ALAMAT REDAKSI:

PERPUSTAKAAN DAN LAYANAN INFORMASI Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13 Blok H. Lantai 4 Tromol Pos No. 1020 Jakarta Pusat - 10110 Telp. (021) 3843541, Pes. 438/409

e-mail: [email protected]

Tanggai i

Nth Muk :

Nci.

fefl^Hadiah:

1 2 - 1

-

2

.

01

^

r, * . . * » % * » * V * ' U * 'T

m i ?

3 M3 - o 4 / 'M -

ft W J : » * t »'ts * k » * i «r e.

f / '

fl

(4)

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

KATA SAMBUTAN

Buku yang berjudul " Problematik Sengketa Pajak Dalam Mekanisme P eradilan Pajak Di Indonesia", yang ada dihadapan pembaca, adalah karya saudara Dr.H.M.Hary Djatmiko, SH.,MS, merupakan bunga rampai sengketa materil pajak. Tulisan ini, dilansir dalam praktek kebijakan peradilan pajak dan praktek hukum acara di bidang perpajakan, adalah merupakan sumbangan pemikiran yang jernih yaitu, dengan menggabungkan antara teori hukum dan praktek kebijakan perpajakan serta pengalaman penulis sebagai Hakim Pajak. Perwujudan dalam mengimplementasikan sistem s e lf assessm ent sebagai politik hukum pemungutan pajak, dilakukan melalui fungsi co n tro l di antaranya kebijakan penegakan, perlindungan dan pengayoman hukum di bidang perpajakan sebagaimana diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Sengketa pajak yang meliputi Banding Pajak dan Gugatan Pajak melalui Pengadilan Pajak merupakan u/tim um rem edium bagi pencari keadilan pada suatu konflik antara perbedaan pandangan hukum, akuntansi dan ekonomi dalam mengimplementasikan kerangka pemikiran di antarannya mengenai konsepsi pemikiran hukum tentang penghasilan dan biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PhKP), sehingga banyak hal yang menarik dari aspek materiil perpajakan untuk dipetik oleh para pembaca dalam buku ini. Oleh karena itu, menyadari akan kebijakan tersebut, salah satunya di antaranya dituntut peran Aparatur Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota mampu untuk dapat m em anage dan melakukan penegakkan hukum {law enforcem ent) di bidang perpajakan secara efektif melalui pengayoman dan perlindungan hukum dalam bidang pajak.

Di tengah kesibukan Penulis, yang sangat padat dan semangat yang tinggi untuk ikut mendarmabaktikan pengalamanan dalam ilmu perpajakan melalui tulisan ini patut dihargai, sekaligus besar harapan saya dan begitu juga penulis dengan terbitnya buku dimaksud, akan dapat memperkaya referensi ilmu hukum khususnya di bidang perpajakan yang sangat langka dan terbatas, yang kiranya amat berguna dan bermanfaatan bagi jajaran para Hakim Agung dan Hakim dalam lingkungan peradilan di bawah- kekuasaan Mahkamah Agung, praktisi, akademisi dan Aparatur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/ Kota, dan masyarakat Wajib Pajak dalam rangka penenuaian kewajiban dan pemenuhan hak sebagaimana kewajiban konstitusional yang diamanatkan dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Akhirnya kepada para pembaca, saya ucapkan selamat menikmati buku ini.

Jakarta, 11 Maret 2016 Ketua Mahkamah Agung RI,

Prof.Dr.H.M.Hatta Ali, S.H., M.H.

iii

(5)

IV

(6)

KATA P E N G A N T A R

KEPALA BIRO HUKUM

DAN HUMAS BADAN URUSAN ADMINISTRASI MAHKAMAH

AGUNG RI

Buku “

Problematik Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak Di Indnonesia”

adalah buku yang membahas problematika Perpajakan di dalam Peradilan Pajak. Buku yang dilengkapi dengan beberapa Putusan Mahkamah Agung R.I dan kaidah hukumnya yang ada dihadapan pembaca ini merupakan buku yang menggabungkan teori ilmu hukum dengan kebijakan perpajakan dalam praktek hukum dan implementasinya di Pengadilan Pajak.

Reformasi birokrasi dan penegakkan hukum (

law

enforcement

) serta pemberantasan korupsi di bidang perpajakan merupakan

trend

yang saat ini merambah dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, seiring diberlakukannya kebijakan Pemerintah melalui ketentuan hukum formal Undang-Undang Nomor 28
(7)

tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di sisi yang lain, ketentuan yang serupa melalui Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 jo Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa serta Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan serangkaian perangkat hukum formal yang telah menempatkan kesetaraan dan keseimbangan hukum

(Audi et Alteram Partem)

dalam mengimplementasikan hak dan kewajiban serta perlindungan hukum baik bagi Wajib Pajak maupun

fiscus.

Sejalan dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah di amandemen bahwa pada dasarnya kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyeleng­

garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Oleh karena itu, keberadaan Pengadilan Pajak sebagai Pengadilan Khusus yaitu, badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Oleh karena itu, penerbitan buku ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kalangan masyarakat umum khususnya para Hakim, Pencari Keadilan, Praktisi Hukum dan Wajib Pajak sebagai pencari keadilan sebagai referensi dalam menegakkan hukum dan keadilan, serta langkah menyamakan

VI

(8)

presepsi bahwa pembayaran pajak merupakan kewajiban konstitusional.

Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Tim Penyusun dari Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI dan khususnya kepada Yang Mulia Bapak

DR. H.M. Hary Djatmiko, S.H.,M.S

.,yang dengan ikhlas memberikan sumbangsih wawasannya sebagai narasumber dalam penerbitan buku ini, dengan iringan doa semoga Allah SWT memberikan pahalaNya, Amin Yaaraballalamin.

Jakarta, Juni 2016

Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung R.I.

Dr. Ridwan Mansyur, SH.,MH

(9)

VIII

(10)

DAFTAR ISI

KATA SAM BUTAN... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR IS I... ix

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang... 1

1. Tax Authority (Kewenangan fiscus)... 3

2. Kewenangan Wajib P a ja k ... 10

3. Kewenangan Lembaga Bank dalam Perpajakan... 12

4. Kewenangan dan Prosedur Pengadilan Pajak... 13

5. Kewenangan dan Prosedur oleh Mahkamah Agung 25 BAB II KEBERATAN PAJAK... 31

1. Um um ... 31

2. Keberatan Atas Pajak Penghasilan Dan Pajak Pertambahan Nilai... 32

3. Keberatan Atas Nilai - Tarif Kepabeanan Dan Cukai 34 4. Keberatan Atas Pajak D aerah... 46

BAB III SENGKETA PAJAK... 53

1. Banding Pajak... 53

2. Gugatan Pajak... 58

(11)

3. Problematika Yang Timbul Banding Dan

Gugatan Pajak...

3.1. Mengenai Surat Permohonan

Banding/Gugatan...

3.2. Mengenai Surat Uraian Banding/Surat

Gugatan...

3.3. Mengenai Surat Bantahan...

3.4. Mengenai Surat Wakil Pemohon Banding/

Penggugat yang Hadir Dalam Persidangan...

3.5. Mengenai Persiapan Wakil Pemohon Banding/

Penggugat Dalam Persidangan...

3.6. Mengenai Persiapan Wakil Terbanding/Tergugat Dalam Persidangan... ...

3.7. Mengenai Putusan Pengadilan Pajak...

3.8 Mengenai Implementasi Undang-undang P P ...

3.9. Mengenai Lembaga Pengadilan Pajak...

4. Hukum A cara... ...

4.1. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa...

4.2. Pemeriksan Dengan Acara Cepat...

4.3. Kuasa Hukum...

4.4. Majelis dan Hakim Tunggal... ...

5. Persidangan Pengadilan Pajak...

1. Kehadiran Terbanding dan Pemohon Banding...

2. Pemeriksaan Dalam Persidangan...

3. Prosedur Pemeriksaan...

59

59

62 62

63

64

65 66 67 69 75 76 78 80 84 90 90 91 94

X

(12)

A. Prosedur Pembelaan oleh Wajib Pajak dan/atau

Kuasa Hukum... 96

B. Pembuktian dan Sanksi... 97

C. Penyampaian Alat Bukti... 98

D. Kesaksian Dalam Persidangan... 99

E. Pihak Yang Tidak Boleh Ditunjuk Sebagai Saksi Dalam Persidangan... 100

F. Peniadaan Kewajiban Merahasiakan... 101

6. Putusan Pengadilan Pajak... 101

A. Dasar Pengambilan Keputusan... 101

B. Jenis Putusan... 102

C. Format Putusan... 104

D. Jangka Waktu Pengambilan Keputusan... . 105

E. Pelaksanaan Putusan... 106

7. Kompetensi Pengadilan Pajak dan Upaya Hukum... 107

A. Kompetensi... 107

B. Peninjauan Kembali... 109

BAB IV PENGUJIAN PEMBUKTIAN ASPEK MATERIAL SENGKETA PA JA K ... 113

1. Ketentuan Um um ... 113

2. Substansi Sengketa Pajak... 121

A. Pajak Penghasilan Badan... 126

a. Koreksi Peredaran usaha melalui pengujian arus uang dan arus piutang dagang dengan cara Memeriksa dan Menguji... 127

(13)

b. Koreksi Peredaran Usaha melalui equalisasi SPT PPh Badan dengan SPT PP N ... 131 c. Koreksi Peredaran Usaha melalui dugaan

transfer

pricing

sebagai akibat hubungan istimewa... 133 d. Koreksi Peredaran Usaha melalui kegiatan

ekspor dengan penggunaan data elektronik

terpadu... 135 e. Koreksi Peredaran Usaha melalui analisa laba kotor

yang diaplikasi pada besarnya koreksi pembelian bahan baku ... 137 f. Koreksi Peredaran Usaha karena cash discount dan

bentuk sales discount yang tidak menunjukkan nomor invoice atau tidak tercantum pada faktur pajak maupun faktur komersial... 139 g. Koreksi Peredaran Usaha melalui pengujian arus

barang dengan cara memeriksa dan menguji bukti- bukti serta melakukan penghitungan... 140 h. Koreksi Harga Pokok Penjualan karena jumlah

pembelian menurut SPT Pajak Penghasilan Badan equalisasi/dibandingkan dengan bukti PPN

Masukan dalam SPT P P N ... ... 142 i. Koreksi Harga Pokok Penjualan karena jumlah

penyusutan aktiva... 143 j. Koreksi Harga Pokok Penjualan karena jumlah

pembelian berdasarkan pendekatan arus piutang dengan arus utang dagang... 146

XII

(14)

k. Koreksi Harga Pokok Penjualan karena

pembebanan biaya

leasing

... 148 l. Koreksi Harga Pokok Penjualan atas beban

selisih kurs... 150 m. Koreksi Harga Pokok Penjualan atas

penilaian persediaan yang bertentangan dengan Undang-undang Perpajakan... 153 n. Koreksi Harga Pokok Penjualan atas besarnya

kompensasi kerugian tahun-tahun yang lalu.. 155 o. Koreksi terhadap unsur-unsur biaya yang

tidak boleh dikurangkan dalam Penghasilan

Bruto... 157

p. Koreksi atas Penghasilan atau Biaya di

Luar Usaha... 159 q. Koreksi terhadap Kredit Pajak... ... 168 B. Pajak Penghasilan Orang Pribadi... 170

a. Terhadap Koreksi Penghasilan Neto melalui

pendekatan metode transaksi tunai... 170 b. Terhadap Koreksi Penghasilan Neto melalui

pendekatan metode transaksi bank... 171 c. Terhadap Koreksi Penghasilan Neto yang

disebakan oleh tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan paj ak... 173 d. Terhadap Koreksi Penghasilan Neto akibat

penerapan biaya hidup... 174

(15)

C. Pemotongan dan Pemungutan PPh... 176 a. Pajak Penghasilan Pemotongan Pasal 2 1 .... . 176 b. Pajak Penghasilan Pemotongan Pasal 2 2 ... 178 c. Pajak Penghasilan Pemotongan Pasal 2 3 ... 181 d. Pajak Penghasilan Pemotongan Pasal 2 6 ... 183 e. Pajak Penghasilan Pemotongan Pasal 4

ayat (2)... 185 f. Pajak Penghasilan Pemotongan Pasal 15... 187 D. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan

Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang

Mewah... ... 189 a. Koreksi Sengketa Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Pajak Keluaran yang timbul equalisasi nilai DPP menurut Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN dengan nilai peredaran menurut SPT Tahunan PPh Badan... 189 b. Koreksi sengketa DPP Pajak Keluaran yang

timbul akibat equalisasi SPT PPN dengan hasil pemeriksaan atas peredaran usaha hasil pemeriksaan Terbanding... 190 c. Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak

Keluaran dalam hal sengketa materi yang timbul karena sebab-sebab lain... 191 d. Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak

Keluaran dalam hal sengketa yang timbul sebagai

xiv

(16)

perbedaan interprestasi ada atau tidak adanya penyerahan barang/jasa yang merupakan obyek PPN dan/atau PPnBM ... 192 e. Koreksi sengketa atas koreksi Pajak Masukan yang

dapat dikreditkan sebagai akibat dari negatifnya hasil konfirmasi yang dilakukan Terbanding terhadap Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pemohon Banding... 193 f. Koreksi sengketa atas koreksi Pajak Masukan

sebagai akibat pernyataan Terbanding bahwa Faktur Paj ak Masukan cacat... 194 g. Koreksi sengketa atas koreksi Pajak Masukan

yang timbul sebagai akibat pernyataan Terbanding bahwa sesuai dengan ketentuan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan... 194 E. Pajak Bumi dan Bangunan... 196

a. Koreksi materi pokok Sengketa menyangkut

Luas Tanah... 196 b. Koreksi materi pokok Sengketa menyangkut

Luas Bangunan... 199 c. Koreksi materi pokok Sengketa Nilai Juai Obyek

Pajak atas Tanah... 200 d. Koreksi materi pokok Sengketa Nilai Jual Obyek

Pajak atas Bangunan... 203 e. Koreksi materi pokok Sengketa Penetapan Subyek

Pajak... 206

(17)

f. Koreksi materi pokok Sengketa Penerapan

Persentase untuk menentukan besarnya Nilai Jual Kena Pajak(NJKP)... 207 Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan... 208 a. Koreksi materi pokok Sengketa Penetapan Obyek

Pajak Karena Perolehan... 208 b. Koreksi materi pokok Sengketa Bukan Obyek

Pajak Karena Status Penerima Hak Atas

Tanah dan atau Bangunan... 209 c. Koreksi materi pokok Sengketa Penetapan Obyek

Pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak pengelolaan pengenaan... 210 d. Koreksi materi pokok Sengketa

Subyek Pajak... 212 e. Koreksi materi pokok Sengketa luas tanah dan

atau bangunan dalam penentuan Nilai Perolehan Obyek Pajak (N P O P )... 213 f. Koreksi materi pokok Sengketa nilai per satuan

atau keseluruhan luas tanah dan atau bangunan dalam penentuan NPO P... 214 g. Koreksi materi pokok Sengketa NJOP (Nilai

Jual Obyek Pajak) yang tidak disetujui Penggugat dalam penentuan NPOP... 215 h. Koreksi materi pokok Sengketa pemenuhan

ketentuan formal atau adanya sengketa menyangkut

(18)

jangka waktu penerbitan SKBPHTB/ SKBPHTBT 216

G. Kepabeanan dan Cukai... 217

a. Penetapan Klasifikasi Pos Tarif berdasarkan ketentuan Pasal 95 jo. Pasal 93 dan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 2 0 0 6 ... 217

b. Penetapan Tarif Bea Masuk....,... 220

c. Penetapan Nilai Pabean... 223

d. Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean... 227

e. Penetapan Selain Tarif dan Nilai Pabean... 228

f. Penetapan Bea Keluar... ... 235

g. Penetapan Denda... 236

h. Penetapan Cukai... 246

1. Sengketa tagihan cukai (Pasal 43 C j o Pasal 43 A dan Pasal 41 UU Cukai)... 246

2. Pembuktian Sengketa Tagihan Cukai... 250

3. Pemeriksaan penetapan sanksi administrasi cukai berupa denda (Pasal 43 C Jo Pasal 43 A dan Pasal 41 UU Cukai)... 251

i. Gugatan Cukai... 255

j. Pajak Daerah...'... 256

3. Materi Gugatan Pajak... 260

1. Pemeriksan dan Pembuktian Aspek Material Sengketa Gugatan... 260

(19)

2. Keputusan pembetulan... 262

3. Keputusan lainnya... 262

4. Gugatan Cukai... 268

BAB V PENINJAUAN KEMBALI... 279

BAB VI TES PROBLEMATIK PERPAJAKAN... 297

• Pajak Pusat... 297

Pajak D aerah... 320

Bidang Kepabeanan Dan Cukai... 327

KUNCI JAWABAN SOAL TES PROBLEMATIK... 394

LA M PIRA N ... 400

• Undang-Undang No. 14 Tentang Pengadilan Pajak 401 • Peraturan Mahkamah Agung No. 30 Tentang Peninjauan Kembali... 107

Kaidah H uku m ... 483

Bagan Sengketa Pajak... 513

DAFTAR PUSTAKA ... 517

XVIII

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sistem perpajakan di Indonesia yang menganut

self

assessment1,

dimana pemerintah memberi kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak melalui fungsinya untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang, dan melaporkan kewajiban pajak tersebut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTD) kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah2 (Kepala Kantor Pelayanan Pajak Daerah) sesuai dengan jenis pajak dan batas waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam mewujudkan dan menegakkan fungsi

budgetair

dan

regulerend

sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 23 A (Amandemen Ketiga) Undang-Undang
(21)

dasar 1945 dipandang perlu melakukan tindakan penegakkan dan perlindungan hukum bagi pencari keadilan khususnya Wajib Pajak sejalan dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 dapat dilakukan melalui lembaga keberatan dan sengketa pajak. Dari uraian tersebut diatas, tercermin bahwa suatu sistem implementasi perpajakan terdapat kewenangan dan prosedur yang dilakukan oleh masing-masing pihak di antaranya:

SISTEM PERPAJAKAN

2

(22)

1. Tax Authority (Kewenangan fiscus)

TugasdanwewenangPemerintahPusat(DirektoratJenderal Pajak /Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) dan Pemerintah Daerah yaitu Gubernur/Bupati/Walikota, dalam bidang pelayanan publik melalui penghimpunan sumber-sumber penerimaan Negara dalam rangka mengimplementasikan sistem

self assessment

di bidang perpajakan, di antaranya melakukan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang menyangkut pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi hukum baik bersifat administratif maupun pidana. Dalam hukum administrasi perwujudan tugas dan wewenang dilakukan secara terukur yaitu bersumber pada tatanan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber pada konstitusi, sehingga tindakan hukum atas kekukasaan dan kewenangan yang dimiliki harus dilakukan secara konstitusional.

Dalam ajaran tentang kekuasaan dan wewenang dalam hukum pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan absolut dari Pemerintah di bidang perpajakan dilakukan secara konsitusional (vide Pasal 23 A UUD 1945) yang penjabarannya diwujudkan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Namun kekuasan dan kewenangan dalam kepustakaan sering dibedakan, wewenang adalah kekuasaan yang sah, kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang bersumber pada ketentuan

(23)

peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Di dalam buku

“algemene begrippen van staatrecht”, Henc van Maarseveen

menjelaskan:

De beinvloedingsmegelijkheid moet een grondslag hebben in hetgeldende recht. Zij moet in het rechtsstelsel als rechtsmatcht een plaats hebben.Als geen relatie met het rechtsstelsel is, als niet van juridische ‘inliving’

kan worden gesproken, heeft mente maken met ‘blote’

macht, die los staat va n het positieve recht.3

Dengan demikian, menurut Henc van Maarseveen wewenang (

bovoegdheid)

dan kekuasaan

(macht)

memiliki pengertian yang berbeda, karena dalam budaya Jawa arti wewenang tidakberbeda dengan kekuasaan (kuasa). Perbedaan tersebut secara tegas dinyatakan bahwa kekuasaan

(power)

adalah kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan baik bertumpu pada hukum maupun tidak, sedangkan wewenang

(authority)

adalah mengadung kekuasaan yang menampilkan dirinya sebagai kekuatan baik bersifat phisik maupun moral yang tujuannya untuk mempengaruhi orang lain. Di sisi yang lain dalam pendekatan dengan hubungannya dengan Negara, dalam kepustakaan diungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) cara pendekatan, masing-masing melalui kekuasaan

(power),

Kekuatan

(force)

dan Kewenangan

(authority)

sebenarnya ketiga-tiganya adalah kekuasaan. Ketiga-tiganya

4

(24)

erat berkaitan, sukar dipisah-pisahkan. Menurut teori hukum tentang negara, kekuasaan negara adalah kekuasaan hukum, karena validitasnya hanya ditentukan oleh hukum4.

Olehkarenanya kekuasaan sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan hukum. Kekuasaan yang berdasarkan hukum disebut wewenang dan kekuasaan yang sah (

Authority is legitimate power)

juga disebut wewenang.

Selanjutnya, dalam doktrin hukum administrasi negara,

a buse o f power, misuse o f power

atau

de’tournement depouvoir

mengenai penyalahgunaan wewenang merupakan faktor yang tak kalah penting dalam mewujudkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Terlebih sejalan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka wewenang pejabat dilandasi oleh suatu koridor hukum agar tidak menyalahgunakan wewenang.

Dalam Ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU PTUN telah memberikan pengakuan atas eksistensi prinsip larangan atas penyalahgunaan wewenang, karena yurisdiksi kewenangan yang berlebihan dari ketentuan peraturan perUndang- Undangan menjadikan larangan bertindak secara hukum dalam penyelenggaraan asas-asas umum pemerintahan umum yang baik

{good governance)

dalam upaya mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejalan dengan ketentuan norma hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
(25)

Pemerintahan yang mengatur norma tunggal dalam diskresi atas penyelenggaraan wewenang yang dilengkapi norma yang saling berhubungan sebagaimana diatur Pasal 17 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Secara selengkapannya ketentuan tersebut menggariskan berikut ini:

Pasal 17 UU AP :

1) Badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang;

2) Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a) larangan melamapui wewenang;

b) larangan mencampuradukan wewenang, dan/atau c) larangan tidak sewenang-wenang.

Pasal 18 UU A P :

1) Badan dan/atau pejabat dikatagorikan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan:

a) Melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang;

b) Melampaui batas wilayah berlakunya wewenang, dan/atau

6

(26)

c) Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Badan dan/atau pejabat dikatagorikan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan:

a) Di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau

b) Bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.

3) Badan dan/atau pejabat dikatagorikan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan:

a) Tanpa dasar kewenanggan, dan/atau

b) Bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan huum tetap.

Perbuatan atau tindakan yang bersifat sewenang-wenang atau perbuatan atau tindakan yang yurisdiksinya telah melanggar hukum dapat dikatagorikan sebagai pengertian perbuatan melawan hukum. Bahwa ajaran perbuatan hukum dalam lapangan hukum perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata dinyatakan

*’Tiap perbuatan

melanggar hukum, membawa kerugian kepada orang lain,

(27)

mewajibkan orang yang karena salahannya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian tersebut”.

(Bandingkan Pasal 1401 BW Belanda yang menyatakan

“Elke onrechmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebracht, stelt dengene door wiens schuld die schade veoorzaakt is in de verplichting om dezelfde te goeden”).

Denga demikian, unsur perbuatan melawan hukum (

onrechtmatige daad)

adalah harus ada pada perbuatan yang dilakukan, yang bersifat melawan hukum, yang menimbulkan kerugian dan adanya kesalahan yang diperbuat. Salah satu suatu perbuatan yang tidak sewenang- wenang harus dilandasi oleh itikad baik. Dalam norma hukum, baik dalam lapangan hukum perdata maupun hukum perpajakan, maka persoalan “itikad baik” selalu mendapatkan tempat tersendiri, sedangkan dalam perikatan hukum sahnya suatu perjanjian merupakan lapangan hukum perdata yang telah disyaratkan dalam pasal 1320 BW, di mana sumber perikatan hukum ditimbulkan karena Undang-undang dan persetujuan. Persetujuan tersebut ditimbulkan baik karena undang-undang maupun perbuatan orang.

Oleh karena itu, sebaik-sebaiknya maka Pemerintah melalui Direktur Jenderal Pajak/Bea dan Cukai menempatkan skala utama fungsi pengawasan sebagai ambeg-paramaarta.

Untuk itu, Wajib Pajak harus percaya bahwa : (a) Undang- undang Perpajakan dilaksanakan secara seragam

(uniform),

tidak pandang bulu, (b) siapa-siapa yang dengan sengaja

8

(28)

melaporkan pajaknya dengan tidak sebenarnya akan diambil tindakan hukum. Kepercayaan masyarakat Wajib Pajak dalam mengimplementasikan sistem

self assessment

dapat dipelihara dan ditingkatkan dengan cara-cara: (a) menghukum siapapun yang melakukan tindak pidana perpajakan, (b) melaksanakan hukuman baik bersifat administratif maupun pidana kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran, hal ini merupakan

deferent effect.

Sedangkan implementasi pengayoman hukum, dalam lapangan hukum administrasi dilakukan tahapan melalui lembaga keberatan. Demikian juga upaya hukum dibidang perpajakan seharusnya dilakukan melalui lembaga keberatan pajak yang mandiri dan terpisah dari struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak/Bea dan Cukai , namun masih tetap ada dan berada dalam lingkungan Kementerian Keuangan, sedangkan lembaga Banding Pajak tetap dilakukan oleh Pengadilan Pajak sebagai lembaga yang mandiri dan independen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mempunyai tugas dan fungsi menyelsaikan sengketa pajak berupa banding dan gugatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bahwa sebagai konsekuensi logis dari amanat Pasal 27 dan Pasal 29 U U Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpaj akan yang menyatakan

(29)

bahwa W ajib Pajak dapat m engajukan perm ohonan banding hanya kepada badan peradilan atas Surat Keberatan setelah diputus oleh D irektur Jenderal Pajak, selanjutnya tugas mengawasi dalam pem eriksaan W ajib Pajak secara teratur, adil dan transparan dan akuntabel yang m erupakan bagian dari fungsi negara yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. M engingat bahwa keberadaan organisasi D irektorat Jenderal Pajak/Bea dan Cukai sebagai sebagai penegak hukum atas pelaksanaan self assessment harus m eningkatkan public servent dalam m enghim pun pundi- pundi Negara m elalui penerim aan pajak yang efisien, efektif dan akuntabel dan khususnya dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak yang dilandasi, transparansi dan kewajaran.

2. Kewenangan Wajib Pajak

Dalam politik hukum pemungutan pajak sistim self assessment yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 U U Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, m aka yuridiksi atas kewenangan W ajib Pajak baik dalam lingkup hukum adm inistrasi maupun perpajakan lebih m enitikberatkan dan m engedepankan pada hal-hal yang berkaitan apa yang m enjadi hak-haknya dan kewaj iban-kewaj iban5. D alam Im plem entasi di bidang hukum acara perpajakan sebagaimana telah digariskan pada Undang-undang yang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (K U P), Penagihan Pajak dengan Surat

10

M i l i k Perpustakaan Mahkamah Agung - RI

(30)

Paksa (PPSP) dan Pengadilan Pajak maka kedudukan antara Wajib Pajak dan Fiscus adalah sama dalam pemenuhan hak dan penenuaian kewajiban serta sanksi menurut hukum. Oleh karenanya terhadap terhadap Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran hukum yang diancam dengan sanksi hukum baik bersifat administrasi maupun pidana. Di sini, hukum berperan akan apa yang menjadi hak dan kewajiban serta sanksi tersebut, terletak pada ruang gerak penegakkan dan upaya perlindungan hukum. Penegakkan hukum

(law enforcement)

implementasinya dan keberadaannya, terletak pada fungsi fiscus. Apabila akan terjadi pandangan hukum yang berbeda dan timbunya

conflict o f interest

dalam lapangan sengketa pajak dapat dilakukan juga dalam yurisdiksi peradilan pajak, sedangkan fungsi dan kompetensi peradilan umum yang bertalian dengan sanggahan atas kepemilikan berkaitan dengan penagihan eksekusi secara paksa dan bersifat privat serta pidana pajak berkaitan di antaranya dengan pemalsuan data, pengelapan di bidang perpajakan. Sebagai salah satu perwujudan pencerminan hak dan kewajiban melalui prinsip perpajakan yang sehat, maka diperlukan kebijakan hukum yang menempatkan perlakuan kesetaraan atas keseimbangan hak dan kewajiban antara Wajib Pajak

dan fiscus

dalam hukum acara perpajakan, di antaranya:

1) Pasal 11 ayat (3) UU KUP yang menentukan apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan

(31)

setelah jangka waku satu bulan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran tersebut.

2) Pasal 17 B ayat (3) UU KUP yang menyatakan bahwa apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu yang ditentukan, maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2%

(dua persen) sebulan.

3) Pasal 41 UU KUP yang mengatur bahwa pejabat pajak dapat dihukum dengan pidana kurungan dan denda jika ia melanggar ketentuan rahasia jabatan.

3. Kewenangan Lembaga Bank dalam Perpajakan

Kewanangan lembaga perbankan termasuk Kantor Pos Indonesia dalam fungsinya memiliki peran yang sangat penting, yaitu menghimpun dan melakukan penerimaan pembayaran atas setoran pajak berasal dari Wajib Pajak.

Kekuasaan yang demikian diberikan oleh undang-undang perpajakan, pada dasarnya merupakan kekuasaan hukum.

Kewenangan menerima setoran pajak yang telah diberikan kepada lembaga perbankan tertentu, melalui berbagai pertimbangan bersifat teknis dengan tidak meninggalkan efisiensi dan faktor kemudahan serta kesederhanaan, bahwa Lembaga Bank yang telah ditunjuk tersebut oleh Menteri Keuangan pada dasarnya merupakan kuasa

comptabel

Negara

12

(32)

untuk menerima setoran pajak dan bukan pajak. Sedangkan kewenangan Menteri Keuangan dalam Undang-Undang Perpajakan bersifat atribusi, maka tugas Kantor Pos Indonesia sebagaimana amanat Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah menerima setoran pajak melalui formulir yang telah ditetapkan berupa Surat Setoran Pajak (SSP) dan memindahbukukan ke Rekening Penerima Setoran Pajak pada Kas Negara. Di samping itu, dalam kaitannya dengan proses penyelesaian keberatan dan sengketa pajak (banding/gugatan) memiliki fungsi yang sangat penting juga dalam penentuan tanggal pengiriman dan tanggal penerimaan Surat Ketetapan Pajak/

Surat Keberatan Pajak dan Surat Permohonan atas Sengketa Pajak yang berkaitan tenggang waktu (vide Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak).

4. Kewenangan dan Prosedur Pengadilan Pajak

Dalam sistem kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri serta mewujudkan peran dan fungsi peradilan tata usaha negara sebagai salah satu lingkungan peradilan dari 4 (empat) lingkungan di bawah dan berada dalam Mahkamah Agung, maka kedudukan Pengadilan Pajak dan peradilan tata usaha negara adalah Pengadilan Pajak merupakan peradilan khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha negara6, yang

(33)

melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi semua pihak yang mencari keadilan sesuai dengan Undang-undang Perpajakan.

Oleh karenanya, kewenangan hukum yang demikian besar, maka pandangan yang berbeda dalam implementasi perpajakan akan terjadinya

conflict o f interest

bagi Wajib Pajak selaku pencari keadilan di bidang perpajakan. Mengingat bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan merupakan Peradilan khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha sebagaimana diamantkan dalam Pasal 9 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Nomor 51 tahun 2009, sekaligus merupakan pengadilan yang memeriksa dan mengadili serta memutus sengketa pajak pada tingkat pertama dan terakhir7. Oleh karenanya, tugas dan wewenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa pajak, berupa : a) Banding terhadap suatukeputusanpejabatyangberwenang

yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

b) Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan pejabat yang berwenang yang dapat

14

(34)

diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Prosedure penyelesaian sengketa pajak baik berupa banding maupun gugatan pajak dilakukan oleh Pengadilan pajak dalam sidang terbuka untuk umum.

Apabila sejenak melihat secara garis besar latar belakang lahirnya Pengadilan Pajak, maka dengan merujuk pada ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berikut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka keberadaan Pengadilan Pajak di Indonesia bukan lembaga peradilan yang baru karena menurut historisnya diawali d a ri:

1) Ordonantie tot Regeling van het Beroep in Belastingzaken

Stbl. 1915 Nomor 707 dan kemudian disempurnakan dalam Tahun 1927 yang mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1927 (Stbl. 1927 Nomor 29) berkedudukan di Jakarta, yang kemudian pada Tahun 1950 lembaga ini berganti nama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) di bawah pengawasan Presiden, yang bertugas memberikan penilaian atas pengajuan banding yang diajukan Wajib Pajak terhadap banding pajak yang oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku dimungkinkan untuk banding.
(35)

2) Sejalan dengan ketentuan yang berlaku bahwa Majelis ini, berwenang memeriksa dan memberi keputusan (

uitspraak

) tidak atas semua masalah pajak, baik pajak negara maupun pajak daerah, tetapi hanya atas surat banding mengenai paj ak negara dan daerah sepanjang dalam peraturan perundang- undangan perpajakan tersebut memperkenankan banding ke Maj elis Pertimbangan Paj ak (MPP).

Selanjutnya, bila ditinjau dari susunan dan pengangkatan keanggotaan Majelis Pertimbangan Pajak, dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Majelis Pertimbangan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan 4 (empat) orang anggota, dan MPP diperbantukan oleh Gubernur Jenderal (Presiden) seorang pegawai sebagai

g

Sekretaris dan sebagai Sekretaris pengganti;

2. Ketua diangkat oleh Gubernur Jenderal (Presiden).

Gubernur Jenderal (Presiden) menunjuk seorang anggota sebagai Ketua Pengganti, dahulu, untuk pertama kali yang diangkat menjadi Ketua MPP adalah

Directeur van Financien

(Menteri Keuangan) secara

ex-officio

10.

3. Anggota MPP terdiri dari 4 (empat) orang dan terbagi 2 (dua) diusulkan dari Mahkamah Agung dan 2(dua) lainnya dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) serta setiap anggota usulan tersebut diangkat paling sedikit seorang anggota pengganti 11 Sedangkan Pegawai dalam

16

(36)

lingkungan Departemen Keuangan tidak dapat diangkat menjadi angota atau anggota pengganti12

Sekretaris dan Sekretaris Pengganti tidak termasuk dalam keanggotaan MPP. Berbeda dengan peradilan pada umumnya bahwa Sekretaris Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) di sini merangkap sebagai Panitera M PP13. Jadi Sekretaris MPP itu merangkap sebagai Panitera, mempunyai tugas mengadministrasikan surat banding yang masuk ke MPP, menghadiri sidang-sidang dan mencatatnya, membuat konsep Surat Keputusan Majelis, dan bahkan menjadi saksi ahli

ex officio

(membuat Nota Usulan Penyelesaian Perkara).

2. KOMPETENSI MAJELIS PERTIMBANGAN PAJAK (MPP)

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya bahwa MPP sebagai lembaga peradilan pajak di Indonesia yang mulai berdiri pada tahun 1915, pertama kali menangani masalah pajak negara. Kemudian sejak diundangkan

de ordonanntie tot regeling voor het beroep in belastingzaken

ditetapkan kembali tanggal 27 Januari 1927,

Staatsblad

No. 29 dan kemudian tepatnya mulai tahun 1930 menangani juga masalah-masalah pajak daerah.

Dalam perkembangannya lembaga peradilan pajak ini, kompentensi dalam penyelesaian banding pajak bila dikaitkan

(37)

dengan implementasi peraturan perundangan perpajakan yang berlaku dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) bagian yaitu : pertam a, Sebelum Reformasi Perpajakan tahun 1983, kedua, setelah reformasi perpajakan tahun 1983-1994, ketiga, Pasca Reformasi tahun 1994, ke-empat, Pasca Tax Revision 2 0 00,2007 yang akan diuraikan berikut ini.

2.1. Sebelum Tax Reform 1983.

a. Periode 1927 - 19 5 0

Keputusan mengenai sengketa pajak semenjak berdirinya

de ordonanntie tot regeling voor het beroep in belastingzaken

tanggal 27 Januari 1927,

Staatsblad

No. 29 sampai dengan tahun 1950 mula-mula hanya memeriksa dan memutuskan masalah jenis pajak langsung saja.

Sedangkan untuk pajak tidak langsung lainnya karena peraturan perundang-undangan pajak tersebut tidak mem­

berikan peluang untuk banding ke MPP. Namun diberikan peluang untuk langsung dapat mengajukan sanggahan ke Pengadilan N egeri14. Mengingat dalam ketentuan

Staatsblad 1936

No. 692 masalah pajak tidak langsung (Bea Meterai dan Bea Balik Nama) dapat mengajukan alternatif pilihan gugatan ke pengadilan Negeri melalui 2 (dua) macam prosedur berikut ini yang berupa, prosedur sanggahan

(verzet procedure)

dan penuntutan kembali (

teugvorderingsprocedure

), misalkan Wajib Pajak dengan Bea Balik Nama Rp. 100 juta, di mana

18

(38)

pajak tersebut harus dibayar SKUM BBN (Surat Kuasa Untuk Menyetor Bea Balik Nama), sedangkan menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya Rp. 75 juta, masalah tersebut dapat diajukan keberatan ke Kantor Pajak, kemudian MPP, dan dapat juga ke Pengadilan Negeri. Kalau Wajib Pajak memilih prosedur penuntutan kembali maka ia harus membayar dahulu seluruh jumlah Rp. 100 juta, kemudian mengajukan tuntutan kembali Rp. 25 juta berdasarkan Pasal 1359 BW, mengingat pembayaran yang tidak diwajibkan dapat dilakukan penuntutan kembali. Sedangkan kalau Wajib Pajak memilih prosedur sanggahan, maka ia tidak membayar sama sekali, dan akan diterbitkan dan ditagih dengan Surat Paksa sebesar Rp. 100 juta. Atas dasar Surat Paksa tersebut Wajib Pajak dapat mengajukan sanggahan ke Pengadilan Negeri bahwa jumlah pajak yang terdapat dalam Surat Paksa tidak b en ar15.

Selanjutnya, terhadap pajak-pajak negara (Pajak

Pendapatan/Inkomstenbelastingen,

Pajak Perseroan/

Vennootschapsbelasting,

Pajak Rumah Tangga

/Personele

Belasting

dan

Verponding)

yang dapat diajukan banding ke Majelis Pertimbangan Pajak ada 2 (dua) kelompok ialah kelompok mengenai ketetapan (

aanslag

) dan kelompok mengenai keputusan (

uitspraak

,

beschikking, beslissing

; istilahnya dan terminologi yang digunakan bermacam- macam tergantung ordonansi pajak yang bersangkutan).
(39)

Dalam praktek, banding atas keputusan mengenai macam-macam masalah perpajakan yang paling banyak adalah banding atas keputusan mengenai keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak, dan mengenai pajak-pajak daerah yang dapat diajukan ke MPP hanya ada 1 (satu) macam saja, ialah atas keputusan (

beslissing

) dari Dewan Propinsi

(Provinciate Raad

) mengenai pajak propinsi (misalnya pajak jalan propinsi) atau atas keputusan Kepala Daerah setempat

(Hoofd van gewestelijke bestuur)

atas keberatan terhadap besarnya pajak (misalnya pajak kendaraan bermotor). Tidak ada terhadap Surat Ketetapan Pajak atas Pajak Daerah yang dapat diajukan banding langsung ke MPP.

b. Periode 1951 - 1 983

Awal tahun 1951 Pemerintah Indonesia telah memungut Pajak atas Peredaran (

omzetbelastingen

) dan Pajak Penjualan

(Verkoop Belasting).

Mekanisme memungut pajak menurut ketentuan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penjualan 1951, bahwa pabrikan/

pengusaha yang keberatan terhadap besarnya pajak ditagih dengan SKP dapat mengajukan keberatan. Kemudian terhadap keputusan keberatan tersebut, pabrikan/pengusaha dapat mengajukan banding ke MPP, bahkan keberatan terhadap besarnya pajak yang ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Tagihan Tambahan (SKP TT), dapat banding langsung ke MPP.

2 0

(40)

Pada tahun 1970, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 10 Tahun 1970-LN 1970 No. 45 tentang Pajak atas Bunga, Deviden dan Royalty, dan terhadap badan/

pengusaha yang memberikan bunga, deviden dan royalty diwajibkan memotong pajaknya. Apabila pemotongan dan penyetorannya tersebut tidak benar atau kurang, maka kekurangannya ditagih dengan SKP TK (Surat Ketetapan Pajak Tagihan Kemudian), di sini lah pertama kali sebetulnya sistem

self assessment

telah diterapkan.

Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pajak Bunga Deviden dan Royalty (PBDR) 1970, terhadap pengusaha/

badan yang diwajibkan memotong pajak atas PBDR, tetapi tidak/kurang memotong dan tidak/kurang menyetor ke Kas Negara, yang kemudian pajak yang tidak/kurang disetor itu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Tagihan Kemudian (SKP TK), maka pengusaha/badan tersebut dapat mengajukan banding langsung ke Majelis Pertimbangan Pajak.

c. Periode 1984 (setelah Tax Reform) sampai dengan diberlakukan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PERATUN berlaku Efektif Tahun 1991.

Seperangkat aturan hukum dalam ketentuan formal perpajakan yang diatur melalui Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telah ditegaskan bahwa dalam Pasal 49 menekankan

(41)

adanya

lex generalis,

sedangkan Undang-Undang PPh 1984, UU PPN 1984 dan UU No. 12 tahun 1985 tentang PBB merupakan

lex spesialis.

Mekanisme banding dalam praktek

official assessment

diwujudkan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak, yang dalam hukum administrasi diwujudkan dalam

beschikkingen

(keputusan/ketetapan).

Dalam sistem

self assessment,

wujud

beschikkingen

(keputusan / ketetapan) diatur dalam Pasal 25 Undang- undang No. 6 tahun 1983, LN-1983 No. 49, pada dasarnya Wajib Pajak terlebih dahulu dapat mengajukan keberatan setelah memenuhui syarat-syarat yang telah ditetapkan, dan selanjutnya menurut Pasal 27 UU KUP ditegaskan bahwa apabila wajib pajak tidak puas dengan keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintah (Direktorat Jenderal Pajak) dapat diajukan banding ke Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) terhadap keputusan atau penetapan pajak sebagai berikut:

a) Surat Pemberitaan (SPb);

b) Surat Ketetapan Pajak (SKP);

c) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/Tambahan (SKPKB/T);

d) Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran (SKKP);

e) Pemotongan atau Pemungutan oleh Pihak Ketiga;

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, terhadap wajib pajak yang tidak puas atas keputusan keberatan terhadap

22

(42)

ketetapan pajaknya, sejak reformasi perpajakan sampai dengan diberlakukannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peratun, maka permohonan banding tetap diajukan banding ke Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) sebagai satu-satunya lembaga banding pajak, mengingat dalam UU Nomor 5 tahun 1986 tidak mencabut tantang UU Majelis Pertimbangan Pajak.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan pembangunan Nasional, keberadaan lembaga ini telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 dan kemudian melalui Paket Deregulasi Ekonomi 7 Juni 1997 keberadaam lembaga ini menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 Lembaran Negara 1997 - Nomor 40. Lembaga ini memiliki kompetensi menggantikan kedudukan Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dan Lembaga Peradilan Bea dan Cukai (dahulu :Komisi Doane) sebagaimana diatur

Rechten

Ordonanntie

bahkan dalam Pasal 17 dan Pasal 93 serta Pasal 95 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabenan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 dapat diajukan banding dan Pasal 14 ayat (4), Pasal 43 B dan Pasal 43 C Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang telah diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 36 Tahun 2007 dapat diajukan gugatan, keduanya ke Pengadilan Pajak. Sedangkan khusus untuk Pajak
(43)

Daerah sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 jo Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, maka Wajib Pajak yang tidak puas dengan Keputusan Kepala Daerah terhadap Keputusan Keberatan dapat diajukan banding baik pada era Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) maupun Pengadilan Pajak.

Dalam perjalanan ketatanegaraan, maka secara historis hukum, lembaga BPSP yang digantikan dengan Pengadilan Pajak hanya berumur 4 Tahun 4 bulan 11 hari (dihitung sejak lahirnya UU BPSP (UU Nomor 17 Tahun 1997) sampai dengan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 12 April 2002). Lembaga Pengadilan Pajak ini secara struktural para hakimnya di bawah pembinaan dan kekuasaan Mahkamah Agung sesuai dengan konstitusi Pasal 24 dan 25 UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 jo. UU Nomor 35 Tahun 1999 jo UU Nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2009, dimana dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) serta memiliki korelasi hukum dengan implementasi Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 14 Tahun 2002 ditegaskan pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sejalan dengan reformasi di bidang peradilan maka

2 4

(44)

Pengadilan Pajak sebagai Peradilan Khusus telah tercermin dalam Pasal 1 angka 8 dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada dan di bawah Mahkamah Agung yang diatur dengan Undang-undang.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, telah menyebutkan secara eksplisit bahwa Pengadilan Pajak sebagai Pengadilan khusus. Hal ini terbukti dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 9A ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang PTUN disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, telah dituangkan dalam Penjelasannya yang berbunyi “Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak”.

5. Kewenangan dan Prosedur oleh Mahkamah Agung Sistem peradilan pajak dalam kerangka konstitusi Negara Republik Indonesia, pada hakekatnya merupakan korelasi hukum, antara hubungan hukum yang terikat dalam

(45)

Pasal 23 ayat (2) atau Pasal 23A dan Pasal 24 serta Pasal 25 UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah Amandemen.

Dalam ketentuan tersebut di atas, dinyatakan bahwa Pasal 23 ayat (2) yang menyebutkan bahwa

segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang,

sedangkan Pasal 23A Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang- undang.

Olehkarenanya Mahkamah Agung sebagai lembaga pengawasan peradilan, salah satu dari kekuasaan negara adalah kekuasaan yudikatif, berperan melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan dimana Pengadilan Pajak adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung, telah terbukti diimplementasikan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan internal dalam pelaksanaan tugas yudisial. Dalam perkembangan ketatanegaraan melalui Amandemen ketiga UUD 1945 ditegaskan bahwa jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan oleh Makamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Di sisi yang lain, kewenangan Mahkamah Agung pada khususnya terhadap implementasi hukum acara di bidang perpajakan di antaranya sebagai berikut:

2 6

(46)

1. Secara umum, Mahkamah Agung bertugas melakukan pengawasan internal terhadap jalannya proses peradilan.

Di samping itu, melakukan pemeriksaan tingkat kasasi dan peninjauan kembali, hak uji materiel terhadap produk hukum pemerintah berupa peraturan di bawah perundang-undangan.

2. Secara khusus di bidang perpajakan, bertugas memeriksa dan memutus serta mengadili tentang Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (3) dan Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak baik yang diajukan oleh Wajib Pajak maupun Pemerintah (dhi.Direktur Jenderal Pajak/

Direktur Jenderal Bea dan Cukai) untuk pajak pusat, dan (Gubernur/Bupati/Walikota) untuk pajak daerah serta masing yuridiksi atau lapangan kekuasaan tersebut tidak boleh ada campur tangan dari pihak manapun.

(47)

Endnotes

1 Ciri-ciri khusus: (1) sederhana, bukan hanya dalam jumlah, jenis, struktur tarif dan sisem pemungutan pajak,(2) mencerminkan asas pemerataan dalam pembebanan dan adil dalam struktur tarifnya, (3) Memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan Fiscus, (4) Menutup peluang penyelundupan pajak dan penyalahgunaan wewenang, (5) Memberikan kepercayaan yang besar kepada Wajib Pajak dengan memberlakukan sisem “ self assessment”, (6) Menunjang tercapainya sasaran pembangunan, dengan cara mendukung tercapainya sasaran kebijaksanaan ekonomi, khususnya melalui ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

2 Dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 permasalahan Pajak Daerah ditangani oleh Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD).

3 Lihat P.W.C Akkermans dkk,A lgem en e B egrippen van Staatsrecht, deel I, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1985 bahwa Maarseveen membedakan antara wewenang asali (originaire bevoegheden) dengan wewenang yang diturunkan derivatieve (afgeleide) bovoegdheden.W ew enang yang diturunkan disebut sebagai wewenang derivatif.Perbedaan kedua jenis wewenang itu dijelaskan sebagai berikut : Originaire bevoegdheden zouden zijn die welke aaniedere natuurlijkee persoon toekom en en krachtens hetwelk die ook rechtsubject is. Zij zouden als het ware gegeven zijn m et politieke natuur van de mens, niet d oor het recht “toegekend”, hoogtens “erken d”, en in de kern p re juridischzijn.

D erivatieve bovoegdheden zouden daarentegen zijn afgeleid van andere bovoegdheden, nict zozcer feiteiljke als wel als juridische constructie.

Van derivatieve bovoegdheden kan geen sprake zijn zonder voorgegeven originaire bovoegdhen, die tegelijke hun legitmatie vormen. D at wil zeggen dat de afgeleide bovoegdheden onzelfstanding zouden zijn, o f alien m aar kunnen worden opgevat in relatie tot oorspronkelijke bovoegdheden.

4 Abdoel Gani, Hukum dan Politik : Beberapa Permasalahan”, Dalam Padmo Wahyono, M a sa la h K eta ta n eg a ra a n In d o n esia D ew asa ini, Ghalia Indonesia, Jkarta, 1984, hal. 157.

5 Hak dan Kewajiban di bidang Perpajakan telah dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban berdasarkan Undang-undang Nomor

2 8

(48)

6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.

6 Pasal 9A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peraturan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Juncto. Pasa I angka 8 Juncto Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

7 Pasal 77 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

8 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (8), R aad van Beroep voor Belastingzaken, Stbl.1927 No. 29 jo.Undang-undang No. 5 Tahun 1959-LN 1959 No. 13.

9 Pasal 2 ayat (2), R aad van Beroep voor Belastingzaken, Stbl.1927 No.

29 jo. Undang-undang No. 5 Tahun 1959-LN 1959 No. 13, dimana pada masa itu sebagai Ketua Pengganti ialah Vice President van het H ooggerrechtshofvan N ederlands Indie (Wakil Ketua Mahkama Agung), sehubungan perjalanan sejarah reorganisasi H oog M ilitair G erechshof (Makamah Militer Agung) dan penghapusan Kamar Ketiga Mahkamah Agung (opheffing van de D erde K am er van het Hooggerechtshof), maka dengan Ordoanntie Staatsblad 1933 No. 6, yang menjadi Ketua MPP tidak harus Wakil Ketua Mahkamah Agung, tetapi seorang yang diangkat oleh Gubernur Jenderal (Presiden). Dalam prakteknya yang menjadi Ketua MPP sampai tahun 1980 ialah Wakil Ketua Mahkamah Agung, kemudian baru dalam tahun 1980 yang menjadi Ketua bukan lagi Wakil Mahkamah Agung melainkan mantan Direktur Jenderal Pajak,( Bapak Soerjono).

10 Sehubungan pengangkatan tersebut, kalangan pimpinan perusahan Belanda dan Inggris memprotesnya, karena keputusan terhadap peradilan doleansi berada ditangan D irecteur van Financien, yang pada akhirnya dilimpahkan kepada H oofd Inspecteur van Financien (Direktur Jenderal Pajak).

11 Pasal 2 ayat (4), R aad van Beroep voor Belastingzaken, Stbl.1927 No. 29 jo. Undang-undang No. 5 Tahun 1959-LN 1959 No. 13.

12 Pasal 3 ayat (4), R aad van Beroep voor Belastingzaken, Stbl.1927 No. 29 jo.Undang-undang No. 5 Tahun 1959-LN 1959 Nomor 13

(49)

13 Bandingkan dengan Mahkamah Agung bahwa Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung merangkap sebagai Panitera Mahkamah Agung. Sedangkan tugas Sekretais MPP yang paling pokok adalah mengadministrasikan Surat Banding (Boeroepschrift) dari Wajib Pajak, Surat Uraian (Vertoogshrift) dari Direktur Jenderal Pajak dan Surat Bantahan (Verweerschrift) dari Wajib Pajak. Dari hasil pengolahan akan berupa Nota usulan penyelesaian Masalah banding yang diajukan oleh Wajib Pajak. Selanjutnya,Nota tersebut disampaikan kepada Ketua MPP dan para anggota untuk dipelajari, kemudian disidangkan pada hari yang telah ditentukan. Hasil dari sidang berupa keputusan, disiapkan oleh Sekretaris dalam bentuk Konsep Keputusan Majelis.

14 Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa kebiasaan di Negeri Belanda bahwa Undang-undang MPP Nederland (Wet op de Raden van Beroep voor Directe Belastingen, N ederland, Stbl. 1914 No.564) yang secara tegas menagani pajak langsung saja (Directe Belastingen),karena masalah pajak tidak langsung di Indonesia seperti: Bea Masuk, Cukai, Bea Meterai dan Bea Balik Nama tidak dapat diajukan banding ke MPP, karena undang perpajakan yang bersangkutan tidak memperkenankan banding ke MPP

15 Bandingkan dengan pendapat dari W.P.Prins, He t Belastingrecht voor Indonesie", bahwa masalah pajak yang dapat diajukan ke Pengadilan Negeri tidaklah masalah pajak yang tegas-tegas dapat diajukan ke Pengadilan Negeri seperti masalah Bea Meterai dan Bea Balik Nama yang di atur dalam Pasal 119 huruf a,b,c Aturan Bea Meterai 1921 dan Pasal 20 huruf a, b dan c dari Bea Balik Nama 1924 No. 291, tetapi juga semua masalah baik Pajak Langsung yang tidak dapat diajukan keberatan dan/atau banding ke Majelis Pertimbangan Pajak, dapat diajukan ke Pengadilan Negeri, meskipun peraturan perundang- undangan yang bersangkutan tidak mengaturnya.

3 0

(50)

BAB II

KEBERATAN PAJAK

1. UMUM

Secara yuri

Referensi

Dokumen terkait

tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung

Akan tetapi para pihak dapat melanjutkan penyelesaian sengketa tersebut melalui jalur badan peradilan umum, hal mana menunjukan bahwa mekanisme penyelesaian

“Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat

DISERTASI PERADILAN PAJAK DALAM SISTEM ..... DISERTASI PERADILAN PAJAK DALAM

DISERTASI PERADILAN PAJAK DALAM SISTEM ..... DISERTASI PERADILAN PAJAK DALAM

Mekanisme peradilan non-negara umumnya gagal menyeimbangkan hubungan kekuasaan selama negosiasi terjadi atau penerapan hasil penyelesaian 47 Pada kasus KDRT di Kalimantan

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan

14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak UU Pengadilan Pajak, sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai