Soal UAS
Hukum Acara Peradilan Khusus
1. Jelaskan penjatuhan sanksi terhadap anak menurut Undang-undang Perlindungan Anak?
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA) Pengembalian kepada orang tua/Wali; Penyerahan kepada seseorang; dan Perawatan di rumah sakit jiwa. Sedangkan Sanksi Pidana terbagi atas Pidana Pokok (Pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, penjara) dan Pidana Tambahan (Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan Pemenuhan kewajiban adat) (Pasal 71 UU SPPA).
2. Jelaskan pengertian anak menurut hukum dan jelaskan pula konsep "restorative justice" terhadap anak?
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori yaitu anak sebagai pelaku (Pasal 1 angka 3), anak sebagai korban (Pasal 1 angka 4) dan anak sebagai saksi (Pasal 1 angka 5).
Adapun konsep "restorative justice" terhadap anak dimaksudkan menghindarkan anak dari proses peradilan dan stigmatisasi, sehingga anak dapat kembali ke lingkungan sosial secara wajar. UU SPPA menjelaskan bahwa Keadilan Restoratif adalah proses Diversi, di mana semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana bersama-sama mencari solusi untuk memperbaiki keadaan tanpa pembalasan.
3. Jelaskan hal-hal yang paling substantif dalam perubahan Undang-undang no. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi Undang-undang no. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang no.31 Tahun 2004?
4. Jelaskan alur sistem peradilan pidana dalam tindak pidana perikanan?
Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Upaya Hukum dalam peradilan pidana perikanan pada dasarnya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Secara spesifik :
Penyelidikan di darat, laut, dan udara didasari oleh surat perintah penyidikan ditindaklanjuti oleh direktur yustisi -> Penyidikan oleh Satgas 115 (polisi, perwira TNI- AL, PNS di bidang, perikanan) -> Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung -> Penerimaan tersangka dan barang bukti -> Pemeriksaan di sidang pengadilan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc. Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa -> putusan -> Upaya Hukum (banding, kasasi, atau peninjauan kembali).
5. Saat menteri kelautan Ibu Susi, pelaku tindak pidana perikanan selain dijatuhkan hukuman sesuai peraturan yang berlaku, kapal yang digunakan dalam tindak kejahatan ikut di tenggelamkan, bagaimana pendapat saudara mengenai hal tersebut?
6. Jelaskan sejarah singkat peradilan militer di Indonesia!
Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Krijgsraad terdapat di Cimahi, Padang, dan Makassar, mengadili anggota militer berpangkat Kapten ke bawah dan sipil yang bekerja di militer. Hoog Militair Gerechtshoof adalah pengadilan militer banding dan tingkat pertama untuk Kapten ke atas, berkedudukan di Jakarta. Pada masa Jepang (1942), Gunritukaigi mengadili pelanggaran hukum militer Jepang, termasuk tindakan melawan balatentara Jepang, dengan hukuman berat hingga mati.
Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
UU No. 7 Tahun 1946 membagi peradilan militer menjadi dua tingkat untuk mengadili kejahatan dan pelanggaran oleh prajurit Tentara RI, Angkatan Laut, Angkatan Udara, serta individu terkait ketentaraan. Mahkamah Tentara Agung mengadili kasus banding. Peradilan militer dibagi menjadi Mahkamah Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara Agung. Ada juga peradilan militer khusus akibat peperangan (1946-1948), seperti Mahkamah Tentara Luar Biasa, Sementara, dan Daerah Terpencil.
Masa RIS (Republik Indonesia Serikat)
Pada masa ini, Mahkamah Tentara tersebar di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, dengan wilayah hukum masing-masing. Mahkamah Tentara Tinggi Sumatera berada di Medan, dan di Kalimantan serta Indonesia Timur di Makassar dan Ambon.
Masa 1959-1966
Peradilan militer mulai diisi perwira lulusan akademi hukum militer. UU No. 3 PNPS 1965 mengatur Hukum Pidana dan Acara Pidana Tentara berlaku juga untuk Kepolisian. UU No. 23 PNPS 1965 menetapkan bahwa polisi diadili oleh badan peradilan dalam angkatan kepolisian.
Masa 1966-1997
Peradilan militer menjadi terintegrasi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, diatur oleh UU No. 20 Tahun 1982 yang kemudian diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988, memperkuat dasar hukum peradilan militer.
Peradilan Militer 1997-Sekarang
Dengan undang-undang baru, UU No. 5 Tahun 1950 dan UU No. 6 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi, memperbarui susunan dan kekuasaan peradilan/kejaksaan militer.
7. Jelaskan alur sistem peradilan pidana apabila ada seorang anggota TNI melakukan tindak pidana umum ( misal: pembunuhan, pemerkosaan, penipuan dst. )!
Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketentuan itu berbunyi “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
Dari pasal ini terlihat bahwa seorang militer dapat diadili di pengadilan umum dengan merujuk pada KUHAP, akan tetapi harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada, namun memang pada kenyataannya kebanyakan diadili oleh Pengadilan Militer karena dirasa hukumannya lebih komprehensif seperti adanya pecopotan jabatan dan pemecatan keanggotaan. Namun secara lebih rinci peradilan pidana militer dapat dilihat :
Penyidikan dapat dilakukan oleh Atasan yang Berhak Menghukum, Polisis militer, atau oditur (dilakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan)-> Oditur pelajari hasil penyidikan. -> Jika Perwira Penyerah Perkara dan Oditur berbeda pendapat tentang penyelesaian perkara (di luar pengadilan atau diajukan ke pengadilan), Oditur dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Militer Utama untuk memutus perbedaan pendapat tersebut -> Jika Pengadilan Militer Utama memutuskan perkara harus diajukan ke pengadilan militer atau umum, Perwira Penyerah Perkara segera menyerahkan perkara setelah menerima berkas perkara dari Pengadilan Militer Utama -> Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi segera mempelajarinya, apakah perkara termasuk wewenang Pengadilan yang dipimpinnya -> Jika Tidak Berwenang, Kepala Pengadilan buat penetapan berisi alasan dan kembalikan berkas perkara ke Oditurat Militer/Tinggi untuk dilimpahkan ke Pengadilan Militer/Tinggi lain yang berwenang atau Jika Berwenang, Kepala Pengadilan tunjuk Majelis Hakim untuk menyidangkan perkara tersebut -> Penuntutan dilakukan oleh oditur militer -> Persidangan di pimpin oleh hakim dengan jumlah ganjil -> pemeriksaan saksi – pemeriksaan terdakwa ->
pemeriksaan barang bukti -> tuntutan dan pembelaan -> musyawarah majelis hakim ->
putusan -> upaya hukum.
1. Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 melibatkan beberapa aspek substantif yang bertujuan untuk memperkuat pengelolaan dan perlindungan sumber daya perikanan di Indonesia.
Berikut adalah beberapa hal paling substantif dalam perubahan tersebut:
1. Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Penguatan Sanksi: Perubahan ini memperkenalkan sanksi yang lebih berat dan tegas terhadap pelanggaran peraturan perikanan. Jenis
pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dan administratif diperluas untuk meningkatkan kepatuhan.
Kapasitas Pengawasan: Undang-undang yang baru meningkatkan kapasitas dan kewenangan apparat pengawasan perikanan untuk
melakukan patrol, inspeksi, dan penindakan terhadap kegiatan perikanan ilegal.
2. Pengaturan Kapal Perikanan
Sertifikasi dan Registrasi Kapal: Semua Kapal perikanan diwajibkan memiliki sertifikat kelaikan dari otoritas berwenang untuk memastikan keselamatan dan kelayakan operasional.
Pendaftaran dan Penomoran Kapal: Setiap kapal perikanan harus didaftarkan dan diberi nomor oleh pemerintah untuk mempermudah pengawasan dan pengendalian aktivitas perikanan.
3. Pengelolaan Sumber Daya Ikan yang Berkelanjutan
Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP): Implementasi RPP yang lebih ketat untuk memastikan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, termasuk penetapan kuota tangkapan dan musim penangkapan.
Konservasi Sumber Daya Ikan: Diperkenalkan pengaturan yang lebih rinci mengenai upaya konservasi sumber daya ikan dan lingkungan perairan, termasuk pembentukan Kawasan konservasi perairan.
4. Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidayaan Ikan
Bantuan dan Fasilitas: Pemerintah diwajibkan memberikan bantuan dan fasilitas kepada nelayan kecil dan pembudidayaan ikan dalam bentuk pembiayaan, teknologi, dan akses pasar.
Perlindungan Nelayan Kecil: Perlindungan hukum dan pemberdayaan bagi nelayan kecil ditingkatkan untuk memastikan kesejahteraan mereka dan keberlanjutan usaha perikanan tradisional.
5. Tata Kelola dan Kerjasama Internasional
Pengaturan Tata Kelola Perikanan: Pengaturan lebih rinci mengenai tata kekola perikanan yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi masyarakat.
Kerjasama Internasional: Peningkatan Kerjasama internasional dalam pengelolaan perikanan lintas batas dan penegakan hukum untuk
menangani masalah illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing.
6. Teknologi dan Data
Sistem Informasi Perikanan: Pengembangan dan penggunaan sistem informasi perikanan yang lebih maju untuk memantau dan mengelola sumber daya ikan secara real-time.
Penerapan Teknologi Modern: Dukungan terhadap penerapan teknologi modern dalam aktivitas perikanan dan akuakultur untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
7. Aspek Lingkungan Hidup
Pengelolaan Limbah: Ketentuan lebih ketat tentang pengelolaan limbah dari aktivitas perikanan dan akuakultur untuk melindungi ekosistem perairan.
Dampak Lingkungan: Penilaian dampak lingkungan yang lebih komoprehensif sebelum pelaksanaan proyek-proyek perikanan dan akuakultur skala besar.
.
2. Sejarah Singkat Peradilan Militer di Indonesia
Peradilan militer di Indonesia telah melalui berbagai tahapan Sejarah sejak masa kolonial hingga era modern saat ini. Berikut adalah gambaran singkat mengenai perkembangan sistem peradilan militer di Indonesia:
1. Masa Kolonial Belanda
Awal Pembentukan: Sistem peradilan militer pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa ini, sistem hukum militer di Hindia Belanda mengadopsi peraturan yang diterapkan di Belanda.
Reglement op de Krijgstucht en de Krijgsraden (ROKK): Aturan ini mengatur disiplin militer serta membentuk pengadilan militer untuk tantara kolonial, yang menangani pelanggaran disiplin dan tindak pidana militer.
2. Masa Penduduk Jepang (1942-1945)
Pengaruh Militer Jepang: Selama pendudukan jepang, struktur peradilan militer di Indonesia diubah sesuai model peradilan Jepang. Pengadilan militer berfungsi sebagai alat untuk menegakkan disiplin di antara anggota militer Jepang dan pribumi yang bergabung dengan militer.
3. Periode Kemerdekaan dan Revolusi (1945-1950)
Pembentukan TKR dan TNI: Setelah kemerdekaan, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada periode ini, dasar-dasar peradilan militer Indonesia mulai dibangun untuk menjaga disiplin dalam tubuh TNI.
Peraturan Darurat NO. 33 Tahun 1950: Peraturan ini menjadi dasar awaal pembentukan pengadilan militer Indonesia, mengatur pembentukan dan fungsi pengadilan untuk menangani kasus yang melibatkan anggota TNI.
4. Orde Lama dan Orde Baru (1950-1998)
Undang-Undang No. 31 tahun 1997: Pada masa Orde Baru, diterbitkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang mengatur struktur, kewenangan, dan prosedur peradilan militer. Struktur ini mencakup Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Peran Peradilan Militer: Di era ini, peradilan militer berperan penting dalam menegakkan hukum di lingkungan militer, menangani pelanggaran disiplin dan tindak pidana oleh anggota TNI.
5. Era Reformasi (1998-sekarang)
Reformasi Hukum: Era reformasi membawa perubahan signifikan di berbagai sektor, termasuk sistem peradilan militer. Ada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam peradilan militer.
Integrasi dengan Sistem Peradilan Umum: Meskipun peradilan militer tetap berdiri sendiri, ada upaya harmonisasi dengan peradilan umum.
Beberapa kasus tertentu yang melibatkan anggota militer, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana non-militer, dapat disidangkan di
pengadilan umum.