• Tidak ada hasil yang ditemukan

subjektif well-being dan kesabaran pada guru slb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "subjektif well-being dan kesabaran pada guru slb"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

SUBJEKTIF WELL-BEING DAN KESABARAN PADA GURU SLB DALAM MENANGANI ANAK TUNAGRAHITA KATEGORI

SEDANG

DI SLB NEGERI 1 MATARAM

Oleh Fatima Tangle NIM 180303066

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM (BKI) FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2022

(2)

ii

SUBJEKTIF WELL-BEING DAN KESABARAN PADA GURU SLB DALAM MENANGANI ANAK TUNAGRAHITA KATEGORI

SEDANG

DI SLB NEGERI 1 MATARAM Skripsi

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Gelar

Sarjana Sosial

Oleh Fatima Tangle NIM: 180303066

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM (BKI) FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

2022

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi oleh: Fatima Tangle, NIM 180303066 dengan Judul

Subjektif Well Being dan Kesabaran pada Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang di SLB Negeri 1 Mataram” telah memenuhi Syarat dan disetujui untuk diuji.

Disetujui pada tanggal: Mataram, 31 Mei 2022

Pembimbing I Pembimbing I

Dr. H. Irfan, S. Ag., MA Herlina Fitriana, M. Si NIP. 19751231 201411 1 005 NIP. 199204162019032035

(4)

iv

NOTE DINES PEMBIMBING

Mataram, 31 Mei 2022 Hal: Ujian Skripsi

Yang Terhormat Dekan Fakultas dakwah dan Ilmu Komunikasi di Mataram

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Dengan hormat, telah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi, kami berpendapat bahwa skripsi saudara:

Nama Mahasiswa/i : Fatima Tangle

Jurusan/Prodi : Bimbingan Konseling Islam (BKI)

Judul : Subjektif Well being dan Kesabaran pada Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang Di SLB Negeri 1 Mataram

Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang munaqasyah skripsi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Mataram. Oleh karena itu, kami berharap agar skripsi ini dapat segera di

munaqasyah-kan.

Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Irfan, S. Ag., M. A Herlina Fitriana, M. Si NIP. 19751231 201411 1005 NIP. 199204162019032035

(5)

v

PENGESAHAN DEWAN PENGUJI

Skripsi oleh: Fatima Tangle, Nim 180303066 dengan judul ”Subjektif Well Being dan Kesabaran pada Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang di SLB Negeri 1 Mataram” telah dipertahankan di depan dewan penguji jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) UIN Mataram pada tanggal 14 Juni 2022.

(6)

vi MOTTO

Sabar sebagai kunci utama dalam menempuh kebahagiaan yang hakiki Oleh karena itu, jangan pernah merasa gagal atau terlambat dalam meraih

keberhasilan

Semua yang hidup punya jatah untuk berhasil

(7)

vii

PERSEMBAHAN

“Kupersembahkan skripsi ini untuk Ibuku Nurhayati Leisa dan Bapakku Rusdin Tangle yang tiada hentih-hentinya berdo’a, kepada saudara-saudaraku yang tidak lain dan tidak bukan yaitu:

Tangle bersaudara (Abdul Azis Tangle Siti Mastni Tangle, Nurfitrah Tangle dan Al-Mudjaffar Tangle), kakakku tersayang Nurmi Ali, semua guruku, dan tidak lupa ku persembahkan kepada

UIN Mataram serta teman-teman seperjuangan yang telah menyemangati sehingga terselesaikan skripsi ini”

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.

Shalawat beriring salam kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Subjektif Well Being dan Kesabaran pada Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang di SLB Negeri 1 Mataram”

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak akan sukses tanpa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis memberikan penghargaan setinggi- tingginya dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu:

1. Bapak Dr. H. Irfan, S. Ag., MA. Sebagai pembimbing I dan ibu Herlina Fitriana, M. Si. sebagai pembimbing II yang memberikan bimbingan, motivasi, dan korelasi mendetail, terus-menerus, dan tanpa bosan di tengah kesibukannya dalam suasana keakraban menjadikan skripsi ini lebih matang dan cepat selesai;

2. Ibu Dr. Mira Mareta., MA sebagai ketua Jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI);

3. Kepala Sekolah SLB Negeri 1 Mataram yang telah memberikan izin dan bimbingan peneliti untuk melakukan penelitian di Lembaga yang dipimpin

4. Bapak/Ibu dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mengajarkan berbagai disiplin ilmu selama mengayomi pendidikan di UIN Mataram, semoga atas apa yang telah

(9)

ix

diajarkan dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat dan bangsa ini;

5. Kepada orang tua tercinta, Bapak Rusdin Tangle dan Ibu Nurhayati Leisa yang telah susah payah membesarkan penulis sejak dalam buaian hingga saat ini dengan segala rasa cinta dan kasih sayang yang tidak pernah surut dan juga telah mendidik, membina, memberikan dorongan dan juga do’a kepada penulis;

6. Kepada kakakku terkasih Nurmi Ali yang telah banyak membantu walaupun lagi sibuk bekerja keras membanting tulang, disela-sela kesibukannya masih menyempatkan diri untuk membantu, mengingatkan penulis setiap waktu, memberikan semangat dan lain sebagainya.

7. Kepada teman-teman seperjuangan (Nadia, nida, isro), teman- teman BKI C, teman-teman sesama anak rantau (Nikma, Ridha Awaliya Nanda Dolu), guru-guru SLB Negeri 1 Mataram yang telah memberikan bantuan berupa materi dalam membantu skripsi ini. semoga amal kebaikan dari berbagai pihak tersebut mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah AWT. Dan juga semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Mataram, Maret 2022 Penulis

Fatima Tangle

(10)

x DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

NOTE DINES PEMBIMBING ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... v

PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ... v

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ... 14

E. Telaah Pustaka ... 15

F. Kerangka Teori ... 17

1. Subjektif Well-being ... 17

a. Pengertian Subjektif Well-being ... 17

b. Komponen Subjektif Well-being ... 19

c. Pendekatan Teori dalam Subjektif Well-being ... 22

d. Faktor yang Mempengaruhi Subjektif Well-being ... 23

2. Kesabaran ... 29

a. Pengertian Sabar ... 29

b. Macam-macam Sabar ... 33

c. Tingktan Sabar ... 35

(11)

xi

d. Manfaat Sabar ... 36

e. Langkah-langkah Menerapkan Kesabaran ... 37

3. Guru SLB ... 39

a. Pengertian Guru SLB ... 39

b. Kompetensi guru SLB ... 40

4. Tunagrahita Sedang ... 41

a. Pengertian Tunagrahita ... 41

b. Karakteristik Tunagrahita ... 43

c. Klasifikasi Tunagrahita Sedang ... 45

d. Penyebab Tunagrahita ... 46

G. Metode Penelitian ... 48

1. Jenis Penelitian ... 48

2. Sumber Data ... 48

3. Teknik Pengumpulan Data ... 49

4. Teknik Analisis Data ... 52

5. Pengecekan Keabsahan Data ... 53

H. Sistematika Pembahasan ... ...56

BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN ... 57

A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 57

1. Sejarah dan Letak Geografis SLB Negeri 1 Mataram ... 57

2. Profil SLB Negeri 1 Mataram ... 58

3. Sarana dan Prasarana SLB Negeri 1 Mataram ... 59

4. Keadaan Pegawai SLB Negeri 1 Mataram ... 62

B. Profil Informan ... 67

C. Subjektif Well Being Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang di SLB Negeri 1 Mataram ... 69

D. Pengelolaan Kesabaran Guru SLB dalam menangani anak Tunagrahita Kategori Sedang ... 78

(12)

xii

BAB III PEMBAHASAN ... 89

A. Subjektif Well Being Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang di SLB Negeri 1 Mataram... 89

B. Pengelolaan Kesabaran Guru SLB dalam menangani anak Tunagrahita Kategori Sedang ... 94

BAB IV PENUTUP ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Table 1. Klasifikasi Anak Tunagrahita berdasarkan Derajat

Keterbelakangannya ... 45

Table 2. Sarana SLB Negeri 1 Mataram ... 60

Table 3. Prasarana SLB Negeri 1 Mataram ... 61

Table 4. Jumlah Guru SLB Negeri 1 Mataram ... 62

Table 5. Daftar Jumlah Siswa Tunagrahita Sedang Tahun Ajaran 2021- 2022 ... 66

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian ………..108

Lampiran 2. Surat Rekomendasi KESBANGPOL ………109

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian dari Badan Riset dan inovasi daerah………110

Pampiran 4. Instrumen Dokumentasi.………111

Lampiran 5. Pedoman Observasi ..………112

Lampiran 6. Pedoman Wawancara………116

Lampiran 7. Hasil Dokumentasi ………...124

Lampiran 8. Hasil Observasi ...………126

Lampiran 9. Surat Persetujuan Wawancara…...………137

Lampiran 10. Verbatim Wawancara Informan ……….138

Lampiran 11. Verbatim Wawancara Significant Others………171

Lampiran 12. Dokumentasi Kegiatan...……… 188

Lampiran 13. Kartu Konsultasi ……… 191

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Guru dan pegawai SLB Negeri 1 Mataram ... 188

Gambar 2 . Apel pagi/upacara bendera dan imtaq... 188

Gambar 3. Pembersihan lingkungan sekolah dan senam gemar getar .... 188

Gambar 4. Keterampilan membatik SMPLB ... 189

Gambar 5. Proses kegiatan belajar mengajar... 189

Gambar 6. Wawancara dengan informan ... 189

Gambar 7. Data SLB Negeri 1 Mataram ... 190

(16)

xvi

Subjektif Well Being dan Kesabaran pada Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang di SLB Negeri 1

Mataram Oleh Fatima Tangle Nim 180303066

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui subjektif well being pada guru SLB dalam menangani anak tunagrahita kategori sedang dan mengetahui pengelolaan kesabaran pada guru SLB dalam menangani anak tunagrahita kategori sedang. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui metode dokumentasi, observasi dan wawancara. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 7 orang yaitu terdiri dari: kepala sekolah, 3 guru kelas tunagrahita dan 3 tenaga kerja dari masing-masing subjek utama sebagai significant others dengan lokasi penelitian di SLB Negeri 1 Mataram.

Peneliti dapat menjabarkan menganalisis subjektif well being dan kesabaran pada guru SLB. Hasil penelitian subjektif well being pada guru SLB dalam menangani anak tunagrahita kategori sedang di SLB Negeri 1 Mataram, semua informan dalam penelitian ini memiliki tentang makna hidup yang serupa sebagai guru SLB di SLB Negeri 1 Mataram, dimana gambaran tersebut terlihat ketika mereka tidak pernah menyerah pada kondisi keterbatasan dan menggunakan kreativitasnya dalam mengatasi kesulitan dalam menangani anak tunagrahita yang dilihat sebagai suatu bentuk perjuangan. Sedangkan pengelolaan kesabaran guru SLB, terhadap anak tunagrahita kategori sedang terdapat sikap dan cara berupa mengontro dirinya dengan beristigfar serta menenagkan diri melalui tarik napas sebanyak tiga kali. Namun demikian, berangkat dari hal tersebut, peneliti juga menemukan masih ada tinadan yang tidak sesuai dengan pernyataan yang di sampaikan tenaga pengajar. Dimana tindakan itu berupa tindakn fisik dan psikis.

Kata kunci: Subjektif well being, Kesabaran, Guru SLB, Anak Tunagrahita, Kategoti Sedang

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya manusia memang diciptakan dengan keadaan sempurna dan memiliki kelebihannya masing-masing, namun ada pula anak yang terlahir sebagai anak kurang normal karena memiliki gangguan baik secara fisik, mental, sosial, maupun psikologi. Adapun anak yang memiliki kekurangan tersebut biasa disebut dengan anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kelainan atau penyimpangan fisik. Mental-intelektual, sosial atau emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan pelayanan khusus.1 American Association on Mental Retardation (AAMR) menjelaskan keterbelakangan mental berarti menunjukan keterbatasan dalam fungsi intelektual yang ada di bawah rata-rata, dan keterbatasan pada dua atau lebih keterampilan adaptif seperti berkomunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademisi, waktu luang, dan lain-lain.2 Salah satu keterbatasan yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus adalah keterbelakangan mental. Istilah untuk menyebutkan anak yang memiliki keterbelakangan mental dalam penelitian ini sering disebut dengan anak tunagrahita.

Tunagrahita adalah kondisi dimana perkembangan kecerdasan mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan optimal.3 American Psychological Association (APA) yang dipublikasikan melalui Manual of Diagnosis and Professional Practice in Manual Retardation pada tahun, mengemukakan tentang batasan tunagrahita. Batasa dari APA ini dapat dimaknai bahwa anak

1 Ira Darmawati dan M. Jannah, “Tumbuh Kembang Anak Usia Dini dan Reaksi Dini pada Anak Berkebutuhan Khusus”, (Surabaya: Insight Indonesia 2004), hlm. 15

2 Gadis Mulyawati “Outbound Management Training untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Anak Tunagrahita”, Educational Psychology Journal, 2012, Vol 1 No 1, hlm. 69

3 T. Sutjihati Somantri, “Psikologi Anak Luar Biasa”, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), hlm. 105

(18)

2

tunagrahita adalah secara signifikan memiliki keterbatasan fungsi intelektual maupun keterbatasan fungsi adaptif, keadaan tersebut terjadi sebelum 22 tahun sedangkan menurut AAPMR keterbatasan tersebut muncul sebelum usia 18 tahun. Batasan ini apabila disatukan maka dapat dikatakan keterbelakangan fungsi intelektual dan fungsi adaptif nampak sebelum usia 18-22 tahun.

Menurut Reiss dkk mengemikakan, anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai gangguan dalam intelektual sehingga menyebabkan kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya. Jumlah anak-anak tunagrahita diperkirakan 2,3-3% dari jumlah populasi umumnya. Sesuai dengan karakteristiknya, kira-kira 85% anak-anak yang termasuk tunagrahita ringan dari populasi yang ada. Anak-anak tersebut diajarkan akademik kira-kira sampai kelas 4, 5 dan 6.

Sehingga mereka menjadi anak yang mempunyai kepercayaan diri, mandiri, berkomunikasi, dan berinteraksi sosial dengan baik apabila lingkungan sosialnya memberi support. Jumlah tunagrahita sedang diperkirakan 10% dari jumlah populasi yang ada. Anak-anak ini mampu merawat diri dan melaksanakan tugas-tugas sederhana melalui bimbingan. Bimbingan yang sangat menentukan disini adalah bimbingan dari anggota keluarga yang dapat melatih keterampilan berkomunikasi. Sedangkan tunagrahita berat diperkirakan berjumlah 3-4,5% dari populasi yang ada. Keterampilan dan komunikasi yang dilakukan anak tunagrahita berat sangat terbatas dan hanya pada tingkat dasar. Selanjutnya untuk jenis tunagrahita sangat berat diperkirakan hanya 1-2% dari populasi yang ada, pada jenis tunagrahita ini kemungkinan dengan latihan-latihan supervisi akan dapat mencapai perkembangan merawat diri pada tingkat dasar.

Berdasarkan data hasil survey yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2006 dari 222 juta penduduk Indonesia sebanyak 0,7% atau 2,8 juta jiwa adalah penyandang cacat. Sedangkan populasi tunagrahita menempati angka paling besar dibandingkan dengan jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Prevalensi tunagrahita di Indonesia saat ini diperkirakan 1-

(19)

3

3% dari penduduk Indonesia sekitar 6,6 juta jiwa.4 Jadi, data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menunjukan angka tunagrahita di Indonesia cukup tinggi.

Dalam hal ini hambatan-hambatan yang dialami anak tunagrahita kategori sedang perlu adanya penanganan pendidikan khusus, yang dimana salah satunya adalah sekolah luar biasa (SLB).

Untuk melatih mereka yang memiliki keterlibatan seperti tunagrahita sedang. Hambatan ini, terlihat jelas Di SLB Negeri 1 Mataram dimana penyesuaian anak-anak tunagrahita sedang di sekolah tersebut sangatlah kurang bahkan hampir tidak dapat menempatkan diri ketika proses belajar mengajar berlangsung. Contohnya ada anak yang hanya duduk diam menyendiri sambil memainkan jari tangannya dan bermain pensil ketika pendampingan berlangsung, anak tersebut tidak tertarik pada pelajaran yang disampaikan dan ada pula anak yang bermain sendiri tanpa menghiraukan perkataan gurunya dengan memati hidupkan saklar lampu serta ada anak yang ketika berbicara, suka ngawur dengan suara yang keras serta dengan penataan gaya bicara yang belum tertata. Selain itu, Ada pula anak yang suka memberontak ketika tidak mengikuti kemauannya.5

Anak tunagrahita sedang sangat membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-harinya, mereka juga hampir tidak memiliki kemampuan untuk berlatih mengurus dirinya, bersosialisasi, atau melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam lah ini, di SLB Negeri 1 Mataram ada beberapa anak tunagrahita kategori sedang yang diberikan jadwal khusus untuk belajar karena mengingat anak-anak tersebut sering membuat kekacauan atau keonaran di dalam kelas ketika proses belajar mengajar berlangsung. Dengan demikian, sebagai seorang pendidik (Guru SLB) tentunya harus mampu mengelola kesabaran dan ketenangan jiwanya dalam menghadapi berbagai karakter dari anak-anak tunagrahita.

Menurut Direktur Pendidikan Sekolah Luar Biasa jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) Indosenia pada tahun 2006/2007 mencapai

4 http://eprints.undip.ac.ad./16469/3/JURNAL SKRIPSI.pdf.

5 Hasil Observasi di Lapangan pada Tanggal 23-11-2021

(20)

4

1.569 sekolah dimana 552 berstatus Negeri. Salah satunya adalah SLB Negeri 1 Mataram, di SLB Negeri 1 Mataram hanya menerima anak tunagrahita dengan kategori ringan dengan rentang IQ 50-70 dan tunagrahita kategori sedang dengan rentang IQ 35-49. Jumlah siswa SLB Negeri 1 Mataram pada tahun ajaran 2021/2022 berjumlah 97 orang dari jumlah keseluruhan SDLB, SMPLB dan SMALB pada tahun ajaran 2021/2022. Yang dimana tingkat SDLB berjumlah 54 siswa dari kelas I-VI, SMPLB berjumlah 26 siswa dari jumlah keseluruhan kelas VII-IX dan untuk SMALB berjumlah 18 siswa dari jumlah keseluruhan kelas X-XII.

Keberadaan sekolah luar biasa (SLB) dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus tentunya tidak lepas dari peran seorang guru dalam proses, belajar mengajar. Menurut Wardan, guru merupakan komponen yang paling menentukan sistem pendidikan, secara keseluruhan dimana guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, keberhasilan peserta didik, serta komponen yang paling berpengaruh dalam terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas.

Menurut Anwar, dengan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seorang guru dituntut untuk memiliki kewenangan berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar yang memiliki kemampuan dan kompetensi tertentu. Sedangkan menurut Caturwangi, Budiyanto dan Wahyudi dalam penelitian mereka menjelaskan bahwa guru sekolah luar biasa harus memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan materi pembelajaran, penggunaan metode pembelajaran, menggunakan alat-alat bantu pembelajaran, mengelola kelas, menumbuhkan partisipasi siswa dalam pembelajaran, serta menentukan kemajuan belajar dan melakukan penilaian.6

Sabar merupakan sistem mekanisme pertahanan psikologi dinamis untuk mengatasi ujian yang dihadapi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi sebagai suatu sistem tinjauan tentang

6 Rachmad Dwi Anggia, “Peran workplace Spirituality terhadap Grit pada Guru SLB Berlatar Belakang” , Skripsi Universitas Sriwijaya 2020, hlm. 19

(21)

5

pengertian sabar dapat dibagi dalam acuan masukan (Stimulus), proses keluaran (respon) yang memiliki mekanisme kontrol dan umpan balik. Elemen sistem ini berinteraksi secara integratif menghasilkan mekanisme untuk mempertahankan diri dalam lingkungannya. Sabar dikategorikan sebagai salah satu topik kajian dalam psikologi positif, seperti halnya kebersyukuran (gratitude) pemaaf (forgiveness). Literatur yang berkaitan dengan pemaafan telah cukup berkembang di Barat, di Indonesia topik pemaafaan juga sudah mulai banyak yang mengkaji, demikian pula topik kebersyukuran dalam kajian literatur. Berdasarkan pengertian diatas terdapat lima kategori yang berkaitan dengan sabar itu sendiri diantaranya, pengendalian diri, menahan emosi dan keinginan, berpikir panjang, memaafkan kesalahan, dan toleransi terhadap penuduhan. Dalam hal ini seperti ketabahan,,bertahan dalam situasi yang sulit dengan cara tidak gampang mengeluh. Kegigihan (ulet, bekerja keras untuk mencapai tujuan dan mencari pemecahan masalah. Selain itu dapat menerima kenyataan yang pahit dengan cara ikhlas dan bersyukur dan tidak terburu-buru.

Demikian pula, sabar merupakan suatu sifat khas yang dimiliki manusia, dalam aritan bahwasanya sesuatu yang tidak dimiliki binatang sebagai faktor kekurangannya dan malaikat sebagai faktor kesempurnaanya.7 Sebagai contoh kecil dalam kehidupan sehari-hari bisa dilihat dari kesabaran para petani terhadap semaian benihnya bila tidak dengan kesabaran, maka mustahil mereka akan mengetam dari hasil benihnya. Kalau bukan karena kesabaran seorang pelajar terhadap proses pembelajarannya mustahil akan meraih kemenangan. Begitupun juga dengan prajurit dalam medan pertempuran jika bukan dengan kesabaran mustahil prajurit-prajurit itu meraih kemenangan.8 Hal ini juga berkenaan dengan ketika seseorang yang melakukan kejahatan karena dua hal yang saling berlawanan yaitu karena sedikitnya kesabaran terhadap sesuatu yang disukai atau disenangi dan karena sedikitnya kesabaran terhadap

7 Yusuf Al-Qardhawy, “Sabar, Sifat Orang Beriman: Tafsir Tematik Al-Qur'an “ (Jakarta:

Rabbani Press, 2003), hlm. 18

8 Yusuf Al-Qadhawy, hlm. 21

(22)

6

sesuatu yang tidak disukai atau tidak di senangi.9 Dengan begitu, hal ini dapat disimpulkan bahwa orang yang berhasil di dunia dalam mencapai keberhasilannya adalah orang yang bisa mengendalikan kesabaran.

Tidak terlepas dari hal ini, sabar juga merupakan salah satu upaya untuk mencapai ketenangan jiwa dan kesejahteraan subjektif (subjektif well being). Ketenangan jiwa terdiri dari dua kata yaitu ketenangan dan jiwa. Kata ketenangan berasal dari kata tenanang yang diberi imbuhan “ke-an” tenang artinya tidak gelisah, aman dan tentram (tenang perasaan hati dan perasaan)10 artinya bahwa ketenangan ini mencakupi ketentraman, hati dan pikiran. Sedangkan jiwa dalam psikologi jiwa lebih dihubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselidiki oleh para pakar psikologi adalah perbuatan- perbuatan yang dipandang sebagai gejala-gejala dalam jiwa. Teori- teori baik psikoanalisa, behaviorisme, maupun humanisme memandang jiwa sebagai sesuatu yang berada di belakang tingkah laku.

Imam Al-Ghzali menyatakan jiwa adalah sesuatu yang sangat halus, mengetahui dan merasa yakin manusia-manusia dengan hakikat jiwanya, yang mana jiwa adalah hakikat dari kemanusiaan.11 Menurut Wasty Soemanto jiwa adalah kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan tingkah laku manusia. Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku maka fungsinya jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang nampak.12 Ketenangan jiwa menurut Moh. Saleh adalah sumber bagi kebahagiaan, seseorang tidak mengalami perasaan bahagia jiwanya, maka tidak akan tenang atau gelisah.13 Ketenangan jiwa juga merupakan kesehatan jiwa, kesejahteraan jiwa atau kesehatan mental. Orang yang jiwanya tenang dan tentram berarti orang tersebut mengalami keseimbangan

9 Yusuf Al-Qadhawy, hlm. 22

10 Zakiyah Darajat, “Kesehatan Mental”, Cet 9, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm 11

11 Imam Al-Ghazali, “Keajaiban Hati”, (terj), Nur Hikmah, dari Ajaib Al-Qlab, (Jakarta:

Tiara Mas, 1984), hlm.3

12 Wasty Soemanto, “Pengantar Psikologi”, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 15

13 Moh. Saleh, “Tahajud Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran Terapi Religius,”

(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), hlm. 27

(23)

7

di dalam fungsi-fungsi jiwanya sehingga berpikir positif, bijak dalam menyikapi masalh, mampu menyesuaikan diri, dengan situasi yang dihadapi serta mampu merasakan kebahagiaan hidup. Hal ini sesuai dengan pandangan Zakiah Daradjat bahwa kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh sehingga faktor jiwa mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi dan merasakan secara positif, bahagia dan kemampuan dirinya.14

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional menunjukan bahwa kebutuhan peningkatan diseluruh indonesia meningkat 7 sampai 10 ribu pertahunnya pada tahun 2011. Tanggung jawab seorang guru pendamping tunagrahita di sekolah luar biasa (SLB) harus memiliki jurusan khusus atau pendidikan luar biasa. Namun pada kenyataannya guru yang mengajar di sekolah luar biasa (SLB) masih banyak sekali yang memiliki pendidikan atau jenjang pendidikan umum seperti S.Ag, SGSD, dan SMA dengan keterbatasan itu guru merasa kesulitan karena ilmu dalam mengajar anak berkebutuhan khusus sangat minim. Guru pendidikan luar biasa adalah salah satu komponen pendidikan yang secara tidak langsung mempengaruhi tingkat keberhasilan anak retardasi mental dalam menempuh perkembangannya.

Berangkat dari hal tersebut, hasil penelitian dari Asfiyah pada tahun 2012 dengan judul penelitian hubungan antara Resilensi dengan Work Engagemental pada Guru di SLB Putra Jaya Malang menunjukan bahwa guru pendidikana khusus memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan guru pendidikan umum. Karena guru khusus menangani anak berkebutuhan khusus dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental. Anak berkebutuhan khusus juga membutuhkan banyak pelatihan dibandingkan anak normal pada umumnya.

Dengan demikian, penelitian di atas menunjukan guru pendidikan khusus kurang sabar efektif dan tidak sabar dalam menangani anak berkebutuhan khusus sehingga guru mengalami

14 Ibid. Zakiyah Darajat, hlm. 13

(24)

8

depresi dan kurang antusias dalam menjalankan tanggung jawab sebagai seorang tenaga pengajar. Selain itu, menghadapi hambatan dan kesulitan anak tunagrahita menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional. Sehingga pada akhirnya pada jangka panjang, sesorang akan akan mengalami kelelahan, baik secara fisik, emosional maupun mental. Faktor lain yang dalam hal ini merupakan ketidak puasan dalam bekerja terkait dengan riward yang tidak sebanding dengan beban kerja serta faktor lingkungan yang kurang kondusif bagi pelaksanaan tugas mereka. 15

Selain itu juga, guru mengungkap dalam mendidik anak tunagrahita harus penuh ketalatenan, hal ini dari pernyataan informan pada penelitan saat ini bahwa, bisa saja informean marah namun sambil berpikir bagaimana cara meredakan kemarahannya dimana anak hiper aktif yang terkadang sering menguji kesabarannya. Akan tetapi informan berusaha tenang dan tidak melakukan kesalahan.

Sedangkan menghadapi anak bad mood informan tidak memusingkan hal itu karena, informen bisa mengiming-imingi dengan cara mengarahkannya memakan bekal yang dibawanya untuk memakan agar dapa mengalihkan rasa bad mood. Dengan cara seperti itu, informan bisa melakukan proses pembelajaran lagi ketika anak sudah ingin belajara.16

Berdasarkan data yang terdapat di lapangan menunjukan masalah-masalah yang dialami oleh tenaga pengajar atau guru kelas anak tunagrahita walaupun berprofesi sebagai guru pendidikan luar biasa (PLB) namun keiluan dasarnya tidak tertuju pada anak tunagrahita, gajinya yang terlau minim, tingginya beban kerja, kapasitas kelas yang besar dan kurang memadai, tuntutan emosional, prilaku kenakalan siswa dan hubungan sosial. Hal inilah yang merupakan indikasi guru sehingga menjadi tidak sabar dan tidak bisa

15 Eka Yulia Asfiya, “Hubungaan Antara Reliensi dengan Work Engagemental pada Guru di SLB Putra Jaya Malang” Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulan Malik Ibrahim Malang, 2014, hlm. 14-15

16 BL, Wawancara Guru Kelas 3 Tunagrahita SDLB, SLB N 1 Mataram, Selasa, 22-03- 2022, (B. 6-17)

(25)

9

meregulasi emosi dengan baik. Sehingga masihbanyak guru yang melakukan kekerasan akibat tidak bisa sabar. 17

Hal ini juga sejalan dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa, seorang guru SLB Negeri 1 Mataram pernah melakukan kekerasan seperti pada saat guru sedang melakukan proses belajar mengajar ada siswa yang selalu menggangu aktifitas guru, yang sedang mengajar. Dengan begitu guru merasa marah dan resah sehingga menarik dengan keras danjuga mengalami psikis dalam bentuk bentakan sehingga anak tersebut kembali duduk diam dan menagis.18

Selain itu juga tidak terlepas pula dari hal itu, ada pun subjektif well being juga menjadi suatu problem bagi setiap individu.

Menurut Keynes dan Magyar-moe Subjektif well being adalah kemampuan seseorang mengatasi tantangan dalam rangka berjuang untuk memfungsikan dirinya secara penuh dan menyadari talenta uniknya. Selain itu menurut Argyle menyatakan bahwa subjektif well being juga dapat dikatakan sebagai pengalaman positif, kenikmatan yang tinggi, dan motivator utama dari segala pelaku manusia.

Sedangkan menurut Raff menyatakan bahwa subjektif well being adalah diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak adanya gejala-gejala depresi yang merupakan ciri-ciri dari subjektif well being itu sendiri. Subjektif well being sering pula dimaknai dengan seseorang dapat mengevaluasi dirinya, yang dimana evaluasi memiliki dua bentuk yaitu evaluasi bersifat kognitif yang meliputi penilaian umum (kepuasan hidupnya) dan kepuasan spesifik atau domain spesifik (kepuasan kerja, kepuasan perkawinan). Sedangkan bentuk evaluasi yang kedua adalah evaluasi yang bersifat afektif yang berupa frekuensi dalam mengalami emosi yang menyenangkan (menikmati) dan mengalami emosi yang tidak menyenangkan (depresi). Subjektif well being juga dipengaruhi berbagai macam faktor yaitu dari latar belakang budaya, kelas sosial, tingkat ekonomi dan pendidikan, keperibadian, pekerjaan, pernikahan, anak-anak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola asuh keluarga, kesehatan

17 Obsevasi lapangan pada tanggal 15 Maret 2022

18 Observasi yang dilakukan peneliti pada tanggal 16 Maret 2022

(26)

10

dan fungsi fisik, serta faktor kepercayaan dan emosi, jenis kelamin dan religiusitas.19

Demikian pula, tingakat kesabaran, kesejahteraan subjektif (subjektif well being) yang menjadi sumber utama dan berpengaruh penting terhadap sistem pendidikan yang bergantung pada seorang guru. Tanpa guru yang baik sistem yang paling baik sekali pun akan gagal dan sistem yang paling buruk sekalipun akan membaik.

Menurut Uyoh Sadulloh guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik.20 Masalah yang timbul pada guru sekolah luar biasa (SLB) berupa beban kerja yang dimana guru dituntut tidak hanya mampu mengerjakan sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang sejalan dengan potensi dan karakteristik peserta didik, melainkan juga harus mampu bertindak seperti paramedis, terapis, social worker, konselor dan administrator.

Sama halnya dengan dengan guru yang mendidik anak rederadai mental (tunagrahita) juga dituntut untuk mempunyai kesejatraan subjektif (subjektif well being) yang tinggi, kesehatan fisik dan psikis yang baik dalam bekerja.21

Menurut Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional, lembaga pendidikan SLB merupakan lembaga pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik, mental, dan sosial. Agar mampu mengembangkan sikap, kemampuan, sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.22

Seperti yang sudah dibahas sebeumnya SLB (Sekolah Luar Biasa) tidak pernah lepas dari peranan utama seorang guru dalam proses pembelajarannya. Seorang guru harus nyaman dan senang

19 Larasati Dewi dan Naila Nasywa, “ faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well- being”, Jurnal Psikologi Terapan dan Pendidikan, vol 1, No 1, 2019, hlm 54

20 Uyoh Sadulloh, “Pedagogik (Ilmu Pendidik”, (Bandung: Alfabeta, 2014), hlm 201

21 Dar Al Khairiyah , Emosi Positif pada Guru SLB C Jurnal Psikologi, vol 2 no 2

22 Pelaksanaan Sistem pendidikan Nasional (1993)

(27)

11

dengan pekerjaan sehingga dapat menikmati kehidupannya walaupun tugas dan pekerjaan yang dihadapinya sangat berat. Pekerjaan bukan lagi sebuah beban namun, pekerjaan dapat mereka nikmati sehingga mereka merasa puas dengan kehidupan yang mereka jalani. Hal tersebut sebagimana yang disampaikan oleh Diener bahwa suatu unsur dari hidup yang baik adalah orang itu sendiri menyukai kehidupannya. Dimanaorang yang menikmati kehidupannya maka memiliki subjektif well being.23

Pada hakikatnya masyarakat memandang bahwa pekerjaan sebagai guru SLB merupakan pekerjaan yang sangat sulit, banyak pekerjaanlain yang lebih menjaminkan, lebih muda dan lebih cepat mmendapatkan uang. Pada dasarnya menjadi guru SLB sangat membutuhkan kesabran yang tinggi, tidak hanya menyampaikan materi saja, namun juga harus mampu menjalani komunikasi yang berbeda pula dengan orang yang bekerja di tempat lain bahkan seorang guru pada umumnya di sekolah umum.24

Menurut Wahyuni, hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Direktur Pensisikan Luar Biasa Depdiknas menyatakan bahwa mengajar siswa SLB itu bukan perkara yang mudah, guru SLB perlu memiliki ketekunan yang lebih besar dibandingkan dengan profesi guru lainnya. Oleh karena itu, diperlukannya unsur pengabdian.25 Rosdiana juga menambahkan bahwa menjadi guru SLB sangat berbeda dengan guru di sekolah umum, selain harus bersabar dan tekun dalam menghadapi anak didiknya juga harus iklas dalam memberikan pelajaran. Guru SLB jugaharus menganggap anak didik seperti anaknya sendiri, ketika mengajar harus membaca apa yang diinginkan anak, siswa yang sangat sensitif, sehingga perlu ikhlas dalam mendekatinya.26

AW selaku kepala sekolah SLB N 1 Mataram menjelaskan bahwa jumlah siswa di SLB negeri 1 Mataram sebanyak 94 dengan

23 Ed Diener, hlm. “Subjektive Well Being The Science of Happiness and a Proposal for National Indox”, American Psychologist, Vol. 55, No. 1 (Januari 2000), hlm. 34

24 Ibnu Firmansyah, “Subjektif Well-Being pada Guru SLB, hlm. 2

25 Wahyuni T, Guru SLB Kian Langka (2005)

26 Rosdiana “guru SLB Tanjung Pnang (2013)

(28)

12

13 orang pengajar anak tunagrahita. Yang menjadi kesulitan para guru SLB Negeri 1 Mataram adalah dalam satu kelas seharusnya guru mendamping 3-6 anak namun, disini yang terjadi adalah guru mendampingi 10-12 anak dalam satu kelas.27

Berdasarkan data di atas, sedikitnya jumlah tenaga pengajar tidak seimbang dengan jumlah siswa, selain itu juga nasib guru SLB juga masih kurang mendapatkan peratian oleh pemerintah. Hal ini dapat menunjukan bahwa pekerjaan yang dihadapi guru SLB begitu berat sehingga membutuhkan kesabran yang cukup tinggi serta diperlukannya rasa nyaman yang dirasakan oleh tenaga pengajar, maka hal ini sangat mempengaruhi subjektif well being pada guru SLB.

Dari fenomena inilah yang membuat peneliti tertarik dan menjadikan suatu acuan penelitian, karena berdampak pada mental, jiwa, dan fisik seorang guru SLB dalam menangani anak tunagrahita sedang. Sehingga menjadi alasan utama atau titik tekan pada penelitian ini adalah bagaimana subjektif well being pada guru SLB dan bagaimana guru SLB mengelola kesabarannya dalam menghadapi anak tunagrahita kategori sedang dengan judul yang diangkat Subjektif Well-being dan Kesabaran pada Guru SLB dalam Menangani Anak tunagrahita Kategori Sedang di SLB Negeri 1 Mataram”.

27 W1, Guru Kelas 3 Tunagrahita SDLB (B. 82-90)

(29)

13 B. Rumusan Masalah

Ditinjau dari pendapat para ahli, rumusan masalah adalah pertanyaan-pertanyaan berupa masalah atau kejadian yang berbentuk kalimat tanya yang sederhana, singkat, padat dan jelas. Masalah adalah subjek yang sedang diteliti dan dicari jalan keluar melalui penelitian. Dengan demikian, adanya rumusan masalah yang jelas, maka titik temu dari suatu penelitian dapat ditentukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ingin diketahui peneliti.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka peneliti mempunyai 2 rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana subjektif well-being pada guru SLB dalam menangani anak tunagrahita kategori sedang di SLB Negeri 1 Mataram?

2. Bagaimana guru SLB mengelola kesabaran dalam menghadapi anak tunagrahita kategori sedang di SLB Negeri 1 Mataram C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Tujuan dari ini penelitian adalah target yang hendak dicapai dalam rangka aktivitas penelitian. Aktivitas yang dilakukan mempunyai tujuan penelitian yang relevan. Tujuan yang ingin dicapai penulis yaitu:

a. Untuk mengetahui subjektif well-being pada guru SLB dalam menangani anak tunagrahita kategori sedang di SLB Negeri 1 Mataram

b. Untuk mengetahui guru SLB pada pengelolaan kesabaran dalam mengatasi anak tunagrahita kategori sedang di SLB Negeri 1 Mataram

2. Manfaat Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian terdapat dua manfaat penelitian yaitu, manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

(30)

14

a. Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini menjadi tambahan referensi dan memperkaya Khazanah Intelektual dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang bimbingan dan konseling Islam sebagai kajian yang relevan untuk peneliti berikutnya.

b. Manfaat praktis 1) Bagi Sekolah

a) Diharapkan penelitian ini menjadi sumber informasi tambahan tentang subjektif well-being dan kesabaran guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus (tunagrahita)

b) Dijadikan referensi atau acuan perkembangan penanganan anak berkebutuhan khusus (tunagrahita)

c) Dapat mendorong sekolah untuk meningkatkan kualitas penangan anak berkebutuhan khusus (tunagrahita)

2) Bagi Guru

a) Memberikan masukan maupun pertimbangan guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus (tunagrahita)

b) Memotivasi guru untuk memperbaiki cara menangani anak berkebutuhan khusus (tunagrahita).

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian 1. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mempermudah dan memperlancar proses penelitian, dapat mengorganisir uraian dengan baik serta menghindari bias masalah dalam melakukan kajian penelitian.

Maka ruang lingkup penelitian ini fokus pada masalah bagaimana subjektif well-being dan kesabaran guru SLB di SLB Negeri 1 Mataram.

(31)

15 2. Setting penelitian

Lokasi atau setting penelitian ini adalah di SLB Negeri 1 Mataram yang berada di Kecamatan Ampenan Kota Mataram.

Karena SLB Negeri 1 mataram merupakan lokasi yang cukup menarik untuk dijadikan lokasi penelitian.

E. Telaah Pustaka

Telaah pustaka adalah penelusuran terhadap karya-karya terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan saat ini. Dengan dilakukannya telaah pustaka, guna menghindari plagiasi dan duplikasi, serta menjamin keaslian dan keabsahan penelitian yang akan dilakukan. Dengan demikian berdasarkan definisi tersebut, usaha penelusuran yang dilakukan, ada beberapa hasil penelitian yang relevan dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan judul penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jati Ariati, tahun 2010

Judul: “Subjektive Well-being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro”28. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepuasan kerja, kebutuhan berprestasi dan disposisional resistensi terhadap perubahan dalam sampel 224 dosen Universitas Diponegoro.

Dilihat dari tujuannya, tentunya penelitian ini menggunakan metode perhitungan (statistik) atau dengan kata lain metodologi kuantitatif. Sedangkan untuk penelitian saat ini, bertujuan untuk mengetahui penanganan dan pengelolaan subjektif well-being dan kesabaran pada guru pendamping di SLB Negeri 1 Mataram dan disamping itu penelitian saat ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam bentuk deskriptif. Dengan hasil penelitan ini adalah hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan positif

28 Jati Ariati, “Subjektif Well Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan kerja pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro,” Jurnal Psikologi Undip, Vol, 8 No 2, 2010

(32)

16

antara kepuasan kerja dan subjektif well-being tidak dapat diterima.

2. Fahrul Rozi dan Anggun Prasasti, tahun 2019

Judul “Kesabaran Sebagai Nilai Kebajikan dan efeknya terhadap Resiliensi: Peran Moderasi dari Disposisi Harapan”.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peranan disposisi harapan pada efek kesabaran terhadap resiliensi. Penelitian ini juga memprediksikan efek sabar terhadap resiliensi diperkuat dengan disposisi harapan yang tinggi. Terdapat 320 responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini. hasil penelitian menunjukan signifikan sebagai moderator pada efek kesabaran terhadap resiliensi dan efek tersebut tergantung pada disposisi variabel harapan.29

3. Rabha Mumam Ghazi, Imsyaruddin dan Irdamurin, tahun 2017 Judul: “Video Tutorial untuk Meningkatkan Keterampilan Memasang Kampas Rem Bagi Anak Tunagrahita Ringan”

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan membongkar dan memasang kampas rem lima orang anak tunagrahita ringan kelas VII di SLB N 2 Padang.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk membuktikan efektivitas video tutorial untuk meningkatkan kemampuan membongkar dan mem kampas rem untuk anak tunagrahita ringan. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimen yang berbentuk Quasi eksperimen dengan jenis one-pretest design. Hasil penelitian menunjukan kemampuan anak tunagrahita ringan dalam membongkar dan memasang kampas rem saat dianalisis dengan melihat nilai rata-rata, saat pretest anak tunagrahita ringan hanya 55.35%. Selanjutnya pada posttest kemampuan anak tunagrahita ringan meningkat mencapai 75,71%. Kemudian data diolah agar

29 Fahrul Rozi dan Anggun Prasasti, ” Kesabaran Sebagai Nilai Kebajikan dan efeknya terhadap Resiliensi: Peran Moderasi dari Disposisi Harapan”, Jurnal Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jakarta, vol 19, No 1, 2019

(33)

17

lebih ilmiah dengan menggunakan U Mann Whitney, diperoleh Uhit = 2.5 Utab = 2 dengan N =5 pada taraf signifikan 95% dana

= 0,05. Dapat disimpulkan hipotesis diterima karena U hit> U tab, jadi terbukti bahwa media video tutorial efektif dalam meningkatkan keterampilan membongkar dan memasang kampas rem bagi anak tunagrahita ringan.30

Berdasarkan beberapa referensi atau penelitian-penelitian terdahulu di atas, penulis tentunya belum menemukan penelitian yang membahas tentang “Subjektif Well-being dan Kesabaran pada Guru SLB dalam Menangani Anak Tunagrahita Kategori Sedang”.

F. Kerangka Teori

1. Subjektif Well-being

a. Pengertian Subjektif Well-being

Subjektif well-being atau biasa disebut dengan kesejahteraan subjektif merupakan salah satu pendekatan dalam psikologi positif menurut Diener dan Oishi Kesejahteraan subjektif dapat didefinisikan sebagai kognitif seseorang dan evaluasi afektif dari hidupnya. Evaluasi ini termasuk emosional terhadap peristiwa serta kognitif pertimbangan kepuasan dan pemenuhan. Dengan demikian kesejahteraan subjektif menjadi salah satu konsep luas yang mencakup pengalaman menyenangkan emosi, tingkat suasana hati negatif yang rendah dan kehidupan yang tinggi kepuasan”.31

Dari definisi tersebut dapat dijelaskan maksud dari subjektif well-being sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi inti meliputi reaksi

30 Rabha Imam Ghazi dkk, Video Tutorial untuk Meningkatkan keterampilan Memasang Kampas Rem Bagi anak Tunagrahita Ringan, Jurnal Pendidikan Berkebutuhan Khusus, Vol 1, No 1, tahun 2017

31 C. R. Snyder& Shane J. Lopez, “Handbook of Positive Psychology, (United Kingdom:

Oxford University Press, 2002), hlm. 63

(34)

18

emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemahaman hidup. Subjektif well-being merupakan konsep yang sangat luas, meliputi emosi pengalaman menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif dan kepuasan hidup yang tinggi.

Subjektif well-being adalah evaluasi seseorang terhadap kehidupannya, yang dimana evaluasi tersebut adalah evaluasi afektif dan evaluasi kognitif. Yang dimaksud dengan evaluasi kognitif adalah kepuasan individu secara menyeluruh dan secara khusus. Sedangkan evaluasi afektif adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Seseorang dikatakan memiliki subjektif well-being yang tinggi adalah ketika mereka banyak merasakan emosi yang menyenangkan dan sedikit merasakan emosi yang tidak menyenangkan, ketika mereka terikat pada aktivitas yang menarik, ketika mereka banyak memiliki banyak pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan sedikit memiliki pengalaman yang menyedihkan, dan ketika mereka puas dengan kehidupan mereka.32

Menurut Edward Fransiskus Diner mengemukakan Subjektif well-being adalah evaluasi seseorang mengenai kehidupannya yang mencakup penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta evaluasi afektif yang meliputi perasaan-perasaannya terhadap emosi positif maupun negatif yang telah dialami. Pavot dan Diener menjelaskan subjektif well-being merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu karena subjektif well-being mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain kehidupan.

Individu dengan subjektif well-being yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukan perfomansi kerja yang lebih baik. Selain itu, dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan tingkat subjektif well-being yang tinggi

32 Ed Diener, “Subjektive Well Being The Science of Happiness and a Proposal for National Indox”, American Psychologist, Vol. 55, No. 1 (Januari 2000), hlm. 34

(35)

19

dapat melakukan adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga merasakan kehidupan yang lebih baik.33

Dalam hal ini, istilah subjektif well-being mengacu pada evaluasi individu terhadap kehidupannya, yang terdiri dari penilaian kognitif seperti kepuasan hidup, dan evaluasi afektif (mood dan emosi). Seperti perasaan emosional positif dan negatif. Individu yang puas dengan kondisi kehidupannya sering mengalami sering mengalami emosi positif dan jarang mengalami emosi negatif adalah individu yang memiliki subjektif well being yang tinggi. Istilah subjektif well-being ini sendiri merupakan istilah psikologi (happiness) atau kebahagiaan.34

Dari beberapa definisi ini, dapat disimpulkan bahwa subjektif well-being adalah sebuah evaluasi seseorang terhadap kehidupannya yang dimana, berupa evaluasi secara kognitif maupun afektif. Evaluasi kognitif merupakan evaluasi yang mengacu pada nilai individu dalam kepuasan hidupnya. Sedangkan evaluasi secara afektif mengacu terhadap penilaian terhadap emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami oleh individu tersebut.

b. Komponen Subjektif Well-being

Eddington dan Shuman menyatakan terdapat beberapa komponen utama yang menyusun subjektif well- being antara lain kepuasan hidup global, puas dengan domain kepuasan spesifik, sering mengalami afek positif (mood dan emosi yang menyenangkan), dan relatif tidak adanya afek negatif. Dari beberapa komponen tersebut dapat dikelompokan menjadi 2 komponen utama, yaitu:35

33 Pavot & Diener, “The Subjektive Evaluation of Well-Being in Adulthood: Findings and Implication,” Aging International/Spring, Vol 20, No. 2 (2004)hlm. 114

34 Eddington & Shuman, “Subjektive Well-being (Happiness)”, California: Continuing Psychology Education Inc: 2008), hlm. 2

35 Ibid,Uyoh Sadulloh, hlm. 2

(36)

20 1. Komponen Kognitif

Komponen kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup seseorang, yang dimana kepuasan dapat diartikan sebagai evaluasi kognitif individu dalam menikmati pengalaman-pengalamannya di masa lalu dan masa sekarang. Individu yang puas memiliki penilaian bahwa apa yang sudah dicapai atau diperolehnya sudah sesuai dengan harapan atau cita-citanya dan memandang secara positif kehidupannya di masa yang akan datang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi:

a. Evaluasi terhadap hidup secara global (life satisfaction) yaitu evaluasi seseorang terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk mempersentasikan penilaian seseorang secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya. Kepuasan ini mencakup kepuasan pada kehidupan saat ini, kepuasan pada kehidupan masa lalu, kepuasan pada kehidupan masa depan dan keinginan untuk mengubah hidup.

b. Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu (domain satisfaction) adalah penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya, seperti pekerjaan, keluarga, waktu luang, kesehatan, finansial, hubungan diri sendiri dengan orang lain.

Kedua komponen ini sepenuhnya terpisah, karena evaluasi kepuasan hidup secara global merupakan refleksi dari presepsi seseorang terhadap hal-hal yang terdapa tdalam hidupnya, ditambah dengan bagaiman kultur yang mempengaruhi pandangan hidup yang positif dari seseorang.

2. Komponen Afektif

Secara umum, komponen afektif subjektif well- being merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. dengan meneliti tipe-tipe dari reaksi afektif yang ada sehingga dapat

(37)

21

memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen subjective well- being dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

a. Efek positif (positive affect)

Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari subjektif well- being karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Afek positif yang mempengaruhi level subjektif well-being adalah hal-hal yang mencakup kesenangan (joy), keinginan hati (elation), kepuasan (contentment), rasa harga diri (pride), rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan (attentive), dan kegembiraan yang luar biasa (ecstasy)

b. Efek negatif

Afek negatif adalah prevalensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan dan keadaan atau peristiwa yang dialami. Beberapa aspek negatif individu yang mempengaruhi level subjektif well- being adalah rasa bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry), kemarahan (anger), tekanan (setess), depresi (depression) dan iri hati (envy).

(38)

22

c. Pendekatan Teori dalam Subjektif Well-being

Ada 2 pendekatan teori yang digunakan dalam subjektif well-being yaitu:36

1. Bottom up theories

Teori ini memandang kebahagiaan dan kepuuasan hidup yang dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara khusus subjektif well- being merupakan penjumlahan dari pengalaman- pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan seseorang. semakin banyak peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka semakin bahagia dan puas individu tersebut. Untuk itu dengan meningkatkan subjective well- being, teori ini beranggapan perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu seperti pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, dan pendapatan (gaji) yang layak.

2. Top down theories

Subjektif yang dialami seseorang tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa atau kejadian dalam sudut pandang yang positif. Perspektif teori ini menganggap bahwa, individu lah yang menentukan atau memegang peran apakah peristiwa yang dialami akan menciptakan kesejahteraan psikologi bagi dirinya. Pendekatan ini juga mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara- cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan subjective well- being diperlukan usaha yang berfokus pada pengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.

36 Jati Ariati, “Subjektive well-being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kepuasan Kerja pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan fakultas Psikologi Universitas Diponegoro”, Jurnal Psikologi Undip, Vol. 8, no. 2 (oktober 2010), hlm. 119

(39)

23

d. Faktor yang Mempengaruhi Subjektif Well-being

Faktor-faktor yang mempengaruhi subjektif well-being diantaranya:37

1. Perbedaan Jenis Kelamin

Shuman menyatakan penemuan menarik mengenai perbedaan jenis kelamin dan subjective well being. Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini, namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama. Lebih lanjut, Shuman menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena wanita mengakui adanya perasaan tersebut sedangkan pria menyangkalnya. Penelitian yang dilakukan di Negara barat menunjukkan hanya terdapat sedikit perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita. Diener menyatakan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan subjective well being yang signifikan antara pria dan wanita. Namun wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria.

2. Usia

Sebuah penelitian internasional dengan sampel dari banyak negara mengindikasikan bahwa kepuasan hidup tidak menurun seiring dengan usia. Dari penelitian yang dilakukan Veenhoven dkk tersebut, secara kontras, afek menyenangkan menurun seiring dengan usia.

Mereka juga tidak menemukan penurunan kepuasan hidup di sepanjang rentang kehidupan namun tampak sedikit penurunan dalam mood. Kurangnya penurunan signifikan dalam kepuasan hidup di sepanjang rentang kehidupan disebabkan karena individu mampu beradaptasi dengan kondisinya.

Kepuasan hidup tetap stabil meskipun penurunan dalam hal pernikahan dan pendapatan terjadi di semua kelompok usia setelah masa dewasa. Menurut beberapa

37 Ibid hlm. 3-6

(40)

24

peneliti, temuan ini membuktikan bahwa individu kembali menyesuaikan tujuan yang dimilikinya dengan usianya. Hal ini juga sejalan dengan temuan Ryff bahwa orang dewasa yang lebih tua menunjukkan kesesuaian yang lebih dekat dalam hal persepsi diri ideal dengan persepsi diri aktual, jika dibandingkan dengan individu yang lebih muda.

3. Pendidikan

Ditemukan hubungan yang kecil namun signifikan antara pendidikan dengan subjective well being.

Pendidikan lebih berhubungan dengan well being pada individu yang memiliki pendapatan lebih rendah dan juga pada negara yang miskin. Melalui pendidikan, individu dengan pendapatan lebih rendah membentuk minat yang lebih luas terhadap waktu luang. Sementara pada negara miskin, status sosial dapat disampaikan melalui pendidikan. Terdapat banyak hubungan antara pendidikan dengan subjective well being dimana pendidikan berhubungan dengan status pekerjaan dan juga pendapatan. Pendapatan memiliki pengaruh yang kecil terhadap kebahagiaan bahkan saat menjelaskan tentang individu yang sangat kaya. Individu dengan pendapatan bersih lebih dari 125 juta dolar secara acak dibandingkan dengan kelompok kontrol yang berasal dari area geografis yang sama. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa rata-rata individu yang sangat kaya agak lebih bahagia daripada sampel nasional, namun terdapat tumpang tindih pada distribusi antara kelompok yang kaya dan kelompok yang tidak kaya. Secara umum, individu yang kaya lebih bahagia dari pada individu yang miskin. Namun, pengaruh antara kekayaan dan kebahagiaan ini adalah kecil. Tidak terdapat temuan mengenai hubungan sebab- akibat yang kuat antara pendapatan dan subjective well- being. Individu yang kaya hanya agak lebih bahagia daripada individu yang miskin dalam negara yang kaya,

(41)

25

meskipun tampaknya negara kaya lebih bahagia daripada negara miskin.

4. Pernikahan

Individu yang tidak pernah menikah atau bercerai, berpisah, atau janda menunjukkan kebahagiaan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan individu yang menikah. Menurut Glenn dkk kebahagiaan secara signifikan berhubungan dengan well-being bahkan jika usia ataupun pendapatan dikontrol. Lee dkk menemukan bahwa wanita yang menikah secara konsisten lebih bahagia daripada wanita yang tidak menikah, begitu juga dengan pria yang menikah lebih bahagia daripada pria yang tidak menikah. Pria mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pernikahan jika dibandingkan dengan wanita, namun tidak terdapat perbedaan dalam hal kepuasan hidup antara pria dan wanita yang menikah.

Banyak peneliti percaya bahwa pernikahan memberikan sebuah penyangga untuk melawan kesulitan hidup menyediakan dukungan emosional dan finansial, yang dapat menghasilkan keadaan well being yang positif.

5. Kepuasan Kerja

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tait dkk ditemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan hidup pada wanita dalam beberapa dekade terakhir. Pekerjaan dianggap berhubungan dengan subjective well being karena pekerjaan menawarkan level stimulasi optimal sehingga individu dapat menemukan kesenangan. Selain itu, pekerjaan juga memberikan hubungan sosial yang positif, dan rasa serta arti akan diri, dimana hal ini berhubungan dengan subjective well being. Penelitian mengenai karakteristik pekerjaan yang memuaskan telah dilakukan secara ekstensif, menurut Bretz dan Judge, secara umum kesesuaian antara individu dengan organisasi berhubungan dengan kepuasan kerja. Mottaz juga menambahkan bahwa reward intrinsik dan keuntungan

(42)

26

sosial merupakan prediktor yang signifikan untuk kepuasan. Individu yang pengangguran memiliki tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah, dan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada individu yang bekerja. Oleh sebab itu, pengangguran menyebabkan subjective well being yang lebih rendah.

6. Kesehatan

Individu menilai bahwa kesehatan yang baik merupakan hal yang paling penting dari domain kehidupan. George & Landerman menyatakan terdapat hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well- being, yang diperoleh melalui self-report dari pengukuran kesehatan, dan bukan untuk rating kesehatan objektif yang dilakukan oleh dokter. Oleh sebab itu, persepsi mengenai kesehatan tampaknya lebih berpengaruh terhadap subjective well being daripada kesehatan objektif. Penjelasan untuk hal ini ialah individu dalam kondisi kesehatan yang buruk mengecilkan pentingnya kesehatan mereka saat mengevaluasi kepuasan hidup global, dan kedua, individu menggunakan strategi coping kognitif sehingga mendorong gambaran positif untuk kondisi kesehatannya. Kesehatan yang buruk dianggap mempengaruhi subjective well being secara negatif karena mengganggu pencapaian tujuan. H. Agama Ellison menyatakan bahwa meskipun tidak memiliki pengaruh yang besar, tetapi secara signifikan subjective well being berhubungan dengan agama, kekuatan hubungan seseorang dengan Tuhan, pengalaman berdoa, dan ketaatan serta partisipasi dari aspek keagamaan. Rasa akan makna dalam kehidupan sehari-hari dan juga rasa akan makna selama krisis utama kehidupan merupakan hal yang ditawarkan dari pengalaman keagamaan.

Selain itu, agama juga memberikan pemenuhan sosial yang diperoleh dari paparan jaringan sosial melalui orang-orang yang memiliki nilai dan sikap yang sama . Menurut Strawbridge dkk, agama dapat mengurangi efek

(43)

27

stressor dalam depresi, namun juga dapat memperburuk pengaruh terhadap stressor lainnya, seperti masalah pernikahan dan kekerasan.

7. Waktu Luang

Kebahagiaan berhubungan dengan kepuasan akan waktu luang dan juga level aktivitas waktu. Berdasarkan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Glancy dkk, ditemukan bahwa subjective well being meningkat karena adanya kepuasan akan waktu luang. Bukti yang kuat bahwa subjective well being berhubungan dengan kepuasan akan waktu luang dapat dilihat dari pengaruh olah raga atau bentuk kegiatan lainnya. Olahraga dan latihan efektif sebagian karena menghasilkan endorphin, interaksi sosial dengan individu lain, dan mengalami kesuksesan atau self-efficacy. Menari dan music juga efektif dalam merangsang mood dan terdapat keuntungan sosial. Hal ini memungkinkan sejumlah kebutuhan sosial terpenuhi melalui beberapa aktivitas, termasuk intimasi, kerja sama, dan sebagainya. Dewasa ini, bentuk kegiatan pengisi waktu luang yang paling populer di dunia modern adalah menonton televisi. Selain itu, berlibur juga merupakan sumber dari kebahagiaan dan relaksasi.

8. Hubungan Sosial

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Scherer dkk pada lima negara Eropa ditemukan bahwa penyebab utama dari kegembiraan, yakni hubungan dengan teman, kepuasan yang bersifat dasar (makan, minum, dan seks), dan juga kesuksesan. Larson menyatakan bahwa mood yang lebih positif ditemukan pada individu saat bersama dengan temannya dibandingkan jika ia sendirian atau bersama keluarganya, dan kebahagiaan juga berhubungan dengan jumlah teman, frekuensi jumpa dengan teman, pergi ke pesta dan menari, dan termasuk ke dalam kelompok atau klub.

Headey dkk, menemukan bahwa kejadian menyenangkan dalam hal pertemanan dan pekerjaan

Gambar

Table 2. Sarana SLB Negeri 1 Mataram 88
Table 3. Prasarana SLB Negeri 1 Mataram 89
Table 4. Jumlah Guru SLB Negeri 1 Mataram
Table 5 Daftar Jumlah Siswa Tunagrahita Sedang Tahun  Ajaran 2021-2022
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada KSR PMI Kota Surakarta dalam menangani

Sementara bila guru SLB mendapatkan derajat PWB yang rendah, maka perilakunya adalah kecewa dengan diri sendiri, kurang mampu menjalin hubungan yang hangat dan penuh

Pengertian makna hidup dalam penelitian ini adalah sesuatu yang dianggap penting dalam hidup seseorang guru SLB, yang mana dengan pekerjaannya yang berat, guru tersebut masih

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tuturan dari bahasa anak penyandang tunagrahita taraf ringan, taraf sedang, dan taraf berat di SLB-C Sukapura Kiaracondong yang setiap

Penggunaan Media Lagu “Ayo Cuci Tangan” Dalam Meningkatkan Keterampilan Mencuci Tangan (Penelitian Tindakan Kelas pada Anak Tunagrahita Sedang Kelas D2 di SLB “Sabilulungan”

Adapun kriteria informan dalam penelitian ini, di antaranya; wanita dengan kanker serviks dan memiliki indikasi subjective well-being di dalam dirinya, yang mana dapat terlihat

Subyek penelitian ini adalah guru kelas sebagai guru BK, anak tunagrahita siswa SLB Negeri Pembina Yogyakarta, keluarga anak tunagrahita dan pengusaha yang sudah

viii Universitas YARSI Hubungan Indeks PUFA dengan Indeks Massa Tubuh IMT pada Anak Tunagrahita di SLB C Dian Grahita dan SLB B-C Makna Bakti ABSTRAK Nama : Verlantri Azharra