KEMENTERIAN KOORDINATOR KEMENTERIAN PERENCANAAN
N ORMA , S TANDAR , P ROSEDUR , K RITERIA
P ENGEMBANGAN K EWIRAUSAHAAN
NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGEMBANGAN
KEWIRAUSAHAAN
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... 1
KATA PENGANTAR ... 2
1. PENDAHULUAN ... 4
2. TUJUAN ... 9
TUJUAN DAN SASARAN ... 9
3. DASAR HUKUM DAN RUANG LINGKUP NSPK PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 10
3.1 DASAR HUKUM ... 10
3.2 RUANG LINGKUP ... 15
4. EKOSISTEM KEWIRAUSAHAAN ... 17
4.1 KONSEP EKOSISTEM KEWIRAUSAHAAN ... 17
4.2 PILAR EKOSISTEM KEWIRAUSAHAAN DI INDONESIA ... 20
4.3 PERILAKU WIRAUSAHA DI INDONESIA ... 22
4.4 NORMA SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 25
4.5 PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 26
5. DEFINISI PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 32
6. NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 38
6.1 NORMA PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 38
6.2 STANDAR PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 39
6.3 PROSEDUR PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 40
6.4 KRITERIA DALAM PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 43
7. MODEL BISNIS PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN... 46
8. STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 57
9. KAIDAH PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 98
9.1 PEMAKNAAN BAHASA PROGRAM DAN PENGANGGARAN YANG SAMA ... 98
9.2 KEBUTUHAN ADANYA STANDARDISASI BIAYA ... 100
9.3 PEMBAGIAN PERAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN ... 100
9.4 SISTEM INFORMASI TERINTEGRASI (SIT) ... 105
10. PENUTUP ... 107
KATA PENGANTAR
Stabilitas ekonomi dan besarnya pasar tenaga kerja Indonesia saat ini masih perlu didukung oleh iklim usaha yang baik. Saat ini, kualitas iklim usaha Indonesia masih perlu diperbaiki, baik dalam iklim untuk kemudahan usaha, serta berbagai ekosistem kewirausahaan yang lain, seperti kebijakan di bidang kewirausahaan, kondisi infrastruktur untuk berwirausaha dan faktor-faktor lain. Di antara negara-negara ASEAN berada di tengah-tengah dengan nilai yang hampir sama dengan Thailand, namun lebih rendah dari Singapura dan Malaysia.
Pemerintah memandang perlu untuk menata kebijakan dan pola pengembangan kewirausahaan di Indonesia untuk iklim usaha yang lebih baik. Pengembangan kewirausahaan yang dilakukan berbagai pihak, baik publik maupun swasta, perlu dilengkapi dengan ekosistem yang mampu mendukung realisasi dari motivasi berwirusaha yang ditumbuhkan dari pendidikan formal dan non-formal menjadi usaha yang berkembang secara berkelanjutan. Upaya-upaya pengembangan kewirausahaan juga perlu terukur sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat nyata dalam bentuk peningkatan kesempatan berusaha dan lapangan usaha, serta perbaikan pendapatan.
Upaya Pemerintah ini diwujudkan melalui penyusunan norma, standar maupun prosedur dan kriteria (NSPK) pengembangan kewirausahaan. Hasilnya diharapkan dapat menjadi panduan dalam melaksanakan program dan kegiatan pengembangan kewirausahaan yang dilaksanakan utamanya oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan
Secara peraturan, sudah terdapat berbagai Undang-undang yang terkait dengan kewirausahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berbagai peraturan perundangan yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden/Peraturan Menteri perlu disinergikan dengan adanya panduan.
Panduan ini didasarkan pada lima norma pengembangan kewirausahaan, yaitu fokus pada inisiatif wirausaha, adanya penguatan kapasitas dan prospek wirausaha baru, adanya penekanan pada kemandirian wirausaha, penciptaan ekosistem kewirausahaan yang mendukung inovasi dan kreativitas dan penekanan pada pertumbuhan usaha dan keberlanjutan.
Untuk menjalankan norma tersebut, disusun prosedur pengembangan kewirausahaan yang didasarkan pada lima standard, yaitu: sistemik, terintegrasi, koordinatif dan sinkron, relevansi dan berorientasi jangka panjang.
Prosedur didasarkan pada karakteristik dan jenis wirausaha, di mana ada masyarakat umum yang perlu dimotivasi dan diberi dasar perilaku berwirausaha sehingga ada peningkatan calon wirausaha. Para calon wirausaha perlu diberi pelatihan dan fasilitas ide usaha. Selanjutnya para calon wirausaha dan wirausaha baru yang akhirnya menjalankan usaha dan mendaftarkan usahanya perlu didampingi dan dikuatkan usahanya, agar mampu bertahan dan menjadi wirausaha mapan. Wirausaha mapan selanjutnya perlu diberikan pendampingan untuk peningkatan kapasitas agar dapat mandiri dan dapat menjadi mentor bagi para calon wirausaha atau wirausaha baru. Definisi dari jenis wirausaha dijelaskan dalam panduan ini. Berbagai prosedur yang dikembangkan juga mengakomodasi perbedaan karakteristik wirausaha yang lebih spesifik. Agregasi dari kristalisasi definisi, NSPK, dan penyusunan business process akan menjadi lengkap (paripurna) jika dapat pula disusun standar input pembiayaan dalam pengembangan kewirausahaan.
Kegiatan pengembangan kewirausahaan dievaluasi dan dimonitor melalui berbagai kriteria input, proses dan output. Oleh karena itu, panduan ini juga mecakup kriteria- kriteria kinerja yang harus dinilai oleh para pemilik kegiatan. Panduan dilengkapi dengan prosedur yang mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Pendaftaran dan Seleksi Wirausaha, yang meliputi: Pendaftaran Wirausaha dan Identifikasi Tahap Wirausaha dan Seleksi Administrasi Pendaftaran; (2) Pemasyarakatan Pra-wirausaha; (3) Fasilitasi Ide Usaha bagi Para Calon Wirausaha, yang meliputi Inkubasi Bisnis, Pelatihan dan Pendidikan Kewirausahaan untuk Calon Wirausaha; (4) Penguatan Usaha bagi Para Wirausaha Baru yang meliputi Inkubasi Bisnis, Pendampingan Usaha, Pendanaan dan Penguatan Infrastruktur bagi Executing Agency; (5) Peningkatan Kapasitas bagi Para Wirausaha Mapan; (6) Penciptaan Mentor Usaha; serta (7) Penyusunan Exit Strategy. Tidak kalah penting dalam pengembangan kewirausahaan, dibutuhkan adanya sinkronisasi dan harmonisasi mulai dari perencanaan, penganggaran, sampai dengan pengendalian pelaksanaan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
Bambang PS Brodjonegoro
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Darmin Nasution
1. PENDAHULUAN
Kondisi makroekonomi Indonesia dalam lima belas tahun tahun terakhir terbilang stabil, ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan yang konsisten dari PDB tahunan Indonesia.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sejak tahun 2002 hingga 2014, tingkat pertumbuhan PDB Indonesia berada dalam kisaran 4,5 persen sampai 6,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terpengaruh oleh krisis global pada tahun 2009 karena Indonesia masih menunjukkan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 4,6 persen.
Pendapatan per kapita Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan meskipun dalam tiga tahun terakhir terdapat pelemahan nilai tukar.
Gambar 1. Nilai PDB per Kapita Indonesia (Sumber: Basis Data Bank Dunia)
Kondisi makroekonomi Indonesia yang stabil didukung oleh pasar domestik yang kuat dan tuntutan untuk komoditas ekspor1. Berdasarkan pengukuran Global Competitiveness Index yang dilakukan secara tahunan oleh World Economic Forum, Indonesia merupakan negara yang masuk dalam fase tengah atau kedua, atau efficiency driven, dilihat dari tahap perkembangan econominya2. Fase efficiency driven adalah kondisi ekonomi dimana negara menjadi lebih kompetitif diikuti dengan kondisi industrialisasi dan peningkatan skala ekonomi serta organisasi intensif modal3. Penilaian ini didasarkan pada duabelas pilar fase perkembangan ekonomi, yang dibagi dalam tiga kelompok kondisi yaitu (i) kebutuhan dasar, (ii) faktor penguat efisiensi, serta (iii) inovasi dan keunggulan usaha.
Perkembangan ekonomi ini selanjutnya digunakan untuk memetakan berbagai upaya
1 Oberman, R., Dobbs, R., Budiman, A., Thompson, F. & Rossé, M., The archipelago economy: Unleashing Indonesia's potential. McKinsey Global Institute, 2012.
2 Schwab, K. (Ed.). (2015). The Global Competitiveness Report 2015–2016. Geneva: World Economic Forum.
3 Op. cit.
untuk meningkatkan kondisi ekonomi sebuah negara, termasuk untuk penciptaan iklim kewirausahaan di suatu negara.
Selain itu, Indonesia adalah penduduk terbesar keempat di dunia dan Indonesia memiliki profil demografi dengan lebih dari 40 persen penduduknya berusia di bawah 25 tahun (Indeks Mundi)4. Data BPS (2015) menunjukkan bahwa pertumbuhan pendudukan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir adalah sekitar 3,6 juta orang per tahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 1,5 persen per tahun. Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2010-20355 menunjukkan bahwa mulai tahun 2000 sampai dengan 2035, Indonesia akan memiliki bonus demografi yang ditandai dengan penurunan rasio ketergantungan (dependency ratio) dan peningkatan jumlah penduduk usia produktif yang berpotensi tinggi untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja. Proyeksi bonus demografi tersebut membawa tantangan untuk dapat mempersiapkan lapangan kerja yang layak bagi angkatan kerja ini agar bonus demografi dapat menciptakan manfaat sosial ekonomi yang optimal. Salah satu penyiapan yang perlu dilakukan termasuk menciptakan iklim kewirausahaan yang lebih baik untuk pengembangan usaha dan kewirausahaan di Indonesia.
Gambar 2. Proyeksi Rasio Ketergantungan Indonesia 2010-20356 (Sumber: RPJMN 2015-2019)
4 Data diambil dari Index Mundi, http://www.indexmundi.com/indonesia/demographics_profile.html berdasarkan
prakiraan tahun 2014.
5 Bappenas, BPS dan UNPFA (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: BPS
6 Rasio ketergantungan (depencency ratio) dihitung dari jumlah penduduk usia 0-14 tahun dan penduduk usia lebih
dari 65 tahun dibagi dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun)
Kekuatan ekonomi dan potensi tenaga kerja yang besar di Indonesia perlu didukung dengan iklim usaha yang baik, termasuk untuk berwirausaha. Namun saat ini Indonesia memiliki peringkat yang rendah dalam kemudahan usaha. Data Global Entrepreneurship Monitor (GEM) di tahun 20157 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai yang relatif rendah terkait kebijakan untuk memulai usaha (entry regulation). Penilaian kebijakan untuk memulai usaha di Indonesia menunjukkan skor 4,55 dari skala 9, dan Indonesia memiliki peringkat ke-16 dari 62 negara untuk kebijakan ini.
Tabel 1 dan Gambar 3 menunjukkan dua indikator global dalam kemudahan melakukan bisnis (Ease of Doing Business Ranking)8 dan daya saing global (Global Competitiveness Index) untuk negara-negara ASEAN. Kedua indeks menyoroti perbaikan kebijakan di negara-negara ASEAN serta tantangan yang didihadapi untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian berusaha. Peringkat Indonesia dalam kemudahan berusaha meningkat dari peringkat ke-120 pada tahun 2015 menjadi 109 pada tahun 2016. Namun daya saing saing Indonesia menurun dari peringkat ke-34 pada tahun 2015 menjadi peringkat 37 pada tahun 2016. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat kemudahan berusaha di Indonesia merupakan yang terendah, sementara daya saing Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam.
Tabel 1.
Ease of Doing Business dan Global Competitiveness Ranking South East Asian
Countries
Ease of Doing Business Ranking (Score) 2016
Global Competitiveness Rangking (Score) 2015-16
Singapore 1 (87.34) 2 (5.68)
Malaysia 18 (79.13) 18 (5.23)
Thailand 49 (71.42) 32 (4.64)
Vietnam 90 (62.10) 56 (4.30)
Philippines 103 (60.07) 47 (4.39)
Indonesia 109 (58,12) 37 (4.52)
Sumber: World Bank (2016) dan Schwab (2015)
7 Lihat Kelley, D., Singer, S., Herrington, H. (2015) 2015/2016 Global Report, Global Entrepreneurship Research
Association.
8 World Bank. (2016) Doing Business 2016. Measuring Regulatory Quality and Efficiency. Washington D.C:
World Bank
Gambar 3. Perbandingan Ease of Doing Business dan Global Competitiveness Index
Data lain yang menunjukkan kualitas iklim usaha di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan ekosistem kewirausahaan, dapat merujuk pada hasil evaluasi ERIA (2014)9. Di antara negara-negara ASEAN, indeks kebijakan untuk UMKM di Indonesia berada pada peringkat ketiga bersama-sama dengan Thailand, di mana Singapura dan Malaysia berada di peringkat pertama dan kedua. ERIA juga menilai bahwa pencapaian penerapan kebijakan di Indonesia berada pada tingkat menengah. Upaya yang masih perlu dilakukan yaitu peningkatan akses UMKM ke layanan pengembangan usaha (business development services), akses UMKM ke pasar internasional, akses UMKM ke teknologi dan transfer teknologi, serta pelibatan UMKM dalam penyusunan kebijakan.
9 ERIA (2014). ASEAN SME Policy Index 2014: Towards Competitive and Innovative ASEAN SMEs, ERIA Research
Project Report 2012, No. 8, June 2014, Jakarta: Economic Research Institute for ASEAN and East Asia.
Gambar 4. ASEAN SME Policy Index (Sumber: ERIA, 2014, diolah)
Evaluasi ERIA yang didasarkan pada persepsi pemangku kepentingan baik publik maupun swasta di Indonesia juga menunjukkan bahwa pengembangan kewirausahaan melalui pendidikan merupakan kebijakan yang penting dan secara umum sudah dilaksanakan melalui pengenalan kewirausahaan di berbagai jenjang pendidikan. Namun tantangan dalam pengembangan kewirausahaan di Indonesia juga masih besar mengingat keterbatasan akses terhadap pendampingan usaha, rendahnya inovasi dan adaptasi teknologi, dan keterbatasan kemampuan dan peluang untuk berpartisipasi dalam jaringan usaha yang lebih luas. Kebijakan yang ada juga belum optimal dalam memfasilitasi kebutuhan UMKM, termasuk usaha-usaha yang baru tumbuh.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka Pemerintah memandang perlu untuk menata kebijakan dan pola pengembangan kewirausahaan di Indonesia. Pengembangan kewirausahaan yang dilakukan berbagai pihak, baik publik maupun swasta, perlu dilengkapi dengan ekosistem yang mampu mendukung realisasi dari motivasi berwirusaha yang ditumbuhkan dari pendidikan formal dan non-formal menjadi usaha yang berkembang secara berkelanjutan. Upaya-upaya pengembangan kewirausahaan juga perlu terukur sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat nyata dalam bentuk peningkatan kesempatan berusaha dan lapangan usaha, serta perbaikan pendapatan.
Upaya Pemerintah ini diwujudkan melalui penyusunan nilai-nilai dasar, standar maupun prosedur dan kinerja pengembangan kewirausahaan. Hasilnya diharapkan dapat menjadi panduan (guiding principles) dalam melaksanakan program dan kegiatan pengembangan kewirausahaan yang dilaksanakan utamanya oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.
2. TUJUAN
TUJUAN DAN SASARAN
Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengembangan Kewirausahaan bertujuan untuk memberikan panduan bagi pelaksanaan program dan kegiatan pengembangan kewirausahaan oleh berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah, serta pemangku kepentingan lainnya.
Penyusunan NSPK Pengembangan Kewirausahaan bertujuan untuk:
1. Memperkuat ekosistem kewirausahaan di Indonesia;
2. Meningkatkan kapasitas dan memperkuat kelembagaan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan dalam mengembangkan dan melaksanakan program, kegiatan dan rencana kerja pengembangan kewirausahaan;
3. Meningkatkan kemampuan wirausaha untuk memaksimalkan potensinya dengan berorientasi pada pertumbuhan (growth oriented);
4. Meningkatkan daya saing wirausaha melalui inovasi dan kreativitas; dan
5. Menyediaan patokan (benchmark) untuk menilai capaian pengembangan kewirausahaan di Indonesia.
Sasaran yang akan diwujudkan melalui NSPK Pengembangan Kewirausahaan adalah:
1. Koordinasi dan sinkronisasi program dan kegiatan antar pemangku kepentingan yang optimal dalam pengembangan kewirausahaan;
2. Meningkatnya kualitas pelaksanaan program dan kegiatan pengembangan kewirausahaan; dan
3. Meningkatnya kualitas, kinerja dan daya saing wirausaha.
Pencapaian tujuan dan sasaran program dan kegiatan pengembangan kewirausahaan diharapkan mampu mendukung perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi, memperluas lapangan kerja dan menanggulangi kemiskinan.
3. DASAR HUKUM DAN RUANG
LINGKUP NSPK PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN
3.1 DASAR HUKUM
Penyusunan NSPK Pengembangan Kewirausahaan merujuk pada berbagai peraturan perundangan yang dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan juridis, filosofis dan teknis untuk pengembangan kewirausahaan di Indonesia, di antaranya:
1. Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Meskipun undang-undang ini tidak berkaitan langsung dengan pengembangan kewirausahaan, namun aspek-aspek pengaturan terkait penciptaan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, serta memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisiensi berdasaran kepentingan ekonomi nasional merupakan hal yang penting dalam pengembangan kewirausahaan. Hal ini relevan dalam dinamika perekonomian nasional dan global yang saat ini berlangsung.
UU Penanaman Modal juga memberikan kebijakan dasar penanaman modal termasuk mengatur bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal yang mensyaratkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Pengaturan mengenai pencadangan usaha ini sekaligus memberi peluang yang lebih besar untuk tumbuhnya usaha-usaha domestik yang memanfaatkan sumber daya lokal sesuai kapasitas yang dimiliki. Adanya koridor penanaman modal yang melibatkan kerjasama atau kemitraan dengan UMKM dan koperasi di dalam UU ini juga membuka peluang bagi keberlanjutan wirausaha yang didukung akses ke jaringan produksi dan pemasaran yang lebih luas.
UU ini juga memberikan dasar juridis bagi Pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan UMKM dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
2. UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang mengatur pemberdayaan UMKM melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif dan pengembangan usaha.
Pengembangan iklim usaha dilaksanakan melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspekkehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan,
perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Pengembangan usaha dilaksanakan melalui pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing UMKM.
Salah satu upaya yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan usaha UMKM yaitu pengembangan sumber daya manusia dengan cara memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan (Pasal 19 huruf a), serta membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreativitas bisnis, dan penciptaan wirausaha baru (Pasal 19 huruf c.). UU Nomor 20 Tahun 2008 ini juga mengatur pengembangan iklim usaha yang kondusif dan pengembangan usaha UMKM melalui peningkatan produksi dan pengolahan, pemasaran, desain dan teknologi, serta fasilitasi akses pembiayaan dan kemitraan usaha.
3. UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan yang menyatakan bahwa pembangunan kepemudaan diarahkan untuk mewujudkan pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa pasal yang secara khusus mengatur tentang pengembangan kewirausahaan pemuda yaitu:
Pasal 27
(1) Pengembangan kewirausahaan pemuda dilaksanakan sesuai dengan minat, bakat, potensi pemuda, potensi daerah, dan arah pembangunan nasional.
(2) Pelaksanaan pengembangan kewirausahaan pemuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, masyarakat, dan/atau organisasi kepemudaan.
(3) Pengembangan kewirausahaan pemuda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui:
a. pelatihan;
b. pemagangan;
c. pembimbingan;
d. pendampingan;
e. kemitraan;
f. promosi; dan/atau
g. bantuan akses permodalan
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28 mengatur bahwa Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat membentuk dan mengembangkan pusat-pusat kewirausahaan pemuda.
Pasal 30 mengatur bahwa Pemerintah wajib melakukan koordinasi strategis lintas ektor untuk mengefektifkan penyelenggaraan pelayanan kepemudaan yang dapat melibuti program sinergis antar sektor dalam hal penyadaran, pemberdayaan, serta pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan, dan kepeloporan pemuda.
Pasal 40 mengatur bahwa organisasi kepemudaan berfungsi untuk mendukung kepentingan nasional, memberdayakan potensi, serta mengembangkan kepemimpinan, kewirausahaan, dan kepeloporan pemuda.
Pasal 48 mengatur peran masyarakat yang salah satunya melatih pemuda dalam pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan, dan kepeloporan pemuda.
Pasal 51 mengatur kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan dana dan akses permodalan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan pemuda dengan cara membentuk lembaga permodalan kewirausahaan pemuda yang akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
4. UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak secara langsung berhubungan dengan pengembangan kewirausahaan, namun memberikan dasar hukum untuk pembentukan ekosistem kewirausahaan, khususnya dalam penyediaan pinjaman atau pembiayaan, pengelolaan simpanan serta pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha bagi anggota dan masyarakat. Keberadaan LKM diharapkan dapat meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat, dan membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Layanan yang disediakan LKM diharapkan dapat menjangkau masyarakat yang akan memulai usaha, sehingga dapat mendukung pengembangan wirausaha baru.
5. UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang merupakan dasar hukum dalam penciptaan pembangunan industri yang maju yang diwujudkan melalui penguatan struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia. Beberapa aspek yang diatur melalui UU ini di antaranya mencakup pembangunan sumber daya Industri, yang terdiri dari pembangunan sumber daya manusia (SDM), pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan dan pemanfaatan teknologi industri, pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi, serta penyediaan sumber pembiayaan.
Pembangunan SDM secara khusus mencakup pembangunan wirausaha industri yang diatur melalui Pasal 17 yang mengatur target, pola pengembangan/kegiatan, dan pelaksana kegiatan, sebagai berikut:
(1) Pembangunan wirausaha Industri dilakukan untuk menghasilkan wirausaha yang berkarakter dan bermental kewirausahaan serta mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang usahanya meliputi:
a. kompetensi teknis;
b. kompetensi manajerial; dan c. kreativitas dan inovasi.
(2) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. inkubator Industri; dan c. kemitraan.
(3) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap calon wirausaha Industri dan wirausaha Industri yang telah menjalankan kegiatan usahanya.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
b. lembaga pendidikan nonformal; atau
c. lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
6. UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sebenarnya tidak secara langsung terkait dengan kegiatan kewirausahaan, namun mendukung penciptaan ekosistem kewirausahaan yang kondusif melalui peran perdagangan di antaranya dalam memenuhi kebutuhan produksi dan konsumsi di dalam negeri, meningkatkan fasilitas, sarana dan prasarana perdagangan, meningkatkan kemitraan antara usaha besar dan koperasi dan UMKM, meningkatkan daya saing produk dan usaha nasional, meningkatkan citra produk dalam negeri, akses pasar dan ekspor, serta meningkatkan perdagangan produk berbasis ekonomi kreatif.
UU ini juga secara khusus memberikan dukungan bagi pemberdayaan koperasi dan UMKM melalui Pasal 10 dan 12 maupun Pasal 73. Pasal 10 menyatakan bahwa Pelaku Usaha Distribusi melakukan Distribusi Barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta etika ekonomi dan bisnis dalam rangka tertib usaha, dan bentuk pelaku usaha distribusi dapat berupa distribusi, agen maupun waralaba, yang dapat merupakan bentuk usaha kecil dan menengah. Pasal 12 yang berhubungan dengan Pelaku Usaha Distribusi menyatakan bahwa para pelaku usaha
(baik bersama dengan Pemerintah atau Pemerintah Daerah maupun sendiri-sendiri) mengembangkan sarana Perdagangan.
Pasal 73 mengatur sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis, akses dan/atau bantuan permodalan, bantuan promosi, dan pemasaran.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan koperasi sertausaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pada penjelasan Pasal 73 dari UU ini juga disebutkan bahwa bimbingan teknis yang diberikan dalam rangka pemberdayaan koperasi dan UMKM juga mencakup pengembangan kewirausahaan. Koperasi dan UMKM juga memperoleh kesempatan, perlindungan dan kemudahan di bawah pengaturan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan perdagangan dalam, perdagangan luar negeri, perdagangan perbatasan, standardisasi, e-commerce, pengembangan ekspor, kerja sama perdagangan internasional, dan sistem informasi perdagangan.
7. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan, dimana salah satu yang wajib dilaksanakan dalam bentuk pelayanan dasar adalah yang berkaitan dengan koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM). Pembagian urusan pemerintahan di bidang koperasi dan UKM diuraikan secara terinci pada Lampiran UU ini yang menunjukkan pembagian kewenangan dan tugas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam pengembangan koperasi dan UKM. Pembagian kewenangan dan tugas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan kewirausahaan terdapat di bidang:
(1) Tenaga kerja, khususnya berkaitan dengan pelatihan kerja dan produktivitas tenaga kerja
(2) Kepemudaan khususnya terkait pengembangan pemuda dan kepemudaan
8. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda serta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Terkait dengan kewirausahaan, PP ini mengatur tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengembangan
kewirausahaan, perencanaan pengembagnan kewirausahaan, cakupan pengembangan kewirausahaan pemuda, penyediaan prasarana dan sarana yang mendukung pengembangan kewirausahaan pemuda, serta pendanaan.
9. PP Nomor 60 Tahun 2013 tentang Susunan Organisasi, Personalia, dan Mekanisme Kerja Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP) yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. LPKP diharapkan dapat memfasilitasi akses permodalan bagi wirausaha muda pemula untuk mulai menjalankanusahanya. Permodalan yang diberikan bagi wirausaha muda pemula mencakup hibah, dana bergulir, penjaminan dan/atau subsidi bunga, modal ventura, dan/atau bentuk permodalan lainnya. LPKP diharapkan untuk juga dikembangkan oada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
10. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 27 Tahun 2013 tentang Inkubator Wirausaha yang mengarahkan pengembangan inkubator wirausaha untuk dapat menciptakan dan mengembangkan usaha baru yang mempunya nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi, serta mengoptimalkan SDM terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan. Pengaturan dalam Perpres ini mencakup sasaran pengembangan inkubator wirausaha, penyelenggaraan inkubator wirausaha, peserta inkubasi, prioritas dan jangka waktu inkubasi, serta koordinasi pengembangan inkubator wirausaha.
3.2 RUANG LINGKUP
Struktur NSPK Pengembangan Kewirausahaan secara umum mencakup:
1. Gambaran tentang Ekosistem Kewirausahaan di Indonesia.
Bagian ini menguraikan pilar-pilar pendukung kewirausahaan yang saling terkait dalam kerangka ekosistem yang memberikan dampak pada kecepatan dan kemampuan wirausaha untuk menciptakan dan mengembangkan usahanya secara berkelanjutan. Kondisi ekosistem kewirausahaan di Indonesia saat ini juga diulas secara singkat untuk melihat peran dan pengaruhnya terhadap pengembangan kewirausahaan di Indonesia.
2. Definisi terkait dengan pengembangan kewirausahaan.
Pada bagian ini dijelaskan berbagai definisi yang berkaitan dengan kewirausahaan dan kategorisasi wirausaha yang didasarkan pada jenis dan tahapan pengembangan kewirausahaan.
3. Penjelasan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria yang perlu digunakan dalam pengembangan kewirausahaan.
Bagian ini menguraikan komponen inti dari NSPK sehingga dapat menjadi panduan utama dalam pengembangan kewirausahaan di Indonesia.
4. Model bisnis dalam pengembangan kewirausahaan.
Bagian ini menjelaskan model bisnis yang dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pengembangan kewirausahaan, sesuai dengan ekosistem kewirausahaan.
5. Prosedur dan panduan dalam pengembangan kewirausahaan.
Bagian ini menguraikan model bisnis pengembangan kewirausahaan secara lebih terinci dalam bentuk prosedur pengembangan kewirausahaan yang mencakup langkah-langkah dalam pelaksanaan model bisnis pengembangan kewirausahaan.
6. Kaidah pelaksanaan pengembangan kewirausahaan
Bagian ini menguraikan konsensus bahasa program dan penganggaran, mekanisme pembagian peran pusat dan daerah dan penjelasan mengenai Sistem Informasi Terintegrasi.
4. EKOSISTEM KEWIRAUSAHAAN
4.1 KONSEP EKOSISTEM KEWIRAUSAHAAN
Ekosistem kewirausahaan telah mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama pelaku bisnis. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan, para pelaku usaha dan organisasi terkait memiliki peran yang strategis dalam penciptaan lingkungan atau ekosistem kewirausahaan yang sehat. Mason dan Brown (2014) mendefinisikan ekosistem kewirausahaan sebagai seperangkat aktor di luar wirausahawan yang dapat mencakup organisasi kewirausahaan (modal ventura, angel investor, bank, inkubator) dan berbagai lembaga terkait (perguruan tinggi, Pemerintah, dll), serta proses kewirausahaan yang menentukan keberlanjutan/keberhasilan dan kegagalan usaha baru10. World Economic Forum (2014) mendefinisikan ekosistem kewirausahaan sebagai “a system of interrelated pillars that impact the speed and ability with which entrepreneurs can create and scale new ventures in a sustainable way”11, atau sistem yang memiliki pilar yang saling terkait yang memberikan dampak pada kecepatan dan kemampuan wirausaha untuk menciptakan dan mengembangkan usahanya secara berkelanjutan.
Secara umum, ekosistem kewirausahaan dibangun dari pasar yang mudah diakses, ketersediaan SDM/tenaga kerja, sumber pembiayaan, sistem pendukung (mentor, konsultan, BDS, inkubator, jaringan wirausaha), kerangka regulasi dan infrastruktur, sistem pendidikan dan pelatihan, ketersediaan katalis (perguruan tinggi), dan dukungan budaya. Daniel Isenberg (2011) menyatakan struktur ekosistem kewirausahaan mencakup pilar-pilar (i) budaya yang kondusif (toleransi terhadap resiko dan kegagalan, persepsi positif tentang berwirausaha); (ii) kebijakan dan kepemimpinan yang mendukung (insentif regulasi, peran lembaga penelitian publik); (iii) ketersediaan pembiayaan yang sesuai (angel investor, modal ventura, kredit mikro); (iv) sumber daya manusia (SDM) (terampil dan tidak terampil, lembaga diklat); (v) pasar yang ramah dalam menyerap produk-produk baru (kondusif untuk produk baru, konsumen responsif terhadap produk baru); dan (vi) ragam dukungan kelembagaan dan infrastruktur (advokasi legal dan akuntansi, teknologi informasi komunikasi, asosiasi yang mendukung pengembangan kewirausahaan)12.
10 Definisi ini diringkas dari Background Paper yang disusun Prof. Colin Mason and Dr. Ross Brown untuk Workshop yang diselenggarakan oleh OECD LEED Program and Kementerian Ekonomi Kerajaan Belanda yang bertemakan “Entrepreneurial Ecosystems and Growth-Oriented Entrepreneurship” di Den Haag
tanggal 7 November 2013.
11 Lihat Laporan World Economic Forum tahun 2014: Entrepreneurial Ecosystems Around the Globe and Early Stage Company Growth Dynamics (http://www.weforum.org/reports/entrepreneurial-ecosystems- around-globe-and-company-growth-dynamics)
12 Isenberg, D. (2011). The entrepreneurship ecosystem strategy as a new paradigm for economic policy:
Principles for cultivating entrepreneurship. Dublin, Ireland: Institute of International European Affairs.
Banyak penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi pilar dalam ekosistem kewirausahaan yang paling penting. Sebagian besar hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan Pemerintah dalam kewirausahaan, dukungan keuangan, pasar yang ramah dan mudah diakses, pendidikan dan pelatihan, dan dukungan kultural sangat mempengaruhi kinerja kewirausahaan. Namun, banyak juga penelitian yang menyatakan bahwa pilar dalam ekosistem kewirausahaan tidak bisa diperbaiki secara individual. Meskipun ada beberapa pilar yang memiliki dampak yang signifikan, pilar ekosistem kewirausahaan bekerja jauh lebih baik dalam keterkaitan mereka dan ditentukan oleh keunikan kondisi kewirausahaan. Kajian dari World Economic Forum di tahun 2014 yang didasarkan pada persepsi pengusaha di berbagai belahan dunia mengungkapkan bahwa tiga pilar utama dari ekosistem kewirausahaan yang berkontribusi terhadap pertumbuhan tinggi suatu perusahaan adalah (i) akses pasar, (ii) tenaga kerja, serta (iii) pendanaan dan pembiayaan kewirausahaan.
Gambar 5. Pilar, Komponen dan Faktor Pembentuk Ekosistem Kewirausahaan (Sumber: Isenberg, 2011)
Berdasarkan kategori ekosistem kewirausahaan seperti yang telah diidentifikasi oleh Isenberg, dapat dilakukan pengkategorian faktor-faktor yang membentuk 12 komponen dari tujuh pilar ekosistem kewirausahaan sebagai berikut:
1. Pilar Kebudayaan yang mencakup komponen norma sosial dan penyebarluasan praktik terbaik yang dapat menjadi panutan atau sumber inspirasi. Budaya yang kondusif dalam berwirausaha didukung oleh norma sosial yang berlaku pada lingkungannya, termasuk penerimaan atau toleransi terhadap kegagalan, resiko dan
kesalahan, serta adanya budaya inovasi dan kreatif. Selain itu, kisah sukses yang diliput oleh media atau jejaring sosial mengenai kewirausahaan maupun reputasi baik mengenai berwirausaha juga meruapakan unsur dalam komponen budaya kewirausahaan.
2. Pilar Sumber daya manusia (SDM). Tenaga kerja yang terampil dan terlatih, serta latar belakang orang tua atau keluarga yang berwirausaha termasuk faktor yang membentuk ekosistem kewirausahaan.
3. Pilar Pendidikan yang mencakup komponen pendidikan dan pelatihan. Pendidikan di berbagai tingkat (dasar, menengah dan tinggi) dapat membentuk kapasitas dan kompetensi dasar SDM. Pelatihan teknis dan vokasi juga merupakan faktor penting dalam ekosistem kewirausahaan.
4. Pilar Pembiayaan. Ketersediaan pembiayaan dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan tahap perkembangan dan jenis kewirausahaan sangat penting dalam menentukan pendirian dan keberlanjutan usaha yang didirikan. Pembiayaan yang dibutuhkan dapat mencakup kredit bagi UMKM, peluang kerja sama investasi, modal ventura, pasar modal dan berbagai bentuk pembiayaan lainnya.
5. Pilar Pasar yang mencakup jaringan dan responsivitas konsumen. Pasar yang ramah dalam menyerap produk-produk baru yang ditunjukkan dengan adanya konsumen yang responsif untuk mau beradaptasi dengan membeli produk baru sangat dibutuhkan untuk ekosistem kewirausahaan yang dinamis. Adanya jaringan produksi dan pemasaran yang terintegrasi dan meluas juga menjadi faktor penentu untuk keberlanjutan usaha.
6. Pilar Kebijakan yang mencakup kebijakan Pemerintah dan kepemimpinan.
Pemerintah dalam kelembagaannya yang mencakup peraturan perundangan, kebijakan dan program, anggaran, serta insentif dapat membentuk daya dukung ekternal yang memungkinkan pengembangan dan penguatan ekosistem kewirausahaan. Kebijakan Pemerintah tersebut secara ideal perlu dilengkapi dengan adanya pemimpin atau kepemimpinan yang kondusif yang ditunjukkan oleh strategi kepemimpinan serta komitmen dan ketegasan dalam mendukung pengembangan kewirausahaan.
7. Pilar Penunjang yang mencakup komponen-komponen yang terkait dengan peran lembaga non-Pemerintah, lembaga profesi dan infrastruktur. Peran lembaga non- Pemerintah dibutuhkan dalam mempromosikan kewirausahaan, transfer pengetahuan, dan penguatan jejaring antar wirausaha. Peran lembaga profesi baik yang berkaitan dengan advokasi dan bantuan hukum, akuntansi, perbankan, dan asosiasi akan sangat membantu terutama dalam pengembangan dan penguatan kewirausahaan. Dukungan infrastruktur fisik seperti telekomunikasi, transportasi dan logistik, energi dan air juga merupakan faktor penting yang menentukan ekosistem kewirausahaan yang sehat dan dinamis.
4.2 PILAR EKOSISTEM KEWIRAUSAHAAN DI INDONESIA
Pada tataran negara, pengaruh dari masing-masing pilar untuk membentuk ekosistem kewirausahaan sangat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Hal ini merupakan temuan dari Studi yang dilakukan Mandiri Institute bekerjasama dengan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) Indonesia (2016) berdasarkan pilar ekosistem kewirausahaan yang ditetapkan oleh GEM13. Sembilan pilar ekosistem kewirausahaan GEM yaitu: (i) pembiayaan untuk kewirausahaan, (ii) kebijakan Pemerintah, (iii) program kewirausahaan dari Pemerintah, (iv) pendidikan terkait dengan kewirausahaan, (v) transfer riset dan pengembangan, (vi) infrastruktur komersial dan hukum, (vii) dinamika dan keterbukaan pasar, (viii) infrastruktur fisik, dan (ix) norma sosial dan budaya. Analisis lebih lanjut menunjukkan beberapa pilar yang menjadi pendukung utama dalam ekosistem kewirausahaan di suatu negara berdasarkan pertumbuhan ekonominya dapat dilihat pada Tabel 214. Pilar (i) dukungan dan kebijakan Pemerintah, serta (ii) program kewirausahaan dari Pemerintah merupakan pilar yang penting dalam semua tingkatan pertumbuhan ekonomi di suatu negara.
Tabel 2.
Pilar Utama Ekosistem Kewirausahaan sesuai Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Negara Factor Driven Efficiency Driven Innovation Driven Program kewirausahaan dari
Pemerintah Dukungan dan kebijakan
Pemerintah (umum) Dukungan dan kebijakan Pemerintah (umum) Dukungan dan kebijakan
Pemerintah (umum) Norma sosial dan budaya Program kewirausahaan dari Pemerintah
Norma sosial dan budaya Program kewirausahaan dari
Pemerintah Transfer penelitian dan
pengembangan (R&D transfer) Kebijakan Pemerintah dalam
pajak dan birokrasi Kebijakan Pemerintah dalam
pajak dan birokrasi
Keterbukaan pasar internal Pendidikan tinggi untuk
kewirausahaan
Berdasarkan Tabel 2, berikut adalah hasil pemetaan pilar-pilar ekosistem kewirausahaan yang berperan dalam pengembangan kewirausahaan di Indonesia.
13 Soejachmoen, M., Hermanus, B., Nawangpalupi, C., Pawitan, G. (2016), Fostering Entrepreneurship Ecosystem in Indonesia, Jakarta: Mandiri Institute.
14 Tingkat pertumbunan ekonomi negara menggunakan kategorisasi yang dibuat oleh World Economic Forum berdasarkan Global Competitiveness Index yaitu factor driven, efficiency driven dan innovation driven (Schwab, K. (Ed.). 2015. The Global Competitiveness Report 2014–2015. Geneva: World Economic Forum).
Tabel 3.
Pilar-pilar Ekosistem Kewirausahaan di Indonesia Pilar Ekosistem
Kewirausahaan Uraian
Peraturan perundangan dan kebijakan Pemerintah terkait kewirausahaan
Peraturan Perundang-undangan:
UU No. 25 /2007 tentang Investasi UU No. 20 / 2008 tentang UKM UU No. 40/2009 tentang Kepemudaan
UU No. 1/2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro UU No 3/2014 tentang Perindustrian
UU No 7/2014 tentang Perdagangan
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
PP No. 41/2011 tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda serta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan
PP No. 60/2013 tentang Susunan Organisasi, Personalia, dan Mekanisme Kerja Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP)
Perpres No. 27/2013 tentang Inkubator Wirausaha Rencana Pembangunan:
Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga 2015-2019, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan kewirausahaan
Program Pemerintah terkait
kewirausahaan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Gerakan ini diperbaharui sejak tahun 2011 yang ditujukan untuk menciptakan wirausaha baru yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Selain itu, banyak kegiatan yang dilakukan oleh 12 Kementerian/ Lembaga (K/L) yang mencakup (i) pemasyarakatan kewirausahaan, (ii) pelatihan kewirausahaan termasuk untuk technopreneur dan wirausaha sosial, (iii) inkubasi, (iv) pendampingan, (v) praktik usaha/ magang, (vi) fasilitasi infrastruktur, (vii) fasilitasi inkubator bisnis, (viii) penyediaan start-up capital, dan (ix) peningkatan produktivitas wirausaha.
Pendanaan bagi
kewirausahaan Pemerintah memfasilitasi akses wirausaha pada pembiayaan melalui:
Kredit Usaha Rakyat (KUR), dana bergulir, kredit/pembiayaan lainnya yang dikelola Lembaga Keuangan milik Pemerintah, serta bantuan start-up capital (hibah).
Melalui PP No. 60/2013 tentang Susunan Organisasi, Personalia, dan Mekanisme Kerja Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP), Pemerintah juga memfasilitasi permodalan bagi wirausaha pemuda.
Transfer hasil-hasil litbang Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah mengalokasikan Rp 8,4 miliar (sekitar 0,6 juta dolar US) untuk mengembangkan penelitian. Berbagai K/L seperti Kementerian
Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Desa-PDT- Transmigrasi, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pemuda dan Olah Raga mendukung peningkatan produktivitas wirausaha melalui bantuan peralatan atau teknologi tepat guna, baik yang dihasilkan litbang perguruan tinggi maupun swasta.
(Keterangan: data dikompilasi dari berbagai Kementerian/Lembaga dan RKP 2017)
4.3 PERILAKU WIRAUSAHA DI INDONESIA
Kewirausahaan merupakan sebuah faktor pendorong yang penting dalam penguatan ekonomi Indonesia. Penumbuhan wirausaha baru merupakan pembibitan (nursery) dari usaha-usaha produktif yang dijalankan masyarakat pada skala mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pada waktunya, UMKM akan tumbuh menjadi usaha yang mapan dan berdaya saing, sehingga mampu memainkan peran dalam penciptaan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, penciptaan devisa melalui ekspor, penumbuhan investasi serta pemerataan pendapatan penduduk. Namun, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah apakah penumbuhan kewirausahaan di Indonesia benar-benar mendukung tumbuhnya UMKM yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi usaha yang mapan dan berperan dalam perekonomian.
Gambar 6: Fase Kewirausahaan (Diterjemahkan dari: Amoros & Bosma, 2014)
Sebagian dari jawaban atas pertanyaan di atas dapat merujuk pada temuan GEM15 tentang aktivitas wirausaha di Indonesia. Profil kewirausahaan di Indonesia dapat dikatakan menarik, sebagaimana ditunjukkan dari hasil pengukuran total early-stage entrepreneurial activity (TEA) yang mengukur tingkat partisipasi dari sebuah negara dalam tahap awal kewirausahaan atau wirausaha pemula. TEA (Gambar 6) sendiri merupakan model untuk menentukan fase-fase kewirausahaan yang dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu:
1. Wirausaha Dini (Nascent Entrepreneur) adalah individu yang telah terlibat dalam pendirian usaha namun belum mendapatkan keuntungan dari usaha tersebut dalam jangka waktu 3 bulan sejak berdiri.
Total Early-Stage Entrepreneurial Activity (TEA) Wirausaha
potensial:
kesempatan, pengetahuan &
kemampuan
Wirausaha mapan (lebih dari 3,5
tahun)
Atribut Individual:
Gender Usia Motivasi
Sektor Industri Dampak
Pertumbuhan usaha Inovasi Ekspor Keluar usaha
Penyemaian calon
wirausaha Kelahiran Bertahan
Wirausaha dini:
terlibat dalam pendirian usaha
Wirausaha baru (s.d. 3,5 tahun)
2. Wirausaha Baru (Baby Entrepreneur) adalah individu yang telah terlibat dalam kepemilikan usaha dan sudah mendapatkan keuntungan dari usaha tersebut dalam periode waktu kurang dari 42 bulan (3,5 tahun) sejak berdiri.
3. Wirausaha Mapan (Established Entrepreneur) adalah individu yang telah terlibat dalam kepemilikan usaha dan sudah mendapatkan keuntungan dari usaha tersebut dalam periode lebih dari 42 bulan (3,5 tahun) sejak berdiri.
Berdasarkan TEA, kategori wirausaha dini (nascent) dan wirausaha baru (baby) dapat mewakili populasi wirausaha pemula. Definisi wirausaha ini belum membedakan mereka yang teregistrasi, kemampuan berinovasi, maupun pembedaan apakah pilihan berwirausaha didasarkan atas kebutuhan atau adanya kesempatan. Dalam pengembangan fase-fase ini, GEM juga menilai berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan usahanya, termasuk profil demografis, sektor usaha dan bentuk pertumbuhan dan inovasi.
Gambar 7: Persentase Wirausaha Pemula di ASEAN (Sumber: GEM, 2013, 2014)
Berdasarkan data GEM dari tahun 2013-2014, Indonesia memiliki tingkat partisipasi kewirausahaan yang tinggi16 apabila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain yang menjadi anggota GEM.
Singapura dan Malaysia adalah negara di Asia Tenggara yang cenderung memiliki angka partisipasi kewirausahaan dalam tahap awal (TEA) yang rendah, dengan nilai 7% untuk Malaysia dan 11% untuk Singapura di tahun 2014. Namun, jika dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh para wirausaha dini dan baru (atau wirausaha pemula/TEA), Indonesia memiliki angka yang sangat rendah. Di tahun 2014, rata-rata pegawai yang
16 Lihat Laporan GEM Indonesia: Nawangpalupi, C. B., Pawitan, G., Gunawan, A., Widyarini, M., Bisowarno, B.H. & Iskandarsjah, T. (2015). Global Entrepreneurship Monitor 2014 Indonesia Report Retrieved from http://gemconsortium.org/report
26
7
18
11
15
19
16 14
6
23
11
15
18
15
Indonesia Malaysia Thailand Singapore Vietnam Philippines Average
Total Early-stage Entrepreneurial Activity (%TEA terhadap penduduk dewasa)
2013 2014
dimiliki para wirausaha dini adalah 0,2 orang dan wirausaha baru adalah 1,9 orang.
Sebagai perbandingan, rata-rata tenaga kerja yang dimiliki wirausaha dini di Singapura hanya 0,1 orang namun untuk wirausaha baru adalah 9,5 orang. Hal ini menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dari wirausaha di Singapura saat baru saja berdiri dan dalam tahap tumbuh (3,5 tahun pertama)17. Jumlah tenaga kerja yang rendah pada wirausaha baru di Indonesia ini menunjukkan bahwa mayoritas usaha baru di Indonesia adalah usaha mikro, dan kecenderungan ini tetap sama untuk usaha yang sudah lebih mapan maupun harapan jangka panjang dari para wirausaha ini. Kondisi ini belum mampu menjawab pertanyaan apakah penumbuhan kewirausahaan di Indonesia mendukung tumbuhnya UMKM yang mapan dan berkontribusi dalam perekonomian.
Situasi serupa ditemukan dari hasil analisis lanjutan dari data GEM di tahun 2013 dan 201418. Gambar 7 menunjukkan bahwa Indonesia cenderung memiliki tingkat partisipasi wirausaha pemula (wirusaha dini dan baru) yang tinggi, seperti Thailand, Filipina dan Vietnam, dibandingkan dengan partisipasi wirausaha di Malaysia dan Singapura. Namun tingkat partisipasi wirausaha pemula ternyata tidak berbanding lurus dengan keinginan atau apsirasi para wirausaha untuk berkembang. Harapan mengenai pertumbuhan jumlah tenaga kerja, atau yang dalam data GEM disebut aspirasi untuk tumbuh (growth expectation), dinilai melalui persepsi para wirausaha mengenai harapan mereka untuk mau menambah minimum 5 orang pegawai dalam lima tahun ke depan. Ternyata, harapan tumbuh dari para wirausaha pemula di Indonesia sangat rendah yaitu 4 persen di tahun 2013 dan 6 persen di tahun 2014. Angka tersebut merupakan yang terendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sebagai perbandingan, Singapura memiliki angka partisipasi wirausaha yang relatif rendah (11 persen), namun wirausahanya memiliki aspirasi untuk tumbuh yang sangat tinggi. (43 persen). Negara yang kondisinya serupa dengan Indonesia adalah Filipina.
17 Diolah lebih lanjut berdasarkan data GEM yang dikumpulkan pada tahun 2014 dan 2015 (merujuk pada data www.gemconsortium.org).
18 Data dikompilasi dari dua laporan GEM Indonesia dan laporan GEM ASEAN: Nawangpalupi, C. B., Pawitan, G., Gunawan, A., Widyarini, M., & Iskandarsjah, T. (2014). Global Entrepreneurship Monitor 2013 Indonesia Report Retrieved from http://gemconsortium.org/report; Nawangpalupi, C. B., Pawitan, G., Gunawan, A., Widyarini, M., Bisowarno, B.H. & Iskandarsjah, T. (2015). Global Entrepreneurship Monitor 2014 Indonesia Report Retrieved from http://gemconsortium.org/report, dan Xavier, R. Guelich, U., Kew, P. Nawangpalupi, CB, Velasco, A. (2015) Driving Asean Entrepreneurship: Policy Opportunities For Inclusiveness And Sustainable Entrepreneurial Growth, Retrieved from http://gemconsortium.org/report.
4
15 16
51
29
6 6
11 9
43
17
7
Indonesia Malaysia Thailand Singapore Vietnam Philippines
Aspirasi untuk Tumbuh
(dalam % terhadap keseluruhan TEA)
2013 2014
Gambar 8: Aspirasi untuk tumbuh dari kewirausahaan di ASEAN
Kondisi serupa juga ditemukan pada penilaian aspirasi untuk menjadi wirausaha global atau keingingan untuk internasionalisasi. Penilaian mengenai aspirasi internasionalisasi ini didasarkan pada pertanyaan apakah ada minimum 25 persen dari pelanggannya berasal dari negara lain. Di tahun 2014, hanya 7,7 persen dari wirausaha pemula Indonesia yang memiliki minimum 25 persen pelanggan di luar Indonesia. Angka ini jauh berbeda dengan Singapura, di mana 37 persen dari wirausaha pemula mereka memiliki minimum 25 persen pelanggan dari negara lain di luar Singapura. Namun, angka aspirasi internasionalisasi untuk wirausaha pemula di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan wirausaha pemula di Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam yang memiliki kisaran aspirasi internasionalisasi antara 1 – 4 persen saja.
Namun, selain kedua aspirasi di atas, GEM juga mengukur karakter wirausaha di Indonesia dari tingkat kepuasan hidup dan kondisi kerja (keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan) sebagai wirausaha. Penilaian ini penting bagi para wirausaha untuk terus mau mempertahankan usahanya dan kemudian meningkatkan aspirasi untuk tumbuh dan berkembang. Secara umum penduduk Indonesia memiliki kepuasan hidup yang tidak lebih tinggi dari penduduk di negara-negara Asia Tenggara lain. Para wirausaha mapan dan wirausaha dini di Indonesia menilai bahwa mereka memiliki kepuasan hidup dan kondisi kerja yang sama dengan rata-rata orang dewasa lain di Indonesia. Namun, hal yang perlu menjadi perhatian adalah perbedaan yang signifikan dalam kepuasan hidup dan kondisi kerja bagi wirausaha yang berhenti dari kegiatan kewirausahaan, yang menunjukkan tingginya persepsi kekecewaan dan keputusasaan.
4.4 NORMA SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN
Hasil penelitian GEM di Indonesia pada tahun 2013 dan 2014 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki persepsi sosial yang sangat positif mengenai
kewirausahaan (Tabel 4). Secara umum, penduduk Indonesia juga menilai bahwa berwirausaha merupakan pilihan karir yang diinginkan dan menjadi wirausaha yang sukses merupakan status sosial yang baik. Selama dua tahun berturut-turut melakukan survei penilaian kewirausahaan ini, persepsi mengenai pilihan karir yang diinginkan dan status sosial dalam berwirausaha diakui oleh lebih dari 70 persen responden.
Tabel 4
Persepsi sosial masyarakat Indonesia mengenai berwirausaha
Persepsi mengenai Berwirausaha 2013 2014 2015
Persentase orang dewasa Indonesia yang menganggap berwirausaha adalah karir yang diinginkan (persen)
71% 73% 74%
Persentase orang dewasa Indonesia yang melihat kesuksesan dalam berwirausaha merupakan status sosial yang baik
80% 78% 81%
4.5 PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN
Kewirausahaan sebagai upaya penciptaan usaha baru yang berkontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik dari Pemerintah19, dunia usaha, maupun pemangku kepentingan lainnya. Pengembangan usaha baru telah menjadi faktor pembentuk kekuatan perekonomian untuk bertahan dalam dinamika ekonomi global. Pengalaman krisis ekonomi global menunjukkan di satu sisi banyak perusahaan besar berkinerja menurun bahkan tutup; namun di sisi lain, usaha baru yang masuk dalam skala UMKM tetap dapat tumbuh dan berkembang. Hal ini terjadi juga di Indonesia baik dalam krisis moneter di tahun 1998 dan krisis global 2008-200920. Skala yang kecil dari usaha baru dan usaha yang sedang tumbuh menyebabkan mereka lebih fleksibel dalam merespon perubahan yang diwujudkan dalam bentuk diversifikasi usaha atau bergeser ke jenis usaha yang berbeda. Pertumbuhan mereka dapat memberikan dampak positif dalam pembangunan ekonomi negara, terutama dalam penciptaan lapangan kerja, serta pengembangan inovasi, dan nilai sosial21.
Kewirausahaan memiliki dua makna penting, pertama menciptakan, memiliki dan mengelola usaha; dan kedua perilaku untuk menangkap peluang dan kemampuan untuk mengelola resiko22. Kedua makna tersebut juga mencerminkan dua dimensi yang berbeda yaitu penciptaan pemilikan dan pengelolaan usaha, dan sikap dan perilaku
19 Wennekers, S., van Stel, A., Thurik, R., & Reynolds, P. (2005). Nascent Entrepreneurship and the Level of Economic Development. Small Business Economics, 24(3), 293-309.
20 Tambunan, T. (2010). The Indonesian Experience with Two Big Economic Crises. Modern Economy, 1(3), 156-167.
21 Singer, S., Amorós, J. E., & Arreola, D. M. (2015). Global Entrepreneurship Monitor 2014 Global Report:
Global Entrepreneurship Monitor Association.
22 Lihat Reynolds, P., Bosma, N., Autio, E., Hunt, S., Bono, N. D., Servais, I., Chin, N. (2005). Global Entrepreneurship Monitor: Data Collection Design and Implementation 1998-2003. Small BusinessEconomics, 24(3), 205-231 dan Sternberg, R., & Wennekers, S. (2005). Determinants and Effects of New Business Creation Using Global Entrepreneurship Monitor Data. Small Business Economics, 24(3), 193-203.
kewirausahaan. Secara khusus, Zahra dan Nambisan menyatakan bahwa dalam berwirausaha ada semangat dalam penciptaan dan semangat dalam menjalankan dan mempertahankan usaha23. Zahra dan Nambisan mendefinisikan kewirausahaan sebagai penciptaan usaha baru melalui mekanisme yang melibatkan semangat (misalnya sikap dan aspirasi), aktor (misalnya pengusaha, organisasi), faktor (misalnya pasar, regulasi, skema keuangan, dukungan dan budaya), dan proses (misalnya inovasi, penelitian dan pengembangan, bisnis kecanggihan). Dalam definisi ini, ada yang mendasari semangat kewirausahaan yang terdiri dari sikap dan aspirasi. Nandram dan Samsom mendefinisikan kewirausahaan sebagai mekanisme batin dalam semangat seseorang24. Semangat kewirausahaan ditunjukkan dari sikap orang yang selalu memiliki pikiran yang positif, menantang risiko, dan bertindak dengan tekad. Buchholz dan Rosenthal juga mendefinisikan semangat kewirausahaan sebagai motivasi diri dalam dan sikap dalam menangani kegiatan kewirausahaan25.
Di dalam perkembangannya, kewirausahaan juga melibat semangat, aktor, faktor, dan proses yang berbeda dibandingkan dengan kewirusahaan pada umumnya. Dua di antaranya yang dapat dibedakan secara jelas adalah kewirausahaan teknologi dan kewirausahaan sosial. Keduanya memiliki semangat inovasi untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang diwujudkan dalam suatu kegiatan kewirausahaan.
Kewirausahaan Teknologi
Berdasarkan definisi dari US Legal, kewirausahaan teknologi adalah kewirausahaan yang memiliki visi dan misi untuk menciptakan sesuatu yang baru (invensi), dan menerapkan kebaruan tersebut (inovasi) melalui penciptaan teknologi dan menjalankan proses inovasinya melalui sebuah usaha yang berkelanjutan. Ini menunjukkan bahwa wirausaha teknologi memiliki sebuah invensi yang selanjutnya diterapkan dalam sebuah usaha, dan menggunakan teknologi. Di Singapura, wirausaha berbasis teknologi dianggap sebagai para wirausaha yang menciptakan teknologi.
Shane dalam modelnya mengenai kewirausahaan teknologi menyatakan bahwa dari perkembangan langkahnya, ide berbasis sains dan teknologi yang menghasilkan pembentukan entitas ekonomi dimulai dengan peluang yang baru yang perlu dikembangkan atau diterapkan lebih lanjut26. Atribut individu dari pencipta ide dan kondisi lingkungan yang akan bersama-sama membentuk kesempatan, yang mengarah ke penemuan dan evaluasi peluang, yang berpuncak pada tindakan penciptaan
23 Zahra, S. A., & Nambisan, S. (2012). Entrepreneurship and strategic thinking in business ecosystems.
Business Horizons, 55(3), 219-229.
24 Nandram, S. S., & Samsom, K. J. (2006). The Spirit of Entrepreneurship: Exploring the Essence of Entrepreneurship Through Personal Stories: Springer Berlin Heidelberg.
25 Buchholz, R. A., & Rosenthal, S. B. (2005). The Spirit of Entrepreneurship and the Qualities of Moral Decision Making: Toward A Unifying Framework. [journal article]. Journal of Business Ethics, 60(3), 307- 315
26 Lihat Shane, S. (2003). A general theory of entrepreneurship. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing Limited.