• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN

Kewirausahaan sebagai upaya penciptaan usaha baru yang berkontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi dan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik dari Pemerintah19, dunia usaha, maupun pemangku kepentingan lainnya. Pengembangan usaha baru telah menjadi faktor pembentuk kekuatan perekonomian untuk bertahan dalam dinamika ekonomi global. Pengalaman krisis ekonomi global menunjukkan di satu sisi banyak perusahaan besar berkinerja menurun bahkan tutup; namun di sisi lain, usaha baru yang masuk dalam skala UMKM tetap dapat tumbuh dan berkembang. Hal ini terjadi juga di Indonesia baik dalam krisis moneter di tahun 1998 dan krisis global 2008-200920. Skala yang kecil dari usaha baru dan usaha yang sedang tumbuh menyebabkan mereka lebih fleksibel dalam merespon perubahan yang diwujudkan dalam bentuk diversifikasi usaha atau bergeser ke jenis usaha yang berbeda. Pertumbuhan mereka dapat memberikan dampak positif dalam pembangunan ekonomi negara, terutama dalam penciptaan lapangan kerja, serta pengembangan inovasi, dan nilai sosial21.

Kewirausahaan memiliki dua makna penting, pertama menciptakan, memiliki dan mengelola usaha; dan kedua perilaku untuk menangkap peluang dan kemampuan untuk mengelola resiko22. Kedua makna tersebut juga mencerminkan dua dimensi yang berbeda yaitu penciptaan pemilikan dan pengelolaan usaha, dan sikap dan perilaku

19 Wennekers, S., van Stel, A., Thurik, R., & Reynolds, P. (2005). Nascent Entrepreneurship and the Level of Economic Development. Small Business Economics, 24(3), 293-309.

20 Tambunan, T. (2010). The Indonesian Experience with Two Big Economic Crises. Modern Economy, 1(3), 156-167.

21 Singer, S., Amorós, J. E., & Arreola, D. M. (2015). Global Entrepreneurship Monitor 2014 Global Report:

Global Entrepreneurship Monitor Association.

22 Lihat Reynolds, P., Bosma, N., Autio, E., Hunt, S., Bono, N. D., Servais, I., Chin, N. (2005). Global Entrepreneurship Monitor: Data Collection Design and Implementation 1998-2003. Small BusinessEconomics, 24(3), 205-231 dan Sternberg, R., & Wennekers, S. (2005). Determinants and Effects of New Business Creation Using Global Entrepreneurship Monitor Data. Small Business Economics, 24(3), 193-203.

kewirausahaan. Secara khusus, Zahra dan Nambisan menyatakan bahwa dalam berwirausaha ada semangat dalam penciptaan dan semangat dalam menjalankan dan mempertahankan usaha23. Zahra dan Nambisan mendefinisikan kewirausahaan sebagai penciptaan usaha baru melalui mekanisme yang melibatkan semangat (misalnya sikap dan aspirasi), aktor (misalnya pengusaha, organisasi), faktor (misalnya pasar, regulasi, skema keuangan, dukungan dan budaya), dan proses (misalnya inovasi, penelitian dan pengembangan, bisnis kecanggihan). Dalam definisi ini, ada yang mendasari semangat kewirausahaan yang terdiri dari sikap dan aspirasi. Nandram dan Samsom mendefinisikan kewirausahaan sebagai mekanisme batin dalam semangat seseorang24. Semangat kewirausahaan ditunjukkan dari sikap orang yang selalu memiliki pikiran yang positif, menantang risiko, dan bertindak dengan tekad. Buchholz dan Rosenthal juga mendefinisikan semangat kewirausahaan sebagai motivasi diri dalam dan sikap dalam menangani kegiatan kewirausahaan25.

Di dalam perkembangannya, kewirausahaan juga melibat semangat, aktor, faktor, dan proses yang berbeda dibandingkan dengan kewirusahaan pada umumnya. Dua di antaranya yang dapat dibedakan secara jelas adalah kewirausahaan teknologi dan kewirausahaan sosial. Keduanya memiliki semangat inovasi untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang diwujudkan dalam suatu kegiatan kewirausahaan.

Kewirausahaan Teknologi

Berdasarkan definisi dari US Legal, kewirausahaan teknologi adalah kewirausahaan yang memiliki visi dan misi untuk menciptakan sesuatu yang baru (invensi), dan menerapkan kebaruan tersebut (inovasi) melalui penciptaan teknologi dan menjalankan proses inovasinya melalui sebuah usaha yang berkelanjutan. Ini menunjukkan bahwa wirausaha teknologi memiliki sebuah invensi yang selanjutnya diterapkan dalam sebuah usaha, dan menggunakan teknologi. Di Singapura, wirausaha berbasis teknologi dianggap sebagai para wirausaha yang menciptakan teknologi.

Shane dalam modelnya mengenai kewirausahaan teknologi menyatakan bahwa dari perkembangan langkahnya, ide berbasis sains dan teknologi yang menghasilkan pembentukan entitas ekonomi dimulai dengan peluang yang baru yang perlu dikembangkan atau diterapkan lebih lanjut26. Atribut individu dari pencipta ide dan kondisi lingkungan yang akan bersama-sama membentuk kesempatan, yang mengarah ke penemuan dan evaluasi peluang, yang berpuncak pada tindakan penciptaan

23 Zahra, S. A., & Nambisan, S. (2012). Entrepreneurship and strategic thinking in business ecosystems.

Business Horizons, 55(3), 219-229.

24 Nandram, S. S., & Samsom, K. J. (2006). The Spirit of Entrepreneurship: Exploring the Essence of Entrepreneurship Through Personal Stories: Springer Berlin Heidelberg.

25 Buchholz, R. A., & Rosenthal, S. B. (2005). The Spirit of Entrepreneurship and the Qualities of Moral Decision Making: Toward A Unifying Framework. [journal article]. Journal of Business Ethics, 60(3), 307- 315

26 Lihat Shane, S. (2003). A general theory of entrepreneurship. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing Limited.

entitas/usaha baru. Walker (2012)27 menyatakan bahwa dalam penciptaan kesempatan pengembangan usaha dari ide berbasis sains dan teknologi diperlukan bantuan kantor/unit yang melakukan proses transfer teknologi (TTO, transfer echnology office) yang mengalokasikan waktu untuk mengidentifikasi kesempatan yang potensial dikembangkan. Perlunya pihak lain dari pencipta ide disebabkan karena para pencipta biasanya lebih fokus pada penelitian dan tidak terlalu paham dalam komersialisasi idenya. Pengetahuan terdahulu mengenai pasar yang mampu membantu para pencipta ide untuk merealisasikan idenya dal bentuk kesempatan usaha. Walker menekankan peran universitas sebagai institusi penelitian dan penemuan pengetahuan memegang peranan penting dalam penciptaan wirausaha teknologi, khususnya universitas yang memiliki fleksibilitas dalam proses pencarian pengetahuan dan perancangan solusi yang terbaik. Selain itu, lingkungan universitas, perilaku dan budaya penelitian serta pemahaman akan norma komersialisasi pengetahuan menjadi syarat penting untuk mendukung penciptaan kesempatan usaha.

Pengembangan ide berbasis sains dan teknologi memerlukan waktu yang panjang mulai dari uji dalam skala kecil, uji coba dalam skala pasar sampai dengan komersialisasinya.

Terdapat beberapa tahap yang berbeda dengan wirausaha biasa bagi wirausaha teknologi untuk memulai usahanya, yaitu: adanya tahap pembenihan (Seed Stage) yang terdiri dari pengembangan ide ke pengembangan produk, tahap pertumbuhan (Growth Stage) yang terdiri dari validasi pasar dan uji dalam skala terbatas, dan selanjutnya penjualan (Trade Stage) untuk peluncuran produk ke pasar.

Loh dari Red Dot Ventures28 menyatakan bahwa dalam kasus Singapura, terdapat berbagai pihak yang menjadi ekosistem yang membentuk wirausaha teknologi, yaitu dukungan pemerintah dalam dana riset dan pengembangan (R&D), insentif pemerintah untuk investasi teknologi, komersialisasi dan penciptaan entitas usaha dimulai dari penciptaan kesempatan usaha, dana privat melalui ventura atau angel investor dalam mendanai ide usaha agar dapat dikembangkan lebih lanjut. Selain itu, diperlukan mentor dan platform yang mendukung untuk para wirausaha teknologi mampu memvalidasi produknya ke pasar yang tepat (daam tahap pertumbuhan). Hal ini diperlukan mengingat biaya kegagalan untuk usaha berbasis teknologi akan lebih besar jika gagal saat sudah dalam tahap penjualan ke pasar.

Kewirausahaan Sosial

Konsep kewirausahaan sosial muncul sejak tahun 1972 dan mulai dikenal meluas pada tahun 1980 saat Bill Drayton dari Ashoka mendanai inovator sosial di berbagai negara, dan Edward Skloot dari New Ventures membantu lembaga nirlaba untuk mencari sumber pembiayaan alternatif.

27 Walker, K. (2012). The technopreneurship process: Academic entrepreneur university spin-offs. RIThink, 2, 11-22.

28 Lihat Loh, Leslie (2013), Learn To Be a Technopreneur & Create Your Tech Startup, Red Dot Venture, diakses dari https://www.ies.org.sg/temp/iesstartup.pdf

Istilah kewirausahaan sosial sendiri menurut Schwab adalah sebuah transformasi ide yang berbasis pada keberlanjutan lingkungan dan/atau isu sosial menjadi produk atau jasa29. Hal ini mencakup berbagai usaha yang memiliki tujuan-tujuan sosial sebagai tujuan utama, dan bahwa mereka menginvestasikan kembali keuntungan mereka kembali ke perusahaan atau masyarakat30. Kewirausahaan Sosial memfokuskan usahanya pada tujuan dan hasil yang didefinisikan sebagai upaya inovatif untuk memecahkan masalah- masalah sosial mengenai kemiskinan dan marginalisasi yang telah berhasil memberikan dampak dan mempercepat transformasi social31 . Yayasan Schwab sebagai praktisi kewirausahaan sosial, menggambarkan kewirausahaan sosial sebagai sebuah penerapan pendekatan yang praktis, inovatif dan berkelanjutan, yang dibuat untuk memberikan manfaat kepada masyarakat umum dengan menekankan pada kaum terpinggirkan (termarjinalisasi) dan miskin32.

Mirip dengan wirausaha tradisional atau wirausaha pada umumnya, para wirausaha sosial bergantung pada proses inovasi, khususnya inovasi sosial yang berfokus terutama pada proses asosiasi atau menghubungkan masalah dan solusi, bertanya, mengamati, mengembangkan jejaring dan melakukan uji coba. Wirausaha sosial harus mengetahui masalah-masalah sosial yang perlu diselesaikan dengan merancang berbagai pertanyaan dan melakukan pengamatan. Mereka harus membangun mereka sendiri jejaring profesional termasuk dengan para akademisi, praktisi dan masyarakat itu sendiri, untuk memperkuat argumen mereka dan membantu mereka mengembangkan ide-ide. Tugas yang paling penting dari seorang wirausaha sosial sebagai inovator adalah untuk membuat hubungan antara ide, pengetahuan, fakta, situasi serta mengujiannya ke dalam sebuah pekerjaan atau proyek yang bermanfaat bagi masyarakat.

Konsep kewirausahaan sosial telah dikenal di Indonesia sejak abad ke-20, ketika Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta memperkenalkan konsep koperasi untuk menghilangkan masalah-masalah ekonomi di Indonesia. Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia memiliki beberapa masalah sosial yang perlu diselesaikan.

Sebagai contoh, sekitar 105 juta orang di Indonesia masih hidup tanpa listrik. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala mikro dan kecil diusulkan dan diujicobakan selama bertahun-tahun. Namun kendala keuangan dan keterbatasan regulasi membatasi teknologi digunakan dalam skala besar. Meskipun kapasitas sumber daya alam untuk pembangkit listrik ditemukan khususnya di daerah pedeaan, namun masih banyak masyarakat Indonesia yang masih hidup tanpa listrik. Untuk mengatasi masalah ini, Tri Mumpuni muncul sebagai seorang pengusaha sosial yang membantu masyarakat di pedesaan Indonesia untuk memanfaatkan tenaga air sebagai sumber listrik. Inovasi sosial

29 Schwab, K. (2008), “Global corporate citizenship; working with governments and civil society”, Foreign Affairs, Vol. 87 No. 1, pp. 107-13

30 Morris, M. (2007), “Social enterprise’s crowning glory”, New Statesman, May 21, pp. 28-30.

31 Lihat Alvord, S.H., Brown, D. and Letts, C.W. (2004), “Social entrepreneurship. Leadership that facilitates societal transformation – an exploratory study”, working paper, Center for Public Leadership, Kennedy School of Government, available at: dspace.mit.edu/bitstream/handle/1721.1/55803/ CPL_WP_03_5_

AlvordBrownLetts.pdf?sequence=1 (accessed November 28, 2015), halaman 137.

32 Schwab Foundation (2008), available at: www.schwabfound.org/content/what-social-entrepreneur (accessed November 28, 2015).

yang dilakukan Mumpuni adalah dengan menjaga pemanfaatan dan pengelolaan listrik ini dengan berbasis pada masyarakat. Keberlanjutan usaha ini akan sangat bergantung pada masyarakat yang memiliki sistem pengembangan dan pengelolaannya. Mumpuni mengembangkan mekanisme koperasi lokal untuk mempertahankan keberlanjutan pengeolalaan sumber listrik ini.

Kewirausahaan sosial di Indonesia saat ini berjalan dengan dukungan Pemerintah yang terbatas. Secara kelembagaan, kewirausahaan sosial di Indonesia masih menggunakan struktur badan usaha yang sama seperti kewirausahaan tradisional, yaitu:

1. Perseroan Terbatas (PT): dimiliki oleh pemegang saham, dengan karakteristik pencarian keuntungan dan diperbolehkan untuk mencari investor.

2. Organisasi (Perkumpulan): asosiasi yang bertujuan sosial tanpa memiliki tujuan untuk mencari keuntungan.

3. Yayasan: organisasi yang beroperasi tidak untuk mencari keuntungan, namun dapat memperoleh keuntungan pajak dan hibah untuk didistribusikan sebagai sumbangan dan kegiatan amal.

4. Koperasi: organisasi yang berbasis keanggotaan yang diperbolehkan untuk mengumpulkan dana, memperoleh keuntungan, dan tidak menerima manfaat pajak.

Boston Consulting Group mengidentifikasi empat kriteria untuk menentukan kewirausahaan sosial, dan membedakannya dari organisasi nirlaba berbasis sumbangan maupun usaha biasa yang mencari keuntungan. Wirausaha sosial yang benar harus memenuhi seluruh kriteria berikut, yaitu33:

1. Dampak sosial adalah tujuan utama dari wirausaha sosial. Visi dan misi, serta tujuan utama dari perusahaan-perusahaan sosial adalah untuk memecahkan masalah- masalah sosial. Isu-isu sosial dapat didefinisikan secara luas, termasuk namun tidak terbatas pada, kemiskinan dan perhatian pada kaum yang kurang beruntuk atau termarjinalisasi. Wirausaha sosial harus secara konsisten menyampaikan komitmen mereka terhadap dampak sosial dalam komunikasi mereka terhadap publik.

2. Wirausaha sosial menggunakan model bisnis yang menegaskan tujuan sosialnya yaitu model bisnis yang memberikan informasi mengenai bagaimana usaha memperoleh pemasukan untuk menjamin keberlangsungan usaha dan tetap melayani kelompok atau populasi yang termarjinalisasi.

3. Wirausaha sosial memperhatikan target dampak sosial dan keuntungan untuk menjamin keberlanjutan secara seimbang. Kewirausahaan sosial tidak hanya menetapkan target kinerja ekonomi, tetapi juga menilai kinerja sosialnya. Tujuannya adalah untuk tidak selalu memaksimalkan keuntungan namun mereka mendapatkan pemasukan dengan tingkat pengembalian yang baik.

4. Wirausaha sosial menginvestasikan kembali keuntungan yang diperolehnya.

Wirausaha sosial memaksimalkan dampak sosial dengan menginvestasikan kembali uangnya sesuai dengan model usaha sosialnya atau disalurkan pada kegiatan lain berbasis masalah sosial.

33 Yulius, et.al. The Art Of Sustainable Giving. The Boston Consulting Group, pp. 6-7

Berdasarkan model kewirausahaan sosial, ada empat jenis usaha sosial di Indonesia34: 1. Kewirausahaan sosial berbasis komunitas

Pembentukan usaha sosial yang berbasis masyarakat atau komunitas umumnya berangkat dari kebutuhan masyarakat yang memiliki kondisi, kepentingan, masalah, atau kebutuhan yang sama. Secara umum, konsumen juga penerima manfaat.

Anggota perusahaan ini bergabung dengan komunitas dan bekerja sama untuk memecahkan masalah mereka. Kewirausahaan sosial berbasis komunitas adalah sebuah perusahaan sosial dengan proses bisnis yang paling tradisional. Di Indonesia, banyak perusahaan jenis ini dapat ditemukan dalam bentuk koperasi.

2. Kewirausahaan nirlaba

Jenis kewirausahaan sosial ini didirikan untuk memberikan dampak sosial. Kegiatan langsung ditujukan dengan mencari akar masalah. Pembentukan kewirausahaan sosial umumnya dimulai oleh orang-orang yang peduli dan mempunyai niat untuk membantu pemecahan masalah dari masyarakat, bukan oleh anggota masyarakat yang mengalami masalah. Jenis kewirausahaan sosial yang masuk dalam kategori biasanya mendanai sendiri melalui sumbangan, tapi pendapatan dilengkapi dengan penerimaan dari penjualan barang dan jasa.

3. Kewirausahaan Sosial hibrida

Jenis kewirausahaan sosial hibrida umumnya memiliki keberlanjutan dan pengembangan berorientasi target. Komposisi dana adalah diversifikasi yang agak seimbang antara komposisi dana sosial, dana semi komersial, dan dana komersial.

Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan sebagian besar pendapatan mereka dari penjualan barang dan jasa. Namun beberapa persentase kecil dari anggaran mereka masih berasal dari sumbangan.

4. Kewirausahaan Sosial untuk mencari keuntungan

Selain menentukan target pada keberlanjutan dan pengembangan usaha, jenis kewirausahaan ini menginginkan usahanya dapat tumbuh. Keuntungan diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa dan keuntungan ini diinvestasikan kembali ke dalam usaha. Agar sepenuhnya independen dan menghilangkan ketergantungan terhadap individu atau penyandang dana kelembagaan.

34 Yulius, et.al. (2015) The Art Of Sustainable Giving. Jakarta: The Boston Consulting Group.

5. DEFINISI PENGEMBANGAN

Dokumen terkait