2.9 Tatalaksana asma pada kehamilan
Wanita hamil dengan asma membutuhkan pemantauan lebih sering selama kehamilan. Serangan asma (asma eksaserbasi ) lebih sering terjadi pada minggu 24 dan minggu 36 kehamilan. Penyebab tersering serangan asma adalah infeksi virus, diikuti oleh ketidakpatuhan dalam terapi inhalasi kortikosteroid(CTM Guideline 2021). Sebagian besar perempuan hamil dengan asma mengurangi atau menghentikan pengobatan selama kehamilan, maka edukasi merupakan strategi terapi non-farmakologi yang penting. Edukasi antara pasien dan dokter mengenai keamanan dari obat asma merupakan peran penting dalam memperbaiki control asma selama kehamilan. Waktu terbaik untuk edukasi pasien adalah sebelum kehamilan. Ibu hamil harus diinformasikan mengenai keadaan penyakit, terapi yang digunakan selama hamil, komplikasi, menghindari pemicu, penggunaan device yang tepat dan pentingnya kepatuhan terhadap terapi (Popa et al., 2021)
Berdasarkan guideline bahwa menghindari faktor pemicu merupakan komponen penting dalam manajemen asma. Stumulus seperti serbuk sari, bulu hewan, debu, olahraga, perubahan cuaca, emosi, infeksi saluran pernapasan atas, obat-obatan, merokok harus dihindari atau setidaknya dikurangi sebanyak mungkin. Penelitian telah menunjukkan bahwa ibu hamil lebih rentan terhadap infeksi saluran pernapasan atas akibat perubahan system imun tubuh yang terjadi selama kehamilan. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, infeksi virus merupakan pemicu tersering dari asma eksaserbasi. Dokter disarankan untuk mengedukasi ibu hamil mengenai pentingnya vaksinasi influena selama usia subur (Bravo-Solarte et al, 2023).
Tatalaksana asma pada kehamilan sama dengan tanpa kehamilan.
Manajemen tatalaksana asma yang menjadi pedoman di Indonesia mengikuti pedoman dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Global Initiative for Asthma (GINA). Obat inhalasi agonis beta-2, leukotrien dan teofilin dengan kadar yang termonitor dalam darah terbukti tidak meningkatkan kejadian abnormalitas janin. Pemilihan obat asma pada pasien yang hamil dianjurkan berupa obat inhalasi dan sebaiknya memakai obat-obat asma yang pernah dipakai
pada kehamilan sebelumnya yang sudah terdokumentasi dan terbukti aman (Damayanti & Pudyastuti, 2020).
Peninjau Kembali dan penyesuaian terapi pada pasien asma harus dilakukan lebih baik pada 1-3 bulan setelah memulai terapi dan setiap 3-12 bulan setelahnya, tetapi pada ibu hamil, asma harus ditinjau ulang setiap 4-6 minggu.
Setelah eksaserbasi, kunjungan ulang dalam 1 minggu harus dijadwalkan.(GINA, 2023)
2.9.1 Tatalaksana Asma Stabil
Berdasarkan pedoman GINA 2023 terdapat kategori utam tatalaksana asma yaitu:
1. Controller
Terapi ini menggunakan ICS yang digunakan untuk mengurangi inflamasi pada saluran nafas, mengontrol gejala, dan mengurasngi resiko seperti eksaserbasi dan penurunan fungsi paru. pada GINA track 1, tatalaksana controller diberikan sebagai anti inflamasi reliever (AIR), low doses ICS-formeterol, diberikan ketika gejala muncul dan sebelum olahraga atau paparan alergen; pada langkah 3-5, pasien juga menerima terapi maintenance controller (seriap hari aau 2 kali/hari ICS -formeterol). ini disebut maintenance and reliever therapy (MART). dosis dan regimen obat controller harus dioptimalkjan dan menimimalkan resiko efek samping obat, termasuk efek samping kebutuhan OCS.
2. Reliever
Terapi ini diberikan pada semua pasien ketika diperlukan untuk mengurangi gejala, termasuk selama asma memburuk atau eksaserbasi.
direkomendasikan sebagai pencegahan cepat Exercise Induced Bronchocontriction (EIB). reliever mencakup anti inflamasi reliever ICS- formoterol dan ICS-SABA,dan SABA. kelebihan penggunaan SABA dapat meningkatkan resiko asma eksaserbasi.
Tatalaksana asma terdapat 2 track dimana pada track 1 (preferred), reliever yaitu ICS-formoterol dosis rendah saat dibutuhkan, dan track 2 reliever yaitu SABA atau ICS-SABA saat dibutuhkan.
a. Track 1
Track ini merupakan pendekatan yang lebih dipilih direkomendasikan untuk dewaasa dan remaja, karena penggunaan ICS-formoterol dosis rendah mengurangi resiko eksaserbasi berat dibandingkan dengan penggunaan SABA sebagai reliver , dengan gejala terkontrol. Selain itu, bahwa regimen terapi ini merupakan regimen sederhana. Ketika pasien dalam terapi langkah apapun mempunyai gejala asma, menggunakan ICS-formoterol dosis rendah dalam inhaler tunggal untuk mengurangi gejala dan sebagai terapi anti inflamasi. Pada langkah 3-5 pasien juga diberikan ICS-formoterol sebagai terapi dosis pemeliharaan, secara bersamaan ini disebut Maintenance-And-Reliever-Therapy (MART).
b. Track 2
Track merupakan pendekatan alternatif jika track 1 tidak mungkin atau pasien asma stabil dengan kepatuhan yang baik dan tidak eksaserbasi pada terapi sebelumnya. Tetapi sebelum meresepkan regimen dengan SABA-only reliever, dipertimbangkan jika pasien kemungkinan besar patuh dengan terapi ICS dosis pemeliharaan, jika tidak resiko eksaserbasi kemungkinan semakin tinggi. Pada langkah 1, pasien menerima SABA dan ICS-formoterol dosis rendah untuk mengurangi gejala ketika gejala muncul (dalam inhaler kombinasi, atau dengan menerima ICS setelah SABA). Pada langkah 2-5 SABA atau kombinasi ICS- SABA digunakan untuk mengurangi gejala, dan pasien menerima obat perawatan mengandung ICS secara rutin setiap hari. jika reliever dan obat dosis pemeliharaan dalam device yang berbeda, memastikan pasien dapat menggunakan inhaler dengan tepat.
Gambar 2.1 Inisial Terapi Pada Dewasa dan Remaja dengan Diagnosis Asma, GINA, 2023
a) Langkah 1
Langkah 1 ini lebih dipilih sebagai tatalaksana bagi dewasa dan remaja dengan ICS-formoterol kombinasi dosis rendah diberikan saat dibutuhkan untuk mengurangi gejala. dan jika dibutuhkan sebelum latihan. Langkah 1 GINA direkomendasi untuk populasi:
 Terapi inisial asma pada pasien dengan gejala lebih kecil dari 2 kali dalam 1 bulan dan tidak ada faktor resiko eksaserbasi, grup ini jarang
 Terapi step-down untuk pasien yang asma terkontrol dengan baik pada ICS atau LTRA secara rutin.
Dalam track 1, terapi yang lebih dipilih (ICS-formoterol saat dibutuhkan) adalah sama untuk langkah 1 dan langkah 2. penggunaan ICS-formoterol dosis rendah ketika dibutuhksn untuk mengurangi gejala (anti-inflamasi reliever) di langkah 1 untuk dewasa dan remaja didukung oleh bukti tidak langsung untuk mengurangi resiko eksaserbasi berat dibanding dengan SABA tunggal ketika dibutuhkan. dosis sering dari budesonide-formoterol ketika dibutuhkan pada asma ringan adalah inhalasi tunggal 200/6 mcg (dosis yang diberikan 160/4,5 mcg), diberikan kapanpun dibutuhkan untuk mengurangi gejala. Dosis maksimum yang direkomendasikan untuk budesonide-formoterol saat dibutuhkan dalam 1 hari sampai 72 mcg formoterol (dosis yang diberikan 54 mcg). walaupun, pada asma ringan, penggunaan dosis tinggi sangat jarang terjadi, dengan rata-rata penggunaan sekitar 3-4 dosis per minggu.
Pada track 2 terapi pilihan adalah ICS dosis rendah diberikan kapanpun SABA diberikan: untuk pasien dengan gejala kurang dari 2 kali sebulan dan memenuhi syarat untuk step-down dari terapi ICS rutin, sedikit bukti menngenai keamanan dan efikasi pemberian ICS ketika SABA diberikan (inhaler terpisah atau kombinasi). walaupun, itu mungkin pilihan di negara dimana ICS-formoterol tidak tersedia atau terjangkau. ICS doses rendah rutin setiap hari direkomendasikan oleh GINA sejak 2014 untuk pertimbangan ketika terapi langkah 1 untuk pasien dengan gejala kurang dari 2 kali sebulan untuk mengurangi resiko eksaserbasi. ini didasarkan bukti tidak langsung dari penilitian pada pasien memenuhi syarat untuk terapi langkah 2. walaupun, pasien dengan gejala kurang dari 2 kali sebulan sangat tidak mungkin diberikan ICS dengan rutin bahkan jika diresepkan, hanya dengan terapi SABA, jadi regimen ini tidak lagi direkomendasikan untuk penggunaan umum pada pasien seperti ini.
b) Langkah 2
Terapi langkah 2 lebih dipilih untuk dewasa dan remaja: ICS-formoterol dosis rendah, diberikan saat dibutuhkan untuk mengurangi gejala dan jika dibutuhkan sebelum Latihan (track 1).Populasi yang termasuk dalam kelompok ini dipertimbangkan oleh dokter yang mempunyai asma ringan, dengan gejala atau
penggunaan SABA lebih dari 2 kali sehari dengan SABA tunggal atau ICS rutin atau LTRA tambah SABA saat dibutuhkan. Dosis biasa dari budesonide- formoterol ketika dibutuhkan pada asma ringan adalah inhalasi tunggal 200/6 mcg (dosis yang diberika 160/4,5 mcg), diberikan kapanpun dibutuhkan untuk mengurangi gejala. Dosis maksimum yang direkomendasikan budesonide- formoterol saat dibutuhkan dalam 1 hari sampai 72 mcg formoterol (dosis yang diberikan 54 mcg). walaupun, pada penelitian yang dilakukan pada asma ringan, penggunaan dosis tinggi seperti ini jarang terjadi, dan rata-rata penggunaan ICS formoterol saat dibutuhkan sekitar 3-4 dosis per minggu.
Terapi alternatif langkah 2 pada dewasa dan remaja yaitu ICS dosis rendah setiap hari tambah SABA saat dibutuhkan. Populasi yang termasuk adalah pasien dengan ICS dosis rendah sudah setiap hari dengan gejala hampir atau setiap hari seminggu. ICS dosis rendah rutin setiap hari tambah SABA saat dibutuhkan adalah terapi lama yang ditetapkan untuk asma ringan. Terdapat penelitian observasional mengemukakan bahwa resiko eksaserbasi berat, hospitalisasi dan mortalitas secara signifikan berkurang dengan ICS dosis rendah secara rutin:
gejala dan bronkokonstriksi diinduksi latihan juga berkurang. Pilihan tatalaksana langkah 2 yang lain untuk dewasa dan remaja adalah
 ICS dosis rendah diberikan kapanpun SABA digunakan (dalam SABA inhaler kombinasi atau terpisah) adalah pilihan lainnya jika ICS- formoterol saat dibutuhkan tidak tersedia, dan pasien yang tidak mengambil ICS secara rutin. Penelitian menunjukkan penggunaan inhaler ICS-SABA dikombinasi atau terpisah tidak berbeda pada eksaserbasi dibandingkan ICS setiap hari.
 Leukotriene reseptor antagonis (lLTRA) kurang efektif dibandingkan ICS, terutama untuk eksaserbasi. sebelum meresep montelukast, tenaga kesehatan harus mempertimbangkan keuntungannya dan resiko, dan pasien harus konseling mengenai resiko kejadian neuropsikiatri.
 ICS-LABA dosis rendah kombinasi secara rutin setiap hari sebagai inisial terapi dosis pemeliharaan controller mengurangi gejala dan memperbaiki
fungsi paru, dibandingkan dengan ICS dosis rendah. walaupun lebih mahal dan tidak lanjut mengurangi resiko eksaserbasi dibandingkan ICS tunggal.
c) Langkah 3
Terapi langkah 3 untuk dewasa dan remaja dengan ICS-Formoterol dosis rendah dosis pemeliharaan dan terapi reliever (track 1) untuk dewasa dan remaja.
pilihan terapi langkah 3 yang lebih dipilih adalah ICS-formoterol dosis rendah sebagai terapi dosis pemeliharaan dan reliever (MART). Pada regimen ini, ICS- formoterol dosis rendah, baik budesonide-formoterol atau beclometasone- formoterol, digunakan keduanya untuk terapi dosis pemeliharaan setiap hari.
Populasi : penelitian terkait pasien dewasa dan remaja dengan >/eksaserbasi dari tahun sebelumnya meskipun dengan terapi ICS dosis pemeliharaan atau ICS- LABA, biasanya dengan kontrol gejala yang buruk. Obat yang digunakan adalah ICS-formoterol MART untuk terapi langkah 3 dapat diresepkan dengan budesonide-formoterol dosis rendah (≥12 tahun) atau beclometasone-formoterol dosis rendah (≥18 tahun). Dosis biasa budesonide-formoterol untuk MART 200/6 mcg dosis terpantau (160/4,5 mcg dosis yang diberikan) dan dosis biasa beclometasone-formoterol adalah 100/6 dosis terpantau (87,5/5 mcg ), dengan setiap resep kombinasi sebagai inhalasi 2 kali sehari dan 1 inhalasi kapanpun dibutuhkan untuk mengurangi gejala.
Alternatif terapi langkah 3 untuk dewasa dan remaja ICS-LABA dosis rendah dosis pemeliharaan tambah SABA saat dibutuhkan atau tambah ICS- SABA kombinasi saat dibutuhkan (track2). ICS-LABA dosis pemeliharaan tambah SABA saat dibutuhkan adalah alternatif jika MART tidak mungkin, atau jika pasien asma stabil dengan kepatuhan yang baik dan tidak eksaserbasi pada terapi sebelumnya. Pasien yang menerima ICS dosis pemeliharaan, berubah menjadi ICS-LABA dosis pemeliharaan kombinasi memberikan perbaikan tambahan pada gejala dan fungsi paru dengan mengurangi resiko eksaserbasi dibandingkan dengan ICS dosis sama. Dalam penelitian ini reliever SABA saat dibutuhkan, walaupun regimen diresepkan dengan SABA reliever. Petimbangan
terkait dengan kepatuhan terapi yang mengandung ICS, jika tidak maka resiko eksaserbasi akan lebih tinggi.
ICS-LABA dosis pemeliharaan tambah ICS-SABA kombinasi saat dibutuhkan, diberikan pada populasi yang relevan untuk rekomendasi langkah 3 yang terdiri dari pasien dengan kontrol asma buruk dan riwayat eksaserbasi berat yang menerima ICS-LABA dosis rendah atau ICS dosis sedang. pada subpopulasi terapi langkah 3 pasien menerima 2 inhalasi saat dibutuhkan dari budesonede- salbutamol (albuterol) 100/100 mcg dosisi terpantau (80/90 dosis diberikan), diberikan untuk mengurangi gejala walaupun ICS-SABA tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin, dan digunakan sebagai reliever pada langkah 3-5 diperlukan pasien untuk dosis pemeliharaan berbeda dan reliever ingaler. jumlah maksimum 6 dosis saat dibutuhkan (setiap puff 100/100mcg budesonide- salbutamol) 80/90 dosis yang diberikan)dapat diberikan dalam sehari. ini penting untuk di edukasi mengenai tujuan berbeda antara inhaler dosis pemeliharaan dan reliever. pilihan controller lain langkah untuk dewasa dan remaja adalah terapi mengandung ICS dosis rendah tambah antara LTRA atau dosis rendah, penggunaan lanjutan theophyline.
d) langkah 4
Terapi langkah 4 lebih dipilih untuk dewasa dan remaja dengan ICS- formoterol kombinasi sebagai MART lebih efektif untuk mengurangi eksaserbasi daripada dosis sama ICS-SABA dosis pemeliharaan atau ICS dosis tinggi. dalam langkah 4 regimen MART dapat diresepkan dengan budesonide-formoterol dosis pemeliharaan dosis sedang atau terapi beclometasone-formoterol, dengan meningkatkan dosis dosis pemeliharaan 2 kali sehari atau 2 inhalasi, tetapi reliever tetap ICS-formoterol dosis rendah saat dibutuhkan 1 inhalasi. dosis biasa budesonide-formoterol untuk MART langkah 4 adalah 200/6 mcg dosis terpantau (160/4,5 dosis diberikan) dan dosis biasa beclometasone-formoterol adalah 100/6 dosis terpantau (87,5/5 dosis diberikan), dengan setiap resep kombinasi sebagai 2 inhalasi 2 kali sehari dan 1 inhalasi kapanpun dibutuhkan untuk mengurangi gejala.rekomendasi dosis maksimum formeterol untuk total dosis adalh 72 mch
dosis terpantau 1kali sehari (54 mcg dosisi diberikan)untuk budesonede- formoterol dan 48 mcg dosis terpantau (36 mcg dosis diberikan)untuk beclometasone-formoterol. alternatif terapi langkah 4 untuk dewasa dna remaja adalah ICS-LABA dosis sedang dan tinggi tambah SABA saat dibutuhkan atau ICS-SABA saat dibutuhkan. beberapa pasien yang mempunyai asma tidak terkontrol atau yang telah sering eksaserbasi pada ICS-LABA dosis rendah walaupun kepatuhan yang baik dan teknik penggunaan inhaler tepat dapat memperoleh manfaat dari ICS-LABA dosis pemeliharaan dosis sedang tambah SABA saat dibutuhkan, jika MART tidak tersedia. walaupun sebelum meresepkan regimen reliever SABA, pertimbangkan jika pasien tidk patuh dengan terapi mengandung ICS, jika tidak resikop eksaserbasi akan tinggi. ditambah lagi, ICS- LABA dosis tinggi mungkin dibutuhkan. rekomendasi populasi relevan langkah 4 terdiri dari pasien dengan kontrol asma yang buruk dan riwayat eksaserbasi berat dengan menggunakan ICS-LABA dosis pemeliharaan dosis sedang atau ICS dosis tinggi.tidak ada peningkatan signifikan wkatu pertama eksaserbasi berat dengan budesonide-salbutamol(albuterol) 2 inhalasi 100/200 mcg dosis terpantau (80/90 mcg dosis diberikan), diabndingkan dengan salbutamol saat dibutuhkan.
Controller langkah 4 lainnya untuk dewasa dan remaja, yaitu muskarinik antagonis kerja lama (LAMA) mungkin dipertimbangkan sebagai terapi tambahan dalam inhaler terpisah untuk pasien usia ≥6 tahun (tiotropium), atau dalam kombinasi (triple) inhaler untuk pasien usia ≥18 tahun (beclometasone- formoterol-glycopyrronium) jika asma persisten tidak terkontrol walaupun dengan ICS-LABA dosis sedang atau dosisi tinggi. menambahkan LAMA dengan ICS- LABA dosis sedang atau dosis tinggi cukup memperbaiki fungsi paru tetapi tidak ada perbedaan daam gejala. dalam beberapa penelitian menambahkan LAMA ke ICS-LABA cukup untuk mengurangi eksaserbasi, diabndingkan dengan ICS- LABA dosis sedang atau tinggi imunoterapi allergen dipertimbangkan menambahkan sublingual allergen imunoterapi (SLIT) untuk pasien dewasa dengan rinitis alergi dan sensitisasi terhadap tungau.
e) Langkah 5
Terapi langkah 5 lebih dipilih pada dewasa, remaja, dan anak (track 1dan track 2) ;mengacu terhadap penilaian ahli, fenotipe dan terapi tambahan. pasien pada usia apapun dengan gejala persisten atau eksaserbasi walaupun dengan teknik inhalasi dan kepatuhan yang baik dengan terapi langkah 4 dan dengan pilihan controller yang lain telah dipertimbangkan, harus dirujuk ke spedialis dengan keahlian dalam meninjau dan mentatalaksana asma berat jika tersedia.
rekomendasi dari "GINA guideline and decision tree" dalam manajemen dari asma sulit-diobati dan asma berat pada remaja dan pasien dewasa.rekomendasi ini menekankan pentingnya mengoptimalkan terapi pertama yang tersedia dan mengobati faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan komorbiditas. jika pasien masih memiliki gejala yang tidak terkontrol dan/atau eksaserbasi, terapi tambahan mungkin dipertimbangkan yaitu:
 Kombinasi ICS-LABA dosis tinggi, mungkin dipertimbangkan pada dewasa dan remaja, tapi untuk sebagian pasien, peningkatan dosis ICS secara umum memberikan sedikit tambahan manfaat, dan meningkatkan resiko efek samping, termasuk supresi adrenal. dosis tinggi direkomendasikan untuk 3-6 bulan pertama ketika asma terkontrol baik tidak dapat dicapai dengan dosisi sedang ICS tambah LABA dan/atau crontroller ketiga (sontoh, LTRA atau thiophyline)
 Tambahan muskarinik antagonis kerja panjang (LAMA) dapat diresepkan dalam inhaler terpisah kepada pasien usia>6 tahun (tiotropium), atau dalam kombinasi (triple) inhaler untuk pasien usia>18 tahun (beclometasone-formoterol-glycopyrronium) jika asma persisten tidak terkontrol walaupun dengan ICS-LABA dosis sedang atau dosisi tinggi.
menambahkan LAMA dengan ICS-LABA dosis sedang atau dosis tinggi cukup memperbaiki fungsi paru tetapi tidak kualitas hidup, dengan tida ada secara klinikal perubahan penting dari gejala. untuk pasien diresepkan ICS-LABA-LANA dengan tanpa formoterol LABA, reliever yang tepat adalah SABA; pasien diresepkan ICS-formoterol-LAMA dapat dilanjut reliever ICS-formoterol.
 Tambahan azitromisin(3 kali seminggu) dapat diopertimbangkan setelah rujukan spesialis untuk ppasien dewasa dengan asma simptomatik persisten meskipun dengan ICS-LABA dosis tinggi. sebelum pertimbangan penambahan azitromisi, sputum harus diperiksa untuk bakteri atipikal, EKG harus diperiksa untuk QTc panjang (dan diperiksa kembali setelah 1 bulan dalam pengobatan), dan resiko meningkatnya resistensi antimikroba harus dipertimbangkan. diare lebih sering dengan azitromisin 500 mg 3 kali seminggu. terapi disarankan setidaknya 6 bulan.
pilihan penambahan azitromisin untuk dewasa direkomendasikan hanya setelah konsultasi dengan spesialis karena potensi perkembangan resistensi antibiotik pada pasien atau populasi ini.
 Tambahan terapi biologi, direkomendasikan GINA untuk pasien asma tidak terkontrol berat meskipun dioptimalkan dengan terapi amksimal:
 Tambahan terapi anti IgE (omalizumab) untuk pasien usia>6 tahun dengan asma alergi berat
 Tambahan anti-interleukin 5/5R (mepozulimad subkutan untuk pasien usia >6 tahun;rezulimab intravena untuk usia >18 tahun atau benralizumab untuk usia >12 tahun), dengan asma eosinofilik berat
 Tambahan anti-interleukin-4Ra ( dupilumab subkutan) untuk pasien usia >6 tahun dengan eosinofilik berat/asma tipe 2, atau untuk pasien dewasa atau remaja menetima terapi dengan OCS dosis pemeliharaan.
 Tambahan anti-thymic stromal lymphopoietin (anti-TSLP) (tezepelumab subkutan) untuk pasien usia >12 tahun dengan asma berat.
 Terapi dengan arahan sputum: untuk dewasa denan gejala persisten dan/atau eksaserbasi meskipun dengan ICS dosis tinggi atau ICS-LABA, terapi mungkin menyesuaikan berdasarkan eosinofilik(>3%) di sputum.
pada asma berat, strategi ini mengarahkan untuk mengurangi eksaserbasi dan/atau ICS dengan dosis lebih rendah. tapi beberapa dokter saat ini harus rutin mmelakukan test sputum.
 Tambahan oral kortikosteroin dosis rendah (prednisolone setara ≥7,5 mg/hari) mungkin dipertimbangkan untuk beberapa pasien dewasa dengan asma berat, tapi mereka sering dikaitkan dengan efek samping substansi.
ini harus dipertimbangkan hanya untuk dewasa dengan gejala kontrol buruk dan/atau eksaserbasi sering meskipun teknik inhaler tepat dan kepatuhan dengan terapi langkah 5, dan setelah pengecualian dari faktor kontribusi lainnya dan terapi tambahan lainnya termasuk biologi yang tersedia dan terjangkau. pasien harus diberitahu mengenai potensi efek samping. mereka harus diperiksa dan dipantau untuk resiko supresi adrenal dan osteoporosis dipicu kortikosteroid dan diterapi diharapkan untuk ≥3 bulan harus disediakan dengan konseling gaya hidup yang relevan dan terapi diresepkan untuk pencegahan osteoporosis dan kerentanan fraktur.
Dari panduan terbaru GINA dan National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP), menyatakan bahwa wanita hamil dengan asma persisten ringan harus diresepkan ICS dosis rendah (beclometasone atau budesonide) dengan pelega hanya bila serangan asma kambuh, dapat berasal dari golongan SABA atau ICS dosis rendah ditambah LABA. Untuk pasien hamil dengan asma persisten sedang, pedoman merekomendasikan ICS dosis rendah + LABA atau ICS dosis sedang. Untuk wanita hamil dengan asma persisten berat, pedoman merekomendasikan ICS dosis tinggi (sebaiknya budesonide) dengan tambahan prednisone oral sebagai pilihan terakhir. Beberapa penulis lain menyarankan pemberian ICS dosis tinggi dan LABA (terutama salmeterol) sebagai pilihan pengobatan terbaik untuk wanita hamil dengan asma persisten berat.
2.9.2 Tatalaksana Asma Eksaserbasi
Tatalaksana asma eksaserbasi pada layanan primer a) inhalasi Beta2 agonis kerja cepat
Akhir-akhir ini, inhalasi salbutamol (albuterol adalah broncodilator biasa untuk tatalaksana aku asma. untuk eksaserbasi ringan-sedang, pengulangan inhalasi SABA (>4-10 puff setaip 20 menit untuk 1jam pertama) adalah cara efektif dan efisien untuk mencapai pengembalian limitasi saluran napas dengan cepat. setelah 1 jam, dosis SABA yang diberikan bervariasi yaitu 4-10 puff setiap
3-4 jam sampau 6-10 puff setiap 1-2 jam, atau lebih. SABA tambahan tidak dibutuhkan jika memberikan respon baik untuk inisial terapi.( PEV>60-80%
predicted atau personal best untuk 3-4 jam). pemberian SABA melalui pMDI dan Spacer atau DPI mengarahkan pada perbaikan yang sama pada fungsi paru saat pemberian secara nebulisasi. walaupun, pasien dengan asma berat akut tidak termasuk dalam pengobatan ini.
b) ICS-formoterol kombinasi dalam pengobatan asma eksaserbasi akut
Kombinasi ICS-formoterol (budesonide-formoterol atau beclometasone- formoterol) digunakan secara luas sekarang sebagai reliever anti-inflamasi sebagai bagian dari manajemen rutin asma pada dewasa dan remaja, karena mengurangi resiko eksaserbasi berat dan pertimbangan untuk pemberian OCS yang terdiri dari penggunaan reliever SABA. lebih dari 12 inhalasi budesonide-formoterol 200/6 mcg(atau 8 inhalasi beclometasoen-formoterol 100/6 mcg)dapat diberikan 1 kali sehari jika dibutuhkan
c) Terapi oksigen (jika tersedia)
Terapi oksigen harus ditirasi terhadap pulse oxymetry untuk menjaga saturagi oksigen pada 93-95% (94-98% untuk anak 6-11 tahun). di rumah sakit pasien asma, dikontrol dan dititrasi terapi oksigen dikaitkan dengan menurunkan mortalitas dan hasil yang lebih baik daripada terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi (100%).
d) Kortikosteroid sistemik
Oral kortikosteroid diberikan segera, khususnya jika pasien memburuk, atau sudah selesai meningkatkan reliever dan obat mengandung ICS dosis pemeliharaan sebelum pemberian. rekomendasi prednisolone untuk dewasa 1 mg/kg/hari atau setara sampai maksimum 50 mg/hari dan 1-2 mg/kg/hari untuk anak 6-11 tahun sampai maksimal 40 mg/hari). OCS biasanya dilanjutkan untuk 5-7 hari pada dewasa dan 3-5 hari pada anak. pasien harus diinformasikan mengenai efek samping biasa jangka pendek, termasuk gangguan tidur,
meningkatkan nafsu makan, perubahan mood. pada dewasa, resiko sepsis dan tromboemboli juga meningkat stelah penggunaa OCS.
e) Obat mengandung ICS dosis pemeliharaan
Pasien diresepkan ICS dosis pemeliharaan harus disediakan dengan device mengenai meningkatkan dosisi untuk 2-4 minggu depan. pasien saat ini tidak menerima obat controller yang mengandung ICS harus dimulai, terapi asma hanya menggunakan SABA tidak direkomendasikan lagi
f) Meninjau respon
Selama terapi, pasien harus sangat dipantau, dan terapi dititrasi sesuai dengan responsnya. pasien yang terdapat tanda dari eksaserbasi berat atau mengancam nyawa, yang gagal untuk merespon terapi, atau yang mengalami perburukan yang berkelanjutan harus di rujuk segera ke fasilitas kesehatan lanjutan. pasien yang sedikit atau lama merespon terapi SABA harus sangat dipantau.
g) Follow-up
Obat kepulangan harus termasuk terapi yang mengandung ICS dosis pemeliharaan secara rutin dan, obat reliver saat dibutuhkan (ICS-formoterol dosis rendah, ICS-SABA,atau SABA) dan OCS kerja cepat. terapi hanya dengan SABA tidak direkomendasikan. teknik menggunkaan inhaler dan kepatuhan harus dijelaskan kembali sebelum pasien pulang.pasien harus di edukasi untuk menggunakan reliever hanya saat dibutuhkan saja, daripada secara rutin. follow- up kembali dilakukan 2-7 hari kemudian.(GINA, 2023)
2.9.3 Obat Asma Pada Kehamilan 1. β2-Agonis Kerja Singkat
Obat short acting β2-agonist (SABA) adalah terapi utama pelega saat terjadi serangan asma pada semua derajat berat asma. Obat SABA bekerja dengan menstimulus reseptor β2 pada jalan napas sehingga terjadi relaksasi otot polos dan bronkodilatasi. Obat ini mempunyai onset kerja cepat (5-15 menit) dan masa kerja pendek (3-6 jam) sehingga digunakan sebagai obat pelega. Obat SABA masuk dalam kategori C pada daftar obat kehamilan namun dari hasil penelitian telaah sistematis American Congress of Obstretricians and Gynecologists (ACOG) dan National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) berkesimpulan bahwa penggunaan SABA sebagai pelega serangan asma dikategorikan aman untuk kehamilan. Banyak penelitian menemukan tidak didapatkan hubungan antara penggunaan SABA di trimester pertama ketikaorganogenesis terjadi dengan BBLR, kelahiran usia kehamilan rendah atau malformasi kongenital utama.
Terdapat beberapa penelitian yang menemukan hubungan minor antara penggunaan SABA dengan malformasi jantung, bibir sumbing dan gastroskisis.
Kelemahan penelitian mereka adalah tidak melaporkan apakah ibu hamil terkontrol atau tidak dan derajat berat asma yang merupakan faktor risiko kelahiran dengan kelainan.Salbutamol atau albuterol direkomendasikan sebagai obat pelega pada kehamilan. Para ibu hamil harus diedukasi pentingnya selalu menyediakan salbutamol sebagai obat pelega bila dibutuhkan. Salbutamol dapat digunakan 2-6 puff dengan 20 menit interval sampai dengan 2 dosis bila ada keluhan sesak dan bila sesak tidak berkurang atau ada penurunan aktivitas janin maka harus segera mencari bantuan medis.
2. Kortikosteroid Inhalasi (Inhaled Corticosteroids/ ICS)
Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pelega utama pasien asma persisten, demikian juga untuk ibu hamil dengan asma persisten. Penggunaan ICS secara teratur dapat menurunkan nilai gejala asma, angka serangan dan frekuensi gejala.
Kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol inflamasi pada asma dengan menghambat sel inflamasi dan mempunyai masa kerja 24 jam sampai 2 minggu.
Kortikosteroid inhalasi sebaiknya digunakan secara teratur sehingga dapat bekerja optimal. Efek samping lokal yang paling sering terjadi akibat penggunaan ICS
yaitu kandidiasis oral sehingga disarankan selalu kumur air setiap kali selesai menggunakan kortikosteroid inhalasi. Efek sistemik pada penggunaan ICS biasanya berhubungan dengan penggunaan jangka panjang dosis tinggi.Kortikosteroid inhalasi termasuk kategori C obat kehamilan namun dipertimbangkan aman digunakan ibu hamil untuk dosis rendah dan sedang.
3. Kombinasi Kortikosteroid Inhalasi dan Long
Acting β2-Agonist (LABACs) Obat golongan LABA diindikasikan pada asma persisten sebagai terapi tahap berikutnya dengan ICS dosis rendah atau saat gejala pada ibu hamil dengan asma tidak terkontrol dengan ICS dosis sedang. Obat LABA lebih disarankan daripada menambahkan teofilin atau Leukotriene Receptor Antagonists (LTRA) sebagai obat pengontrol.Mekanisme kerja dan efek samping LABA sama dengan SABA tapi masa kerjanya lebih lama sekitar 5,5 sampai 10 jam. Penggunaan LABA pada pasien asma harus bersamaan dengan ICS. Kombinasi ICS dan LABA masuk kategori C obat kehamilan dan penggunaannya masih diperdebatkan. Penelitian telaah sistematis yang mendukung keamanannya mendapatkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara ICS dan LABA dengan malformasi kongenital, BBLR, kelahiran prematur atau janin kecil tidak sesuai usia kehamilan pada beberapa penelitian utama yang sudah ada.
4. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Obat golongan leukotriene receptor antagonist (LTRA) adalah montelukast dan zafirlukast merupakan terapi alternatif obat pengontrol untuk asma persisten.
Mekanisme kerja LTRA dengan menghambat ikatan leukotrien dengan reseptor sehingga terjadi edem jalan napas, kontraksi otot polos dan inflamasi. Efek samping penggunaan LTRA antara lain sakit kepala, nyeri perut, eksim, laringitis, sakit gigi dan dizziness. Obat LTRA termasuk obat kehamilan kategori B.
Penelitian tentang keamanan penggunaan montelukast pada kehamilan tidak menemukan kejadian keguguran ataupun kematian janin.
5. Kortikosteroid Oral
Kortikosteroid oral diberikan pada pasien serangan asma atau asma persisten berat sulit dikontrol yang telah mendapatkan paduan pengobatan lain namun tidak ada respons. Penggunaan kortikosteroid oral harus dikombinasikan dengan obat pengontrol lain. Kortikosteroid oral merupakan agonis reseptor glukokortikoid yang menghambat proses inflamasi. Efek samping penggunaan kortikosteroid oral dapat terjadi retensi sodium dan cairan, hiperglikemia, peningkatan tekanan darah dan sakit kepala. Kortikosteroid oral masuk kategori C obat kehamilan dan penelitian yang ada menunjukkan peningkatan efek samping dihubungkan dengan penggunaan obat ini. Penggunaan kortikosteroid oral harus mempertimbangkan risiko untuk setiap kasus yang ada seperti peningkatan risiko kelahiran prematur, BBLR dan preeklamsia. Asma yang tidak terkontrol juga dapat membahayakan janin sehingga ketika penggunaan kortikosteroid oral tidak bisa dihindarkan, maka dosis dan lama terapi harus dibatasi disertai monitoring ketat (Damayanti and Pudyastuti, 2020).
2.10 Prognosis Asma Pada Kehamilan
Prognosis bayi yang lahir dari ibu dengan asma terkontrol sebanding dengan prognosis bayi yang lahir dari ibu tanpa asma sehingga derajat terkontrol asma selama kehamilan penting untuk mencegah keadaan tidak diinginkan baik pada ibu dan janin (Damayanti and Pudyastuti, 2020).
2.11 Komplikasi Asma Pada Kehamilan
Asma telah dikaitkan dengan berbagai macam komplikasi dan dampak merugikan bagi ibu di semua fase kehamilan dan termasuk neonates, dengan perkembangan prevalensi dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan jumlah ibu hamil dengan asma dipengaruhi oleh peningkatan prevalensi asma di kalangan ibu yang hamil pada usia muda, kemungkinan sebagai konsekuensi perubahan gaya hidup dan urbanisasi (Bravo-Solarte et al, 2023). Beberapa penelitian mengemukakan bahwa tingkat keparahan, merokok, rhinitis tidak terkontrol, dan obesitas adalah prediktor serangan asma selama kehamilan. Beberapa komplikasi yang telah dilaporkan antara lain, perdarahan antepartum dan postpartum,
kerusakan plasenta, diabetes gestasional, seksio sesarea, plasenta previa, bayi lahir premature, ketuban pecah dini(Couillard et al., 2021). Komplikasi pada janin dapat mencakup berat badan lahir rendah, kelainan kongenital, dan kematian janin.
Komplikasi pada janin sebagian besar dikaitkan dengan hipoksia pada janin, tetapi mungkin faktor lain juga berkontribusi(Kwah and Stevens, 2019). Diketahui bahwa asma pada ibu hamil mempunyai resiko lebih tinggi Deep Vein Thromboembolism (DVT), dan emboli paru daripada tidak terjadi asma pada ibu hamil. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehamilan ditandai dengan adanya resiko hiperkoagulasi yang lebih tinggi dan statis vena, faktor yang menjadi predisposisi terjadinya thromboemboli (Popa et al., 2021)
Daftar Pustaka
CTM Guideline 2021 (2021) ‘Asthma in Pregnancy, Management of_CTM Guideline 2021’, Asthma in Pregnancy Guidelines [Preprint].
Bravo-Solarte, D.C., Garcia-Guaqueta, D.P. and Chiarella, S.E. (2023) ‘Asthma in pregnancy’, Allergy and Asthma Proceedings. OceanSide Publications Inc., pp. 24–34.
Available at: https://doi.org/10.2500/aap.2023.44.220077.
Couillard, S. et al. (2021) ‘Asthma in pregnancy: An update’, Obstetric Medicine. SAGE Publications Inc., pp. 135–144. Available at:
https://doi.org/10.1177/1753495X20965072.
Damayanti, T. and Pudyastuti, S. (2020) ‘Asthma in Pregnancy: Mechanism and Clinical Implication’, Jurnal Respirologi Indonesia, 40(4), pp. 251–261. Available at:
https://doi.org/10.36497/jri.v40i4.125.
‘GINA-2023-Full-report-23_07_06-WMS’ (no date).
Kwah, J.H. and Stevens, W.W. (2019) ‘Asthma and allergies in pregnancy’, Allergy and Asthma Proceedings, 40(6), pp. 414–417. Available at:
https://doi.org/10.2500/aap.2019.40.4260.
Popa, M. et al. (2021) ‘Maedica-a Journal of Clinical Medicine MAEDICA-a Journal of Clinical Medicine Asthma in Pregnancy. Review of Current Literature and
Recommendations’, Maedica A Journal of Clinical Medicine, 16(1), p. 2021. Available at:
https://doi.org/10.26574/maedica.2021.16.1.80.