• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI PRECEDE PROCEED : HIV AIDS

N/A
N/A
Faris Kusuma Wardhana

Academic year: 2023

Membagikan "TEORI PRECEDE PROCEED : HIV AIDS"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1

MATA KULIAH MASALAH KESEHATAN GLOBAL

TEORI PRECEDE PROCEED : HIV AIDS

Dosen Pembimbing :

Megah Andriany, S.Kp,M.Kep, Sp. Kom, Ph.D

Disusun Oleh : Kelompok 6 A20.2

Nuur Annisa Rahmah (22020120140144)

Putri Romian (22020120140109)

Tifani Ester Rahmanti (22020120130121) Nanda Riyanggi Nurani Fatikha (22020120120021)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2023

(2)
(3)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Model Precede Procede: HIV/AIDS” dengan tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Masalah Kesehatan Global. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai “Model Precede Proceed : HIV/AIDS” bagi para pembaca dan bagi penyusun.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak seperti anggota kelompok dan dosen pembimbing yang telah mendukung penyusunan makalah ini dan penyusun menyadari bahwa makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kelancaran dan kesuksesan selanjutnya.

Semarang, 25 September 2023

Kelompok 6

(4)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ...ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan... 2

1.4. Manfaat... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Pengertian HIV/AIDS ... 4

2.2 Faktor Risiko HIV/AIDS ... 5

2.3 Fenomena Kejadian HIV ... 6

2.4 Dampak HIV ... 7

2.5 Upaya Pencegahan ... 8

BAB III PEMBAHASAN ... 10

3.1 Fenomena kasus HIV di Indonesia ... 10

3.2 Implementasi Teori Precede Proceed pada HIV/AIDS ... 10

BAB IV PENUTUP ... 28

4.1 Kesimpulan ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(5)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut WHO (2013) HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan jenis virus yang cara kerja dan penyebarannya adalah dengan menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang terkena virus ini menjadi rentan terhadap beragam infeksi. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yaitu suatu kumpulan gejala yang muncul akibat berkurangnya kemampuan pertahanan diri atau sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang (Spiritia, 2009).

HIV/AIDS dianggap sebagai ancaman serius secara global, HIV/AIDS tidak hanya terjadi pada negara maju saja akan tetapi juga terjadi dengan angka kejadian yang tinggi pada negara yang berkembang. Jumlah pengidap HIV/AIDS di seluruh dunia telah mencapai 36.7 juta orang dan 2.1 juta orang baru terinfeksi HIV pada tahun 2015 (WHO, 2015). Kasus HIV di Asia pada umumnya dijumpai pada Injecting Drug User (IDU) penjaja seks hetero-seksual maupun homoseksual pelanggan dan pasangan seks tetapnya (KPAN, 2010). Kasus HIV di Asia Tenggara dalam 15 tahun terakhir mengalami peningkatan dari 2.9 juta menjadi 3.5 juta (WHO, 2016). Khusus di Indonesia, 191,073 kasus HIV secara kumulatif tercatat sampai 31 Maret 2016, dan kasus AIDS sebesar 77,940 sedangkan 13,247 pasien meninggal akibat infeksi AIDS (Spiritia, 2016).

Jumlah kasus HIV di Jawa Tengah secara kumulatif sampai dengan 31 Maret 2016 tercatat 13,547 dan kasus AIDS sebanyak 5,049 dengan angka mortalitas 28.6%. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan secara kumulatif sampai dengan Desember 2015 Ibu rumah tangga menempati urutan terbesar orang dengan HIV/AIDS sebanyak 9,096. Sementara urutan kedua yaitu karyawan 8,287, sementara yang tidak diketahui profesinya mencapai 21,434 orang (Spiritia, 2016).

Menurut Green and Kreuter (2005) perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor individu maupun lingkungan dengan model perubahan perilaku PRECEDE PROCEED. Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: faktor

(6)

2

predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor) yang merupakan bagian dari model PRECEDE. Salah satunya penyebab yang turut berperan dalam peningkatan penyebaran HIV/AIDS adalah faktor pola hubungan seksual, sikap, dan pengetahuan. Faktor pola hubungan seksual menjadi salah satu faktor predisposing dalam teori yang akan dibahas dengan menggunakan PRECEDE PROCEED akan diketahui faktor predisposing yang mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus HIV/AIDS, karena pola hubungan seksual multiple partner seks yang dianggap menjadi prediktor pesatnya penyebaran HIV/AIDS. Pengetahuan juga merupakan suatu kemampuan untuk membentuk pola pemikiran yang dapat menggambarkan objek dengan tepat dan me-representasikannya dalam suatu aksi terhadap suatu objek (Kusrini, 2009).

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1 Apa itu HIV/AIDS ?

1.2.2 Apa saja penyebab dari HIV/AIDS ? 1.2.3 Apa fenomena/data kejadian HIV/AIDS ? 1.2.4 Apa saja dampak dari HIV/AIDS ? 1.2.5 Apa saja upaya pencegahan HIV/AIDS ?

1.2.6 Bagaimana model Precede-Proceed dapat digunakan sebagai pendekatan yang efektif dalam merancang dan mengimplementasikan program pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS ?

1.3. Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan teori model precede proceed pada penyakit HIV/AIDS

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penulisan makalah ini yaitu:

1. Menjelaskan mengenai HIV/AIDS 2. Menjelaskan penyebab dari HIV/AIDS

3. Menjelaskan fenomena/data kejadian HIV/AIDS 4. Menjelaskan dampak dari HIV/AIDS

(7)

3

5. Menjelaskan upaya pencegahan HIV/AIDS

6.Menjelaskan model Precede-Proceed yang digunakan sebagai pendekatan yang efektif dalam merancang dan mengimplementasikan program pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS

1.4. Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan mahasiswa mengenai Teori Precede-Proceed pada HIV AIDS.

(8)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus), sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS singkatan dari (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS muncul setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya (Spritia, 2016) dalam (Dewi et al., 2022).

AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV. AIDS berasal dari benua Afrika dan merupakan penyakit menular yang menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, terutama melalui hubungan seksual. Sampai saat ini masih belum diketahui apakah sudah ada vaksin atau obat yang mampu mengobati penyakit ini. Angka kematian akibat AIDS sangat tinggi, hampir semua penderita meninggal dalam waktu 5 tahun sejak gejala pertama muncul.

HIV cenderung menyerang semua jenis sel-sel tertentu, terutama limfosit leukemia T4, berperan penting dalam mengatur dan menjaga sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, HIV juga dapat menginfeksi sel Langerhans di kulit, kelenjar getah bening, alveoli paru, retina, leher rahim, dan otak. Virus masuk ke dalam limfosit T4 kemudian berkembang biak dan menjadi lebih banyak dan akhirnya menghancurkan limfosit itu sendiri. HIV juga memiliki Tat, salah satu dari banyak gen yang dapat mengatur replikasi dan pertumbuhan sel baru. Hal ini dapat mempercepat replikasi virus hingga menyebabkan kerusakan besar pada limfosit T4, yang pada akhirnya menyebabkan kematian dan sistem kekebalan tubuh menjadi lemah atau melemah. Menipisnya sistem kekebalan tubuh menyebabkan berbagai infeksi oportunistik dan penyakit ganas yang disebut AIDS.

(9)

5 2.2 Faktor Risiko HIV/AIDS

Faktor risiko penularan HIV/AIDS yang paling utama adalah faktor perilaku seksual. Pemicu lainnya berupa:

a. Bergonta-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual serta tidak menggunakan alat kontrasepsi.

b. Menggunakan jarum suntik yang telah dipakai oleh orang lain.

c. Transmisi HIV dari ibu ke janin.

d. Transfusi darah yang alatnya tidak steril.

e. Mengidap penyakit STD atau penyakit menular seksual lainnya

f. Tingkat pendidikan yang rendah berisiko 4,709 kali lebih besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.

g. Pengetahuan yang rendah dapat mempengaruhi individu untuk terinfeksi HIV sebesar 3,32 kali.

h. Individu yang memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 7,65 kali lebih besar untuk terinfeksi HIV/AIDS.

i. Riwayat HIV/AIDS pada keluarga atau pasangan. HIV berisiko terjadi pada individu yang memiliki riwayat HIV/AIDS dalam keluarga ataupun pasangannya.

j. Orientasi Seksual 1) Heteroseksual

Berdasarkan penelitian Yunior dan Ika (2018), Individu yang heteroseksual berisiko terinfeksi HIV/AIDS 2,04 kali lebih besar dibandingkan dengan individu bukan heteroseksual.

2) Biseksual

Menurut Yunior dan Ika (2018), menyatakan bahwa responden yang biseksual berisiko terinfeksi HIV/AIDS 2,08 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bukan biseksual

3) Homoseksual

Individu yang orientasi seksualnya adalah homoseksual, lebih berisiko 1,81 kali terinfeksi HIV/AIDS dibanding yang bukan homoseksual.

(10)

6 k. Hubungan Seks Tanpa Kondom

Menurut Murtono et al (2018), ketika berhubungan seksual, banyak pasangan yang tidak menggunakan kondom secara konsisten, hal ini berisiko terjadinya HIV/AIDS 5,34 kali dibanding memakai kondom secara konsisten.

Selain itu, ternyata hubungan seksual melalui anal tanpa menggunakan perlindungan, berisiko terinfeksi HIV 2 kali.

l. Penggunaan Narkoba Suntik (Penasun)

Penggunaan narkoba suntik (Penasun) >5 tahun berisiko 5,31 kali lebih besar berisiko HIV, dan dalam seminggu lebih dari 6 kali menyuntik napza memiliki risiko 4,02 lebih mungkin terjadi HIV. Faktor risiko utama kejadian HIV pada penasun adalah pemakaian jarum suntik yang bergantian.

Penularan HIV sejatinya hanya bisa terjadi karena adanya kontak dengan cairan tubuh penderita. Kontak cairan tersebut adalah darah, sperma, cairan vagina, cairan anus, serta ASI. Perlu diingat bahwa HIV tidak dapat ditularkan melalui udara, air, keringat, air mata, air liur, gigitan nyamuk, ataupun sentuhan fisik.

2.3 Fenomena Kejadian HIV

Berdasarkan laporan epidemi HIV global United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) tahun 2019 menyatakan bahwa terdapat 38 juta penduduk di dunia mengidap penyakit HIV pada tahun 2019, bahkan sebanyak 7,1 juta penduduk di dunia tidak mengetahui bahwa telah terinfeksi HIV. HIV sendiri telah menginfeksi 50-60 juta orang dan menyebabkan kematian pada orang dewasa dan anak-anak lebih dari 22 juta orang. Lebih dari 42 juta orang hidup dengan infeksi HIV dan AIDS, yang kira – kira 70% berada di Afrika dan 20% berada di Asia, dan hampir 3 juta orang meninggal setiap tahun. Jumlah AIDS tertinggi pada ibu rumah tangga (IRT) (10.691), karyawan (9.656), wiraswasta (9.512), petani/

peternak/ nelayan (3.685), buruh kasar (3.202), penjaja seks (2.581), pegawai negeri sipil (1.826), serta anak sekolah/ mahasiswa (1.776).

Menurut laporan Badan Narkotika Nasional (BNN), sepanjang 2022 ada 62.856 kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia. Rinciannya, 9.901 kasus AIDS dan 52.955 kasus HIV. Laki-laki mendominasi kasus HIV dan AIDS di Tanah Air.

(11)

7

Jumlah kasus HIV pada laki-laki sebanyak 31.218 kasus atau setara 58,95% dari total kasus HIV di dalam negeri. Di sisi lain, jumlah kasus HIV perempuan 21.737 kasus, dan yang gendernya tidak diketahui 0 kasus. Adapun jumlah kasus AIDS pada laki-laki mencapai 7.375 kasus, atau setara 74,48% dari total kasus AIDS di Indonesia pada 2022. Sementara, kasus AIDS perempuan 2.521 kasus, dan gendernya tidak diketahui 5 kasus.

BNN melaporkan, mayoritas kasus HIV dan AIDS di Indonesia pada 2022 ditularkan melalui hubungan homoseksual, yaitu sebanyak 17.983 kasus. Faktor risiko penularan terbesar berikutnya adalah melalui hubungan heteroseksual yaitu 12.072 kasus. Kemudian, penularan HIV dan AIDS di Indonesia juga melalui transfusi pranatal 7.310 kasus, jarum suntik tidak steril 351 kasus, hubungan biseksual 189 kasus, faktor risiko lainnya 12.324 kasus, serta faktor yang tidak diketahui 12.611 kasus.

Pada tahun 2020, terdapat lima provinsi kasus HIV tertinggi diantaranya Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Papua. Sedangkan provinsi dengan kasus AIDS tertinggi adalah Jawa Tengah, Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Tren jumlah kasus HIV dan AIDS tertinggi dari tahun 2017 hingga 2019 tetap sama, terutama di pulau Jawa (Pusdatin HIV/ AIDS Kemenkes RI Tahun 2020, 2020). Kota Semarang merupakan daerah di Jawa Tengah dengan total kasus HIV/AIDS terbanyak tahun 2018 dengan 332 kasus HIV dan 18 kasus AIDS (Jumlah Kasus HIV/AIDS, IMS, DBD, Diare, TB, dan Malaria Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Jiwa), 2018). Bersumber dari data Dinas Kesehatan Kota Semarang, tahun 2019 terdapat 278 kasus HIV dan 15 kasus AIDS dengan CFR 2,4%. Tahun 2020, 201 kasus HIV dan 15 kasus AIDS dengan CFR 7,4%. Tahun 2021 terdapat 182 kasus HIV dan 23 kasus AIDS dengan CFR 9,8% (Penyakit Prioritas Kota Semarang, 2021).

2.4 Dampak HIV

a. Dampak Sosial

Bentuk diskriminasi dari keluarga, polisi, dan tenaga kesehatan karena status mereka. Stigma tentang AIDS menyebabkan mereka sering mengalami diskriminasi di rumah, tempat kerja dan di masyarakat luas.

(12)

8 b. Dampak Psikologis

Dampak psikologis yang dialami oleh ODHA secara umum adalah denial atau tidak terima terhadap kondisinya seperti depresi hingga keinginan untuk bunuh diri. Mereka yang mengaku perilakunya tidak beresiko cenderung mempunyai masa denial yang lebih lama.

c. Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi yang dialami oleh ODHA secara umum status ekonomi ODHA menurun, dikarenakan produktivitas yang menurun.

2.5 Upaya Pencegahan

Upaya pencegahan HIV/AIDS dapat berjalan efektif apabila adanya komitmen masyarakat dan pemerintah untuk mencegah atau mengurangi perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV. Terdapat beberapa upaya pencegahan HIV/AIDS yang dapat dilakukan yaitu:

a. Tidak melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan atau hanya berhubungan seks dengan satu orang saja yang diketahui tidak terinfeksi HIV.

b. Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual, penggunaan kondom yang benar saat melakukan hubungan seks baik secara vaginal, anal dan oral dapat melindungi terhadap penyebaran infeksi menular seksual.

Fakta menunjukkan bahwa penggunaan kondom lateks pada laki-laki memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap penyebaran infeksi menular seksual lainnya sebanyak 5%.

c. Menyediakan fasilitas konseling dan tes HIV sukarela. Konseling dan tes ini secara sukarela ini sangat disarankan untuk semua orang yang terkena salah satu faktor sehingga mereka mengetahui status infeksi serta dapat melakukan pencegahan dan pengobatan dini.

d. Melakukan sunat bagi laki-laki, sunat pada laki-laki yang dilakukan oleh profesional kesehatan terlatih dan sesuai dengan aturan medis dapat mengurangi risiko infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual sekitar 60%.

(13)

9

e. Menggunakan Antiretroviral (ARV), sebuah percobaan yang dilakukan pada tahun 2011 telah mengkonfirmasi bahwa orang HIV positif yang telah mematuhi pengobatan ARV, dapat mengurangi risiko penularan HIV kepada pasangan seksual HIV negatif sebesar 96%.

f. Pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba suntikan, penggunaan narkoba suntikan dapat melakukan pencegahan terhadap infeksi HIV dengan menggunakan alat suntik steril untuk setiap injeksi atau tidak berbagi jarum suntik kepada pengguna lainnya.

g. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak selama kehamilan, persalinan dan menyusui yaitu dengan pemberian ARV untuk ibu dan bayi selama kehamilan, persalinan dan pasca persalinan serta memberikan pengobatan untuk wanita hamil dengan HIV positif.

h. Melakukan tindakan kewaspadaan universal bagi petugas kesehatan, petugas kesehatan harus berhati-hati dalam menangani pasien, memakai dan membuang jarum suntik agar tidak tertusuk, menggunakan APD (Najmah et.al, 2016).

(14)

10

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Fenomena Kasus HIV di Indonesia

Menurut laporan Badan Narkotika Nasional (BNN), sepanjang 2022 ada 62.856 kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia. Rinciannya, 9.901 kasus AIDS dan 52.955 kasus HIV. Laki-laki mendominasi kasus HIV dan AIDS di Tanah Air.

Jumlah kasus HIV pada laki-laki sebanyak 31.218 kasus atau setara 58,95% dari total kasus HIV di dalam negeri. Di sisi lain, jumlah kasus HIV perempuan 21.737 kasus, dan yang gendernya tidak diketahui 0 kasus. Adapun jumlah kasus AIDS pada laki-laki mencapai 7.375 kasus, atau setara 74,48% dari total kasus AIDS di Indonesia pada 2022. Sementara, kasus AIDS perempuan 2.521 kasus, dan gendernya tidak diketahui 5 kasus.

BNN melaporkan, mayoritas kasus HIV dan AIDS di Indonesia pada 2022 ditularkan melalui hubungan homoseksual, yaitu sebanyak 17.983 kasus. Faktor risiko penularan terbesar berikutnya adalah melalui hubungan heteroseksual yaitu 12.072 kasus. Kemudian, penularan HIV dan AIDS di Indonesia juga melalui transfusi pranatal 7.310 kasus, jarum suntik tidak steril 351 kasus, hubungan biseksual 189 kasus, faktor risiko lainnya 12.324 kasus, serta faktor yang tidak diketahui 12.611 kasus.

3.2 Implementasi Teori Precede Proceed pada HIV/AIDS 1. Fase 1 : Social Assessment

a. Status Ekonomi

ODHA yang berpendidikan tinggi mungkin memiliki penghasilan lebih baik dan hidup dalam kondisi yang lebih baik. Penghasilan yang tinggi meningkatkan kemampuan ODHA dalam membiayai pengobatan dan perawatan diri.

(15)

11

b. Norma Sosial masyarakat terhadap HIV/AIDS

Penderita HIV/AIDS sering mendapat perlakuan yang tidak baik setelah mereka dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS. ODHA yang tidak mengalami stigma memiliki peluang 5.57 kali lebih besar memiliki kualitas hidup baik dibandingkan dengan ODHA yang mengalami stigma tinggi.

c. Diskriminasi

Tingkat diskriminasi dan stigma negatif pada ODHA masih tinggi karena ketidakpahaman masyarakat tentang penyakit HIV/AIDS itu sendiri. Seperti adanya anggapan bahwa penyakit ini mudah menular, penyakit kutukan, dan lain-lain. Padahal dari segi peraturan pemerintah bahwa ODHA masih mendapatkan hak yang sama dalam pekerjaan atau tidak dilarang dalam bekerja. (Tirto.id)

d. Budaya yang mempengaruhi HIV/AIDS 1) Budaya Patriaki

Pada budaya masyarakat Batak Karo mereka menganut sistem patriarkat, yang mana menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama pada kelompok sosial dan selalu sebagai pengambil keputusan. Menurut hasil penelitian yang didapatkan adalah laki-laki masyarakat Karo memiliki peran yang besar dalam mengendalikan keadaan rumah tangga, baik dalam hal keuangan rumah tangga, pengambilan keputusan, saat bekerja di ladang, laki-laki memiliki peran yang yang sangat dominan terhadap perempuan sehingga ruang bergerak perempuan menjadi sempit dan segala sesuatunya harus berdasarkan keputusan suami. Melihat perilaku laki-laki yang memanfaatkan perannya tersebut, menimbulkan kekerasan seksual dan penekanan mental terhadap istri (Marital Rape).

Melihat dari setiap contoh perilaku yang dilakukan para laki-laki tersebut dan dihubungkan dengan penyakit HIV/AIDS adalah perilaku laki- laki yang bertindak sesuka hati dengan kekuasaan yang dimilikinya, membuka peluang untuk mereka mendapatkan kepuasaan seksual dari Perempuan Seks Komersil (PSK) di tempat lokalisasi. Setelah laki-laki mendapatkan kepuasan di lokalisasi tersebut dan membawanya ke rumah

(16)

12

dan secara tidak langsung akan menularkan kepada istrinya. Perempuan yang sebenarnya mengetahui perilaku laki-laki yang tidak adil tersebut, tidak dapat berbuat banyak karena budaya sistem patriarki tersebut, yang mengharuskan mereka tunduk pada peraturan laki-laki dan memikirkan dampak sosial yang harus perempuan terima apabila melawan laki-laki, dimana perempuan sebagai pihak yang lemah dari budaya tersebut keberadaanya semakin dikucilkan lagi dalam suatu tatanan budaya.

Selanjutnya lagi perempuan semakin tidak berani mengusulkan untuk memeriksa keadaan kesehatan seksual pasangannya dan semakin sulit untuk membicarakan masalah seks dengan pasangannya.

2) Budaya Rebu

Budaya rebu dibuat sebagai kontrol sosial dari norma adat masyarakat Karo, untuk menghindari perilaku seks bebas dalam suatu keluarga Karo. Selain itu masyarakat Karo juga yang masih tabu dalam membicarakan pendidikan seks terlalu vulgar. Disadari atau tidak sikap seperti ini pada tingkatan tertentu mengakibatkan seseorang yang akan menanjak dewasa tidak diberi pembekalan yang baik dan terarah mengenai perilaku seksual yang seharusnya. (Bukit, L, dkk 2015)

2. Fase 2 : Epidemiological Assessment a. Angka kejadian HIV/AIDS

Jumlah ODHA yang ditemukan yang dilaporkan sepanjang 2022 sebanyak 62.856 kasus di Indonesia dengan rincian 9.901 kasus AIDS dan 52.955 kasus HIV.

b. Angka kematian akibat HIV AIDS

Kejadian kematian HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat, hingga tahun 2022 angka kematian akibat HIV/AIDS sebanyak 26.501 kasus. (UNAIDS 2020).

c. Angka usia produktif yang terkena HIV AIDS

Menurut data dari SIHA Perkembangan Hiv Aids Dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (Pims) Triwulan III 9Juni - September) Tahun 2022 :

(17)

13

1) Persentase ODHIV ditemukan sampai dengan September 2022 yang tertinggi terdapat pada kelompok umur 25-49 tahun (67,3%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,7%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (9,1%).

2) Berdasarkan jenis kelamin, persentase ODHIV yang ditemukan pada laki-laki sebesar 71% dan perempuan sebesar 29%.

3) Sedangkan kelompok umur 30-39 tahun merupakan kelompok dengan persentase AIDS tertinggi (31,9%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (30,5%) dan kelompok umur 40-49 tahun (19,4%).

4) Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 61% dan perempuan 32%.

Sementara itu, 7% tidak melaporkan jenis kelamin.

5) Ibu rumah tangga menempati urutan terbesar orang dengan HIV/AIDS mencapai 35%. Kasus HIV pada kelompok IRT bertambah sebesar 5.100 tiap tahunnya. Penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah serta memiliki pasangan dengan perilaku sex berisiko. Ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV berisiko tinggi untuk menularkan virus kepada anaknya. Penularan bisa terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran, atau saat menyusui. Secara umum, penularan HIV melalui jalur ibu ke anak menyumbang sebesar 20- 45% dari seluruh sumber penularan HIV lainnya seperti melalui sex, jarum suntik dan transfusi darah yang tidak aman. Dampaknya, sebanyak 45% bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV akan lahir dengan HIV. Dan sepanjang hidupnya akan menyandang status HIV Positif. (Kementrian Kesehatan, 2023)

3. Fase 3 : Behavioral and Environmental Assessment - Behavioral/ Perilaku

a. Kepatuhan berobat

1) Lama Menerima Terapi

(18)

14

Tingkat kepatuhan terapi ARV masih rendah. ODHA yang terapi ≥2 tahun memiliki peluang 2.91 kali lebih besar memiliki kualitas hidup lebih baik dibandingkan dengan ODHA yang terapi ARV<2 tahun.

2) Penderita HIV/AIDS yang menikah cenderung memiliki sikap positif sehingga akses dan kepatuhan pada terapi ARV meningkat.

3) Perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS yang berpendidikan tinggi ternayat rendah dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan karena beberapa faktor seperti malu, ketidakterbukaan terhadap penyakitnya, sikap terhadap penyakit dan pelayanan kesehatan, serta kurang mendapat dukungan sosial.

4) Cole & Kemeny (dalam Sarafino, 2006), bahwa orang dengan HIV yang sangat reaktif terhadap stress dan tidak dapat melakukan coping dengan benar, memperlihatkan fungsi imun/kekebalan tubuh yang sangat rendah dan progresivitas penyakit yang sangat cepat, dibandingkan dengan yang lainnya.

- Environmental

a. Norma Sosial masyarakat terhadap HIV/AIDS

● Penderita HIV/AIDS sering mendapat perlakuan yang tidak baik setelah mereka dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS. Masih adanya stigma di pelayanan kesehatan namun masih memanfaatkan pelayanan kesehatan, yang mendapat dukungan sosial memanfaatkan layanan kesehatan lebih tinggi daripada yang tidak mendapat dukungan sosial.

● Stigma di pelayanan kesehatan dapat menghambat pemanfaatan pelayanan kesehatan, serta berpengaruh pada kepercayaan, pengetahuan tentang HIV/AIDS dan menurunkan rasa percaya diri b. Kualitas, kuantitas, dan sarana pemanfaatan pelayanan kesehatan

bagi penderita HIV/AIDS

● Kegiatan perawatan, dukungan, dan pengobatan (PDP) bagi ODHA dapat diperoleh di rumah sakit, puskesmas dan tempat yang telah

(19)

15

ditunjuk oleh pemerintah. Ada sebanyak 1.043 jumlah layanan tes HIV/AIDS di Kota Semarang yang tersebar pada ratusan layanan kesehatan dengan rincian 325 Puskesmas, 90 Rumah Sakit, dan 4 balai kesehatan.

● Pelaksanaan PDP dapat dengan mudah di akses apabila telah melalui Voluntary Counselling Test (VCT), karena VCT merupakan pintu masuk yang penting untuk pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan manajemen kasus bagi ODHA dengan tujuan agar tidak menularkan kepada orang lain dan untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

● Jarak tidak membatasi kemampuan dan kemauan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan karena Kota Semarang mempunyai sarana transportasi yang lancar. Walaupun jarak jauh, harus mengeluarkan biaya ekstra, dan menempuh perjalanan yang lama, mereka tetap datang minimal satu bulan sekali untuk mengambil obat ARV. Di Afrika Selatan, ODHA di Kwazulu Natal rumah yang berjarak 1 – 20 km dari fasilitas pelayanan kesehatan, pemanfaatan meningkat sekitar 2%, sedangkan untuk yang berjarak 50 km yang mengakses hanya sekitar 50%.24 Jarak biasanya juga berkaitan dengan akses pelayanan yang diinginkan, status sosial ekonomi, penyakit infeksi yang diderita selain HIV dan usia 25

4. Fase 4 : Educational and Organizational Assessment a. Predisposing Factor

- Pendidikan

ODHA berpendidikan tinggi berpeluang 4,55 kali lebih besar untuk memiliki kualitas hidup baik dibandingkan ODHA berpendidikan rendah.

Semakin tinggi pengetahuan, semakin tinggi peluang perubahan perilaku terjadi, dan sebaliknya.

(20)

16

- Pengetahuan dan sikap penderita tentang HIV / AIDS

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang pengetahuan HIV/AIDS menunjukkan bahwa mayoritas responden mengetahui AIDS adalah penyakit menular (85%), 88,6% bahwa HIV adalah agen penyebab AIDS dan 86,0% bahwa sistem kekebalan tubuh terkena HIV/AIDS. Mengenai tanda dan gejala, 37,7% setuju bahwa kelelahan adalah gejala, 45,0%

menyadari bahwa diare adalah tanda HIV/AIDS, dan 62,1% menyadari penurunan berat badan sebagai tanda HIV/AIDS. Secara keseluruhan, siswa memiliki pengetahuan sedang tentang HIV/AIDS; rata-rata persentase siswa menjawab soal pada bagian pengetahuan dengan benar sebesar 67,6%, sedangkan 32,4% salah atau tidak tahu.

- Kepercayaan dan Nilai yang dianut tentang HIV AIDS

Proporsi yang lebih tinggi mengetahui bahwa HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik yang terinfeksi (87,5%), melalui hubungan seksual tanpa kondom (82,3%) dan dari ibu ke anak (80,7%). Namun ada beberapa kesalahpahaman mengenai metode yang tidak dapat menular. Lebih sedikit yang mengetahui bahwa HIV tidak dapat ditularkan melalui pelukan dan ciuman orang yang terinfeksi (69,3%), melalui gigitan nyamuk dan serangga lainnya (69,3%) dan melalui berbagi kolam renang umum (61,3%) dan hanya 32,5% yang setuju bahwa berbagi makanan dengan orang yang terinfeksi bukanlah suatu risiko. Persentase yang tinggi (81,2%) setuju bahwa HIV tidak dapat ditularkan melalui orang HIV-positif di ruang kelas yang sama. Secara keseluruhan, rata-rata tingkat respons total untuk keyakinan yang dapat diterima adalah 58,5%,

b. Reinforcing Factor

- Sikap dan perilaku petugas kesehatan dan lainnya terhadap HIV/ AIDS Berdasarkan penelitian Dapaah pada tahun 2016 tentang sikap dan perilaku tenaga kesehatan serta penggunaan pelayanan kesehatan HIV/AIDS mengemukakan bahwa petugas kesehatan yang memberikan layanan kepada ODHA secara umum menunjukkan sikap dan perilaku positif

(21)

17

terhadap klien selama pertemuan klinis. Petugas kesehatan dengan hangat menerima klien di fasilitas kesehatan, menangani klien dengan sopan, memberi nasihat kepada klien tentang berbagai masalah, kadang-kadang mendukung klien secara finansial, dan berinteraksi dengan nyaman dengan mereka. Hal ini bertentangan dengan temuan sebagian besar penelitian dalam literatur bahwa petugas kesehatan sering kali tidak berkomunikasi dan berhubungan dengan baik dengan ODHA.

c. Enabling Factor

- Ketersediaan obat HIV/AIDS

HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Pemberian terapi ARV hanya dapat menghambat replikasi virus dan memperpanjang usia harapan hidup pasien HIV/AIDS. Perlunya memperluas dan memasifkan skrining HIV untuk meminimalkan terjadinya HIV.

Di pertengahan tahun 1980-an, obat utama bagi AIDS adalah AZT (azidothymidine) yang berfungsi untuk memperlambat reproduksi HIV pada tahapan awal. Selanjutnya di pertengahan tahun 1990-an berkembang obat anti-retroviral baru yang disebut sebagai protease inhibitors, yang juga berfungsi untuk menangani reproduksi HIV dan secara dramatis mengurangi jumlah virus tersebut dalam banyak inveksi HIV yang dialami, tetapi tidak semuanya. (Sarafino, 2006).

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa anti-retroviral adalah suatu obat yang adapat digunakan untuk mencegah reproduksi retrovirus, yaitu virus yang terdapat pada HIV. Obat ini tidak untuk mencegah penyebaran HIV dari orang yang terinfeksi ke orang lain, tidak untuk menyembuhkan infeksi HIV dan juga tidak berfungsi untuk membunuh virus (agar tidak berkembang menjadi AIDS karena jika hal ini terjadi maka akan membuat kerusakan pada sel tubuh yang terkena infeksi virus tersebut). Antiretroviral digunakan untuk memblokir atau menghambat proses reproduksi virus, membantu mempertahankan jumlah minimal virus di dalam tubuh dan memperlambat kerusakan sistem kekebalan sehingga

(22)

18

orang yang terinfeksi HIV dapat merasa lebih baik/nyaman dan bisa menjalani kehidupan normal.

- Program kebijakan pemerintah

Dengan mengetahui cara penularan HIV/AIDS dan sampai saat ini belum ada obat yang mampu memusnahkan HIV/AIDS maka lebih mudah melakukan pencegahannya.

a. Prinsip ABCDE yaitu :

A = Abstinence (Puasa Seks, terutama bagi yang belum menikah) B = Befaithful (Setia hanya pada satu pasangan atau menghindari berganti- ganti

pasangan)

C = use Condom (Gunakan kondom selalu bila sudah tidak mampu menahan seks)

D = Drugs No (Jangan gunakan narkoba)

E = sterilization of Equipment (Selalu gunakan alat suntik steri)l b. Voluntary Conseling Testing (VCT)

VCT merupakan satu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya.

VTC mempunyai tujuan sebagai : 1) Upaya pencegahan HIV/AIDS

2) Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi atau pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV.

3) Upaya mengembangkan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral (ARV), serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.

(23)

19 5. Fase 5 : Administrative and Policy Assessment

- Administrative

a. Memperkirakan atau menilai resources/sumber daya yang dibutuhkan program HIV/AIDS.

Pada tahun 2010, Institute of Medicine (IOM) menerbitkan HIV dan Disabilitas: Memperbarui Daftar Jaminan Sosial. Laporan ini memberikan rekomendasi untuk meningkatkan kemampuan Administrasi Jaminan Sosial dalam menentukan tunjangan disabilitas secara lebih akurat dan cepat melalui penggunaan Daftar Infeksi HIV, yang terakhir diperbarui pada tahun 1993. Kategori yang direkomendasikan untuk tunjangan disabilitas HIV antara lain adalah jumlah CD4 rendah dan kondisi fatal yang akan segera terjadi. . Rekomendasi laporan mempertimbangkan perubahan besar dalam infeksi HIV sejak diperkenalkannya kombinasi obat antiretroviral yang efektif pada tahun 1996.

b. Menilai resources yang ada di dalam organisasi atau masyarakat.

Meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Indikator sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu yang pertama Staff, sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf.

Kegagalan yang sering terjadi adalah dikarenakan staf yang tidak cukup mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten di bidangnya. Kedua Informasi, dalam implementasi kebijakan, informasi memiliki dua bentuk, yaitu : informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan dan informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi. Ketiga Wewenang, pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan.

Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi pelaksana

(24)

20

kebijakan yang ditetapkan secara politik. Dan yang keempat adalah Fasilitas, salah satu faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan adalah fasilitas fisik. Tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

c. Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi program HIV/AIDS

Dari studi pendahuluan yang dilakukan, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen, seperti kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam penanggulangan HIV/AIDS masih kurang.

Hal tersebut terjadi karena tingkat pendidikan masyarakat paling banyak yaitu lulusan sekolah dasar sebesar 42%. Masyarakat yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya mempunyai pengetahuan dan wawasan yang lebih luas sehingga lebih mudah menyerap dan menerima informasi, serta dapat turut berperan aktif dalam mengatasi masalah kesehatan dirinya dan keluarganya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka berpeluang memiliki pengetahuan yang lebih baik dibanding dengan yang berpendidikan rendah (Rahayu et al., 2017). Hambatan juga terjadi pada saat melakukan sosialisasi kepada masyarakat, karena sulit mengumpulkan masyarakat dalam waktu bersamaan dengan alasan bekerja, sekolah, atau waktu luang yang digunakan untuk istirahat. Faktor lainnya yaitu belum tersedianya struktur organisasi khusus penanggulangan HIV/AIDS sehingga koordinasi antar petugas belum optimal.

- Policy

a. Menilai dukungan politik.

Muncul sejumlah tema yang mendukung upaya para pemimpin politik menuju perbaikan program HIV/AIDS, termasuk keterlibatan langsung pejabat publik dalam ujung tombak kampanye, pengakuan hubungan pribadi dengan epidemi HIV, dan tes publik serta pengungkapan status

(25)

21

HIV. Hal-hal yang perlu diperbaiki di masa depan juga telah diidentifikasi, termasuk perlunya penyampaian pesan yang lebih terarah, peningkatan transparansi baik secara nasional maupun internasional, dan pengurangan pesan-pesan yang bersifat stigmatisasi dari para pemimpin. Sistem politik mempunyai peran besar dalam sistem layanan kesehatan, khususnya HIV/AIDS. Kemitraan antara politik dan kesehatan harus terus diperkuat dan dimanfaatkan untuk menghasilkan perubahan besar dalam perilaku dan sikap di seluruh Afrika Sub-Sahara (Abraar Karan et al, 2017).

b. Dukungan regulasi/peraturan.

Penerapan Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

1. Penerapan KTHIV di seluruh FASKES.

2. Tes HIV masuk dalam Standar Pelayanan Medis (SPM) seperti tes laboratorium lainnya, sesuai Permenkes No 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat beserta lampirannya.

3. Pada daerah dengan tingkat epidemi meluas tes HIV ditawarkan pada semua pasien yang berkunjung ke FASKES sebagai bagian dari standar pelayanan.

4. Pada daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi tes HIV ditawarkan pada semua ibu hamil, penderita TB, penderita hepatitis, penderita IMS, pasangan ODHA dan populasi kunci

5. Persetujuan tes dari pasien cukup dilakukan secara lisan (tidak perlu tertulis).

6. Pasien diperkenankan menolak tes HIV. Jika pasien menolak, maka pasien diminta untuk menandatangani surat penolakan tes secara tertulis. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tes HIV wajib ditawarkan kepada semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau

(26)

22

menjelang persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB.

c. Dukungan sistem di dalam organisasi.

Dalam faktor kepemimpinan, motivasi ODHA dalam membentuk kelompok agar dapat saling menolong antar sesama, sangat penting untuk keberlanjutan kelompok. Dari faktor sumber daya ditemukan bahwa keterbatasan dana menjadi masalah yang banyak dihadapi oleh kelompok. Jiwa sukarela untuk menolong sesama dapat membantu keberlanjutan kelompok. Walaupun kapasitas SDM ODHA juga ditemukan menjadi kendala untuk keberlanjutan program, namun sudah dicoba melakukan rekrutmen secara profesional untuk pengelola kelompok. Faktor pengelolaan dan akuntabilitas yang paling menonjol adalah bahwa sudah ada perubahan dalam keterampilan pengelolaan kelompok sejak awal didirikan hingga sekarang, dan kelompok menyadari pentingnya akuntabilitas pengelolaan dana kelompok untuk keberlanjutan program (Tynan, 2006). Faktor keterlibatan di dalam sistem penanggulangan HIV/AIDS di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota menemukan bahwa hampir semua KP masuk sebagai pengurus KPAP yang dikuatkan oleh SK Gubernur, namun peran keterlibatan mereka di dalam proses perencanaan hingga pemantauan dan evaluasi dinilai belum optimal (Spirita, 2001: Spirita, 2002).

d. Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program HIV/AIDS.

Hambatan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS adalah kurangnya kesadaran dan kemauan pasien untuk minum obat, seperti minum obat Anti Retroviral Virus (ARV). Hal ini disebabkan oleh ketakutan dan kecemasan ODHA dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan (47,9%). ODHA melakukan pengobatan hanya pada kunjungan pertama tetapi untuk pengobatan selanjutnya pasien tidak datang lagi ke Puskesmas untuk melanjutkan pengobatan. Hasil penelitian menemukan bahwa rendahnya kesadaran ODHA juga disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan pasien, dan ODHA tidak mengikuti

(27)

23

konseling oleh konselor karena kurangnya akses lokasi yang strategis (Ratna Dwi Wulandari, 2021).

e. Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program HIV/AIDS.

Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah organisasi berbasis komunitas yang sejak berdiri pada tahun 2011 memfokuskan kerjanya terhadap upaya-upaya pemenuhan hak-hak ODHA dan populasi kunci, lewat strategi pelibatan komunitas dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program, serta dalam upaya-upaya advokasi bagi kebijakan maupun regulasi yang mendukung program penanggulangan HIV dan AIDS nasional. Tahun 2018-2020 dibawah dukungan proyek Global Fund NFMc, IAC bekerja sebagai Sub Recipient untuk melaksanakan program CSS (Community System Strengthening – Penguatan Sistem Komunitas), dan EEA (Enabling Environment for Access – Penciptaan Lingkungan yang Kondusif) di 23 Kabupaten/Kota prioritas, dengan target utama adalah meningkatnya kapasitas organisasi komunitas sehingga cukup mumpuni untuk dapat terlibat dalam kegiatan-kegiatan advokasi serta pemenuhan hak.

6. Fase 6 : Implementation

- Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS - SIHA 1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini :

a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran tes HIV perlu dilakukan kepada semua pasien yang datang ke layanan kesehatan baik rawat jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.

b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien IMS, pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS, waria, LSL dan penasun

(28)

24

c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi di daerahnya dan melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring & evaluasi serta surveilans berkala.

d. Memperluas akses layanan Konseling dan Tes HIV (KTHIV) dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan(FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap kabupaten/kota.

e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.

f. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ke tingkat Puskesmas.

g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV.

h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui layanan PIMS dan PTRM

2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis

a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap(KDT-Fixed Dose Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari pada jam yangsama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan tidak lupa menelan obat.

b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas

c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan apapun stadium klinisnya pada:

a) Kelompok populasi kunci, yaitu : pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain

(29)

25

b) Populasi khusus, seperti : Wanita hamil dengan HIV, Pasien koinfeksi TB-HIV, Pasien ko-Infeksi Hepatitis-HV (Hepatitis B dan C), ODHA yang pasangannya HIV Negatif, (Pasangan Sero-diskor), dan bayi/anak dengan HIV (Usia <

5 Tahun).

c) Semua orang yang terinfeksi HIV di Daerah dengan epidemi meluas.

d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian kondom konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket pengobatan.

3. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV

4. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk early infant diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan tetap dalam perawatan dan pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui sistem rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan.

5. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan mentoring klinis yang dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP.

6. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya terkait layanan tes dan pengobatan HIV-AIDS.

- Penerapan Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

1. Penerapan KTHIV di seluruh FASKES.

2. Tes HIV masuk dalam Standar Pelayanan Medis (SPM) seperti tes laboratorium lainnya, sesuai Permenkes No 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaran Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat beserta lampirannya.

3. Pada daerah dengan tingkat epidemi meluas tes HIV ditawarkan pada semua pasien yang berkunjung ke FASKES sebagai bagian dari standar pelayanan.

(30)

26

4. Pada daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi tes HIV ditawarkan pada semua ibu hamil, penderita TB, penderita hepatitis, penderita IMS, pasangan ODHA dan populasi kunci

5. Persetujuan tes dari pasien cukup dilakukan secara lisan (tidak perlu tertulis).

6. Pasien diperkenankan menolak tes HIV. Jika pasien menolak, maka pasien diminta untuk menandatangani surat penolakan tes secara tertulis.

- Permendagri No.100 Tahun 2018 untuk bidang kesehatan dan PMK nomor 4/2019 ada 12 standar pelayanan dimana program HIV AIDS merupakan Standar Pelayanan Minimal/SPM nomor 12 yaitu pelayanan bagi orang yang berisiko terinfeksi HIV dimana kelompok sasaran adalah Ibu Hamil, Pasien TBC, Pasien IMS, Warga Bina Pemasyarakatan, WPS, LSL, transgender/waria dan pengguna napza suntik.

- Pada tahun 2021, dukungan dan dekon di tingkat Provinsi difokuskan pada peningkatan SDM, dan dukungan DAK di tingkat Kabupaten/Kota untuk peningkatan Sarana dan Prasarana terutama untuk skrining HIV dan Syphillis pada ibu hamil.

7. Fase 7 : Process Evaluation

- Hasil capaian program HIV AIDS tahun 2018 s.d September 2020 masih sangat jauh dari harapan yaitu 2018 (27,83%), 2019 (37,90%), 2020 (20,04%).

- Target skrining HIV dan sifilis baru mencapai 45% dari target yang seharusnya 85% bumil.

8. Fase 8 : Impact Evaluation

- Capaian rujukan tes HIV ke fasilitas kesehatan meningkat tetapi masih di bawah target pada tahun 2022.

- Angka insiden HIV tahun 2022 Indonesia menunjukkan sebesar 0,09 persen, lebih kecil dibandingkan dengan target tahun 2022 sebesar 0,19 persen.

-

9. Fase 9 : Outcome Evaluation

- Penyakit HIV/AIDS masih belum bisa diberantas sempurna

(31)

27

- Pencapaian Triple 95s atau 95-95-95 di tahun 2030, yaitu: 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% ODHIV ada dalam ART, dan 95% ODHIV dalam ART mengalami penekanan virus.

- Komnas Perempuan menginisiasi sebuah pilot project layanan HIV untuk perempuan pada 2022 di Papua dan Papua Barat

- Tahun 2022 Kemenkes akan berfokus pada persiapan untuk melakukan STBP (Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku) 2023 berdasarkan STBP 2018.

(32)

28

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sedangkan AIDS singkatan dari (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS muncul setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. HIV AIDS dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Penyakit ini menyerang hampir di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia sendiri penyakit ini masih terus meningkat jumlahnya. Melalui Model Teori Precede-Proceed yang dikembangkan oleh Lawrence W. Green dan Marshall W. Kreuter dapat digunakan untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat terkait penyakit HIV AIDS.

Dalam menangani HIV AIDS di Indonesia diperlukan perencanaan yang matang seperti analisis faktor-faktor penyebab penyebaran HIV, pemahaman terhadap budaya dan nilai-nilai masyarakat, serta identifikasi target populasi yang rentan terhadap infeksi HIV. Selain itu partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program kesehatan melalui upaya pencegahan dan pengendalian penyakit dengan kampanye penyuluhan, pelatihan, dan dukungan psikososial. Selanjutnya perlu dilakukan identifikasi faktor penyebab dan penyebaran HIV mencakup analisis perilaku seksual, penggunaan narkoba, serta masalah aksesibilitas terhadap layanan kesehatan yang berkaitan dengan HIV.

Perlu juga dikembangkan pemahaman nilai-nilai budaya mencakup pemahaman terhadap norma-norma sosial, agama, dan tradisi yang dapat mempengaruhi perilaku terkait HIV AIDS kepada masyarakat serta evaluasi berkelanjutan yang mencakup pemantauan dan penilaian dampak program terhadap penyebaran HIV di Indonesia serta penyesuaian program sesuai dengan temuan evaluasi.

Hal ini memungkinkan program kesehatan pada penyakit HIV AIDS untuk lebih tepat sasaran, konteks budaya, dan berkelanjutan dalam upaya mengurangi penyebaran HIV di negara Indonesia didukung dengan kerjasama antara berbagai

(33)

29

pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat luas sehingga implementasi program juga dapat terlaksana.

(34)

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan. Kasus HIV dan Sifilis Meningkat, Penularan Didominasi Ibu Rumah Tangga [Internet].2023 May 09 (diakses pada 21 September 2023).

Available from : https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis- media/20230508/5742944/kasus-hiv-dan-sifilis-meningkat-penularan-didominasi- ibu-rumah-tangga/

2. Dewi NIP, Rafidah, Yuliastuti E. Studi Literatur Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian HIV/AIDS Pada Wanita Usia Subur (WUS). J Inov Penelit.

2022;3(1):4583–90.

3. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI. 2023. Laporan Tahunan HIV AIDS 2022.

4. Widiastuti E, Fibriana AI. Kejadian HIV/AIDS di Kota Semarang Tahun 2021.

Higeia J Public Heal Res Dev. 2022;6(4):344–55.

5. Rohmatullailah D, Fikriyah D. Faktor Risiko Kejadian HIV Pada Kelompok Usia Produktif di Indonesia. J Biostat Kependudukan, dan Inform Kesehat. 2021;2(1):45.

6. Prathama Limalvin N, Wulan Sucipta Putri WC, Kartika Sari KA. Gambaran dampak psikologis, sosial dan ekonomi pada ODHA di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Intisari Sains Medis. 2020;11(1):81–91.

7. Najmah. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans Info Media; 2016.

8. Handayani, S., & Mardhiati, R. (2018). Keberlanjutan Peran Dukungan Sebaya di Dalam Sistem Penanggulangan HIV di Tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten Indonesia. Perilaku dan Promosi Kesehatan: Indonesian Journal of Health Promotion and Behavior, 1(1), 44-53.

9. Diskriminasi dan Stigma Negatif Penderita HIV/AIDS di tempat kerja. 2019.

Diakses pada 24 September 2023. Dari https://tirto.id/diskriminasi-dan-stigma- negatif-penderita-hiv-aids-di-tempat-kerja-dd6b

10. World Health Oganization (2013). UNAIDS and UNODC. Policy Brief: Reduction of HIV Transmission In Prions. Geneva:WHO.(2016). HIV/ AIDS. http://www.- who.int/mediacentre/factsheets/fs360/en/. Diakses tanggal 24 September 2023

(35)

31

11. Spiritia (2009). Dasar AIDS. http://-spiritia.or.id/art/pdf/a1001.pdf. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. http://spiritia.or.id/Starts/star2016.pdf Diakses 24 Sept 2023

12. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (2010). Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. Jakarta.

13. Kusrini (2009). Sistem Pakar, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: ANDI. 2009 14. Laksana B, Demartoto A, Indarto D. Knowledge, Attitude, Sexual Behavior, Family

Support, and Their Associations with HIV/AIDS Status in Housewives. Biol Phys Soc Environ Factors Assoc with Dengue Hemorrhagic Fever Nganjuk, East Java.

2017;02(02):154–63.

15. Handayani F, Dewi FST. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kota Kupang. Ber Kedokt Masy. 2017;33(11):509.

16. Bukit LM, Simanihuruk M. Dimensi Budaya Dan Penyebaran Penyakit Hiv/Aids Di Perkumpulan Kasih Rakyat. Perspekt Sosiol. 2015;3(1):156752.

17. Dapaah JM. Attitudes and Behaviours of Health Workers and the Use of HIV/AIDS Health Care Services. Nurs Res Pract. 2016;2016:1–9.

18. SIHA Kemkes. Perkembangan Hiv Aids Dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (Pims) Triwulan III 9 Juni - September) Tahun 2022. Situasi Hiv Aids Pims Triwulan III (Juni - Sept Tahun 2022. 2022;1–15.

19. Yunior N, Wardani IKF. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian HIV/AIDS di RSUD Kabupaten Bekasi Tahun 2018. Bekasi; 2018.

20. Sumini S, Hadisaputro S, Anies A, Laksono B, Sofro MA. Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian HIV/AIDS pada Pengguna Napza Suntik (Studi Epidemiologi Di Kota Pontianak). J Epidemiol Kesehatan Komunitas.

2017;2(1):36–45.

21. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2019.

Referensi

Dokumen terkait

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan yang telah dilalui, peneliti memperoleh kesimpulan: 1 Hasil validasi ahli media, ahli materi, ahli bahasa, dan ahli desain

Sasaran Kegiatan Indikator Kinerja Target Realisasi Sampai Triwulan II Kendala/ Permasalahan % Fisik Kegiatan Target Realisasi Rencana Kegiatan Realisasi Kegiatan