MITIGASI BENCANA PADA MASYARAKAT TRADISIONAL DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DI KAMPUNG NAGA
KECAMATAN SALAWU KABUPATEN TASIKMALAYA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mitigasi Bencana
Disusun Oleh :
Nazwa Zhafranzy 213060037
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2024
Mata Kuliah : Mitigasi Bencana Tanggal Penyerahan : 06 Mei 2024 Dosen Pengampu : Gerry Andrika
BAB I PENDAHULUAN
Perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada pola iklim global yang disebabkan oleh tingginya kadar gas rumah kaca di atmosfer. Dampak yang terjadi dari perubahan iklim terjadi di berbagai sektor pada aspek kehidupan misalnya kesehatan, pertanian, kehutanan, infrastruktur, transportasi, pariwisata, energi dan sosial. Potensi bencana yang di sebabkan oleh perubahan iklim menempati 80% bencana alam yang ada di dunia (Sultonulhuda dkk., 2013). Potensi bencana yang terjadi yaitu banjir, angin puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, abrasi pantai, wabah penyakit.
Perubahan iklim juga menimbulkan kerugian yang disebabkan dari potensi bencana alam seperti kehilangan harta benda dan korban jiwa. Kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangi dengan adanya mitigasi. Mitigasi adalah upaya mengurangi atau mencegah risiko kehilangan jiwa dan harta benda dengan pendekatan struktural ataupun non- struktural (Nursa’ban dkk., 2010). Mitigasi struktural adalah pengurangan risiko bencana melalui pembangunan fisik serta rekayasa teknis bangunan tahan bencana, sedangkan mitigas non-struktural adalah pengurangan risiko bencana yang bersifat non fisik seperti kebijakan, pemberdayaan masyarakat (Sugiharyatno dkk., 2014).
Kabupaten Tasikmalaya adalah salah satu dari 50 wilayah di Indonesia yang rentan terhadap perubahan iklim. Data indeks rawan bencana tahun 2013 menunjukkan Kabupaten Tasikmalaya menduduki urutan ke-5 dari 496 Kabupaten di Indonesia dengan tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana. Menurut BPBD Kabupaten Tasikmalaya, terdapat 17 kecamatan yang termasuk pada kawasan rawan bencana, salah satunya kecamatan salawu. Kampung naga yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu merupakan kampung rawan bencana alam. Kampung naga terletak di lembah sungai Ciwulan dengan diapit perbukitan dataran tinggi yang membujur dari barat ke timur, dilalui sesar dan berlokasi <5km dari pusat gempa. Walaupun terletak di daerah rawan bencana, kampung naga hingga saat ini tetap aman dari bencana alam. Hal tersebut menarik perhatian tentang kemampuan masyarakat kampung naga dalam mitigasi bencana.
BAB II PEMBAHASAN A. Analisis Risiko Bencana
Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang ada. Potensi dampak negatif tersebut dihitung juga dengan mempertimbangkan tingkat kerentanan dan kapasitas kawasan tersebut. Potensi dampak negatif ini menggambarkan potensi jumlah jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan yang terpapar oleh potensi bencana. Dalam pelaksanaannya, pengkajian risiko menggunakan rumus umum sebagai berikut:
R = H x V/C
Dalam melakukan kajian risiko bencana, pendekatan fungsi dari tiga parameter pembentuk risiko bencana, yaitu ancaman, kerentanan, dan kapasitas terkait bencana. Beberapa prinsip dari proses pengkajian risiko bencana yang juga menjadi pertimbangan proses analisa adalah:
1. Menggunakan data dan segala bentuk rekaman kejadian yang ada, dengan mengutamakan data resmi dari lembaga yang berwenang;
2. Melakukan integrasi analisis probabilitas kejadian ancaman dari para ahli dengan kearifan lokal masyarakat;
3. Proses analisis yang dilakukan harus mampu menghitung potensi jumlah jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan yang terpapar;
4. Hasil kajian risiko dapat diterjemahkan menjadi kebijakan umum untuk pengurangan risiko bencana.
B. Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana merupakan sekumpulan langkah untuk mengurangi risiko bencana dengan cara menumbuhkan kesadaran dan meningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Kata mitigasi sendiri berasal dari bahasa latin Mitigare. Mitigare sendiri terdiri dari dua kata yaitu mitis (lunak, jinak, atau lembut) dan agare (melakukan, mengerjakan, atau membuat) (Adiyoso, 2018;hal.165). Berdasarkan penjelasan tersebut bisa ditarik definisi
bahwa mitigasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk menjinakkan sesuatu yang liar agar menjadi lebih lunak. Sedangkan bencana alam adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan manusia yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor bukan alam serta faktor manusia, sehingga mengakibatkan kematian, kehancuran, dan kehancuran, kerusakan lingkungan, kerusakan harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat berupa kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, badai tropis, dan lainnya. Jadi arti kata mitigasi bencana yang dianggap liar adalah bencana itu sendiri.
Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi dapat didefinisikan serangkaian langkah untuk meminimalisir risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Secara Umum pengertian mitigasi adalah usaha untuk meniadakan atau mengurangi korban dan kerugian yang mungkin timbul dan perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana. Prinsipnya kegiatan mitigasi harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam (natural disaster) atau bencana akibat dari perbuatan manusia.
C. Potensi Bencana terkait Perubahan Iklim di Kampung Naga
Di Kabupaten Tasikmalaya bagian utara terdapat sesar yang memanjang dari barat ke timur yang melewati kampung naga tersebut. Bapeda menyebutkan bahwa kawasan kampung naga masuk ke dalam zona gerakan tanah tinggi yang berdampak pada potensi bencana longsor.
Bencana longsor juga disebabkan oleh faktor antropogenik (aktivitas manusia) dan alam (iklim).
Kampung naga terletak di lembah sungai Ciwulan, dengan posisi lahan bagian barat lebih tinggi dibandingkan bagian timur. Akibatnya bagian timur rawan terkena banjir dari sungai Ciwulan. Berdasarkan kondisi geomorphologi, bahaya akibat perubahan iklim yang berpotensi menjadi bencana di Kampung Naga adalah longsor dan banjir.
1. Potensi Longsor
Morfologi kampung naga yang berbukit-bukit dengan ketinggian antara 593-660m dpl dan kemiringan lereng antara 8-40%. Perumahan terletak di ketinggian 609-624m dpl dengan kemiringan lereng 15-25%. Meski curah hujan di Kampung Naga antara 13,6- 20,7 mm/hari namun jenis tanah di Kampung Naga bersifat ultisol, tanah yang peka terhadap erosi juga mempunyai pori aerasi dan indeks stabilitas rendah. Dengan itu
potensi longsor di Kampung Naga cukup besar terutama di kawasan berbukit bagian barat.
Gambar 2. 1 Kemiringan Lereng Kampung Naga
2. Potensi Banjir
Jarak perumahan di Kampung Naga dari bibir sungai Ciwulan <100m, jika menggunakan standar sempadan sungai (Keppres No 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) maka sebagian dari perumahan di Kampung Naga berada pada kawasan sempadan sungai.
Namun arus deras sungai Ciwulan mengikis sebagian bibir sungai di bagian selatan kampung. Dengan itu pemerintah memasang dua buah talud untuk mengurangi potensi banjir jika air sungai meluap.
D. Kemampuan Mitigasi Bencana Masyarakat Kampung Naga Terhadap Perubahan Iklim
Kemampuan masyarakat Kampung Naga dalam memitigasi bencana dipengaruhi oleh adanya adat istiadat yang kuat dipegang teguh dalam kehidupan sehari hari. Masyarakat belajar tentang nilai-nilai dalam pelestarian adat istiadat dan kearifan tradisional yang mampu memitigasi bencana dengan selaras dengan alam. Masyarakat Kampung Naga patuh akan aturan adat yang dinamikanya terkontrol oleh adat.
Penataan ruang kampung naga dapat memitigasi bencana yang berpedoman pada konsep kosmologi Tri Tangtu di bumi yang merupakan filosofi dasar masyarakat sunda (Rusmana, 2008). Selaras dari hal tersebut masyarakat Kampung Naga membagi wilayahnya menjadi 3 yaitu dunia atas (kawasan sakral) dipresentasikan dengan hutan kramat yang berada di atas bukit bagian barat kampung, dunia tengah (kawasan netral) dipresentasikan dengan perumahan, sawah dan kebun campuran, dan dunia bawah (kawasan buruk) dipresentasikan dengan hutan larangan di sebelah timur kampung.
Bentuk mitigasi non-struktural untuk mengurangi risiko bencana banjir adalah dengan menata ruang kampung dan perumahan agar air dari tempat tinggi bagian barat dapat mengalir ke sungai Ciwulan bagian timur. Dengan peletakan bagunana memanjang barat-timur digunakan sebagai jalur pergerakan juga digunakan sebagai aliran drainase. Dengan itu apabila hujan, air jatuh dari atap mengalir ke lorong yang rendah tanpa membasahi bagian bawah rumah.
Tabel 2. 1 Kemampuan Mitigasi Bencana Tanah Longsor dan Banjir pada Masyarakat Kampung Naga
Komponen Mitigasi Bencana Longsor dan Banjir Bentuk Mitigasi Bencana
Hutan
 Menjaga kondisi hutan keramat agar tetap lestari untuk menjaga tata air dan mencegah longsor
Non struktural
Bangunan/Rumah
 Tapak bangunan lebih tinggi 15cm dari lorong drainase
 Bangunan rumah diletakkan sesuai kontur diperkuat dengan batu dan tanah liat untuk mencegah longsor
Struktural
Pola Ruang Kampung
 Tata letah bangunan memanjang barat- timur
 Sawah dan kebun dibikin berundak- undak
 Dibuat kolam pemisah perumahan dengan sungai
Non struktural
Struktural
Infrastruktur
 Lorong drainase tidak di semen dengan memanjang barat-timur dari tinggi ke rendah
 Jalan lingkungan terbuat dari material tanah dan batu yang dapat meresap air
Struktural
Sumber: Hasil Analisis
KESIMPULAN
Potensi bencana akibat perubahan iklim mengancam kampung naga adalah longsor dan banjir. Dengan memanfaatkan kearifan tradisional dalam memitigasi bencana longsor dan banjir yang dipengaruhi oleh adat istiadat yang kuat dan dipegang teguh oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan masyarakat Kampung Naga dalam mitigasi bencana terlihat dari peletakan bangunan, serta membangun infrastruktur dan pola ruangnya. Kemampuan mitigasi bencana berbasis kearifan tradisional tersebut didukung oleh kebijakan pemerintah yang dalam hal ini terkait dengan penataan ruang kawasan kampung naga. Pemanfaatan ruang di sekitaran kampung naga perlu dijaga terutama di sempadan sungai Ciwulan agar tidak berubah fungsi menjadi kawasan terbangun.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014a. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API). Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta.
Anonim, 2014b. Indeks Rawan Bencana Indonesia, Direktorat Penanggulangan Risiko Bencana, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Jakarta.
Nursa’ban, Sugiharyanto, dan Khotimah, 2010. Pengukuran Kerentanan Longsor Lahan Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Di Perbukitan Menoreh. Jurnal Penelitian Saintek, 15(2):42-52.
Rusmana, T., 2008. Kidung Jaka Bandung. Jurnal Resital, 9(2):102-111.
Sultonulhuda, Herdiansyah, H., dan Chrisandini, 2013. Panduan Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim Dan Pengurangan Risiko Bencana “Mengintegrasikan Kemampuan Adaptif Masyarakat Dalam Adaptasi Perubahan Iklim Dan Pengurangan Risiko Bencana“.
Dewan Nasional Perubahan Iklim, Jakarta.
Sugiharyanto, Wulandari, T., dan Wibowo, S., 2014. Persepsi Mahasiswa Pendidikan IPS Terhadap Mitigasi Bencana Gempa Bumi. JIPSINDO, 2(1):164-182.
Amri. M. R. 2016. Resiko Bencana Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Kamil. R. 2021. Manajemen Pendidikan Mitigasi Bencana Untuk Menumbuhkan Kesiapsiagaan Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Sebagai Usaha Pengurangan Risiko Bencana Di Kawasan Sesar Lembang. Universitas Islam Nusantara.