• Tidak ada hasil yang ditemukan

tinjauan hukum islam terhadap praktek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "tinjauan hukum islam terhadap praktek"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Giligenting Kabupaten Sumenep)

S K R I P S I

Oleh:

MISBAHUL KHAIR ALI NIM. 083121052

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER IAIN (JEMBER)

FAKULTAS SYARI’AH

MARET 2018

(2)

Giligenting Kabupaten Sumenep) SKRIPSI

Diajukan kepada Institut Agama Islam Negeri Jember Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) Fakultas Syariah Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah

Oleh:

MISBAHUL KHAIR ALI NIM. 083121052

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER IAIN (JEMBER)

FAKULTAS SYARI’AH

FEBRUARI 2018

(3)
(4)
(5)































Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS:An-Anisaa’.03)1

1 Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung : Dipenogoro, 2010), 3.

(6)

dan kesempatan menimba ilmu, sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan, skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Poligami dengan lima Istri Studi Kasus di Dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep.” Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak dibantu, dibimbing, dan didukkung oleh berbagai pihak. Oleh karena itu skripsi ini saya persembahkan kepada :

 Kedua orang tua tercinta bapak H. Ali Mansur HW dan ibu Subanti yang telah berjuang dan selalu mendoakan untuk kesuksesanku, trimakasih juga kepada saudara kandungku ghus Rumsiadi, bhuk Rumaisun, ghus Agus Readi Ali, ghus Muhammad Sikin Ali, dan bhuk Yati Octavia Ali, saya ucapkan banyak- banyak terimakasih atas segala nasehat dan doa-doa serta dukungan moril dan materil yang selalu kalian berikan untuk keberhasilan saudaramu ini.

 Untuk semua dosen-dosenku yang telah memberikan ilmu dan banyak hal kepadaku mulai dari pertama masuk perkuliahan sampai saat ini, terutama kepada ibu Abdul Rohim selaku dosen wali dan bapak Rafid Abbas selaku dosen pembimbing yang telah banyak berjasa atas selesainya skripsi ini.

 Serta semua teman-teman kelas B2 tanpa terkecuali khususnya kepada Suhardiono Husen Al-Basori, Muhammad Rifa`i, Khoirus Sholihin, Maulana Hakimul Ashom, Fahmi ridhol uyun, Faiqoh Qurota’yun dan semua teman- teman BJ tanpa terkecuali khususnya kepada Ra_one, Ahmad Khumaidi, Ibnu Aqil dan Sahrul dan teman-teman Partner “Merdeka Mobil” tanpa terkecuali saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya yang sudah mau berteman dan selalu ada buat aku dan menghiburku dalam setiap dukaku, serta terima kasih banyak atas segala bantuaanya selama ini.

(7)

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehinga penulis dapat meyelesaikan skripsi dengan judul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Poligami dengan lima Istri Studi Kasus di Dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep.” Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah menebarikan cahaya kebenaran dimuka bumi ini dari gelapnya kebodohan zaman pra Islam. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah (AS) Jurusan Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Jember.

Dalam penyusunan skripsi ini telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna meyelesaikannya. Namun tanpa bantuan dari berbagai pihak penyusunan ini tidak mungkin dapat terwujud. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada mereka yang telah banyak memberi sumbangan yang berupa bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesainya pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Babun Soeharto, SE., MM selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember

2. Bapak Dr. H. Sutrisno RS, M.HI selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember

3. Bapak Muhaimin, MH.I selaku Ketua Jurusan Hukum Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember

4. Ibu Inayatul Anisah, S.Ag., M.Hum selaku Ketua Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah Jurusan Hukum Islam Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember

(8)

6. Kepala Desa serta segenap masyarakat Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep yang telah memberikan izin serta bantuan bagi penulis dalam melakukan penelitian Skripsi ini.

7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen yang telah medampingi penulis dalam menjalani perkuliahan dari awal hingga akhir, sehingga berkat jasa beliau penulis dapat menyelesaikan perkuliahan sesuai dengan harapan.

8. Bapak dan Ibu tercinta yang tidak pernah lelah dengan do’anya, kakak dan mbakku tercinta yang telah memberikan dorongan moril dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Teman kelas B2 Angkatan 2012, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moril dalam penyelesaian Skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan moral dari semua pihak di atas mustahil skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan memohon kepada Allah SWT. semoga amal shaleh mereka mendapatkan ridho dan balasan yang lebih baik. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian dan khususnya bagi penulis sendiri.

Jember, 28 Februari 2018 Penulis

(9)

Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep.

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidak adilan gender. Dalam hukum Islam diatur tentang poligami antara lain disebutkan bahwa berpoligami hanya dibatasi dengan empat orang istri. Akan tetapi kebolehan itu mempunyai syarat yaitu tuntutan mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anaknya-anaknya.

Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah : 1) Apa saja faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya praktek poligami dengan lima istri di Dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep? 2) Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap praktek poligami dengan lima istri di Dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analisis dengan rancangan studi yang sumber datanya berasal dari manusia.

Metode pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti adalah metode interview, metode observasi,metode dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data peneliti menggunakan metode analisis data deduksi.

Hasil penelitian didapatkan bahwa hasil praktek poligami tidak sesuai dengan syariat Islam, Dan memang Tidak ada larangan untuk berpoligami bagi seseorang apabila tidak melebihi empat istri saja dan bisa bersikap adil terhadap istri-istrinya dan bisa memberikan nafkah bagi istri-istri dan anaknya.

sebagai mana yang peneliti pahami tentang praktek poligami yang dilakukan oleh abah H. Asfandi yang menyatakan hanya karna hasrat dan kesiapannya dalam berbuat adil kepada para istri-istrnya belum sesuai dengan tuntutan agama Islam, dengan berpoligami melebihi dari empat istri sangat jelas bahwa beliau sudah melanggar batasan-batasan yang telah di tetapkan oleh syariat Islam sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3,Dan beberapa hadist Rasulullah mengenai tentang larangan berpoligami melebibi dari 4 istri.

Jumhur Ulama’dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, yang diantara tahap-tahapnya adalah melakukan munasabah (pengkorelasian ayat-ayat sebelumnya dengan ayat yang sedang dikaji) serta melihat asbabunnuzul surat An-Nisâ’ ayat 3 yaitu banyaknya janda-janda dan anak yatim setelah terjadinya perang Uhud. Selain keadilan menyangkut anak yatim, poligami menurut Jumhur Ulama’ yang melebihi dari empat istri hukumnya haram,Pendapat ini menurut penulis adalah Pendapat yang sangat sesuai dengan tinjauan hukum islam.

(10)

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Definisi Istilah ... 10

F. Sistematika Pembahasan... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

A. Penelitian Terdahulu ... 13

B. Kajian Teori ... 14

1. Pengertian Poligami ... 14

2. Sejarah Poligami ... 24

3. Pendapat Ulama’ Tentang Poligami ... 26

4. Syarat-syarat Poligami ... 30

5. Faktor-faktor Poligami ... 31

6. Hikmah Poligami ... 33

(11)

C. Subyek Penelitian ... 38

D. Teknik Pengumpulan Data ... 39

E. Analisis Data... 42

F. Keabsahan Data ... 43

G. Tahap-tahap Penelitian ... 44

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS ... 46

A. Gambaran Obyek Penelitian ... 46

B. Penyajian Data dan Analisis ... 55

C. Pembahasan Temuan ... 69

BAB V PENUTUP ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran-saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80 Lampiran

Matrik Penelitian

(12)

4.1 Data Penduduk Menurut Pekerjaan di Bulan Juli 2016 ... 47 4.2 Data Penduduk Menurut Pekerjaan di Bulan Juni 2017 ... 48 4.3 Data Penduduk Menurut Pendidikan di Bulan Juni 2017 ... 49

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehadiran syarat dan rukun dalam pernikahan pada hakikatnya bertujuan agar terjaminnya keutuhan ikatan lahir dan batin, dan pada akhirnya tercapai kehidapan yang tentram, damai dan penuh cinta kasih sayang, sebagai tujuan perkawinan. Dari sini sudah jelas sekali bahwa Islam benar-benar mengatur tentang perkawinan, bahwa sebelum melangsungkan pernikahan terdapat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan harus terpenuhi agar tidak keluar dari koridor-koridor yang telah ditentukan oleh Syari’at Islam.

Islam adalah ajaran yang diturunkan Allah swt kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril dengan membawa ajaran yang benar lagi sempurna. tiada kekurangan atau bahkan kebatilan di dalamnya, bahkan tiada keraguan sama sekali. Islam juga ajaran yang memberikan kemudahan, solusi, bukan membuat masalah dan memberikan kesengsaraan.2

Islam datang meletakkan dasar-dasar yang kokoh sebagai suatu sistem sosial dengan menjunjung tinggi hak wanita dan menempatkan wanita pada kedudukan yang terhormat di kalangan Umat Muslim. Dalam hubungan laki-laki dan perempuan diletakkan ikatan hukum yang tidak hanya semata-mata sebagai perjanjian keperdataan saja, akan tetapi hubungan tersebut juga dilandasi oleh

2 Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah?, cet. ke-1 (Jakarta: Mumtaz, 2006). 9-10.

(14)

semangat moral dan etika melalui lembaga perkawinan sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai.

Perkawinan datang untuk mengikat dua insan dalam satu ikatan untuk memberikan kemudahan dan solusi. Ikatan perkawinan dalam Islam adalah suatu ikatan yang sangat kuat yang menyatukan laki-laki dengan perempuan dalam wadah keluarga yang penuh ketentraman dan kasih sayang3.

Perkawinan dalam Islam datang dengan keberadaannya dalam persimpangan antara ruang publik dan ruang moral keagamaan. Perkawinan dalam Islam berada di ruang publik/sosial, dikarenakan memiliki sifat mengikat baik pada masa perkawinan maupun pasca perkawinan yang berakhir dengan perceraian ataupun kematian. Selain itu perkawinan dalam Islam berada di ruang moral keagamaan, karena setiap pasangan dalam perkawinan memiliki praktek keimanan dan ketaatan terhadap batasan-batasan yang telah ditentukan Tuhan4.

Islam memandang perkawinan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan individual, kekeluargaan maupun kehidupan bangsa, sebagaimana yang lelah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam kehidupannya. Islam tidak menghendaki seseorang hidup membujang, tidak kawin selamanya, karena hal ini berlawanan dengan fitrah manusia serta ajaran agama5.

Dalam mendefinisikan perkawinan, UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

3Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah?,, 3.

4Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 111.

5 Supardi Mursalim, Menolak Poligami (Studi tentang Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam), cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 1.

(15)

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6

Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.7

Di Indonesia telah ditetapkan UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan termasuk di dalamnya mengatur beristri lebih dari satu atau poligami. Hal tersebut terdapat dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) yaitu :Ayat (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya seorang suami. Ayat (2) Pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.8

Kendatipun Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun di bagian lain menyebutkan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.9 Kebolehan poligami di dalam Undang-undang Perkawinan hanyalah pengecualian, untuk itu Undang-undang mencantumkan alasan-alasan

6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab I Pasal 1 (Surabaya : Arkola, t. t. ), 5.

7 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bab II Pasal 2 (Surabaya : Arkola, t. t. ), 180.

8 Pasal 3 ayat (1) dan (2).

9 Pasal-pasal yang mengatur tentang poligami yaitu pasal 3-5 UU No. 1 Tahun 1974, didalam pasal ini termuat syarat Alternatif (pasal 4 ayat 2) dan syarat Komulatif (pasal 5) yang harusdipenuhi oleh seorang suami yang akan berpoligami.

(16)

yang membolehkan hal tersebut.10 Dengan demikian asas yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan adalah bukan asas monogami mutlak, melainkan monogami terbuka yang menempatkan poligami pada status hukum darurat. Di samping itu poligami tidak semata-mata kewenangan suami penuh, tetapi atas dasar izin dari istri dan hakim (pengadilan).11

Poligami selalu menjadi masalah hangat yang menjadi topik pembicaraan setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja wacana dan sikap yang berkembang terkadang berlebihan. Di satu sisi anti poligami, di sisi lain salah kaprah dalam mempraktekkan poligami. Kedua fenomena ini menjadi pemandangan yang seringkali mengotori Islam dan membuat antipati umatnya.

Ironisnya, kedua kecendrungan tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, namun juga dialami para aktivis dakwah yang notabene memiliki pemahaman lebih dibandingkan umat kebanyakan.12

Prinsip poligami telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang sesuai dengan al-Qur’an dalam surat an-Nisa’ (4) : 3, yang berbunyi:13









































Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak)perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau

10 Amir Nurrudin dan Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Study Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI), cet. ke-2 (Jakarta:Kencana, 2004), 161.

11 Ibid, 162

12 Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah?, cet. ke-1 (Jakarta: Mumtaz, 2006), 8.

13 Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung : Dipenogoro, 2010), 3.

(17)

empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja

Ayat inilah yang sering dirujuk sebagai ayat yang membolehkan seorang muslim untuk menikah dengan dua, tiga, hingga empat istri. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir al-Ahzar, ayat tersebut perlu dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang berbicara soal anak yatim.14

Dalam pengertian lain yang dimaksud dengan kata dapat berlaku adil adalah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan istri dan anaknya-anaknya yaitu kebutuhan sandang pangan, tempat tinggal, giliran mengunjungi, pemeliharaan dan pendidikan anak, budi pekerti dan agama mereka, tidak menimbulkan kericuhan keluarga terus menerus dan sebagainya.15

Poligami sebagai bagian dari sistem perkawinan Islam telah diterima dalam hukum perkawinan nasional, dan praktek pelaksanaannya diatur dengan prosedur tertentu, yakni dengan ketentuan bahwa “ pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan” (Pasal 3 ayat (1) UUP). Pernyataan ini berarti bahwa apabila istri tidak menyetujui poligami, karena secara fisik masih mampu melayani suami dengan baik, maka pengadilan dapat menolak izin poligami yang diajukan suami.

Petunjuk yuridis tersebut menunjukkan bahwa untuk berpoligami tidaklah gampang, melainkan mempunyai persyaratan yang sangat ketat. Ketatnya persyaratan ini menyebabkan sering terjadi pelanggaran atau penyimpangan dari

14Abu Fikri, Poligami yang Tak Melukai Hati, cet. ke-1 (Bandung: Mizania, 2007), 16.

15Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung, Madas Maju, 1990), 33.

(18)

ketentuan yang ada. Menurut syarat dan rukun perkawinan dalam Islam, izin pengadilan untuk suami yang akan berpoligami bukanlah termasuk syarat-syarat sahnya perkawinan. Dalam poligami, seorang suami disyaratkan harus berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya. Inilah aturan poligami dalam Islam.16

Dalam kehidupan bernegara masalah poligami mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Poligami diatur sedemikian rupa dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No. 9 Tahun 1975. Peraturan perundang-undangan ini bersifat umum yaitu berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus untuk umat Islam, di samping itu juga berpedoman pada Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang khusus mengatur permasalahan-permasalahan tertentu bagi umat Islam di Indonesia, termasuk di dalamnya masalah poligami. Maka dengan adanya Undang-undang Pradilan Agama ini umat Islam tidak lagi sepenuhnya hanya berpedoman pada Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya tapi juga didukung oleh Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan: Pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.17

Dalam pasal 56 KHI meyatakan:

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izindari Pengadilan Agama.

16Supardi Mursalim, Menolak Poligami, 10.

17Pasal 3 ayat (2).

(19)

2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atu keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.18

Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa poligami harus mendapatkanizin dari pengadilan dengan mengemukakan alasan-alasannya.

Meskipun Undang-undang sudah mengatur sedemikian rupa tata cara poligami di Indonesia, namun tidak menutup kemungkinan masih ada keluarga, beberapa daerah yang masyarakatnya belum mengindahkan peraturan yang berlaku, Masih ada masyarakat yang tunduk hanya pada hukum agama serta masih terdapat masyarakat yang karena faktor-faktor tertentu sehingga terpaksa tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Persoalan yang muncul terletak pada pemibicaraan masyarakat yang sering menyampaikan bahwa kasus poligami yang dilakukan H. Asfandi dengan menikah lima istri. Kecamatan Giligenting yang terletak di Kabupaten Sumenep propinsi Jawa Timur merupakan salah satu kecamatan yang mayoritas masyarakat beragama Islam, yang memiliki sifat semangat kekeluargaan yang cukup tinggi sehingga jika terjadi sengketa dalam rumah tangga selalu diselesaikan secara kekeluargaan. Problem yang di maksud adalah bagaimana dengan status nikah poligami yang di lakukan H. Asfandi tersebut, apakah melenceng dari Syariat

18Kompilasi Hukum Islam, Bab IX Pasal 56.

(20)

Islam atau memang ada anjuran poligami yang tanpa batas. Sedangkan dari latar belakang pendidikannya mayoritas hanya lulusan Sekolah Dasar dan banyak yang tidak berijazah, maka tidaklah heran apabila masih banyak masyarakat yang tidak sadar hukum, dan salah satunya adalah dalam memandang masalah poligami Dari pengamatan tersebut yang menarik perhatian bagi penyusun di sini bukan hanya sekedar pada proyeksi terjadinya praktek poligami yang dilakukan Keluarga H.

Asfandi di dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep, tapi lebih jauh dari itu penyusun juga sangat tertarik untuk mengkaji tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya praktek poligami, kemudian bagaimana problematika hukum kemudian penyusun coba korelasikan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek poligami dengan 5 istri (lima istri) di Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep. Dari sinilah penyusun tertarik untuk mengkaji lebih lanjut pembahasan tersebut dalam skripsi dengan judul :

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK POLIGAMI DENGAN LIMA ISTRI (Studi Kasus di Dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep) ”.

B. FOKUS PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang dan prolematika sosial di atas, maka penyusun merumuskan pokok masalah sebagai berikut:

1. Faktor apa yang menpengaruhi terjadinya praktek poligami dengan lima istri?

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Poligami Dengan Lima istri?

(21)

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan penelitian adaah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan secara jelas tentang pengaruh terjadinya praktek poligami di Dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep.

b. Untuk mengetahui secara mendalam tentang tinjauan hukum Islam terhadap praktek poligami dengan lima istri di Dusun Kalang Mangga Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupaten Sumenep

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan untuk memperoleh informasi tentang poligami dengan lima istri. Serta sebagai salah satu upaya pengembangan khazanah perbendaharaan keilmuan dan wawasan mengenai hal yang di angkat dalam penelitian ini.

b. Manfaat dari peneitian ini diharapkan dapat mengembangkan bidang kajian hukum keluarga Islam, konteksnya dalam penelitian ini kita bisa lebih memahami masalah poligami

2. Manfaat Praktis a. Bagi Masyarakat

1) Untuk memberikan informasi bagi para pembaca (masyarakat) tentang berpoligami

(22)

b. Bagi IAIN Jember

1) Diharapkan bisa memberikan kontribusi baru yang dapat bermanfaat serta memperkaya khazanah keilmuan khusunya dalam kajian hukum keluarga Islam dalam konteks poligami.

c. Bagi Peneliti

1) Dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian baik itu dari faktor-faktor terjadinya poligami dengan lima istri dan tinjauan hukum islamnya

2) Dapat menambah pengetahuan di bidang karya ilmiah.

E. DEFINISI ISTILAH 1. Hukum Islam

Hukum Islam secara etimologis hukum Islam berarti peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan Al-Quran dan Hadist. Sedangkan secara metodologis, hukum Islam dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah Nabi melalui proses penalaran atau ijtihad. Yang diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal.19

2. Poligami

Poligami Berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu.

Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami

19Suyanto, Dasar-dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqh (Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2011), 134.

(23)

lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan pada dasarnya disebut poligami.20

F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Sistematika pembahasan berisi tentang deskripsi alur pembahasan skripsi yang dimulai dari bab pendahuluan hingga bab penutup.

BAB I :merupakan bab pendahuluan, yang didalamnya memuat tentang : latar belakang masalah, fokus masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, definisi istilah, dan sistematika pembahasan. Fungsi bab ini adalah untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai pembahasan dalam skripsi.

BAB II : bab ini memapaparkan kajian kepustakaan terkait kajian terdahulu serta yang berhubungan dengan skripsi. Penelitian terdahulu yang mencantumkan penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya. Dilanjutkan dengan teori yang memuat pandangan tentang judul ini.

BAB III : bab ini berisi tentang metode penelitian, membahas mengenai teknik penelitian dan pengumpulan data dalam melakukan penulisan Proposal skripsi ini, yaitu tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data.

BAB IV : Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh atau latar belakang terjadinya poligami dengan lima istri yang terjadi di Desa Jate Kecamatan Giligenting Kabupten Sumenep.

BABV : merupakan bab penutup dimana peneliti mencoba menarik kesimpulan, dari masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Setelah

20 Supardi Mursalim,Menolak Poligami,15.

(24)

mengambil kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh dari penelitian dapat pula memberikan saran-saran yang membangun demi kesempurnaan dan rekomendasi.

(25)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Penelitian Terdahulu

Banyak referensi tentang poligami yang dapat ditemui, adapun mengenai tulisan dalam bentuk skripsi yang membahas tentang poligami di antaranya:

1. “Kajian Yuridis Isbat Nikah Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Jember Perkara Nomor: 60/Pdt.P/2008/PA.Jr. tanggal 17 September 2008)”

adalah membahas masalah isbat nikah poligami yang telah di putus di Pengadilan Agama Jember pada tahun 2008 yang lalu, setelah melihat dan memahami dari beberapa penelitian terdahulu yang telah di teliti oleh para peneliti maka judul yang diteliti oleh peneliti ini sangat tepat untuk dijadikan bahan penelitian oleh peneliti berikutnya.

2. Skripsi yang disusun oleh Siti Chusnul Ilma,(Fakultas Syariah Jurusan Akhwal Syakhshiyah, UNHASY/2015) yang berjudul “Studi Analisis Pemikiran Aly Ash-Shobuni terhadap Keadilan dalam Poligami”. Skripsi ini membahas alasan-alasan dalam memberikan nafkah kepada para istri baik lahir atau batin dan pandangan beberapa pemikiran Aly Ash-Shobuni mengenai beberapa hal tersebut.

3. Skripsi yang berjudul “Studi kompratif antara Hukum Islam dan Hukum Positif tentang poligami pada tahun 2005”, yang disusun Dian Mustika Sari Dewi (Fakultas Syariah Jurusan Akhwal Syakhshiyah, STAIN Jember/2010.

(26)

Penelitian ini lebih mengacu pada bagaimana poligami menurut Hukum positif. Jenis penelitiannya menggunakan kualitatif.

Dari ketiga penelitian yang di angkat di atas sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, karena penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih kepada tinjauan Hukum Islam dengan batasan poligami yang sudah ditentukan dalam Al-qur`an serta peneliti tertarik pula untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya poligami sehingga metode penelitiannya menggunakan kualitatif (studi kasus).

B. Kajian Teori

1. Pengertian Poligami

Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan memiliki arti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari kata ini dapat diketahui bahwa poligami adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.21

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup poligini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini

21 Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad, (Surabaya: Bintang Pelajar, 1986),15.

(27)

beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.22

Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita.

Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan empat atau bahkan lebih dari sembilan istri.23

Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami24. Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dicantumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan berpoligami sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1):

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.25

Adapun pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan

22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1089.

23 Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan ayat An-Nisâ‟(4): 3, sebagai dasar penetapan hukum poligami. Lihat Khoiruddin Nasution, Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, . 84.

24

T Siti Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: LKAJ-SP, 1999, 2.

25Pasal 5 ayat (1).

(28)

jenisnya dalam waktu yang bersamaan, atau poligami adalah adat seorang laki- laki yang beristri lebih dari seorang perempuan.26

Sedangkan poligami menurut Soemiyati adalah seorang laki-laki yang mengawini lebih dari seorang wanita.,27 Khoiruddin Nasution mengartikan poligami sebagai perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun dalam Islam poligami mempunyai arti perkawinan antara laki- laki dengan wanita yang lebih dari satu dengan batasan hanya sampai empat wanita.28 Sebagaimana Firman Allah swt: 29



























































Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q.S. An-Nisa‟: 3)

Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil terhadap para isteri sesuai dengan kemampuan maksimal,Sebab memaksakan

26Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (Jakarta: Balai pustaka, 1988), 693.

27Soemiyati, Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), 74.

28Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami (Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 84.

29 Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung : Dipenogoro, 2010), 3.

(29)

diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya termasuk perbuatan zhalim.30

sebagaimana umumnya para ahli tafsir, al-Syaukani menegaskan, bagaimanapun usaha untuk berbuat adil, manusia tidak akan mampu, lebih- lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di bidang nonmateri.Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang mengakibatkan yang lain menjadi terlantar. Dengan kata lain, harus ada upaya maksimal dari seorangsuami untuk dapat berbuat adil kepada para isterinya ketika berpoligami31 al-Maraghi mencatat, yang terpentingharus ada upaya maksimal untuk berbuat adil. Adapun di luar kemampuan manusia,bukanlah suatu yang harus dilakukan.32

Pada Lafadz ا و ح ك نا فdisana yang berupa fi‟il amr (kata kerja pe rintah) tidaklah menunjukkan wajibnya berbilang istri, tetapi menunjukkan pembolehan. Jadi, perintah pada ayat di atas bukanlah lil wujub (untuk mewajibkan), melainkan lil ibaha ( untuk memperbolehkan).33

Berbicara tentang poligami tidak lepas dari kata “adil” dan penyebutan dua, tiga, atau empat sebagaimana dalam surat an-Nisa‟ ayat (3). Menurut Quraish Shihab, kata “adil” di dalam al-Qur'an digunakan dua bentuk kata, yaitu tuqsitu dan ta’dilu. Ada ulama yang mempersamakan kata tersebut tetapi ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqsitu adalah berlaku

30.Az-Zamakhsyari,Al-Kasysyah’an Haqaiq al-Tanzil wa uyum al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil,jil 1,(Mesir:Mushthafa,1973) ,568.

31As-Saukani,Al-Jami‟ Baina Fannal-Riwayah Wa al-Dirayah min ilm al-Tafsir,(Bairut:Dar al- fikr,1973), 521.

32Al-Maraghi,Ahmad Musthafaha, Tafsr al-Maraghi,jilid iv,(Mesir:Musthafa,1969), 173.

33 An-Nawawi, Al Majmu‟ syarhu Al Muhaddab (Bairut:Darul Kitab al-Arabi)

(30)

adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang.

Sedangkan ta’dilu adalah berlaku adil baik terhadap orang lain ataupun diri sendiri, akan tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak.

Menurut Quraish Shihab penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan perilaku adil kepada anak yatim.

Berkaitan dengan surat an-Nisa‟ ayat (3) yang kadang oleh banyak kalangan dikaitkan dengan diperbolehkannya poligami dalam Islam, maka Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa ayat tersebut tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari‟at agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini.34

Dalam hukum bahwa memiliki istri lebih dari empat itu dilarang Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam adalah hadits dari Ibnu 'Umar radhiyallahu „anhuma, dimana disebutkan bahwa salah seorang sahabat bernama Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan ia memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliyah. Seluruh istri tersebut juga masuk Islam bersamanya. Namun Nabi Shallallahu „alaihi wasallam memerintah Ghailan memilih empat orang dari istri-istrinya tersebut (dan menceraikan yang lain).

Berikut bunyi hadits tersebut selengkapnya:

34Abu Fikri, Poligami yang tak Melukai Hati, 35-36.

(31)

 ِةَّيِلِىاَجْلا ىِف ٍةَوْسِن ُرْشَع ُوَلَو َمَلْسَأ َّىِفَقَّ ثلا َةَمَلَس َنْب َنَلاْيَغ َّنَأ َرَمُع ِنْبا ِنَع ىِبَّنلا هَرَمَأَف ُوَعَم َنْمَلْسَأَف ُللا َّىلَص -

ْمَّلَسَو ِوْيَلَع نُه نِم اًعَ بْرَأ َرَّ يَخَتَ ي ْنَأ -

Artinya : Dari Ibnu „Umar, Ghoylan bin Salamah Ats Tsaqofiy baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri- istrinya35.

Sesuai dengan hukum Islam, poligami dapat dilihat dari nilai kemaslahatannya, baik secara individu dan social. Jika poligami tidak didasarkan akan aturan-aturan yang membatasinya dan syarat-syarat tertentu, maka akan menimbulkan kemadharatan yang akibatnya akan dirasakan oleh keluarga itu sendiri atau bahkan oleh masyarakat sekitarnya. Berbicara Hukum Islam maka tidak lepas dari permasalahan maqasid al-syari’ah di mana tujuan hukum Islam adalah mendatangkan maslahat dan menghilangkan mafsadat.36

Jadi dalam sebuah hukum yang telah disyari‟atkan oleh Syar‟i tentu tidak lepas dari prinsip-prinsip maqasid al-syari‟ah. Dalam hal ini maqasid al- syari‟ah memiliki lima kepentingan yang harus dilindungi agar kemaslahatan pada mahkluk hidup bisa terwujud di antaranya melindungi: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.37

35 Achmad Sunarto, Hadits Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar, (Surabaya: Al-Miftah 2008), 39.

36Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermeneutika (Membaca Islam dari Kanada dan Amerika), cet. ke-3 (Yogyakarta: Nawesea, 2006), 38.

37Ibid. ,45.

(32)

Begitu juga dengan hakim yang mengambil keputusan mestinya harus sesuai dengan maqasid al-syari’ah yaitu dengan mencapai kemaslahatan dan menghilangkan kemandharatan sebagaimana kaidah fiqh38

َد ْر ُء َم َف َلا ِسا ُم َق ِد م َّد َىل َع َج ْل َملا ِب َص ِح ِلا

Karena dalam Islam, batasan jumlah istri yang diperbolehkan adalah sampai empat orang saja. Lebih dari itu, karena Allah dan Rasul-Nya Shalallahu'alaihi wasallam telah mengharamkannya. Perkara ini dalam Islam sudah jelas dan terang benderang layaknya matahari di siang bolong. Bukan hanya di dalam hadits saja hal itu diterangkan, bahkan dalam Al-Qur'an sendiri Allah Subhanahuwata'ala membatasinya, yakni maksimal empat orang saja.

Hal itu terdapat dalam Surat An-Nisa' ayat ke 3 sebagai berikut:39



























































Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

(QS. An Nisa‟: 3)

pada surat An-Nisa‟ ayat 129:40

38Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, cet. ke-1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), 134.

39 Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Dipenoggoro, 2010), 3.

(33)















































Artinya : “Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu senderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung- katung.” (Q.S. An-Nisa‟: 129).

Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah adil dalam bidang immaterial (cinta). Karena dalam ayat tersebut disiratkan bahwa keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia, maka memahami adil poligami hanya dalam bidang material saja, bukan termasuk dalam bidang immaterial (kasih sayang).41

Dalil tambahan yang bisa di jadikan hukum bahwa memiliki istri lebih dari empat itu dilarang Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam adalah hadits dari Ibnu 'Umar radhiyallahu „anhuma, dimana disebutkan bahwa salah seorang sahabat bernama Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu „anhu masuk Islam dalam keadaan ia memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliyah. Seluruh istri tersebut juga masuk Islam bersamanya. Namun Nabi Shallallahu „alaihi wasallam memerintah Ghailan memilih empat orang dari istri-istrinya tersebut (dan menceraikan yang lain).

40 Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung : Dipenogoro, 2010), 5.

41 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 52.

(34)

Berikut bunyi hadits tersebut selengkapnya: 42

ِةَّيِلِىاَجْلا ىِف ٍةَوْسِن ُرْشَع ُوَلَو َمَلْسَأ َّىِفَقَّ ثلا َةَمَلَس َنْب َنَلاْيَغ َّنَأ َرَمُع ِنْبا ِنَع َم َنْمَلْسَأَف ىِبَّنلا هَرَمَأَف ُوَع

َص - َّىل ُللا َل ْي ِو َع َو َس َّل ْم نُه نِم اًعَ بْرَأ َرَّ يَخَتَ ي ْنَأ -

Artinya : Dari Ibnu „Umar, Ghoylan bin Salamah Ats Tsaqofiy baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah.

Istri-istrinya tadi masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya (HR. At-tirmidzi)

Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,

ِس مأ

ْر َ ب َع َأك َوا َف َسق ِرا ِئا َر ّن ُى

“Pilih empat istri dan pisah dengan yang lain.”43

Setelah membawakan hadits ini, penulis Kifayatul Akhyar, yaitu Abu Bakr Al Hishniy berkata, “Seandainya dibolehkan lebih dari empat istri, tentu Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk menceraikan istri yang lain (dan menyisakan empat saja).44

Selain itu, Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dimana salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam yang bernama Qais ibnul Harits radhiyallahu „anhu, berkata, “Aku masuk Islam, sementara waktu itu aku beristri delapan. Aku pun mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wasallam dan mengatakan kepada beliau tentang hal itu.

42 Achmad Sunarto, Hadits Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar, (Surabaya: Al-Miftah 2008), 39.

43 HR Ahmad, Musnad Ahmad, Jilid II, 13-14.

44 Taqiyuddin,Kifayatul Akhyar.(Bairut: Darul fikr.1998),399.

(35)

Berikut bunyi hadits tersebut selengkapnya:45

َِّبَِّنلا ُتْيَ تَأَف ٍةَوْسِن ِناََثَ ىِدْنِعَو ُتْمَلْسَأ َلاَق ِثِراَْلْا ِنْب ِسْيَ ق ْنَع َص َّل -

َى ُللا َع

َل ْي ِه

َو َس َّل َم ْخا َلاَقَ ف ُهَل َكِلَذ ُتْلُ ق اًعَ بْرَأ َّنُهْ نِم ْرَ ت

Artinya : Dari Qois bin Al Harits, berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan orang istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda: Pilih lah empat saja dari mereka.” Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini. (HR. Ibnu Majah)

Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah bahwa Rasulullah Shallallahu

„alaihi wasallam adalah seorang Nabi dimana setiap ucapan dan perintahnya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyu dari Allah Subhanahuwata'ala. Jika beliau Shallallahu „alaihi wasallam memerintah para sahabatnya yang sudah terlanjur memiliki istri sepuluh untuk memakai empat istri saja dan menceraikan yang lain, apalagi bagi kita yang bukan sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wasallam. Tentu lebih tidak boleh lagi memiliki istri lebih dari empat. Logikanya yang sudah terlanjur punya istri lebih dari empat saja diperintahkan untuk menceraikan yg lain, apalagi yang belum terlanjur.

Islam telah mengatur secara sempurna masalah perkawinan, termasuk poligami, tetapi jarang orang yang melakukan poligami sesuai dengan ketentuan agama, yaitu mengangkat harkat dan martabat wanita. Kebanyakan mereka yang melakukan poligami adalah mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu demi kemaslahatan masyarakat diperlukan adanya batasan-batasan

45Dzulqornain, 47 Hadits Pilihan Seputar Madzhab Salaf , (Jakarta: Pustaka As-sunnah, 2011), 41.

(36)

yang harus diterapkan secara tegas. Hukum merupakan bagian dari sebuah tatanan yang adadalam masyarakat, adapun kaitan antara hukum dan aplikasinya dalam masyarakatmaka untuk mengetahuinya diperlukan kajian sosiologis.

3. Sejarah Poligami

2.

3.

Dilihat dari aspek sejarah, poligami bukanlah praktik yang dilahirkan Islam. Jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban Arabia patriarkhis. Peradaban patriarkhi adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan seluruh aspek kehidupan. Nasib hidup kaum perempuan dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka. Peradaban ini sesungguhnya telah lama berlangsung bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania bahkan di bagian dunia lainnya. Dengan kata lain perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban bangsa- bangsa lain.46

Di dunia Arab sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, perempuan dipandang rendah dan entitas yang tak berarti. Al-Qur‟an dalam sejumlah ayatnya menginformasikan realitas sosial ini. Perbudakan manusia terutama perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu.47

46 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKIS, 2003.

47 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), 1999.

(37)

Ketika Islam hadir praktik-praktik ini tetap berjalan. Meskipun Rasul mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan bangsa Arab banyak merugikan kaum perempuan, tetapi cara Islam untuk menghapuskan praktik ini tidak d ilakukan dengan cara-cara yang memaksa. Bahasa yang digunakan Al-Qur‟an tidak pernah provokatif atau radikal. Al-Qur‟an dan Nabi Muhammad SAW selalu berusaha memperbaiki keadaan ini secara persuasif dan mendialogkannya dengan intensif. Bukan hanya isu poligami, seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia selalu diupayakan Nabi SAW untuk diperbaiki secara bertahap dan terus-menerus untuk pada akhirnya tercapai sebuah kondisi yang paling ideal. Kondisi ideal adalah keadilan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Ini adalah kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam.

Selain melalui aspek kesejarahan, untuk mengetahui lebih jauh tentang poligami kita juga perlu melihat asbabunnuzul surat An-Nisa‟ ayat 3 yang selama ini digunakan sebagai dalil poligami. ayat 3 ini mengingatkan tidak boleh dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 surat An-Nisa‟ tersebut.48

48 Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar, hlm. 347-348

(38)

4. Pendapat Ulama’ Tentang Poligami

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum poligami. Masjfuk Zuhdi menjelaskan bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat daripada manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligami. Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isterinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.49

Pendapat yang lebih ekstrim datang dari Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa hukum berpoligami bagi orang yang merasa khawatir tidak akan berlaku adil adalah haram. Selain itu poligami yang dilakukan dengan

49Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989), 12.

(39)

tujuan hanya untuk kesenangan memenuhi kebutuhan biologis semata hukumnya juga haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil.50

Syarat keadilan dalam poligami juga diungkapkan para imam madzhab yaitu Imam Syafi‟i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut mereka seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri.

Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.51 Dalam hal ini Imam Syafi‟i menambahkan, syarat lain yang harus ditekankan adalah suami harus dapat menjamin hak anak dan istri. Ayat dzaalika ‘adnaa anlaa ta‘uuluu dipahami oleh Imam Syafi‟i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari kata ‘alaa ya‘uluu yang berarti menanggung dan membelanjai. “Kalau satu istri sudah berat tanggungannya bagi suami, apalagi lebih dari satu istri,”

Jumhur Ulama‟ sepakat bahwa bagi seorang laki-laki yang berpoligami hukumnya mubah dengan batasan hanya dengan 4 istri.

Para imam juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristri satu aja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli Sunnah juga

50

T Khoirudin Nasution, Tafsir al-Manar, 4/287.

51

T Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali,( Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), 89.

(40)

telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi istri empat orang saja, Imam Syafi‟i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan.

Al-Syaukani juga menegaskan bahwa menikahi wanita lebih dari empat orang hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Nabi dan bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang umum Ketika menafsirkan ayat aw ma malakat aimanukum al-Syaukani menyatakan, untuk menjadikan budak sebagai isteri tidak diharuskan menikahinya, karena budak disamakan dengan harta milik.52

Menurut Asghar Ali Engineer, hukum poligami adalah boleh selama memenuhi syarat keadilan, terutama keadilan bagi perempuan dan anak yatim.

Ia menjelaskan, untuk menentukan hukum poligami perlu untuk memahami konteks QS. An-Nisa‟ ayat 3. Dalam memahaminya juga perlu terlebih dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya. Surat An-Nisa‟ ayat 1- 3 pada ayat yang ketiga ini berkaitan dengan poligami, yang dimulai dengan

“dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim…”. Penekanan ketiga ayat ini bukan mengawini lebih

52.As-Saukani,Al-Jami’ Baina Fannal-Riwayah Wa al-Dirayah min ilm al-Tafsir,(Bairut:Dar al- fikr,1973), 420.

(41)

dari seorang perempuan, tetapi berbuat adil kepada anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah menggambarkan orang-orang yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat yang tidak semestinya, yang kadang mengawininya tanpa mas kawin. Maka Al-Qur‟an memperbaiki perilaku yang salah tersebut. bahwa menikahi janda dan anak-anak Yatim dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk kepuasan seks. Sejalan dengan itu, pemberlakuannya harus dilihat dari konteks itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah ayat yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat yang prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya.53

Pendapat serupa diungkapkan Muhammad Shahrur. Ia memahami ayat tersebut bahwa Allah SWT bukan hanya sekedar memperbolehkan poligami, tetapi Allah sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi, pertama, bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat itu adalah janda yang memiliki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka perintah poligami menjadi gugur.54

Menurut Sayyid Qutub, poligami merupakan suatu perbuatan rukshah.

Karena merupakan rukshah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini disyaratkan bisa berbuat

53

PT Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Assegaf, Cici Farkha, Yogyakarta: LSPPA & CUSO, 1994, 89. Lihat juga Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif Asghar Ali Engineer dan Relevansinya dengan Konteks Indonesia (makalah di Jurusan Syari‟ah STAIN Samarinda, tidak diterbitkan). Lihat juga Khoiruddin Nasution,

Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, 59-78.

54 Muhammad Shahrur (Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin), Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ, 2004, . 428.

(42)

adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, mu‟amalat, pergaulan serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.

Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap istrinya, boleh poligami dengan maksimal hanya empat istri.55

5. Syarat-Syarat Poligami

Syari‟at menetapkan dua syarat inti bagi bolehnya seorang laki- laki melakukan poligami56 yaitu:

a. Adanya Keadilan Bagi Para Istri

Maksudnya Keadilan yang dapat dilakukan dan di wujudkan oleh manusia.yaitu berlaku merata terhadap para istrinya dari segi materi,yang berupa nafkah,perlakuan yang baik dan masa menginap,Berdasarkan firman Allah SWT. Yang artinya :

“ Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki.yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”(an-nisa‟: 3).”

b. Mampu Memberikan Nafkah

Secara syari‟at, tidak boleh melakukan perkawinan baik satu istri ataupun lebih dari satu kecuali dengan adanya kemampuan untuk mendapatkan fasilitas pernikahan dan biayanya, serta kesinambungan

55 Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008, 133.

56 Sayyid sabiq,(terj.Abu syauqina dan Abu aulia rahma) fiqhus sunnah, (Tinta abadi gemilang 2013),162-163.

(43)

dalam memberikan nafkah wajib kepada istri. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW.57

َي َم ا ْع َش َر َّشلا َب َم ِبا ْسا َت ِن

َعا َط ِم ْن ُم ْا ُك َبل َة َءا َ ف ْل َي َ ت َز َّو ْج

"Wahai para anak muda barang siapa di antara kalian yang mampu menyediakan fasilitas perkawinan, maka hendaknya dia kawin”

c. Tidak melebihi dari empat istri

Hukum islam memang tidak melarang seorang laki-laki melakukan poligami akan tetapi dengan batasan hanya empat istri sebagaimana firman allah pada surat an-nisa‟ ayat 3.

6. Faktor-Faktor Poligami

Ada beberapa foktor yang menjadi penyebab bagi bolehnya seorang laki- laki melakukan poligami di antaranya:

a. Mandul

Isteri yang tidak melahirkan anak merupakan satu fonomena terhadap lelaki yang ingin mendapatkan zuriat (anak) yang akan membahagiakannya di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, maka tiada pilihan buat lelaki selain dua perkara sama ada berkahwin dengan isteri kedua yang akan melahirkan anak-anak yang akan membawa kebahagian dan menjalankan peranan dalam kehidupan dan mendoakan untuknya setelah kematian atau perceraian.

57 Sayyid sabiq,(terj.Abu syauqina dan Abu aulia rahma) fiqhus sunnah, (Tinta abadi gemilang, 2013),163.

(44)

b. Istri Menderita Sakit Yang Berkepanjangan

Adakalanya isteri ditimpa penyakit kronik yang tidak mungkin untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Oleh yang demikian, harus bagi suami untuk melakukan poligami bersama isteri kedua kerana syariat membenarkan. Hal ini lebih baik dan mulia daripada suami terjebak dengan maksiat.

c. Jumlah Wanita Lebih Ramai Dari Lelaki

Dewasa ini, jumlah wanita bertambah ramai daripada lelaki. Kaum wanita lebih ramai melahirkan anak perempuan manakala kaum lelaki pula lebih ramai yang meninggal daripada wanita. Kenyataan ini membuktikan bahawa ramai kalangan lelaki yang melibatkan diri dalam peperangan sehingga ada diantara mereka yang menjadi korban. Kaum lelaki pula lebih banyak menanggung risiko kerana berbagai peristiwa seperti keluar rumah untuk mencari rezeki. Akibatnya ramai golongan lelaki ditimpa sakit, sedangkan kaum wanita ada yang tinggal di rumah menguruskan rumah tangga. Salah satu usaha untuk mengatasi perbedaan jumlah yang tidak seimbang antara kaum lelaki dan perempuan ialah melalui poligami yang merupakan keputusan tepat untuk mengatasi perbedaan ini.

d. Tabiat Biologi Lelaki Berbeda Dengan Wanita

Allah s.w.t telah memberikan kekuatan dalam bidang seksual kepada seorang lelaki sehingga kadang-kadang seorang lelaki tidak merasa puas dengan hanya seorang isteri. Apalagi jika isterinya sedang haid dalam waktu yang panjang.

(45)

Dalam keadaan seperti ini, untuk menyalurkan keperluan seksual dengan cara yang baik ialah suami perlu melakukan poligami. Pilihan lain selain poligami ialah melakukan perbuatan maksiat (zina) dan ia memberi kesan negatif sama ada dari segi agama, harta, kesehatan dan juga membahayakan istrinya.58

7. Hikmah Poligami

Diantara beberapa hikmah yang dapat penulis temukan bagi seorang laki-laki melakukan poligami ialah:

a. Terhindar dari maksiat dan zina, juga dapat mengurangi prostitusi Kejahatan dan pelacuran tersebar di mana-mana sehingga jumlah peacur lebih banyak dari pada perempuan yang bersuami.Kasus yang ekstrim memang mungkin saja terjadi. Suami memiliki tingkat dorongan kebutuhan yang melebihi rata-rata, sebaliknya istri memiliki kemampuan pelayanan yang justru di bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini memang sulit untuk mencari titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah yang ada begitu saja pada masing-masing pihak. Dan kasus seperti ini adalah alasan yang paling logis dan masuk akal untuk terjadinya penyelewengan, selingkuh, prostitusi, pelecehan seksual dan perzinahan.

Gambar

Gambar 5.1 Hj. Nawasih Istri Pertama H. Asfandi
Gambar 5.2  Nur Hasanah Istri Kedua H. Asfandi
Gambar 5.3  Ernawati Istri Ketiga H. Asfandi
Gambar 5.5  Foto Bersama H. Asfandi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengungkapkan praktek pembiayaan mudharabah muqayyadah mulai dari proses pembiayaan, akad yang digunakan, bagi hasil serta langkah yang dilakukan oleh Bank

Setelah dilihat ayat-ayat yang dibincangkan sebelum ini berkaitan dengan wanita menurut pandangan Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar, maka disini dapatlah dikatakan bahawa Kalam Allah

Hukum Islam merupakan rangakain dari kata “hukum” dan kata “islam”. Kedua kata ini secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan banyak terdapat

Skripsi dengan judul “TINJAUAN TERHADAP PRAKTEK WAKAF BERSYARAT (Studi Kasus di Yayasan Dian Insani Kecamatan Pedurungan Lor Kota Semarang)“ disusun dalam rangka

hak) perempuan yang yatim ”. Walaupun bentuk kata dalam frase tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi dengan adanya qarinah ini ia bermakna larangan terhadap

hak) perempuan yang yatim ”. Walaupun bentuk kata dalam frase tersebut menunjukkan perintah, akan tetapi dengan adanya qarinah ini ia bermakna larangan terhadap

Ibn Taimiyyah pernah menyatakan dalam suatu kesempatan dalam mencari suatu pengertian ayat-ayat Alquran: “Saya telah meneliti suatu ayat dari seratus kitab tafsir

Begitu juga pinjaman dengan syarat tertentu, hal tersebut juga tidak diperbolehkan.74 Seperti yang dijelaskan dalam hadis di bawah ini yakni : ِةَعَ ف ْنَم َرَج ِضْرَ ق ُّلُك :