CASE REPORT SESSION (CRS)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A222082
** Pembimbing / dr. Angga Pramuja, Sp.T.H.T.,B.K.L
Tonsilitis Akut
Puspa Muthia Aryani *
dr. Angga Pramuja, Sp.T.H.T.,B.K.L **
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER KOTA JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI 2024
ii
HALAMAN PENGESAHAN CASE REPORT SESSION (CRS)
Tonsilitis Akut
Disusun Oleh:
Puspa Muthia Aryani G1A222082
Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian THT-KL RSUD Raden Mattaher Kota Jambi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
Laporan ini telah diterima dan di presentasikan Jambi, Januari 2024
Pembimbing
dr. Angga Pramuja, Sp. T.H.T.,B.K.L
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang berjudul “Tonsilitis Akut” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian THT-KL di RSUD Raden Mattaher Kota Jambi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Angga Pramuja, Sp.T.H.T.,B.K.L yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian THT-KL RSUD Raden Mattaher Kota Jambi. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada Case Report Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan ini. Penulis mengharapkan semoga Case Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Jambi, Januari 2024
Penulis
iv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II LAPORAN KASUS ... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 2
3.1 Anatomi Tonsil ... 12
3.2 Fisiologi Tonsil ... 16
3.3 Tonsilitis ... 16
3.3.1 Definisi ... 16
3.3.2 Epidemiologi ... 16
3.3.3 Etiologi ... 17
3.3.4 Patofisiologi ... 18
3.3.5 Manifestasi Klinis ... 19
3.3.6 Diagnosis... 20
3.3.7 Diagnosis Banding ... 23
3.3.8 Tatalaksana ... 25
3.3.9 Komplikasi ... 29
3.3.10 Prognosis ... 29
BAB IV ANALISIS KASUS ... 30
BAB V KESIMPULAN ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
1 BAB I PENDAHULUAN
Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradanga noleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian membentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya. Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal primer. Setelah terjadi tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan tidak dapat kembali seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna akan menyebabkan peradangan ringan pada tonsil. Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan.
Tonsilitis merupakan peradangan yang terjadi pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer yang disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tonsil menjadi bengkak, merah, melunak, dan memiliki bintik-bintik putih di permukaannya. Tonsilitis dibagi menjadi 2 tipe yaitu tonsilitis akut dan tonsilitis kronis. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat akut maupun kronik dapat terjadi pada semua umur, namun lebih sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama hal tersebut adalah ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.
Dikutip dari data epidemiologi penyakit THT Indonesia, penderita tonsilitis kronis sebesar 3,8% tertinggi setelah nasofaringitis 4,6%. Tonsilitis dapat menyerang segala usia namun lebih sering terjadi pada anak. Tonsilitis lebih sering pada anak usia 5-15 tahun dengan prevalensi sebesar 15-30% sedangkan pada orang dewasa sebesar 5-15%. Dari beberapa rumah sakit di Indonesia, jumlah kunjungan pasien rawat jalan yang disebabkan penyakit tonsilitis pada dua tahun terakhir, yaitu berjumlah sebanyak 55.835 orang sedangkan pasien rawat inap yang disebabkan tonsilitis berjumlah 37.835 orang.
2 BAB II
LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien
Nama : An. R Umur : 15 tahun Jenis kelamin : Laki-Laki Alamat : Jambi luar kota Agama : Islam Pekerjaan : Pelajar 2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama :
Nyeri tenggorokan sejak ± 1 minggu SMRS.
2.2.2 Riwayat penyakit sekarang :
± 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan demam tidak terlalu tinggi. Demam berupa badan terasa hangat tetapi suhunya tidak diukur. Demam dirasakan hilang timbul dan memberat terutama pada sore menjelang malam hari. Keluhan disertai dengan nyeri tenggorokan, nyeri tidak menjalar, dan dirasakan seperti terasa perih. Os masih dapat menelan, namun nyeri dirasakan memberat apabila menelan ludah maupun makan, pasien juga mengeluh batuk dan pilek. Keluhan nyeri menelan semakin memberat sehingga nafsu makan pasien menurun dan badan terasa lemas.
Penurunan berat badan disangkal. Sakit di daerah wajah dan rasa adanya cairan yang mengalir di tenggorokan disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri pada telinga, telinga terasa mendengung dan rasa penuh di telinga disangkal oleh pasien.
Keluhan sakit gigi dan gigi berlobang juga disangkal. Keluhan
3
gatal-gatal dan kemerahan di kulit juga disangkal oleh pasien.
2.2.3 Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah berobat sebelumnya
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu :
- Memiliki seluhan serupa 1 bulan yang lalu (1 kali) - Riwayat alergi (-)
- Riwayat bintik dan kemerahan pada kulit (-) - Riwayat DM (-)
- Riwayat Hipertensi (-) 2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga :
- Keluhan serupa (-) - Riwayat alergi (- )
- Riwayat bintik dan kemerahan pada kulit (-) - Riwayat DM (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
Telinga Hidung Tenggorok Laring
Kanan/Kiri
Gatal : - / - Korek : - / - Nyeri : - / - Bengkak : - / - Otore : - / - Tuli : - / - Tinnitus : - / - Vertigo : - Mual : - Muntah : -
Kanan/Kiri
Rinore : - / - Buntu : - / - Bersin : + Dingin/Lembab : - Debu rumah : - Berbau : - Mimisan : - / - Nyeri hidung : - Suara sengau : +
Sukar menelan : - Sakit menelan : +
Trismus : -
Ptyalismus : - Rasa ngganjal : - Rasa berlendir : - Rasa kering : -
Suara parau : - Afonia : - Sesak nafas : - Rasa sakit : - Rasa ngganjal : -
4 2.3 Pemeriksaan fisik
− Kesadaran : compos mentis
− Tekanan darah: 100/70
− Nadi: 80x/menit
− RR: 18 x/menit
− Suhu: 37,9° C
− Anemia: (-)
− Sianosis: (-)
− Stridor Inspirasi: (-)
− Retraksi: Supratemal (-), Intercostal (-), Epigastial: (-)
Tabel 2.1 pemeriksaan fisik.
Telinga Pemeriksaan Telinga
Kanan Kiri
Daun Telinga An/miko/makrotia
Keloid Perikondritis Kista
Fistel
Ott Hematoma
Normotia Normotia Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Liang Telinga
Atresia Serumen prop Epidermis prop Korpus alineum Jaringan granulasi
Exocytosis Osteoma Ferunkel Krusta
Tidak ada Tidak ada Minimal Minimal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Membran Timpani
Hiperemis Retraksi Bulging Atropi Perforasi Bula Secret
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Jaringan Tidak ada Tidak ada
Granulasi
Kolesteatoma Tidak ada Tidak ada Retroaurikular
Fistel Kista Abses
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Preaurikular
Fistel Kista Abses
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tuba Eustachii Tidak
dinilai
Tidak dinilai
HIDUNG RINOSKOPI
ANTERIOR
Kanan Kiri
- Vestibulum nasi
- Kavum nasi
- Selaput lender
Sekret (-), edema (-), furunkel (-), Hiperemis (- )
Lapang (-), Sekret (-) Sekret(-), Hiperemis(- ) Deviasi (-)
Sekret (-), edema (-), furunkel (-), Hiperemis (-)
Lapang (-), Sekret (-) Sekret(-), Hiperemis(-)
Deviasi (-)
6
- Septum nasi - Lantai+dasar
hidung
- Konka inferior - Meatus nasi
inferior - Konka media
- Meatus nasi media
- Korpus alineum - Massa tumor
Edema (-), Sekret (-) Edema (-), hiperemis (-)
Sekret (-)
Edema (-), hiperemis (-) Sekret (-)
Tidak ada
Tidak ada
Edema (-), Sekret (-) Edema (-), hiperemis (-)
Sekret (-)
Edema (-), hiperemis (-) Sekret (-)
Tidak ada
Tidak ada
HIDUNG RINOSKOPI
POSTERIOR
KANAN KIRI
- Kavum nasi - Selaput lender - Koana
- Septum nasi - Konka superior - Meatus nasi
media - Muara tuba - Adenoid
Massa tumor
Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
7
TRANSLUMINASI Kanan Kiri - Sinus Maxillaris
- Sinus Frontalis
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa MULUT Selaput lender mulut
Bibir Lidah
Gigi
Kelenjar ludah
Bewarna merah muda Normal,pucat (-),
Sianosis(-) Lidah kotor(-) Gigi berlubang(-)
Hipersaliva(-)
FARING Uvula
Palatum mole
Palatum durum Plika anterior Tonsil
Plika posterior Mukosa orofaring
Simetris kanan-kiri Hiperemis (+), Massa (-), pseudomembran (-)
Hiperemis(-), Massa (-), pseudomembran (-)
Hiperemis (-)
Ukuran T3 kanan & T3 kiri, permukaan licin (-/-), hiperemis (+/+), kripta melebar (+/+), detritus (-/-), pseudomembran putih keabuan sulit dilepas keabuan (-/-)
Hiperemis (+)
Pseudomembran putih keabuan (-), Granul (+), Hiperemis (+)
8
LARING Pangkal lidah Epiglottis Valekula
Plika ventrikularis Plika vokalis Komisura anterior Aritenoid
Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Massa Tumor Sulit dinilai
Sinus Piriformis Sulit dinilai
Trakea Sulit dinilai
KEPALA/LEHER Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening
A Regio I Tidak ada benjolan
B Regio II Tidak ada benjolan
C Regio III Tidak ada benjolan
D Regio IV Tidak ada benjolan
E Regio V Tidak ada benjolan
F Regio VI Tidak ada benjolan
G Area Parotid Tidak ada benjolan H Area
postaurikular
Tidak ada benjolan
I Area occipital Tidak ada benjolan
9
10 J Area
supraklavikula
Tidak ada benjolan
Nb. bila teraba benjolan, deskripsikan benjolan tsb.
Pemeriksaan N. Cranialis
Maksilofacial simetris, nyeri tekan (-), paresis saraf kranial (-).
2.4 Pemeriksaan Penunjang 1) Radiologi
- Foto Thorak : Tidak dilakukan - Foto Paranasal : Tidak dilakukan - Foto Jaringan Lunak Leher : Tidak dilakukan - Foto Polos Esofagus : Tidak dilakukan - Foto Esofagus Barium : Tidak dilakukan - CT-Scan : Tidak dilakukan 2) Laboratorium : Tidak Dilakukan
2.5 Diagnosis Kerja
Tonsilitis Akut ec Susp Virus 2.6 Diagnosis Banding
1) Tonsilitis akut ec virus 2) Tonsilitis akut ec bakteri
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Farmakologi
1) PO Parasetamol 3x500 mg
2) Obat kumur desinfektan : Chlorhexidine 2x1 2.7.3 Non Farmakologi
11 1) Istirahat yang cukup 2) Diet gizi seimbang
3) Perbanyak konsumsi air putih
4) Hindari minum air es, makan berminyak, pedas, dan bersantan 5) Edukasi mengenai perjalanan penyakit, penyebab, komplikasi dan prognosis.
2.8 Prognosis
1) Quo ad vitam : Bonam 2) Quo ad functionam : Bonam 3) Quo ad sanationam : Bonam
12 BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Tonsil
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).1
Gambar 3.1 Anatomi Tonsil
3.1.1 Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. 1
Tonsil terletak di lateral orofaring dibatasi oleh:
• Lateral : M. konstriktor faring superior
• Anterior : M. palatoglosus
• Posterior : M. palatofaringeus
13
• Superior : Palatum mole
• Inferior : Tonsil lingual 1) Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. 1
2) Kapsul tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil. 1
3) Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah. 1 4) Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A.
tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A.
lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A.
14
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A.
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A.
palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. 1
Gambar 3.2 Vaskularisasi Tonsil 5) Aliran Getah Bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. 1 6) Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus. 1
7) Imunologi Tonsil
15
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55- 75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 1
3.1.2 Tonsil Faringea
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. 2
3.1.3 Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalat. 2
3.2 Fisiologi Tonsil
16
Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 2
3.3 Tonsilitis Akut 3.3.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
Tonsilitis akut adalah peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.3
3.3.2 Epidemiologi
Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang terjadi pada anak usia < 2 tahun dan juga sangat jarang terjadi pada orang tua usia >40 tahun. Pada balita, tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan infeksi bakterial lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun dengan prevalensi tonsillitis bakterial 15-30% pada anak dengan gangguan tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan tenggorokan. Group A betahemolytic streptococcus merupakan penyebab utama tonsilitis bacterial. Faktor yang menjadi penyebab utama tonsilitis baik akut maupun kronik adalah ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.3
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi, 248.000 (86,4 %) mengalami tonsiloadenoidektomi dan
17
39.000 (13,6 %) lainnya menjalani tonsilektomi. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6 %. Insidensi terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan komplikasi tersering adalah abses peritonsilar. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada anak-anak dengan puncaknya pada masa remaja kemudian risikonya menurun hingga usia tua. Abses peritonsilar lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. 3
3.3.3 Etiologi
Penyebab tonsilitis adalah infeksi bakteri atau infeksi virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsilitis. Hal-hal yang dapat memicu peradangan pada tonsil adalah seringnya kuman masuk kedalam mulut bersama makanan atau minuman.4
1) Tonsilitis Viral
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan klien.1
2) Tonsilitis Bakteri
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.1
3.3.4 Patofisiologi
18
Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi.
Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya. Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula.5
Secara patologi terdapat peradangan dari jaringan pada tonsil dengan adanya kumpulan leukosit, sel epitel yang mati, dan bakteri pathogen dalam kripta. Fase- fase patologis tersebut ialah:
1) Peradangan biasa daerah tonsil saja 2) Pembentukan eksudat
3) Selulitis tonsil
4) Pembentukan abses peritonsiler 5) Nekrosis jaringan.2
Karena proses radang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.
Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan submandibular.5
Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan. Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena
19
pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan. Jika peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali pulih seperti semula atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula.
Apabila tidak terjadi penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi infeksi berulang. Apabila keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang kronis atau yang disebut dengan tonsilitis kronis.5
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorok yang berulang. Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat. Selain pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis lain adalah higien mulut yang buruk, kelelahan fisik dan beberapa jenis makanan.5
3.3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul akan berbeda-beda pada setiap kategori tonsilitis sebagai berikut.1
1) Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok dan beberapa derajat disfagia. Dan pada kasus berat dapat menolak untuk minum atau makan melalui mulut. Penderita mengalami malaise, suhu tinggi, dan nafasnya bau.1
2) Tonsilitis Bakteri
Gejala dan tanda Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi- sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf N. glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar sub-mandibula membengkak dan nyeri tekan (otalgia). 1
20 3.3.6 Diagnosis
Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di tenggorok.
Kemudian berubah menjadi rasa nyeri di tenggorok dan rasa nyeri saat menelan. Makin lama rasa nyeri ini semakin bertambah nyeri sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar sebagai referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia) tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX).2
Keluhan lainnya berupa demam yang suhunya dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut.
Suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus). Pemeriksaan tonsilitis akut ditemukan tonsil yang udem, hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Ismus fausium tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis. Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus mandibula terlihat membesar dan ada nyeri tekan. 2
1) Anamnesis
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, rasa mengganjal di tenggorok, nafas bau, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher. 2
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah dengan menilai warna, besar, pelebaran muara kripte, ada tidaknya detritus, nyeri tekan, dan hiperemis pada arkus anterior. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan.
- T0 = apabila tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat.
21
- T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula
- T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai
½ jarak pilar anterior-uvula
- T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai
¾ jarak pilar anterior-uvula
- T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih. 2
Gambar 3.3 Ukuran Pembesaran Tonsil
Beberapa penelitian berusaha untuk membedakan antara infeksi group A beta-hemolytic streptococcal (GABHS) dan virus berdasarkan gejala dan tanda. Gejala dan tanda ternyata tidak cukup untuk menegakkan diagnosis, diperlukan kombinasi dari beberapa faktor untuk dapat digunakan sebagai prediksi klinik. Tes yang umum dilakukan selain temuan klinik adalah kultur swab tenggorok dan rapid antigen testing.6
Skor Centor dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi tenggorok akibat infeksi streptokokus grup A. Skor Centor ini merupakan acuan tervalidasi untuk prediksi klinis pada infeksi streptokokus pada pasien
22
lebih dari 15 tahun. Hal ini dikarenakan pada pasien anak, terutama satu tahun awal, memiliki manifestasi nyeri tenggorok yang berbeda. (level bukti II, derajat rekomendasi B). Risiko terjadinya infeksi streptokokus grup A tergantung jumlah skor dari tanda dan gejala. Semakin besar jumlah skor, maka semakin besar kemungkinan infeksi streptokokus grup A. Skor Centor dapat digunakan pada pasien anak, tetapi tidak dianjurkan pemakaiannya pada anak usia kurang dari 3 tahun. 6
Infeksi streptokokus kemungkinan besar terjadi pada anak usia 5-15 tahun dan kemungkinan kecil pada anak yang lebih kecil atau pasien tua.
Centor dkk melakukan penelitian hanya pada pasien dewasa, maka penelitian yang dilakukan di Kanada mencoba memodifikasi skor Centor dengan menambahkan usia pada penelitiannya terhadap 600 pasien dewasa dan anak usia 3-15 tahun. Oleh karena itu skor Centor tidak divalidasi untuk digunakan pada anak usia dibawah 3 tahun. Validasi skor Centor ini ialah +1 bila usia 45 tahun. 6
Tabel 3.1 Kriteria penilaian risiko infeksi streptokokus grup A dengan modifikasi
Tabel 3.4 Skor risiko infeksi streptokokus grup A dengan kriteria Centor yang dimodifikasi6
23 3) Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptococcus haemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus. 6
3.3.7 Diagnosis Banding
1. Tonsilitis Difteri
Merupakan radang akut pada tonsil yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian ats dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.1
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
1) Gejala umum
Seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan. 1
2) Gejala lokal
Tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas.
Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila
24
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals. 1
3) Gejala akibat eksotoksin
Eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. 1 2. Tonsilitis Septik
Disebabkan oleh Streptococcus hemoliticus pada susu sapi, tapi di Indonesia jarang. 1
3. Angina Plaut Vincent
Gejala demam sampai dengan 39 C, nyeri kepala, badan lemah, dan kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi, serta terdapat bau mulut dan kelenjar sub mandibula membesar. 1
4. Limfoma Tonsil
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh proliferasi sel limfoid atau prekursorsnya dan merupakan keganasan nonepithelial paling sering pada kepala dan leher. Lebih dari setengah limfoma ekstranodal di daerah kepala leher muncul pada cincin waldeyer;
dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil, diikuti nasofaring dan dasar lidah. Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran tonsil atau nyeri tenggorokan. 1
Sekitar setengah dari semua NHLs pada cincin waldeyer ditemukan di tonsil palatine , 20% di antaranya adalah bilateral . Dalam jumlah yang kecil, limfoma di daerah ini juga muncul dari tonsil faringeal, pangkal lidah atau tonsil lingual, atau melibatkan beberapa tempat primer. Gejala sesuai dengan lokasi penyakit. NHL dari tonsil dan pangkal lidah
25
biasanya hadir dengan odynophagia unilateral dan disfagia sementara.
NHL nasofaring dapat terwujud dengan sumbatan hidung, disfungsi tuba eustachius, epistaksis , atau neuropati kranial. Pada pemeriksaan fisik, Lesi NHL kebanyakan submukosa, seperti ulserasi lesi terlihat pada SCC.
1
3.3.8 Tatalaksana
Pemberian tatalaksana berbeda-beda setiap kategori tonsillitis sebagai berikut.
1) Tonsilitis Viral
Pada umumnya, penderita dcngan tclnsilitis akut serta demam sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat, dan diet ringan.
Analgesik, dan antivirus diberikan jika gejala berat. 1 2) Tonsilitis Bakteri
Antibiotika spectrum luas, seperti penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. 1
Analgetika 1) Dewasa
Ibuprofen atau paracetamol merupakan pilihan utama untuk analgetika pada dewasa. (level bukti II, derajat rekomendasi B).
Ibuprofen mempunyai hasil yang lebih baik untuk mengurangi nyeri tenggorok daripada paracetamol. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Kombinasi keduanya tidak memberikan hasil yang signifikan pada pasien dewasa. 6
2) Anak
Paracetamol merupakan pilihan utama sebagai analgetika pada anak.
Ibuprofen merupakan terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin pada anak dengan risiko dehidrasi. 6
Antibiotik
26
Pemberian antibiotik dapat ditentukan dengan menggunakan Skor Centor pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 45 tahun. Bila hasil skor Centor 1-2, pasien diberikan terapi simptomatik selama 3 hari. Setelah 3 hari, dilakukan pengamatan terhadap perkembangan penyakit apakah terdapat perbaikan atau tidak. Bila tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan pemeriksaan swab tenggorok untuk pemeriksaan RAT atau kultur resistensi sebelum pemberian antibiotik. Bila hasil skor Centor 3-4, dilakukan pemeriksaan swab tenggorok untuk pemeriksaan RAT atau kultur resistensi dan segera dilakukan pemberian antibiotik empiris. 6
Bila fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan kultur swab tenggorok dan RAT belum tersedia, penggunaan antibiotik pada kasus dengan skor Centor 3-4 dapat dimulai secara dini tetapi hal ini perlu dilakukan secara bijak agar kejadian resistensi antibiotik tidak meningkat. Jika terapi antibiotik tidak memberikan perbaikan dalam 5 hari dan terdapat kecurigaan adanya resistensi antibiotik, pasien dirujuk untuk kultur swab. 6 1) Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g),
atau 25 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg), selama 10 hari. Amoksisilin lebih sering digunakan pada anak-anak karena lebih mudah ditelan. Amoksisilin 1-2 dosis sehari sama efektifnya dengan pemberian 2-3 dosis sehari pada anak-anak. Selain itu, penggunaan amoksisilin sekali atau dua kali sehari selama 6-10 hari menunjukkan hasil yang sama efektifnya dengan penggunaan penisilin tiga kali sehari selama 10 hari. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Penggunaan amoksisilin peroral di Indonesia 50-60 mg/kgbb dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis dewasa 3x500 mg. 6
2) Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan cefadroxil diberikan selama 10 hari, pada beberapa penelitian didapatkan hasil yang baik. Cephalexin peroral 20 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg) selama 10 hari. Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g) selama 10 hari. Sefalosporin mungkin lebih efektif dibandingkan penisilin dalam resolusi klinis dan
27
pencegahan kekambuhan pada dewasa dengan faringtis steptokokus.
(level bukti II, derajat rekomendasi B) Cephalexin jarang digunakan di Indonesia. 6
3) Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis maksimum 300 mg) selama 10 hari. 6
4) Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 500 mg) selama 5 hari. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Azitromisin dosis total 60 mg/kgbb lebih efektif dibandingkan antibiotik lain selama 10 hari, sedangkan azitromsin dosis total 30 mg/kgbb kurang efektif pada anak-anak. Azitromisin memberikan efek yang sama dengan antibiotik lain pada dewasa. Azitromisin dosis tunggal 2 gram extended relase sama efektifnya dengan azitromisin 500 mg sekali sehari selama 3 hari. Di Indonesia, azitromisin diberikan 500 mg per hari selama 3 hari. 6
5) Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis maksimum 250 mg) selama 10 hari. 6
6) Eritromisin etilsuksinat (EES) 40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali (4x400 mg pada dewasa) selama 10 hari. 6
7) Apabila tidak terdapat alergi pada penisilin V, penisilin V dapat diberikan selama 10 hari. Dosis anak ialah 250 mg per oral, 2-3 kali sehari. Dosis dewasa ialah 4x250 mg perhari, atau 2x500 mg perhari.
(level bukti I, derajat rekomendasi A) Pemberian penisilin V memberikan hasil yang baik untuk mengeradikasi bakteri, serta mengurangi risiko terjadinya komplikasi demam rematik dan glomerulonefritis. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Literatur dari luar negeri menjadikan penisilin sebagai terapi lini pertama. Di Indonesia, penisilin V sulit didapat sehingga lebih lazim menggunakan amoksisilin. Pada pasien dengan kemungkinan kepatuhan kurang terhadap terapi penisilin oral selama 10 hari, dapat diberikan benzatine penicillin G 1,2 juta unit (600.000 unit bila berat badan kurang dari 27
28
kg), sekali secara intramuskular. (level bukti II, derajat rekomendasi B). 6
Terapi Tambahan 1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada anak dan dewasa dapat memberikan perbaikan yang signifikan terhadap gejala dan memberikan efek samping yang minimal. Penggunaan kortikosteroid kombinasi dengan antibiotik tidak diberikan secara rutin sebagai terapi tonsilitis, tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang berat. Pemberian steroid lebih dari 3 hari mungkin tidak memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dosis tunggal pada anak dan remaja dengan infeksi streptokokus. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Dosis kortikosteroid sebagai antiinflamasi 3x1 tablet prednison selama 3 hari. 6
2) Obat Kumur Antiseptik
Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau benzydamine memberikan hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki gejala. (level bukti II, derajat rekomendasi B). Berdasarkan review sistematik 7 RCT yang mengevaluasi penggunaan oral rinses, mouthwases dan sprays pada pasien dewasa setelah menjalani tonsilektomi, tidak terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan efektivitas oral rinses, mouthwases dan sprays. Lidocaine spray secara signfikan dapat mengurangi keparahan nyeri dalam tiga hari pertama, tetapi tidak dalam 7 hari pada trial dengan kualitas rendah pada 40 pasien usia 6-14 tahun. 6
3) Terapi Suportif Lain
Terapi suportif lainnya yang belum memiliki bukti antara lain analgetika dan anestetika topikal, berkumur menggunakan air garam hangat, lozagen tenggorok, permen keras, maupun pencuci mulut yang beku, makanan lembut dan cairan kental, seperti es krim, puding, serta
29
pelembab. Steroid nasal dapat mengurangi kebutuhan tindakan bedah pada kasus hipertrofi adenotonslier. (Level bukti III, derajat rekomendasi B). 6
3.3.9 Komplikasi
Meskipun jarang, tonsilitis akut dapat menimbulkan komplikasi lokal yaitu abses peritonsil, abses parafaring dan otitis media akut. Komplikasi lain yang bersifat sistemik dapat timbul terutama oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus berupa sepsis dan infeksinya dapat tersebar ke organ lain seperti bronkus (bronkitis), ginjal (nefritis akut & glomerulonefritis akut), jantung (miokarditis & endokarditis), sendi (artritis) dan vaskuler (plebitis).
Komplikasi yang dapat muncul bila tonsilitis akut tidak tertangani dengan baik adalah tonsilitis kronis dan otitis media. 1
3.3.10 Prognosis
Secara umum, prognosis tonsilitis sangat baik dan sembuh tanpa komplikasi. Sebagian besar tonsilitis virus sembuh dalam 7-10 hari, sedangkan tonsilitis bakteri dengan terapi antibiotik sesuai mulai membaik dalam 24-48 jam. Morbiditas dapat meningkat jika tonsilitis berulang sehingga mengganggu aktivitas dalam sekolah dan bekerja.7
30 BAB IV ANALISIS MASALAH
Kasus Anamnesis:
± 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan demam tidak terlalu tinggi. Demam berupa badan terasa hangat tetapi suhunya tidak diukur. Demam dirasakan hilang timbul dan memberat terutama pada sore menjelang malam hari. Keluhan disertai dengan nyeri tenggorokan, nyeri tidak menjalar, dan dirasakan seperti terasa perih.
Os masih dapat menelan, namun nyeri dirasakan memberat apabila menelan ludah maupun makan, pasien juga mengeluh batuk dan pilek. Keluhan nyeri menelan semakin memberat sehingga nafsu makan pasien menurun dan badan terasa lemas.
Teori
Gejala Tonsilitis Akut:
1) Demam
2) Nteri Tenggorokan 3) Nyeri menelan 4) Batuk pilek 5) Malaise
Pemeriksaan Fisik Pada pasien didapatkan:
1) Suhu : 37,80 C
2) Tonsil : Ukuran T3 kanan & T3 kiri, permukaan tidak rata (+/+), hiperemis (+/+), kripta melebar (+/+), detritus (- /-), pseudomembran putih keabuan sulit dilepas keabuan (-/-)
Tanda dan gejala tonsilitis akut:
1) Demam subfebris
2) Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah dengan menilai warna, besar, pelebaran muara kripte, ada tidaknya detritus, nyeri tekan, dan hiperemis pada arkus anterior. Pada pasien didapatkan tonsil hiperemis, kripta melebar, tidak ada detritus, dan berukuran T3 yaitu batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾
31
jarak pilar anterior-uvula Diagnosis Banding
1) Tonsilitis akut ec virus 2) Tonsilitis akut ec bakteri
1) Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok dan beberapa derajat disfagia.
Dan pada kasus berat dapat menolak untuk minum atau makan melalui mulut.
Penderita mengalami malaise, suhu tinggi, dan nafasnya bau.
2) Tonsilitis Bakteri
Gejala dan tanda Masa inkubasi 2-4 hari.
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf N. glosofaringeus (N. IX).
Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar sub-mandibula membengkak dan nyeri tekan (otalgia).
Diagnosis Kerja
Tonsilitis Akut ec Susp Virus
Dasar penegakkan diagnosis secara klinis dilakukan dengan menganalisis keluhan yang didapat di anamnesis dan dikonfirmasi pada pemeriksaan fisik.
Terapi
1) PO Parasetamol 3x500 mg
1) Paracetamol
Paracetamol merupakan pilihan utama
32 2) Obat kumur desinfektan : Chlorhexidine 2x1
sebagai analgetika pada anak. Ibuprofen merupakan terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin pada anak dengan risiko dehidrasi.
2) Obat kumur desinfektan
Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau benzydamine memberikan hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki gejala. (level bukti II, derajat rekomendasi B)
33 BAB V KESIMPULAN
Radang pada bagian tonsil adalah tonsilitis atau umum dikenal sebagai radang amandel. Tonsilitis umumnya adalah infeksi yang dapat disebabkan virus ataupun bakteri.
Penegakan diagnosis dari tonsilitis dapat dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat pasien, berupa keluhan lokal dan keluhan sistemik. Meskipun jarang, tonsilitis akut dapat menimbulkan komplikasi lokal yaitu abses peritonsil, abses parafaring dan otitis media akut. Komplikasi lain yang bersifat sistemik dapat timbul terutama oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus berupa sepsis dan infeksinya dapat tersebar ke organ lain seperti bronkus, ginjal, jantung, sendi dan vaskuler (plebitis). Prognosis dari tonsilitis adalah baik dan jarang terdapat komplikasi. Tatalaksana pada pasien dengan tonsilitis dapat dilakukan secara operatif dan non-operatif sesuai dengan ukuran dan indikasi utama dari manifestasi klinis pasien.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi.E.A,et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. pg:212-25.
2. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed.
Penyakitpenyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. pg: 330-44.
3. Ramadhan, F. S. I. K., 2017. Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak Usia 5 - 11 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan, Volume 2.
4. Manurung, R., 2016. Gambaran Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Pencegahan Tonsilitis pada Remaja Putri di Akper Imelda Medan Tahun 2015.
Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA, 1(2), p.2.
5. Fakh, I. M., Novialdi & Elmatris, 2016. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2), pp. 436-437.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/157/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tonsiliti
7. Georgalas, C. C. N. S. T. A. N., 2014. Tonsillitis. Clinical Evidence, p. 2. s