i TINJAUAN PUSTAKA III
Desember 2024
Limfoma Hodgkin Mediastinum Primer
Oleh:
Farhul Muhajir Harun
Pembimbing:
dr. Arif Santoso, Sp. P (K), Ph.D, FAPSR
PESERTA PPDS I PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
RSUP WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
2024
2 SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tugas tinjauan pustaka ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai peraturan yang berlaku di Universitas Hasanuddin. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Hasanuddin kepada saya.
Makassar, Desember 2024
Farhul Muhajir Harun
3 ABSTRACT
Primary mediastinal lymphoma is a lymphoma originating from the mediastinal lymphoid glands without the presence of extramediastinal lymphoma. The disease is characterized by the presence of distinctive Reed-Sternberg cells, with clinical symptoms varying based on the size and location of the tumor. Common symptoms include chest pain, shortness of breath, and compression of vital structures such as the trachea, major blood vessels, and lungs. Diagnosis typically requires a tissue biopsy to confirm the histological subtype and stage of the disease. The primary treatment for mediastinal Hodgkin lymphoma is a combination of ABVD-based chemotherapy (Adriamycin, Bleomycin, Vinblastine, Dacarbazine) with or without radiotherapy.
Keywords: Hodgkin lymphoma, Mediastinal,Primary, Reed-Sternberg cells
ABSTRAK
Limfoma Hodgkin Mediastinum Primer adalah Limfoma Hodgkin yang berasal dari kelenjar limfoid mediastinal tanpa disertai limfoma extramediastinal. Penyakit ini ditandai oleh adanya sel Reed-Sternberg yang khas, dengan gejala klinis yang bervariasi tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Gejala umum meliputi nyeri dada, sesak napas, dan kompresi struktur vital seperti trakea, pembuluh darah besar, dan paru-paru. Diagnosis biasanya memerlukan biopsi jaringan untuk memastikan subtipe histologis dan penentuan stadium penyakit. Terapi utama untuk limfoma Hodgkin mediastinum adalah kombinasi kemoterapi berbasis ABVD (Adriamycin, Bleomycin, Vinblastine, Dacarbazine) dengan atau tanpa radioterapi. Prognosisnya umumnya baik jika didiagnosis dan diobati pada tahap awal. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme molekuler dan meningkatkan strategi terapeutik pada kasus lanjut atau refrakter.
Kata kunci: Limfoma Hodgkin, Mediastinum, Primer, Reed-Sternberg
4 DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN……….2
ABSTRAK………..3
DAFTAR ISI………...4
PENDAHULUAN………..5
KLASIFIKASI LIMFOMA………..7
ANATOMI MEDIASTINUM………8
LIMFOMA HODGKIN MEDIASTINUM PRIMER………...13
ETIOLOGI………...13
PATOFISIOLOGI………14
KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN………...16
DIAGNOSIS……….22
STAGING DAN STRATIFIKASI RISIKO………...26
PENATALAKSANAAN………..28
PROGNOSIS………37
RINGKASAN………...38
DAFTAR PUSTAKA………40
5 PENDAHULUAN
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Limfoma terjadi akibat dari adanya pertumbuhan yang abnormal dan tidak terkontrol dari sel sistem imun yaitu limfosit. Sel limfosit yang bersifat ganas ini dapat menuju ke berbagai bagian dalam tubuh seperti limfonodi, limpa, sumsum tulang belakang, darah atau berbagai organ lainnya yang kemudian dapat membentuk suatu massa. Tubuh memiliki 2 jenis limfosit utama yang dapat berkembang menjadi limfoma yaitu sel-B limfosit dan sel-T limfosit. Secara umum, limfoma dapat dibedakan menjadi limfoma hodgkin (LH) dan limfoma non-hodgkin (LNH). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologik dari kedua penyakit diatas yang mana pada LH terdapat gambaran histopatologik yang khas ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg (RS).1,2
Limfoma hodgkin adalah keganasan yang melibatkan sistem limfatik khususnya limfosit B yang mengalami mutasi. Limfoma hodgkin sering menyebar melalui pembuluh limfatik dari satu kelompok kelenjar getah bening ke kelompok berikutnya. Jika tidak diobati akan menyebar ke jaringan dan organ diluar sistem limfatik. Saat ini limfoma hodgkin menduduki peringkat 26 dari seluruh jenis kanker terbanyak di dunia dengan kasus baru sebanyak 83.087 orang. Menurut Global Burden of Cancer (GLOBOCAN) tahun 2020, kasus baru limfoma hodgkin di Eropa mencapai 19.858 orang dan di Indonesia tercatat jumlah kasus baru limfoma hodgkin yaitu sebanyak 1.188 orang. Diperkirakan bahwa limfoma hodgkin menyumbang sekitar 10% dari kasus, limfoma yang baru di diagnosis di Amerika Serikat (8.840 dari 83.087 kasus), dan sisanya 2 adalah limfoma non- hodgkin.1–3
Pada tahun 2020, International Agency for Research on Cancer (IARC) mencatat kematian di dunia akibat limfoma hodgkin mencapai 23.376 orang, di Eropa mencapai 3.953 orang, di Amerika Serikat mencapai 1.057 orang, dan di Indonesia sendiri kematian tercatat sebanyak 363 orang. Akan tetapi, angka kematian akibat limfoma hodgkin di Amerika Serikat (AS) terus menurun.
Penurunan angka ini tercatat dari 1,3 kasus per 100.000 pada tahun 1975 menurun
6 menjadi 0,3 kasus per 100.000 pada tahun 2014. Di semua tahapan diagnosis, kelangsungan hidup relatif 5 tahun, pasien dengan limfoma hodgkin pun meningkat dari 70% menjadi 85% dalam periode waktu yang sama.2,3
Limfoma hodgkin merupakan neoplasma yang kejadiannya bervariasi secara signifikan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Laki-laki dilaporkan lebih banyak menderita limfoma hodgkin dibandingkan perempuan. Selama periode waktu 1973 hingga 1987, Badan Surveillanc Epidemiology and End Results (SEER) mengumpulkan semua kasus penyakit limfoma hodgkin diwilayah Amerika Serikat dan menunjukkan hasil bahwa tingkat kejadian limfoma hodgkin spesifik terjadi pada dua puncak usia yaitu usia muda (usia 15 hingga 34 tahun) dan usia tua 55 tahun keatas. Beberapa dekade terakhir telah terlihat kemajuan yang signifikan dalam pengelolaan pasien dengan LH. Saat ini angka kesembuhan LH mencapai sekitar 80%. Munculnya pilihan pengobatan yang lebih efektif telah meningkatkan kelangsungan hidup sekitar 5 tahun, dibandingkan jenis kanker lainnya. Setiap pasien LH yang baru didiagnosis memiliki kemungkinan besar untuk disembuhkan dengan pengobatan yang sesuai.1–3
Limfoma dapat melibatkan hampir semua organ dan limfonodus manapun di tubuh. Limfoma mediastinum jarang terjadi dan mungkin bersifat primer atau sekunder. Limfonodus mediastinum biasanya bersifat sekunder sebagai bagian dari penyakit sistemik. Hanya 10% limfoma yang melibatkan mediastinum bersifat primer. Limfoma mediastinum primer merupakan limfoma yang berasal dari kelenjar limfoid mediastinal tanpa disertai limfoma extramediastinal. Limfoma Hodgkin (HL), limfoma sel B mediastinum primer (PMBCL) dan limfoma T- limfoblastik (TLL) adalah limfoma mediastinum primer yang paling umum.4
7 KLASIFIKASI LIMFOMA
limfoma dapat dibedakan menjadi limfoma hodgkin (LH) dan limfoma non- hodgkin (LNH). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologik. LH terdapat gambaran histopatologik yang khas ditandai dengan adanya sel Reed- Sternberg.5–8
1. Limfoma Hodgkin:
a) Classic Hodgkin Lymphoma (CHL)
b) Nodular Lymphocyte-Predominant Hodgkin Lymphoma (NLPHL) 2. Limfoma Non-Hodgkin:
a) Diffuse Large B-cell Lymphoma (DLBCL) b) Follicular Lymphoma
c) MALT Lymphoma (Mucosa-Associated Lymphoid Tissue) d) Mature T-cell Lymphoma
e) Small Lymphocytic Lymphoma (SLL) f) Mantle Cell Lymphoma
g) Mediastinal Large B-cell Lymphoma h) Anaplastic Large Cell Lymphoma i) Burkitt’s Lymphoma
j) Nodal Marginal Zone Lymphoma
Tabel 1. Perbedaan Limfoma Hodgkin dan Non-Hodgkin.5–8
Karakteristik Limfoma Hodgkin Limfoma Non-Hodgkin Histopatologi sel Reed-Sternberg Tidak ada sel Reed-
Sternberg Penyebaran Penyebaran teratur
melalui jalur limfatik
Penyebaran tidak teratur, dapat langsung ke organ non-limfoid
Lokasi Awal Umumnya dimulai di kelenjar getah bening leher atau mediastinum
dimulai di kelenjar getah bening atau organ lain Prognosis Prognosis cenderung
lebih baik dengan terapi yang tepat
Prognosis bervariasi, tergantung pada subtipe dan stadium
Usia Pasien Lebih sering pada dewasa muda
Lebih sering pada usia lanjut
Respons terhadap Terapi Umumnya respons baik terhadap kemoterapi dan radioterapi
Respons bervariasi tergantung pada subtipe dan regimen terapi Keterlibatan Ekstranodal Jarang terjadi Sering ditemukan
8 ANATOMI MEDIASTINUM
Mediastinum adalah suatu kompartemen sepanjang rongga toraks diantara pleura yang secara longitudinal meluas dari pintu masuk toraks ke permukaan superior diafragma. Mediastinum merupakan rumah bagi timus, jantung, pembuluh darah besar, kelenjar getah bening, saraf, esofagus dan trakea.
Mediastinum berbatasan dengan sternum di anterior, vertebra toraks di posterior, diafragma di inferior dan berbatasan dengan pleura di lateral. Mediastinum dibagi menjadi empat bagian yaitu mediastinum superior, anterior, tengah dan posterior.
Klasifikasi mediastinum secara radiologis umumnya dibuat berdasarkan uraian batas samar pada foto toraks lateral.9,10
Tabel 2. Organ, pembuluh darah dan saraf pada mediastinum
Organ Arteri Vena dan Persarafan
limfatik Superior Timus
Trakea Esofagus
Arkus Aorta Trunkus Brakiosefalik Arteri karotis komunis kiri Arteri
subklavia kiri
Vena kava superior Vena brakiosefalik Arkus azigos Duktus toraksik
Nervus vagus kiri dan kanan
Nervus laringeus rekuren kardiak Nervus frenikus kiri dan kanan Anterior Timus Cabang toraks Cabang toraks -
internal internal
Kelenjar getah bening
parasternal
Tengah Jantung Aorta asenden Vena kava Nervus frenikus Pembuluh Trunkus superior Nervus vagus darah besar pulmoner Vena pulmoner Saraf simpatis
Trakea Arteri Vena
Bronkus perikardiofrenik perikardiofrenik utama
Posterior Esofagus Aorta toraks Vena azigos Nervus vagus desenden Duktus toraksik Nervus
splanknikus Saraf simpatis
(Dikutip dari 6)
9 Gambar 1. Kompartemen mediastinum
(Dikutip dari 7) Penggunaan foto toraks lateral menimbulkan perdebatan dalam praktik klinis karena beberapa kelainan di mediastinum tidak dapat terlokalisasi ke dalam kompartemen yang spesifik dan menunjukkan lesi yang tumpang-tindih. Pada tahun 2014, The Japanese Association for Research on the Thymus (JART) mengembangkan klasifikasi kompartemen mediastinum menjadi empat kompartemen berdasarkan gambaran multidetector computed tomography (MDCT). International Thymic Malignancy Interest Group (ITMIG) melakukan modifikasi terhadap klasifikasi yang dikembangkan oleh JART dan memperkenalkan kompartemen mediastinum terbaru yang menggunakan pencitraan potong lintang dan menjadi standar baru.10,11
Kompartemen mediastinum yang dikembangkan oleh ITMIG menggunakan model pencitraan potong lintang tiga kompartemen yang mencakup prevaskular (anterior), viseral (tengah) dan paravertebral (posterior). Komponen prevaskular dibatasi oleh pintu masuk toraks di superior, diafragma di inferior, sternum di anterior, pleura parietal mediastinum di lateral dan perikardium di
10 posterior. Organ yang termasuk ke komponen prevaskular adalah timus, lemak, kelenjar getah bening dan vena brakiosefalik kiri. Kelainan yang sering terjadi pada komponen ini diantaranya abnormalitas timus (kista, hiperplasia dan keganasan seperti timoma, timik karsinoma dan tumor neuroendokrin), neoplasma sel germinal,limfoma, limfadenopati metastatik dan gondok intratoraks.6,7
Kompartemen viseral dibatasi oleh pintu masuk toraks di superior, diafragma di inferior, aspek anterior perikardium di anterior dan garis vertikal yang menghubungkan titik pada korpus vertebra toraks satu sentimeter posterior ke batas anterior tulang belakang (garis batas kompartemen viseral-paravertebral).
Kompartemen viseral terdiri dari dua kategori utama yaitu kategori vaskular (jantung, vena kava superior, aorta toraks asenden dan desenden, arkus aorta, arteri pulmoner intraperikardial dan duktus torasikus) dan kategori non vaskular (trakea, karina dan esofagus) yang berbagi asal embriologis (endoderm) serta kelenjar getah bening.Berbeda dengan model JART, model ITMIG mengikutsertakan semua struktur diantara perikardium pada kompartemen viseral. Arteri dan vena pulmoner ekstraperikardial termasuk ke dalam struktur pulmoner dan bukan termasuk ke dalam mediastinum sehingga tidak dimasukan ke dalam kompartemen viseral.11,12
11 Gambar 2. Potongan sagital pada MDCT (a), dan potongan aksial MDCT setinggi arkus aorta (b), arteri pulmoner kiri (c) dan atrium kiri (d). Warna
ungu adalah komponen prevaskular, biru komponen viseral, kuning komponen paravertebral dan garis hijau adalah garis batas komponen
viseral-paravertebra.
(Dikutip dari 7)
12 Tabel 3. Kompartemen mediastinum berdasarkan ITMIG
Kompartemen Batas Organ Abnormalitas
Prevaskular Superior: pintu masuktoraks Inferior: diafragma
Anterior: sternum Lateral: pleura parietal, batas lateral arteri dan vena toraks internal dan vena pulmoner superior dan inferior
Posterior: aspek anterior perikardium
Timus Lemak
Kelenjar getah bening
Vena brakiosefalik kiri
Abnormalitaas timus (kista, hiperplasia dan keganasan seperti timoma, timik karsinoma dan tumor
neuroendokrin) Neoplasma sel germinal Limfoma
Limfadenopati Metastasis tiroid
Viseral Superior: pintu masuktoraks Inferior: diafragma
Anterior: batas posterior kompartemen prevaskular Posterior: garis vertikal yang menghubungkan titik pada setiap korpus vertebra toraks 1 cm posterior ke batas anterior
Nonvaskular: trakea, karina, esofagus, kelenjar getah bening Vaskular: jantung, aorta toraks asenden dan desenden, arkus aorta, vena kava superior, arteri pulmoner intraperikardial, duktus torasikus
Limfadenopati (limfoma atau metastasis) Kista duplikasi foregut Lesi trakea Tumor esofagus Lesi jantung,
perikardium dan pembuluh darah besar
Paravertebra Superior: pintu masuk toraks Inferior: diafragma
Anterior: batas posterior kompartemen viseral Posterolateral: garis vertikal melalui batas posterior dinding dada pada batas lateral prosesus transversus vertebra toraks
Aorta asenden Trunkus pulmoner Arteri
perikardiofrenik
Tumor neurogenik Lesi paravertebral terkait infeksi dan trauma
(Dikutip dari 7)
13 Kompartemen paravertebral dibatasi oleh pintu masuk toraks di superior, diafragma di inferior, komponen viseral di anterior dan garis batas kompartemen visceral paravertebral di posterior dan lateral. Kompartemen paravertebral terdiri dari vertebra toraks dan jaringan lunak paravertebra.
Sebagian besar kelainan pada daerah ini adalah tumor neurogenik yang berkembang dari akar ganglia dorsal/ neuron yang berdekatan dengan foramen intervertebra. Selain itu, lesi paravertebral yang berhubungan dengan infeksi dan trauma juga dapat ditemui pada kompartemen ini.7,8
LIMFOMA HODGKIN MEDIASTINUM PRIMER
Limfoma merupakan tumor ganas yang paling sering melibatkan mediastinum dan 50-60% keganasan pada mediastinum merupakan limfoma. 35 % Limfoma mediastinum merupakan jenis limfoma Hodgkin. Limfoma Hodgkin mediastinum bersifat sekunder sebagai bagian dari penyakit sistemik ataupun bersifat primer. Limfoma Hodgkin terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu Classical HL (CHL) dan nodular lymphocyte predominant HL (NLP-HL. CHL terbagi menjadi empat kategori: nodular sclerosis CHL (NS-CHL), mixed cellularity CHL (MC-CHL), lymphocyte-depleted CHL (LD-CHL), dan lymphocyte-rich CHL (LR-CHL).13–15
Jenis Limfoma Hodgkin Mediastinum yang bersifat primer adalah NSCHL.
Limfoma Hodgkin jenis NSCLH paling banyak melibatkan mediastinum yaitu sekitar 80 % kasus, dan 54 % NSCHLC memiliki ukuran massa ≥ 7 cm. Jenis Limfoma Hodgkin yang lain jarang ditemukan pada mediastinum. Massa yang nekrosis disertai infiltrasi neutrophil yang massif dapat terjadi secara spontan pada pasien LH mediastinum primer. Hal ini sangat penting diketahui untuk mempertimbangkan kemungkinan diagnosis HL mediastinum primer pada gambaran abses di mediastinum anterior, selain diagnosis tuberculosis atau jamur.13–15
ETIOLOGI
Penyebab penyakit hodgkin masih belum dapat dipastikan. Namun ada beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan penyakit ini. Adanya kemungkinan
14 penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Epstein-Barr (EBV). Sebab beberapa dari penderita hodgkin diketahui telah terinfeksi virus ini. Orang-orang yang telah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), biasanya cenderung lebih mudah menderita penyakit hodgkin. Orang-orang yang menerima terapi obat imunosupresan setelah transplantasi organ juga berpeluang menderita penyakit ini.
Penelitian belakangan ini telah menetapkan adanya hubungan antara malfungsi sistem imun dengan insidensi penyakit hodgkin. 16–18
Contohnya, beberapa penelitian terhadap orang dengan infeksi HIV dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang memiliki penurunan sistem imun menunjukkan adanya peningkatan insidensi limfoma hodgkin sebesar 10 kali lipat dibandingkan populasi umum. Sementara itu pada penggunaaan obat, terutama obat imunosupresan untuk kasus transplantasi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan terhadap limfoma hodgkin. Beberapa pendapat menyatakan adanya hubungan antara limfoma hodgkin dengan genetik. Pendapat lain mengatakan paparan terhadap karsinogen, khususnya ditempat kerja, dapat meningkatkan risiko limfoma hodgkin. Polutan lingkungan lainnya seperti pestisida, herbisida dan berbagai virus juga memiliki peran dalam peningkatan insidensi limfoma hodgkin.12-14
PATOFISIOLOGI
Limfoma hodgkin terjadi akibat adanya sel B yang menjadi abnormal yang salah satunya adalah karena Epstein-Barr Virus yang mengandung banyak Nuclear Factor kappa B (NF-κB) yang merupakan salah satu faktor transkrip yang bisa merangsang proliferasi sel B terjadi terus menerus. Selain itu, NF-κB juga melindungi sel B dari sinyal apoptosis. Sel abnormal ini mirip sel raksasa neoplastik khas yang disebut sel Reed-sternberg. Sel Reed-Sternberg merupakan sel ganas yang masih belum jelas asalnya. Sel tersebut diperkirakan berasal dari sel limfoid awal atau histiosit. Penyakit ini disusun dalam suatu susunan yang terdiri atas sel ganas (sel Reed-Sternberg) yang dikelilingi oleh sel radang pleomorf. Sel Reed- Sternberg menjadi tanda patologi yang khas untuk limfoma hodgkin dimana pada limfoma non hodgkin tidak ditemukan sel tersebut.13-14
15 Secara patogenesis molekuler, 40% kasus LH memiliki ekspresi gen EBV.
Dalam sepuluh tahun terakhir, telah diteliti banyak faktor prognosis yang mempengaruhi LH antara lain CD30. Molekul ini merupakan famili TNF-α yang diekspresikan pada sel hodgkin dan sel Reed-Sternberg. Interaksi antara CD30 dan reseptornya memegang peranan penting dalam pertumbuhan sel RS, berkorelasi dengan jumlah sel RS dan selanjutnya dapat memprediksi luaran klinis. CD30 berkaitan dengan stadium tumor. Sel Reed-Sternberg mengekspresikan antigen CD30 dan CD15. CD30 merupakan marker aktivasi limfosit yang diekspresikan oleh sel limfoid reaktif dan malignant, dan khusus diekspresikan oleh sel Reed- Sternberg. CD15 adalah marker bagi granulosit akhir, monosit, dan sel T teraktivasi secara normal di ekspresikan oleh sel B. IL-10 adalah satu dari banyak sitokin yang diproduksi oleh sel RS dan mampu menghambat proliferasi Th1 sehingga sitokin ini dapat digunakan sebagai penanda prognosis pada LH stadium lanjut. IL-10 terutama berkaitan dengan limfoma maligna yang dicetuskan oleh infeksi EBV. 13-
14
Molekul lain yaitu PD-1 yang merupakan bagian dari famili reseptor kostimulator CD28. PD-1 diekspresikan pada sel hodgkin dan sel RS. Jalur yang mengaktivasi PD-1 menyebabkan terjadinya kelelahan sel T, penurunan imunitas seluler pada LH dan mungkin sebagai target untuk meningkatkan imunitas sel T pada penyakit ini. Pada saat terjadinya infeksi primer, EBV akan masuk dalam fase laten di dalam memori sel-B limfosit sehingga EBV mampu bertahan sepanjang masa hidup sel-B limfosit. Virus Epstein-Barr kemudian mengkode produk gen Epstein–Barr nuclear antigen 1 (EBNA-1) dan Latent membrane protein 1 (LMP- 1) yang diduga berperan dalam proses transformasi memori sel-B limfosit. 13-14
Produk-produk gen ini bekerja pada jalur sinyal intraseluler dimana EBNA- 1 bekerja secara langsung dengan memberikan umpan negatif pada ekspresi gen penekan tumor dan meningkatkan perkembangan tumor melalui umpan positif pada C-C Motif Chemokine Ligand 22 (CCL22) yang kemudian mempromosikan aktivasi sel-B limfosit. Pada saat yang bersamaan, produk gen LMP-1 meniru sinyal yang dihasilkan oleh antigen Cluster of Differentiation 40 (CD40) yang bekerja untuk mengaktifkan jalur sinyal Nuclear Factor Kappa B (NF-kB), p38, Phosphoinositide 3- kinases (PI3K), Activator protein 1 (AP1) dan Janus kinase-
16 signal transducer and activator of transcription (JAK-STAT) dalam mempromosikan kelangsungan hidup sel-B limfosit. 13-14
Infeksi EBV juga diduga adalah penyebab dari terjadinya mutasi genetik pada gen Ig yang mengkode reseptor sel-B limfosit di mana EBV kemudian mengkode gen LMP-2 yang mampu memprogram ulang sel-B limfosit matur menuju salah satu fenotif limfoma hodgkin dan mencegah terjadinya proses apoptosis melalui aktivasi sinyal penyelamatan pada pusat germinal sel-B limfosit.
Akibat dari adanya serangkaian proses tersebut di atas menyebabkan terjadinya ekspansi klonal yang tidak terkontrol dari sel-B limfosit yang kemudian akan mensekresikan 6 berbagai sitokin, seperti IL-5 yang akan menarik dan mengaktivasi eosinofil dan interleukin-13 (IL-13) yang dapat menstimulasi sel RS lebih lanjut untuk mengekspresikan antigen CD30 dan CD15. 13-14
KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN
Klasifikasi limfoma hodgkin yang umum digunakan hingga saat ini yaitu klasifikasi menurut WHO membagi LH menjadi 2 jenis utama: limfoma hodgkin klasik (CHL) dan limfoma hodgkin yang didominasi limfosit nodular (NLPHL). Di negara-negara barat, CHL menyumbang 95% dan NLPHL menyumbang 5% dari semua LH.
1. Classic Hodgkin Lymphoma (CHL)
CHL memiliki ciri khas yaitu ditemukannya sel Reed-Sternberg raksasa berinti banyak yang ganas. Limfadenopati yang tidak disertai rasa nyeri merupakan manifestasi klinis paling umum dari CHL, meskipun setiap subtipe histologis memiliki ciri klinisnya sendiri yang unik. CHL dibagi menjadi 4 subtipe: Nodular Sclerosis Classical Hodgkin Lymphoma; Mixed Cellularity Classical Hodgkin Lymphoma; Lymphocyte-Depleted Classical Hodgkin Lymphoma; dan Lymphocyte-Rich Classical Hodgkin Lymphoma.
Secara histologis, CHL terdiri dari sel HRS (Hodgkin and Reed-Sternberg) dan sel-sel reaktif pendukung yang banyak yaitu histiosit, limfosit kecil, sel plasma,
17 dan eosinofil. Pada pemeriksaan IHC, CD30 ditemukan positif pada sel HRS.
Ekspresi PDL-1 juga ditemukan tinggi pada sel HRS.
Gambar 3. Pemeriksaan histologi dan IHC pada CHL. (A) CHL terdiri dari sel HRS dan sel reaktif pendukung. (B) Pemeriksaan CD30 positif pada CHL. (C)
ekspresi PDL-1 yang tinggi ditemukan pada CHL
(Dikutip dari 21)
a. NSCHL
NSCHL (Nodular Sclerosis Classical Hodgkin Lymphoma )adalah subtipe yang paling sering ditemukan di antara keempat subtipe dan mencakup 70–80%
dari kasus CHL. NSCHL lebih umum di negara maju dibandingkan dengan negara berkembang. Subtipe ini terutama menyerang remaja dan sering kali
18 disertai dengan massa mediastinal. Massa berukuran besar terjadi pada sekitar setengah dari pasien NSCHL. Secara histologis, NSCHL ditandai oleh kapsul kelenjar getah bening yang menebal dan nodul yang dikelilingi oleh pita kolagen. (Gambar 4.A). Nodul-nodul ini mengandung sel HRS (Hodgkin dan Reed-Sternberg) serta sel imun non-neoplastik yang banyak. Sel HRS pada NSCHL yang memiliki sitoplasma jernih yang banyak disebut sebagai sel lacunar (Gambar 4.B). Tingkat positif EBV pada NSCHL sekitar 10–25%, paling sedikit di antara subtipe CHL. Secara umum, prognosis untuk NSCHL lebih baik dibandingkan dengan jenis CHL lainnya.
Gambar 4. Histologi NSCHL
b. MCCHL
MCCHL (Mixed Cellularity Classical Hodgkin Lymphoma) adalah subtipe kedua yang paling sering ditemukan, mencakup 20–25% dari kasus CHL.
Subtipe ini lebih umum pada orang yang lebih tua dan individu dengan sistem imun yang terganggu, seperti HIV. Frekuensi subtipe ini lebih tinggi di negara berkembang, di mana terdapat puncak insiden pada masa kanak- kanak. kelenjar getah bening yang terpengaruh biasanya mengalami kerusakan total, meskipun beberapa kasus dapat menunjukkan pola interfolikular. Berbeda dengan NSCHL, MCCHL tidak memiliki kapsul kelenjar getah bening yang menebal dan pita fibrosis yang luas, dan sel HRS pada MCCHL memiliki penampilan klasik (Gambar 5A,B). Sel latar
19 belakang pada MCCHL dapat mengandung histiosit epitelioid yang banyak, dan granuloma epitelioid dapat diamati, terutama pada kasus yang positif EBV (Gambar 3C). MCCHL memiliki hubungan yang erat dengan EBV, dengan tingkat positif EBV pada subtipe ini sekitar 75% (Gambar 3D).
Prognosis MCCHL dulunya lebih buruk dibandingkan NSCHL, tetapi lebih baik dibandingkan LDCHL. Namun, perbedaan ini sebagian besar telah hilang sejak munculnya terapi modern.
Gambar 5. Histologi MCCHL
(Dikutip dari 21)
c. LRCHL
LRCHL (Lymphocyte-Rich Classical Hodgkin Lymphoma) adalah subtipe yang jarang ditemukan, mencakup sekitar 5% dari semua kasus CHL.
Subtipe ini biasanya terjadi pada orang dewasa, dan sebagian besar pasien
20 didiagnosis pada tahap awal. Kelenjar getah bening perifer yang terlibat umumnya menunjukkan pola pertumbuhan nodular yang mungkin mengandung pusat germinal (Gambar 6A). Nodul-nodul ini terdiri dari sel HRS (Hodgkin dan Reed-Sternberg) dan limfosit kecil tanpa komposisi sel polimorfik (Gambar 6B). Sel HRS sering kali memiliki karakteristik dikelilingi oleh sel T yang positif PD1 (Gambar 6C). Dibandingkan dengan subtipe CHL lainnya, sel-sel neoplastik ini sering kali mengekspresikan faktor transkripsi sel B, seperti BOB1, OCT2, dan CD20. Sekitar 30–50%
dari kasus ini positif EBV. Secara morfologis, LRCHL menunjukkan fitur yang tumpang tindih dengan NLPHL (Nodular Lymphocyte Predominant Hodgkin Lymphoma), sehingga pemeriksaan imunohistokimia sangat penting untuk membedakan keduanya. Prognosis untuk LRCHL mirip dengan NLPHL dan sedikit lebih baik dibandingkan subtipe CHL lainnya.
Gambar 6. Histologi LRCHL
(Dikutip dari 21) d. LDCHL
LDCHL (Lymphocyte-Depleted Classical Hodgkin Lymphoma) adalah subtipe CHL yang paling jarang ditemukan, mencakup kurang dari 2% dari semua kasus CHL. Subtipe ini lebih sering terjadi di negara berkembang dan pada individu yang hidup dengan HIV. Sebagian besar pasien dengan LDCHL didiagnosis pada stadium lanjut dan menunjukkan gejala B. Ciri- ciri histologis LDCHL meliputi sel-sel neoplastik yang relatif melimpah dan jumlah sel penyerta yang berkurang (Gambar 7A). Pola histologis berupa fibrosis difus dan sel-sel neoplastik yang banyak, menunjukkan penampilan
21 pleomorfik (Gambar 7B,C).Pewarnaan imunohistokimia sangat berguna untuk membedakan LDCHL dari limfoma lainnya yang memiliki fitur morfologi yang mirip, seperti limfoma sel B besar difus positif EBV atau limfoma sel besar anaplastik. LDCHL memiliki hubungan yang sangat kuat dengan EBV, dengan tingkat positif EBV sekitar 75%. Subtipe ini dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk dibandingkan subtipe CHL lainnya.
Gambar 7. Histologi LDCHL
(Dikutip dari 21)
2. Nodular Lymphocyte-Predominant Hodgkin Lymphoma (NLPHL) NLPHL (Nodular Lymphocyte Predominant Hodgkin Lymphoma) umumnya terjadi pada pria dan dewasa muda. Kelenjar getah bening di leher (servikal), ketiak (aksila), atau selangkangan (inguinal) biasanya terpengaruh.
Sekitar 80% pasien dengan NLPHL didiagnosis pada stadium I/II, sementara 20%
lainnya berada pada stadium lanjut. Pasien dengan stadium lanjut kadang memiliki massa besar (bulky mass), hepatosplenomegali, dan/atau gejala B. Hingga 20–30%
pasien NLPHL mengalami progresi atau kekambuhan selama perjalanan penyakit mereka. Secara umum, NLPHL memiliki prognosis yang baik dengan tingkat kelangsungan hidup keseluruhan 10 tahun lebih dari 80%.
Secara histologis, kelenjar getah bening yang terpengaruh oleh NLPHL menunjukkan pola pertumbuhan nodular, nodular dan difus, atau dominan difus.
Ada enam pola histologis yang diidentifikasi pada NLPHL: (A)Nodular kaya sel B klasik, (B) nodular berliku-liku/saling terhubung, (C) sel LP (lymphocyte- predominant) ekstranodular yang menonjol, (D) nodular kaya sel T, (E) difus (mirip
22 THRLBCL), dan (F) difus seperti berlubang-lubang (kaya sel B). Sebagian besar kasus NLPHL ditandai dengan pola pertumbuhan nodular yang terdiri dari limfosit B kecil reaktif yang melimpah, histiosit epitelioid, dan sel neoplastik yang bercampur, disebut sel LP, yang berada di dalam dan di luar nodul (Gambar 6A,B).
Nodul ini ditandai dengan jaringan folikel sel dendritik (FDC). Temuan histologis khas ini terdeteksi pada pola A dan B, sedangkan limfosit T kecil reaktif mendominasi nodul atau infiltrasi difus pada pola C hingga F, dan jaringan FDC berkurang di area difus.
Temuan morfologis di area difus menyerupai THRLBCL. Oleh karena itu, kasus NLPHL dengan area difus dominan sulit dibedakan dari THRLBCL. Perlu dicatat, pasien dengan pola C hingga F lebih mungkin didiagnosis pada stadium lanjut dan memiliki keterlibatan sumsum tulang dibandingkan dengan mereka yang memiliki pola A atau B.18–21
Gambar 8. Histoogi NLPHL
(Dikutip dari 21)
DIAGNOSIS Anamnesis
Keadaan imunosupresi atau gangguan autoimun (arthritis rheumatoid, lupus eritematosus sistemik, sarkoidosis) memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita Limfoma Hodgkin Mediastinum Primer. Adanya riwayat keluarga dengan penyakit yang sama, terutama pada tipe NSCLH 30-50%. Pasien asimptomatis pada saat
23 diagnosis, pada kasus seperti ini LH mediastinum ditemukan secara tidak sengaja melalui pemeriksaan radiologi karena alasan lain. Pada pasien yang simptomatis dapat ditemukan gejala berikut :
1. Gejala konstitusional yang terdiri atas:
a) Gejala B yang terdiri atas penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan terakhir, demam lebih dari 38 derajat Celcius dan berkeringat di malam hari.
b) Pruritus yaitu rasa gatal pada sebagian atau seluruh tubuh tanpa lesi pada kulit c) nyeri dada akut setelah mengkonsumsi alkohol
2. Gejala klinis dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan ukuran, dengan kompresi ekstrinsik pada saluran trakeobronkial, jantung, pembuluh darah besar, dan/atau paru-paru. Gejala dapat berupa batuk, sesak napas, nyeri dada, nyeri punggung dan nyeri kepala pada pasien dengan Sindrom vena kava superior (SVKS).13,18,22,23
Pemeriksaan Fisis
1. Sindrom superior vena cava dengan tanda berupa distensi pada vena leher dan dinding dada, edema pada wajah dan ekstremitas atas. Hal ini terjadi bila massa menekan vena kava superior.
2. Limfadenopati asimptomatik, yaitu teraba pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, biasanya asimetrik dengan konsistensi yang padat kenyal, predileksi kelenjar getah bening yang biasanya terlibat, yaitu leher (60-70%), axila (10- 15%), inguinal (6-12%)
3. Splenomegali dan hepatomegali tetapi jarang bersifat masif. 13,18,22,23
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hematologik, yaitu hitung darah lengkap dapat ditemukan adanya anemia, neutrofilia, eosinofilia, limfopenia. Peningkatan LDH (lactate dehydrogenase serum), peningkatan laju sedimentasi eritrosit.
Pemeriksaan HIV, karena kejadian limfoma Hodgkin meningkat pada pasien HIV.
24 2. Pemeriksaan radiologi,
a. Pada foto thorax dapat ditemukan gambaran radiopaque yang berbatas tidak tegas atau tegas, pelebaran mediastinum, retrosternal space tidak tampak.
b. Pada CT scan thorax, Gambaran hiperdens dari massa jaringan lunak dengan tepi halus atau berlobus yang menyesuaikan dengan struktur di sekitarnya. Daerah kistik dengan kepadatan rendah atau low density sering ditemukan. Perluasan ke pleura, perikardium, dan bahkan dinding dada sering terjadi,efusi pleura yang terlihat pada 50% kasus, biasanya unilateral dan efusi perikardia. CT scan abdomen untuk melihat invasi pada hati, dan ginjal yang sering terjadi pada kasus kambuh atau rekuren.
Gambar 9. Contoh CT-Scan Limfoma Mediastinum. Tampak massa tumor yang besar terdapat di mediastinum anterior, dan efusi pleura terkait juga dapat
terlihat.[9]
3. Pemeriksaan FDG-PET/CT untuk dapat menentukan stadium penyakit berdasarkan Ann Arbor. Fluorodeoxyglucose (FDG) Positron Emission Tomography (PET)-Computed Tomography (CT) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi pada HL. Penggunaan PET-CT juga untuk penilaian respon setelah 2 siklus kemoterapi dan merupakan indikator prognostik yang baik pada pasien dengan penyakit stadium awal. Untuk pasien dengan penyakit lanjut (stadium III-IV), penilaian respon interim dengan PET harus dilakukan setelah 2 – 4 siklus kemoterapi tergantung pada rejimen yang digunakan.
25 4. Pemeriksaan histopatologik
Pengambilan sampel melalui TTNA atau core biopsy lebih dipilih dilakukan dibandigkan dengan pembedahan. Biopsi kelenjar getah bening (KGB) dapat dilakukan jika terjadi metastasis ke KGB perifer dan untuk mendapatkan informasi tipe sel ganas dapat diperoleh dari eksisi KGB secara luas. Pemeriksaan histopatologik, dapat ditemukan adanya sel Reed- Sternberg dengan latar belakang sel radang pleomorf pada pemeriksaaan biopsi kelenjar getah bening.
Secara patologi anatomi didapatkan gambaran khas yang merupakan gambaran sel keganasan;
- Sel Reed-Sternberg: merupakan sel berukuran besar, berinti banyak, dan polipoid. Ciri khas limfoma hodgkin adalah adanya sel datia Reed- Sternberg, meskipun kadang-kadang tidak dijumpai. Sel lain yang juga merupakan ciri khas adalah sel lakunar (menyerupai sel datia Reed- Sternberg, tetapi lebih kecil) dan sel mononuklear hodgkin. Sel datia Reed- Sternberg mempunyai gambaran khas, tampak besar dengan 2 inti yang saling berhadapan atau disebut mirror image, karena letak kedua inti sel seperti bayangan objek pada cermin. Kadang-kadang ditemukan sel tumor yang dikelilingi oleh zona halo dan nukleus yang jelas sehingga dinamakan owl’s eye.
- Sel Hodgkin: H-cell yang merupakan sel pre-Sternberg lacunar.
5. Pemeriksaan imunohistokimia, dapat ditemukan penanda CD15, CD20 atau CD30 pada sel Reed-Sternberg.
6. Pemeriksaan lainnya, seperti tes fungsi hati, ginjal dan paru, ekokardiografi dan eletrokardiografi digunakan untuk mengetahui adanya tanda dan gejala keterlibatan organ lainnya. 13,18,22,23
26 STAGING DAN STRATIFIKASI RISIKO
Penilaian yang akurat dari stadium penyakit pada pasien dengan LH adalah penting untuk pemilihan terapi yang tepat. Sistem stadium untuk pasien dengan LH didasarkan pada kelenjar getah bening yang terlibat apakah nodul berada di satu atau kedua sisi diafragma, jumlah jaringan yang terlibat apakah terdapat keterlibatan jaringan besar, apakah ada keterlibatan ekstranodal yang berdekatan dan apakah ada gejala sistemik yang khas (gejala B) ada. Fluorodeoxyglucose emisi positif pemindaian tomografi (FDG-PET) telah muncul sebagai alat penting dalam pemeriksaan pasien dengan kecurigaan LH, karena secara signifikan menambah informasi pemeriksaan yang diperoleh dengan menggunakan metode radiografi standar lainnya. 17,18
Faktor yang mengidentifikasi pasien dengan risiko rendah atau tinggi untuk kekambuhan akan sangat berguna dalam mengoptimalkan terapi berdasarkan kondisi pasien. Faktor prognostik untuk LH tahap awal telah diidentifikasi dan termasuk adanya massa mediastinum yang besar, tingkat sedimentasi yang tinggi, keterlibatan multiple nodal, keterlibatan ekstranodal, usia 50 tahun, atau penyakit limpa masif. Sebaliknya, pada pasien dengan LH lanjut, penyakit massal dan variabel prognostik tradisional lainnya telah ditemukan kurang memprediksi hasil.
Staging limfoma hodgkin yang umum digunakan hingga saat ini yaitu staging menurut kriteria Ann Arbor dengan revisi Costwold. Adapun staging LH berdasarkan kriteria tersebut dimuat dalam tabel.18
Tabel 4. Staging Limfoma Hodgkin Berdasarkan Kritera Ann Arbor
Stadium Keterlibatan Jaringan
I Satu daerah kelenjar getah bening atau satu daerah ekstralimfatik.
II
Dua atau lebih daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma
yangsama atau perluasan ekstralimfatik yang berdekatan ditambah satu ataulebih daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama.
III
Daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma yang bisa diikuti oleh perluasan ekstralimfatik yang berdekatan.
IV Keterlibatan difus dari satu atau lebih daerah atau organ ekstralimfatik.
Gejala Ciri
27 A Tanpa gejala
Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
B
Penurunan berat badan > 10% dalam 6 bulan terakhir.
Demam rekuren > 38 derajat Celcius.
Berkeringat di malam hari.
X
Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm atau massa mediastinum dengan ukuran >1/3 dari diameter transversal transtorakal maksimum pada foto polos dada Posterior Anterior (PA).
Stratifikasi resiko pada LH biasanya diklasifikasikan menjadi 3 kelompok. EORTC (European Organization for Research and Treatment of Cancer) mengelompokkan penderita LH klasik kedalam 3 stage berdasarkan atas kriteria yang terdiri atas stadium L- H dengan ada atau tidak adanya faktor resiko.18
Tabel 5. Staging Limfoma Hodgkin Klasik menurut EORTC(European Organization for Research and Treatment of Cancer).8,11
Stage Kriteria
Early-Stage Favorable Stadium I-IIA, tanpa faktor risiko.
Early-Stage Unfavorable Stadium I-IIA, > 1 faktor risiko.
Advanced-Stage Disease Stadium IIB, III, dan IV.
Faktor Risiko:
1. Adenopati mediastinum yang besar (massa melewati 0.33x diameter horizontal dada).
2. Usia ≥ 50 tahun.
3. Peningkatan laju endap darah > 50 mm/jam tanpa gejala sistemik atau > 30 mm/jam dengan gejala sistemik.
4. Keterlibatan > 3 daerah kelenjar getah bening.
28 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan limfoma hodgkin (LH) berbeda-beda sesuai dengan tipe dan stadiumnya dengan modalitas penatalaksanaan yang terdiri atas radioterapi, kemoterapi dan terapi kombinasi. Sekitar 85% dari penyakit dapat disembuhkan.
Sebagian besar penyakit ditentukan secara klinis dan diobati dengan kemoterapi saja atau terapi modalitas gabungan. Pada penyakit stadium II sering menerima dua atau empat siklus doxorubicin, bleomycin, vinblastine, dacarbazine (ABVD) dengan atau tanpa radiasi. Pada penyakit stadium III atau IV menerima enam siklus kombinasi kemoterapi, biasanya ABVD.13,14
Tatalaksana Limfoma Hodgkin Tipe Klasik (CHL)
Pengobatan lini pertama pasien CHL biasanya terdiri dari pendekatan modalitas gabungan (tahap terbatas dan penyakit tahap menengah) atau kemoterapi saja (penyakit stadium lanjut). Intensitas pengobatan tergantung pada profil risiko pasien saat diagnosis dan hasil evaluasi PET-CT.14
1. Tatalaksana Tahap Awal
Strategi pengobatan untuk LH tahap awal (stadium I-IIA) telah berubah secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Awalnya, radiasi dianggap sebagai terapi standar. Namun, karena tingkat kekambuhan yang tinggi dengan komplikasi jangka panjang secara signifikan, maka terapi radiasi yang melibatkan area kelenjar getah bening dengan jaringan sekitar tidak lagi digunakan. Perbandingan acak pasien yang diobati dengan terapi radiasi nodal subtotal, dengan atau tanpa kemoterapi ABVD dan mereka yang menerima ABVD saja, menemukan bahwa pasien yang menerima terapi radiasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih buruk dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Oleh karena itu kemoterapi tetap menjadi standar perawatan saat ini untuk sebagian besar pasien dengan LH stadium awal. Terapi modalitas kombinasi (kemoterapi dan radioterapi) adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan stadium awal. Dua siklus ABVD dan radioterapi lapangan yang terlibat (IFRT) dianggap sebagai standar perawatan pada penyakit stadium awal yang menguntungkan seperti yang didefinisikan oleh uji
29 coba Kelompok Limfoma Hodgkin Jerman (GHSG) dengan kelangsungan hidup 93% pada 5 tahun.14
Penatalaksanaan LH tipe klasik dilakukan dengan pemberian kemoterapi regimen ABVD (Adriamycin 25 mg/ m 2 , IV, hari ke-1 dan 15; Bleomycin 10 mg/ m2 , IV, hari ke-1 dan 15; Vinblastine 6 mg/ m2 , IV, hari ke-1 dan 15;
Dacarbazine 375 mg/ m 2 , IV, hari ke-1 dan 15) dalam 2 siklus dan diikuti dengan pemberian radioterapi sebesar 20 Gy. 14
Gambar 10. Algoritma terapi untuk LH stadium awal. 14
2. Tatalaksana Tahap Menengah
Penatalaksanaan LH klasik early-stage unfavorable dilakukan dengan pemberian kemoterapi regimen ABVD (Adriamycin 25 mg/ m2, IV, hari ke- 1 dan 15; Bleomycin 10 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 15; Vinblastine 6 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 15; Dacarbazine 375 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 15) dalam 4
30 siklus dan diikuti dengan pemberian radioterapi sebesar 30 Gy.
Penatalaksanaan lainnya yang lebih intensif yaitu dengan pemberian kemoterapi regimen BEACOPP (Bleomycin 10 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 8; Etoposide 200 mg/ m2, IV, hari ke-1 sampai 3; Adriamycin 35 mg/ m2, IV, hari ke-1; Cyclophosphamide 1.250 mg/ m2, IV, hari ke-1; Oncovin 1,4 mg/ m2, IV, hari ke-1 dan 8; Procarbazine 100 mg/ m2, oral, hari ke-1 sampai 7; Prednisone 40 mg/ m2, oral, hari ke-1 sampai 14) dengan dosis meningkat dalam 2 siklus serta diikuti dengan pemberian kemoterapi regimen ABVD dalam 2 siklus dan radioterapi sebesar 30 Gy.13,14
Gambar 11. Algoritma terapi untuk LH stadium menengah.14
31 3. Tatalaksana Tahap Lanjut
Penatalaksanaan LH klasik advanced-stage disease dilakukan dengan pemberian kemoterapi regimen ABVD atau BEACOPP dalam 6 sampai 8 siklus dan diikuti dengan pemberian radioterapi jika ukuran limfoma >
1,5 cm setelah pemberian kemoterapi regimen ABVD atau > 2,5 cm setelah pemberian kemoterapi regimen BEACOPP.14
Gambar 12. Algoritma terapi LH stadium lanjut 14
32 Tatalaksana Limfoma Hodgkin Tipe Nodular Lymphocyte Predominant
Penatalaksanaan LH tipe nodular lymphocyte predominant berbeda dengan penatalaksanaan LH klasik oleh karena LH tipe ini memiliki karakteristik biologis yang berbeda dengan LH klasik oleh karena adanya CD20. Pada penderita dengan stadium IA tanpa adanya faktor resiko, dapat dilakukan pengangkatan kelenjar getah bening yang diikuti dengan watchful waiting atau pemberian radioterapi, sedangkan pada penderita dengan stadium yang lebih lanjut, dapat dilakukan pemberian kemoterapi regimen ABVD yang dikombinasikan dengan Rituximab.18,19,24
- NLPHL diperlakukan sama dengan CHL pada semua pasien kecuali dengan penyakit stadium IA tanpa faktor risiko.
- ISRT 30 Gy adalah pengobatan standar pasien NLPHL stadium IA tanpa faktor risiko.
- Kekambuhan NLPHL lokal dapat diobati secara efektif dengan antibodi anti- CD20 seperti rituximab atau ofatumumab yang diberikan sebagai agen tunggal.
- Pasien dengan penyakit yang lebih menyebar saat kambuh dan fitur berisiko rendah tambahan mungkin memerlukan kemoterapi penyelamatan yang lebih agresif, mungkin dikombinasikan dengan antibodi anti-CD20.
- Terapi penyelamatan harus dipilih secara individual dan didasarkan pada faktor-faktor seperti waktu untuk kambuh, luasnya penyakit saat kambuh dan pengobatan sebelumnya.
33 Tabel 6. Regimen terapi untuk limfoma Hodgkin14
REGIMEN ABVD – Siklus : 29 Hari Dosis (mg/m²) Administrasi Hari
Doksorubisin 25 IV 1 + 15
Bleomisin 10 IV 1 + 15
Vinblastin 6 IV 1 + 15
Dakarbazin 375 IV 1 + 15
REGIMEN BEACOPPeskalasi – Siklus : 22 Hari Dosis (mg/m²) Administrasi Hari
Bleomisin 10 IV 8
Etoposid 200 IV 1 – 3
Doksorubisin 35 IV 1
Siklofosfamid 1250 IV 1
Vinkristin 1,4 IV 8
Prokarbazin 100 PO 1 – 7
Prednison 40 PO 1 – 14
G-CSF SC Mulai hari ke-8
Tatalaksana Pada Kasus Relaps
Meskipun angka kesembuhan tinggi dengan terapi awal, sekitar 5%
sampai 10% pasien LH refrakter terhadap pengobatan awal, dan 10% sampai 30%
pasien akan kambuh setelah mencapai remisi lengkap pada pengobatan awal.
Kemoterapi dosis tinggi (HDCT) dengan transplantasi sel induk autologus (ASCT) saat ini dianggap sebagai pilihan pengobatan. Sejumlah analisis retrospektif telah menyarankan bahwa pasien yang diobati dengan ASCT memiliki hasil jangka panjang yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan kemoterapi. Analisis hasil pengobatan pada pasien progresif primer menunjukkan bahwa kebebasan 5 tahun dari kegagalan dan kelangsungan hidup secara keseluruhan untuk semua pasien masing-masing adalah 17%
dan 26%, dibandingkan dengan 31% dan 43% untuk mereka yang diobati dengan HDCT dan ASCT. Penelitian lain telah mengkonfirmasi lebih lanjut bahwa pasien yang menerima HDCT diikuti oleh ASCT memiliki hasil yang lebih baik daripada pasien yang diobati dengan kemoterapi. Namun, sebagian besar pasien ini masih kambuh setelah HDCT dan ASCT. Oleh karena itu, penelitian terbaru telah
34 mengevaluasi apakah penambahan brentuximab vedotin atau antibodi anti PD-1 untuk menyelamatkan kemoterapi dapat meningkatkan tingkat respons lengkap, dan meningkatkan jumlah pasien yang kemudian menerima ASCT. Kombinasi bendamustine plus brentuximab vedotin. Meskipun respon terhadap terapi penyelamatan, pengobatan ini saja tidak cukup dan pasien biasanya kambuh dan kemudian meninggal karena perkembangan penyakit. Pendekatan konsolidasi yang biasanya mencakup HDCT dan ASCT diperlukan agar pasien mendapatkan manfaat yang tahan lama. 18,19,24
Terapi Target Dan Imunoterapi Pada Limfoma Hodgkin
Beberapa terapi baru untuk CHL telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dua target utama adalah CD30 yang diekspresikan oleh sel HRS, dan programmed cell death protein 1 (PD-1), reseptor untuk programmed cell death protein ligan 1 (PD-L1). CD30 antibodi-drug conjugate (ADC) brentuximab vedotin dan PD-1 inhibitor nivolumab dan pembrolizumab disetujui oleh Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) dan telah secara signifikan mengubah manajemen CHL.16 Target terapi dari CD30 dan kematian sel terprogram protein 1 (PD-1) adalah dua target terapi yang ideal pada limfoma hodgkin klasik. CD30 antibodi drug conjugate (ADC) brentuximab vedotin dan antibodi PD-1 nivolumab dan pembrolizumab sangat baik dalam mengobati CHL yang kambuh atau refrakter dan juga meningkatkan kesembuhan dan mengurangi toksisitas jangka panjang dari kemoterapi dan radioterapi.25
Dengan kemoterapi tahap awal seperti ABVD atau BEACOPP dan radioterapi bila diindikasikan, sebagian besar pasien CHL dapat disembuhkan.
Namun, sekitar 10% pasien CHL stadium awal dan 30% pasien CHL stadium lanjut mengalami kekambuhan setelah terapi lini pertama atau memiliki penyakit refrakter yang gagal merespons terapi lini pertama, dan hanya sebagian yang dapat disembuhkan dengan kemoterapi penyelamatan diikuti dengan terapi dosis tinggi (HDT) dan transplantasi sel induk autologus (ASCT).25
35 a. Terapi Target CD30
Kemajuan ilmiah telah menghasilkan peningkatan kelangsungan hidup yang signifikan diantara pasien limfoma dengan kelangsungan hidup 5 tahun yang dilaporkan sekitar 67-98% untuk limfoma hodgkin dan kelangsungan hidup 4 tahun untuk limfoma non-Hodgkin (NHL) mulai dari 55% hingga 94%. Meskipun umumnya dikaitkan dengan prognosis yang baik, beberapa pasien limfoma masih memiliki prognosis yang buruk meliputi pasien yang kambuh dan refrakter terhadap pengobatan. Modalitas pengobatan yang lebih efektif diperlukan pada pasien ini, terutama untuk pasien yang tidak cocok untuk menerima transplantasi sel induk autologus. Terapi bertarget anti-CD30 yaitu brentuximab vedotin hadir sebagai pilihan terapi yang efektif untuk pasien ini. CD30 diekspresikan pada 14-25% keganasan limfoid sel B dan 90% keganasan limfoid sel T. Ekspresi CD30 yang berlebihan berkontribusi terhadap limfomagenesis melalui mekanisme antiapoptosis, menghasilkan kelangsungan hidup sel. Penghambatan CD30 oleh brentuximab vedotin telah terbukti berkhasiat pada pasien limfoma yang mengekspresikan CD30, baik pada HL maupun NHL.25
Gambar 13; mekanisme terapi CD3025 c. Terapi Target Anti PD-1/PD-L1
Terapi PD-1/PD-L1 adalah salah satu contoh imunoterapi yang banyak digunakan untuk berbagai kanker. Terapi PD-1/PD-L1 tergolong dalam
36 immune-checkpoint blocker. Ada berbagai immune-checkpoint yang dapat menghambat respon imun, seperti PD-L1 dan CTLA-4. Molekul PD-L1 pada sel tumor kemudian berinteraksi dengan reseptor PD-1 pada sel T. Molekul PD- L1 memberi sinyal pada limfosit T untuk “berhenti bekerja” sehingga limfosit mengalami anergi atau bahkan apoptosis. Dengan menghasilkan PD-L1, sel tumor bisa menghindari serangan limfosit. Terapi anti-PD-1 mencegah interaksi ini dengan memblokir PD-1 atau PD-L1.25
Respon pasien terhadap imunoterapi ini biasanya tergantung pada tingkatekspresi PD-L1 pada jaringan tumor. Semakin tinggi ekspresi PD-L1, respon akan semakin baik. Maka, sebelum memberikan terapi ini, klinisi biasanya memeriksa tingkat ekspresi PD-L1 terlebih dahulu. Tingkat ekspresi PD-L1 dapat diperiksa dengan imunohistokimia PD-L1.25
Gambar 14; mekanisme terapi PD-1/PD-L125
37 PROGNOSIS
Respon yang diberikan oleh penderita LH terhadap terapi yang diberikan dapat dievaluasi melalui sebuah kriteria yang dikenal sebagai kriteria RECIST (Response Evaluation Criteria in Solid Tumors) yang terdiri atas:26
a. Respon lengkap, jika semua lesi target menghilang
b. Respon parsial, jika terjadi pengurangan ukuran sekurang- kurangnya 30% dari diameter total lesi target.
c. Penyakit progresif, jika terjadi penambahan ukuran sekurang- kurangnya 20% dari diameter total lesi target.
d. Penyakit stabil, jika tidak terjadi penurunan ataupun penambahan ukuran untuk memenuhi kriteria respon parsial ataupun penyakit progresif.
Tujuan utama dari terapi yang diberikan kepada penderita LH adalah untuk bisa mencapai respon lengkap. Jika respon lengkap tidak dapat dicapai, maka diharapkan dapat membantu memperpanjang kelangsungan hidup penderita dengan senantiasa memberikan terapi yang adekuat dan teratur. Prognosis dari LH ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya stadium penyakit, umur penderita, tipe penyakit secara histopatologik dan lainnya. Masa bebas penyakit LH setelah 5 tahun terapi yaitu 85% pada stadium I sampai II, 70% pada stadium IIIA dan 50% pada stadium IIIB dan IV.18,19,26
Pada setiap stadium membawa nilai prognostik terbatas untuk LH dan NHL. Model prognostik klinis yang menggabungkan karakteristik pasien dan penyakit telah dikembangkan untuk mendefinisikan kelompok risiko secara lebih akurat. Pada limfoma hodgkin, beberapa definisi penyakit stadium awal yang
"menguntungkan" dan "tidak menguntungkan" (yaitu, stadium I-II) telah dikembangkan oleh kelompok kooperatif dalam upaya untuk mengidentifikasi subset pasien yang intensitas pengobatannya dapat dikurangi dengan aman. Skor Prognostik Internasional (IPS) telah digunakan pada pasien dengan penyakit stadium lanjut (yaitu, stadium III-IV).27
International Prognostic Score (IPS) adalah indeks stratifikasi risiko yang paling banyak digunakan untuk limfoma Hodgkin (HL) dan memprediksi
38 kebebasan 5 tahun dari progresivitas dan kelangsungan hidup keseluruhan masing-masing mulai dari 42% hingga 84% dan 56% hingga 89%.27
Tabel 7 ; Skor Prognostik Internasional pada LH27 Faktor
Serum albumin <4 g/dL Hemoglobin <10.5 g/dL Laki laki
Stadium IV Umur ≥45 tahun leukosit ≥15,000/mm³
Limfosit <600/mm³ or <8% dari leukosit
PFS dan OS berdasarkan jumlah faktor skor prognostik Internasioanl Jumlah Faktor Progression-Free
Survival (%) 5 tahun
Overall Survival (%) 5 tahun
0 84, 89
1 77 90
2 67 81
3 60 78
4 51 61
>=5 42 56
RINGKASAN
1. Limfoma mediastinum primer merupakan limfoma yang berasal dari kelenjar limfoid mediastinal tanpa disertai limfoma extramediastinal.
Limfoma Hodgkin mediastinum dapat bersifat sekunder sebagai bagian dari penyakit sistemik ataupun bersifat primer.
2. Penelitian terbaru menjelaskan bahwa penyakit Limfoma Hodgkin disebabkan tidak hanya oleh kelainan genetik tetapi juga karena adanya invasi dari EBV (Epstein-Barr Virus) yang menyebabkan abnormalitas dari sel limfosit B.
3. Limfoma Hodgkin Mediastinum merupakan salah satu penyakit yang memiliki tanda dan gejala yang tidak spesifik. Pasien dapat asimptomatis pada saat diagnosis, ditemukan secara tidak sengaja
39 melalui pemeriksaan radiologi karena alasan lain. Gejala klinis dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan ukuran, dengan kompresi ekstrinsik pada saluran trakeobronkial, jantung, pembuluh darah besar, dan/atau paru-paru. Gejala dapat berupa batuk, sesak napas, nyeri dada, nyeri punggung dan nyeri kepala pada pasien dengan Sindrom vena kava superior (SVKS).
4. Pengambilan sampel melalui TTNA atau core biopsy lebih dipilih dilakukan dibandigkan dengan pembedahan. Biopsi kelenjar getah bening (KGB) dapat dilakukan jika terjadi metastasis ke KGB perifer dan untuk mendapatkan informasi tipe sel ganas dapat diperoleh dari eksisi KGB secara luas
5. Diagnosis Limfoma Hodgkin Mediastinum dapat ditegakkan hanya dengan pemeriksaan histopatologis dengan ditemukannya sel Reed- Stenberg yang merupakan sel ganas limfosit B. Penentuan stadium dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang berupa CT- scan yang dihubungkan dengan tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien.
6. Sekitar 85% dari penyakit dapat disembuhkan. Sebagian besar penyakit ditentukan secara klinis dan diobati dengan kemoterapi saja atau terapi modalitas gabungan. Mereka yang memiliki penyakit stadium II sering menerima dua atau empat siklus doxorubicin, bleomycin, vinblastine, dacarbazine (ABVD) dengan atau tanpa radiasi lapangan yang terlibat terapi. Mereka dengan penyakit stadium III atau IV menerima enam siklus kombinasi kemoterapi, biasanya ABVD.
7. Beberapa terapi baru untuk CHL telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Dua target utama adalah CD30 yang diekspresikan oleh sel HRS dan kematian sel terprogram protein 1 (PD-1).
40 DAFTAR PUSTAKA
1. Sung H, Ferlay J, Siegel RL, et al. Global Cancer Statistics 2020:
GLOBOCAN Estimates of Incidence and Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. CA Cancer J Clin. 2021;71(3):209-249.
doi:10.3322/caac.21660
2. Kusminsky G, Abriata G, Forman D, Sierra MS. Hodgkin lymphoma burden in Central and South America. Cancer Epidemiol. 2016;44:S158-S167.
doi:10.1016/j.canep.2016.07.016
3. Shanbhag S, Ambinder RF. Hodgkin lymphoma: A review and update on recent progress. CA Cancer J Clin. 2018;68(2):116-132.
doi:10.3322/caac.21438
4. Aggarwal R, Rao S, Dhawan S, Bhalla S, Kumar A, Chopra P. Primary mediastinal lymphomas, their morphological features and comparative evaluation. Lung India. 2017;34(1):19-24. doi:10.4103/0970-2113.197115 5. Piris MA, Medeiros LJ, Chang KC. Hodgkin lymphoma: a review of
pathological features and recent advances in pathogenesis. Pathology.
2020;52(1):154-165. doi:10.1016/j.pathol.2019.09.005
6. Singh R, Shaik S, Negi B, et al. Non-Hodgkin’s lymphoma: A review. J Family Med Prim Care. 2020;9(4):1834. doi:10.4103/jfmpc.jfmpc_1037_19 7. Kasper Hauser Longo Loscalzo ----fauci. PIARRISON’S 0 1 MANUAL OF
MEDICINE.
8. De Leval L, Jaffe ES. Lymphoma Classification A HISTORICAL PERSPECTIVE OF LYMPHOMA CLASSIFICATION.; 2020.
www.journalppo.com
9. Hazzard C, Kaufman A, Flores R. Mediastinal Tumors. In: IASLC Thoracic Oncology. Elsevier; 2018:550-554.e1. doi:10.1016/B978-0-323-52357- 8.00054-8
10. Carter BW, Tomiyama N, Bhora FY, et al. A modern definition of mediastinal compartments. Journal of Thoracic Oncology. 2014;9(9):S97-S101.
doi:10.1097/JTO.0000000000000292
11. Carter BW, Benveniste MF, Madan R, et al. ITMIG classification of mediastinal compartments and multidisciplinary approach to mediastinal masses. Radiographics. 2017;37(2):413-436. doi:10.1148/rg.2017160095 12. Carter BW, Marom EM, Detterbeck FC. Approaching the patient with an
anterior mediastinal mass: A guide for clinicians. Journal of Thoracic Oncology. 2014;9(9):S102-S109. doi:10.1097/JTO.0000000000000294
41 13. Pin˜a-Oviedo S, Moran CA. Primary Mediastinal Classical Hodgkin
Lymphoma.; 2016. http://www.anatomic
14. Aggarwal R, Rao S, Dhawan S, Bhalla S, Kumar A, Chopra P. Primary mediastinal lymphomas, their morphological features and comparative evaluation. Lung India. 2017;34(1):19-24. doi:10.4103/0970-2113.197115 15. Zhang ML, Sohani AR. Lymphomas of the Mediastinum and Their
Differential Diagnosis. Semin Diagn Pathol. 2020;37(4):156-165.
doi:10.1053/j.semdp.2020.04.005
16. PMB Definition Guideline for Hodgkin Lymphoma.
17. Ansell SM. Hodgkin lymphoma: 2018 update on diagnosis, risk- stratification, and management. Am J Hematol. 2018;93(5):704-715.
doi:10.1002/ajh.25071
18. Eichenauer DA, Aleman BMP, André M, et al. Hodgkin lymphoma: ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of Oncology. 2018;29:iv19-iv29. doi:10.1093/annonc/mdy080
19. Momotow J, Borchmann S, Eichenauer DA, Engert A, Sasse S. Hodgkin lymphoma—review on pathogenesis, diagnosis, current and future treatment approaches for adult patients. J Clin Med. 2021;10(5):1-17.
doi:10.3390/jcm10051125
20. McDade L. Classical Hodgkin’s Lymphoma: Pathogenesis and Future Treatment Directions. Res Medica. 2015;23(1):48.
doi:10.2218/resmedica.v23i1.1250
21. Satou A, Takahara T, Nakamura S. An Update on the Pathology and Molecular Features of Hodgkin Lymphoma. Cancers (Basel). 2022;14(11).
doi:10.3390/cancers14112647
22. Wang X, Wang W, Vega F, Quesada AE. Aggressive Mediastinal Lymphomas. Semin Diagn Pathol. 2024;41(3):125-139.
doi:10.1053/j.semdp.2021.06.010
23. Lymphoma H. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines ® ) NCCN.Org NCCN Guidelines for Patients ® Available at Www.Nccn.Org/Patients NCCN Recognizes the Importance of Clinical Trials and Encourages Participation When Applicable and Available. Trials Should Be Designed to Maximize Inclusiveness and Broad Representative Enrollment.; 2024. www.nccn.org/patients
24. Lymphoma H. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines ® ) NCCN.Org NCCN Guidelines for Patients ® Available at Www.Nccn.Org/Patients NCCN Recognizes the Importance of Clinical Trials and Encourages Participation When Applicable and Available. Trials
42 Should Be Designed to Maximize Inclusiveness and Broad Representative Enrollment.; 2024. www.nccn.org/patients
25. Wang Y, Nowakowski GS, Wang ML, Ansell SM. Advances in CD30- and PD-1-targeted therapies for classical Hodgkin lymphoma. J Hematol Oncol.
2018;11(1). doi:10.1186/s13045-018-0601-9
26. Eisenhauer EA, Therasse P, Bogaerts J, et al. New response evaluation criteria in solid tumours: Revised RECIST guideline (version 1.1). Eur J Cancer. 2009;45(2):228-247. doi:10.1016/j.ejca.2008.10.026
27. Moccia AA, Donaldson J, Chhanabhai M, et al. International prognostic score in advanced-stage Hodgkin’s lymphoma: Altered utility in the modern era. Journal of Clinical Oncology. 2012;30(27):3383-3388.
doi:10.1200/JCO.2011.41.0910