• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI “KEDURAI APEM” PADA MASYARAKAT ADAT LEBONG (KAJIAN SOSIO-FILOSOFIS MASYARAKAT ADAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TRADISI “KEDURAI APEM” PADA MASYARAKAT ADAT LEBONG (KAJIAN SOSIO-FILOSOFIS MASYARAKAT ADAT "

Copied!
114
0
0

Teks penuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, dengan segala usaha dan doa memohon ridho-Nya, saya berhasil menyelesaikan skripsi saya yang berjudul Tradisi “Kedurai Apem” Pada Masyarakat Adat Lebong (Kajian Sosial Filosofis Masyarakat Adat Suku Rejang, Bungin Village) dan karya ilmiah ini saya persembahkan. Skripsi yang berjudul “Tradisi Kedurai Apem Pada Masyarakat Adat Lebong (Kajian Sosial Filosofis Masyarakat Adat Suku Rejang Desa Bungin”. TRADISI “KEDURAI APEM” PADA MASYARAKAT ADAT LEBONG INDIGENOZOCIFOPHOS KOMUNITAS ADAT REJANG SUKU ADAT REJANG DI BUNGIN DESA)".

Perayaan Tradisi Kedurai Apem dilaksanakan satu hari saja, yaitu setiap bulan Oktober, pada saat masyarakat menanam padi. Yang unik dari Tradisi Kedurai Apem adalah bahan utamanya sendiri adalah kue monyet dan simbol-simbol lainnya. Dalam rangkaian prosesi tradisi Kedurai Apem bagi masyarakat umum Lebong mempunyai makna filosofis tersendiri yang berbeda dengan hal tersebut, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dengan judul “Tradisi “Kedurai Apem” dalam Masyarakat Adat. Masyarakat Lebong. Masyarakat (Kajian Sosial Filosofis Masyarakat Adat Suku Rejang Desa Bungin).

Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, penulis belum menemukan adanya spesifikasi yang membahas mengenai tradisi Kedurai Apem pada masyarakat adat Lebong (Kajian Sosial Filosofis Masyarakat Suku Rejang). Selain itu, fokus penelitian ini lebih menekankan pada aspek sosial dan makna filosofis dari tradisi Kedurai Apem yang dilakukan oleh masyarakat adat Lebong. Alasan dipilihnya lokasi ini karena Tradisi Kedurai Apem dilakukan di desa ini dan warganya masih memegang teguh tradisi tersebut.

Metode wawancara ini digunakan untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari informan penelitian awal mengenai bentuk-bentuk adat, nilai-nilai adat, dan makna filosofis dalam tradisi Kedurai Apem.

Tabel 1.1  Informan Penelitian
Tabel 1.1 Informan Penelitian

PENDAHULUAN

Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Kegunaan Penelitian

Tinjauan Pustaka

Metodologi Penelitian

Sistematika Pembahasan

KERANGKA BERPIKIR

Teori Agama – yang sakral dan yang Profan

Dalam karya-karya Emile Durkheim selanjutnya, fakta-fakta sosial non-materi menempati posisi yang lebih sentral. Dalam karya terakhirnya yang bertajuk Elementary Forms of Religious Life, ia memusatkan perhatian pada wujud hakiki dari fakta sosial yang bersifat immaterial, yakni agama. Ia percaya bahwa ia akan lebih mampu menelusuri akar agama dengan membandingkan masyarakat primitif yang sederhana dibandingkan dengan masyarakat modern yang kompleks.

Totemisme sendiri merupakan sistem keagamaan yang menganggap benda-benda tertentu, terutama hewan dan tumbuhan, dipandang suci dan menjadi simbol klan. Durkheim melihat totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan primitif, dan ia percaya bahwa totemisme berkaitan dengan bentuk organisasi sosial yang sama sederhananya, yaitu klan8. Pada akhirnya, Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama (atau lebih umum lagi, entitas kolektif) adalah satu dan sama.

Dalam hal ini, Durkheim memastikan bahwa fenomena sakral dan profan, yang biasanya dipisahkan dan dipandang terpisah satu sama lain, akan menjadi pertentangan, meski masih dalam ranah dikotomis. Durkheim juga percaya bahwa tidak ada agama yang salah, karena “fenomena nyata dan obyektif di balik simbol-simbol agama bukanlah Tuhan atau dewa-dewa, melainkan masyarakat” (Turner.

Dialektika Agama dan Budaya

DESKRIPSI WILAYAH

Masyarakat Adat Lebong

Asal usul tradisi Kedurai Apem terbagi menjadi 2 versi, yang keduanya saling berkaitan satu sama lain, sebagai berikut. Pasalnya Desa Semelako dulunya merupakan kota induk (pelbei) yang mengawali perayaan tradisi Kedurai Apem. Berdasarkan hasil informasi tersebut dapat dijelaskan bahwa pengaruh masyarakat masih rutin melakukan tradisi Kedurai Apem karena tradisi ini sudah ada secara turun temurun sejak zaman nenek moyang.

Maka dalam hal ini prosesi upacara Tradisi Kedurai Apem tidak mengalami perubahan yang berarti dari dulu hingga saat ini. Artinya: Tradisi Kedurai Apem sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dan tempat pelaksanaannya selalu di lokasi Pasir Lebar/Sabo. Artinya: Tradisi Kedurai Apem sudah berlangsung sangat lama pada zaman nenek moyang kita akibat tragedi hilangnya desa Trasmambang dan lokasi pelaksanaannya di Pasir Lebar/Sabo.

Dari hasil observasi dan wawancara dengan peneliti dapat digambarkan bahwa seiring dengan berkembangnya zaman, tradisi Kedurai Apem tidak pernah mengalami perubahan tempat pelaksanaannya yaitu tetap berlokasi di Pasir Lebar/Sabo yang terletak di Desa Bungin, Kecamatan Bingin Kuning, Kabupaten. Tradisi apem Kedurai ini dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa desa terkait yaitu Desa Semelako, Desa Bungin, Desa Karang Dapo Atas, Desa Karang Dapo Bawah. Semula tradisi ini tidak ditentukan kapan pelaksanaannya sehingga warga bingung kapan sebaiknya tradisi Kedurai Apem dilaksanakan.

Sehingga desa-desa yang ikut serta dalam melakukan tradisi Kedurai Apem sepakat bahwa tradisi Kedurai Apem akan diadakan setiap tahun pada bulan Oktober sebelum warganya menanam padi. Komponen pertama yang dimasak dalam tradisi Kedurai Apem dibuat dalam waktu kurang dari 2 jam. Berdasarkan observasi dalam wawancara, peneliti memperoleh beberapa simbol tradisi Kedurai Apem yang dilakukan oleh masyarakat desa sebagai berikut.

Dalam hal ini merekalah yang akan membawa apem tersebut ke tempat upacara Tradisi Kedurai Apem di Pasir Lebar/Sabo dan mengenakan pakaian adat suku Rejang. Tradisi Kedurai Apem dilakukan oleh beberapa desa yaitu; Desa Semelako, Desa Bungin, Desa Karang Dapo Atas, Desa Karang Dapo Bawah. Artinya: “Tradisi Kedurai Apem ini, jika kita tidak mensuplai kue apem ke daerah Pasir Lebar/Sabo, khususnya warga Semelako tidak berani keluar desa karena akan banyak musibah dan bencana.

Sebab Desa Semelako dulunya merupakan desa induk (pelbei) yang mengawali perayaan tradisi Kedurai Apem.” 20. Dalam proses pelaksanaan tradisi Kedurai Apem juga tidak mengandung unsur musyrik yang mengubah keyakinan masyarakat setempat.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Makna Sosio – Filosofis

Berdasarkan makna sosial budayanya, tradisi ini merupakan salah satu tradisi yang telah berlangsung secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang hingga saat ini. Tradisi ini juga telah menjadi bagian dari kehidupan dan aktivitas rutin warga berbagai desa, yaitu; Desa Semelako, Desa Bungin, Desa Karang Dapo Atas dan Desa Karang Dapo Bawah. Berikut makna filosofis dari simbol-simbol dalam prosesi Tradisi Kedurai Apem, berdasarkan pengamatan langsung dan hasil wawancara dengan tokoh adat dan warga setempat mengenai makna simbol-simbol dalam prosesi Tradisi Kedurai Apem, yaitu;

Bioa Pacua Ajai o Bioa ne coa tidak pernah lelah dan melakukan o keme makei saat melakukan Kedurai Apem kerno sebagai salah satu syarat ne kulo. Artinya : “Air mandi yang ajaib adalah airnya tidak pernah kering dan kita gunakan ketika ingin melakukan Kedurai Apem karena ini juga salah satu syaratnya. Sirih, sirih pinang, rokok yang ada dupanya, kalau tidak ada dupa bisa diganti dengan gula pasir, makanya kita pakai di awal acara dan ini juga cara kita berkomunikasi dengan arwah atau makhluk halus nenek moyang kita. .

Apem diartikan sebagai simbol permohonan ampun kepada sang pencipta sekaligus sebagai tanda agar penghuninya selalu menjaga silaturahmi dan memiliki rasa kebersamaan. Nilai silahturahm dan rasa kebersamaan juga tercermin ketika warga memasak apem dan kemudian memakannya bersama-sama antar warga. Pohon beringin diartikan sebagai tempat berlindung dan tanda tempat bertemunya arwah nenek moyang dengan keturunannya yang masih hidup, serta sebagai sarana pertemuan antar penghuninya.

Selain itu, pohon ini biasanya sering dijadikan tempat warga berlindung dari terik matahari dan hujan. Hal ini juga sejalan dengan catatan Ismail yang berlatar belakang Pasir Lebar dan pohon ini merupakan lokasi pelaksanaan tradisi kedurai apem berdasarkan amanah tujuh Rio (Rio Cende kepada keturunannya).19 Dalam sejarah Catatan, Pasir Lebar dulunya adalah sebuah desa bernama Desa Trasmambang yang hilang dan rata hingga membentuk gurun pasir karena merupakan desa yang berada di tepi Sungai Air Kotok. Mengenai air ini, warga juga mengatakan bahwa air ini tidak pernah kering meski di musim kemarau.

Sirih, sirih, rokok dan kemeyan/gula tumbuk dimaknai sebagai simbol tradisional masyarakat adat Lebong. Sirih, sirih pinang, rokok dan kemenyan/gula digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan ritual tradisi Kedurai Apem pada tradisi ini agar keinginan warga terkabul ketika penjaga kue membacakan mantera yang dilanjutkan dengan doa. meminta keamanan dan menolak mengambil kayu. Kuak Minyok dengan Belas kunik, dimaknai sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen dan kesehatan yang masih dirasakan hingga saat ini.

Analisis

PENUTUP

Saran

Kami berharap masyarakat Desa Bungin dan desa bersangkutan saling menjaga dan melestarikan budaya tradisi Kedurai Apem karena tradisi ini merupakan bentuk permohonan tandingan perwalian, rasa syukur atas hasil panen yang dihasilkan warga dan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen yang dihasilkan warga. forum persahabatan antar sesama warga. Kami berharap kepada pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan masyarakat untuk terus melestarikan warisan budaya ini dan terus memberikan pemahaman yang jelas agar tradisi Kedurai Apem tidak menyimpang dari keyakinan Islam. Kepada lembaga pendidikan baik formal maupun informal agar selalu melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang mengamalkan tradisi Kedurai Apem, agar tidak menyimpang dari nilai-nilai agama Islam.

Deskripsi Upacara Adat Kendurai Apem Pasir Lebar Semelako-Bungin Tahun 2010 Kecamatan Lebong Tengah Kabupaten Lebong. Pengamat Kabupaten Lebong, Kecamatan Bingin Kuning, Desa Bungin, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) 2017-2017 Hamizi, warga Desa Bungin, Wawancara di Desa Bungin, Kecamatan Bingin Kuning, Kabupaten Lebong, Jumat, 18 September 2020.

Ihwansyah, Tokoh Adat (Kutai) Semelako II, Wawancara di Desa Semelako II, Kecamatan Lebong Tengah, Kabupaten Lebong, Jumat, 18 September 2020. Isa, Warga Desa Semelako II, Wawancara di Desa Semelako II, Kecamatan Lebong Tengah, Jumat, September 18, 2020. Nurbaya, Tokoh Masyarakat Desa Semelako 2, Wawancara di Desa Semelako 2 Kecamatan Lebong Tengah Kabupaten Lebong, Jumat 18 September 2020.

Yuswan Edi, hoof van Bungin Village, onderhoud in Bungin Village, Bingin Kuning-distrik, Lebong Regency, Vrydag, 18 September 2020. Https://Www.Gobengkulu.Com/2018/10/Kearifan-Lokal-Lebong-Yang-Masih- Melek -Kedurai -Apem/, Toegang op 7 Februarie 2020. Onderhoud met mnr. Yuswan Edi as die hoof van Bungin Village en mnr. Hamizi, 'n inwoner, Bingin Kuning Distrik, Lebong Regency.

Gambar

Tabel 1.1  Informan Penelitian
Tabel 3.4  Petani

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dengan melakukan tradisi ini telah memberikan suatu kehormatan bagi si pembeli yakni sebagai orang tua angkat dan juga.. kehormatan sebagai

Sebelum tradisi sinoman sebagai sistem pertukaran sosial dalam pelaksanaan pesta pernikahan adat jawa di desa pasir jaya kecamatan rambah hilir kabupaten rokan hulu,

Sebagai salah satu tradisi lisan masyarakat Batak Toba yang sangat penting untuk dikaji dan dilestarikan, andung (nyanyian ratapan) juga termasuk dalam sastra masyarakat Batak

Dalam dunia ini, setiap aspek kehidupan manusia bisa dijadikan sebagai sarana belajar dan sumber untuk mendapatkan ilmu. Demikian juga dengan tradisi yang ada dalam suatu

Hal ini tentu dianggap sebagai suatu perilaku yang bersifat khas karena pelaksanaan tradisi slametan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya juga

1. Skripsi yang ditulis oleh Teti Ponitawati, Tahun 2011, dengan judul “ Perkawinan adat Sunda Tinjauan Estetika ” yang ditulis sebagai tugas akhir pada program

pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun 2016, bulan Oktober. ini juga dimana bulan ketika warga masyarakat Desa Traji yang

Gelas yang berisikan nasi putih atau kuning dalam tradisi nasi hadap- hadapan pada upacara adat Perkawinan Melayu Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara