• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Keilmuan dalam Bidang Al-Qur'an

N/A
N/A
Muhamad Farel Ashrofi

Academic year: 2024

Membagikan "Tradisi Keilmuan dalam Bidang Al-Qur'an"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH FILSAFAT

TRADISI KEILMUAN (BIDANG AL-QUR’AN)

Dosen Pengampu:

Abdul Muhit, M.Pd

Disusun oleh:

Muhamad Farel Ashrofi (201310081) Muhammad Fadhilah Sidiq (201310080)

Oktariansyah (201310079)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA 2021 M/ 1443 H

(2)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat dan hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Tradisi Keilmuan (Bidang Al-Qur’an) ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada bidang studi/mata kuliah Filsafat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang topik makalah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kemudian kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengempu Ustadz Abdul Muhit, M.Pd. yang telah memberikan bimbingan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Tentu saya menyadari bahwasannya makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari teman-teman semua akan sangat saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini, dan semoga kita bisa menjadi lebih baik lagi.

Jakarta, 13 Oktober 2021

Kelompok 7

(3)

PEMBAHASAN

Tradisi Keilmuan (Bidang Al-Qur’an)

Tradisi adalah sesuatu hal yang diwarisi turun temurun dari pendahulu kita (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1991: 211). Tradisi sifatnya selalu stagnandan kurang berkembang, ini dikarenakan semua adalah warisan leluhur. Tradisi ini bentuknya pastilah bermacam-macam, salah satunya adalah keilmuan, atau tradisi keilmuan. Tradisi keilmuan bisa kita pahami sebagai pemahaman ilmu pengetahuan secara turun menurun dari para pendahulu yang senantiasa diikuti terus menerus. Ilmu yang ada yang diwariskan dalam masyarakat Islam juga bermacam ragam, akan tetapi ilmu tersebut secara garis besarnya dapat kita klasifikasikan berdasarkan sifatnya ada dua macam, yaitu:

1. Ilmu yang terpuji. Ilmu yang terpuji ada dua macam pula, yaitu fardlu ‘ain dan fardlu kifayah (Ahmad Satori dan Ismail, 2003: 46). Ilmu yang fardlu ‘ain adalah mengetahui aqidah yang benar, mengetahui apa-apa yang harus diimani, mengetahui kewajiban-kewajiban dan ibadah yang harus dilaksanakan dan mengetahui hal-hal yang harus ditinggalkan. Ilmu yang fardlu kifayah adalah ilmu yang berkaitan dengan maslahat dunia, seperti ilmu hitung, astronomi, kimia, bahasa, industri, pertanian, dan sebagainya.

2. Ilmu yang tercela. Ilmu yang tercela adalah ilmu yang membahayakan, seperti ilmu sihir, perdukunan, meramal,bahkan Islam menganggap sebagai dosa besar yang harus dijauhi (Ahmad Satori dan Ismail, 2003: 46).

Islam sebagai agama, di dalamnya mengandung doktrin Islam, di mana doktrin Islam mengandung ajaran yang bersifat normatif seperti aspek dan aspek ibadah serta aspek akhlak. Dari aspek ibadah, agama Islam mengandung beban kewajiban (taklif) kepada penganutnya untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam bentuk ibadah, baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah. Bila dianalisis dari perspektif fiqh (hukum Islam), taklif menunjukkan suatu kewajiban normatif-syar`iyyah yang dalam tataran implementasi tidak terlepas dari pemikiran dan kultur-budaya yang dianut oleh masyarakat muslim setempat, baik bersifat individual (fardhu `ain) ataupun kolektif (fardhu kifa`i).

Dengan kata lain, tataran nilai-nilai syar`iyah yang bersifat konseptual-absolut dalam tataran realitas-implementatif menghasilkan suatu produk hukum yang dinamakan fiqh. Bahkan, fiqh yang lebih diorientasikan pada tataran kultur-budaya untuk

(4)

diimplementasikan dan dianut nilai-nilianya menghasilkan suatu aturan hukum yang dinamakan dengan qanun.

Dengan paparan singkat di atas tentang fiqh dan qanun merupakan wilayah kajian dan penelitian hukum Islam (fiqh Islam) yang sangat bersentuhan dengan kehidupan masyarakat, terutama berkaitan dengan nilai praktikal ibadah dan mua`malah sehingga membutuhkan suatu aturan sosial sebagai kontrol hukum dan kontrol perilaku masyarakat, yang dinamakan dengan pranata sosial yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Namun, Islam juga mengembangkan tradisi keilmuannya, sejak masa Rasul Muhammad Saw. Pada masa itu, ketika Rasul menerima wahyu, terus beliau mengajarkannya kepada para sahabat.

Bahkan budaya menulis dan menyimak juga diperkenankan pada masa Rasul hingga masa sesudahnya.

Jadi, Islam dalam konteks tradisi keilmuan Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan terus dikembangkan oleh masyarakat Islam sesuai dengan kondisi daerah, wilayah, negara, dan kultur-budaya masyarakatnya yang tetntunya tidak boleh menyimpang dari sumbernya yakni Al-Qur`an dan Hadist. Membudayakan tradisi keilmuan tradisi islam terus berkembang dan mengalami kemajuan di dunia pendidikan, baik pendidikan Islam yang dikembangkan di perguruan tinggi umum maupun di perguruan tinggi agama Islam.

Dunia islam telah membentuk tradisi keilmuan jauh sebelum dunia Eropa masuk ke dalam tradisi keilmuan modern (Jalaluddin, 2014: 260). Tradisi keilmuan ini terkait langsung dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu al- Qur’an dan hadis. Al-Quran sebagai paradigma keilmuan merupakan dasar dan pijakan dalam tradisi keilmuan. Oleh karena itulah, diperlukan pemahaman terhadap al-Quran baik berupa pemahaman arti dan juga makna ataupun hikmah yang ada di dalmnya. Dan untuk memahami maknanya, maka kita harus memperbaiki pola pembelajaran al-Quran yang sekarang hanya tertuju pada tajwid dan tilawah Quran. Sehingga dalam membaca dan mempelajari al-Quran, kita harus membaca dan mempelajari artinya juga. Dengan membaca artinya, maka lambat laun kita akan bisa memahami maknanya. Al-Quran mempunyai hijab, dimana hijab itu akan menjadi dinding bagi kaum kafir, namun bagi umat Islam, hijab itu juga akan tetap ada, jika kita tidak mempelajari dan memahami arti dan maksud dari al-Quran.

(5)

Untuk bisa menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma keilmuan Islam, maka perlu dilakukan hal-hal berikut: Al-Quran menghimbau manusia agar meneliti tanda-tanda kekuasaan Allah Swt yang telah menciptakan sekalian makhluknya dengan penuh kesempurnaan. Hal ini memberi indikasi, bahwa penggunaan aqlyang sebenarnya adalah untuk meyakini, mengakui dan mempercayai eksistensi Allah Swt (Abdullah, 2005: 114).

Tujuan pokok Al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia terkair berbagai relasinya dengan Tuhan dan alam semesta. Menurut Abdul Halim Mahmoud yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim terhadap Al-Qur’an adalah, mentadabbur atau memahami maknanya, mengambil pelajaran darinya, dan menjaga ketenangan dan ketentraman atasnya (Halim, 1997: 84). Dengan memahami Al-Qur’an, maka kita bisa mengerti dan paham akan hikmah yang terkandung didalamnya. Selain itu yang mampu memahami Al-Qur’an bukanlah otak sebagai alat berfikir, melainkan hati, sebagaimana firman Allah. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46).

Al-Qur’an dapat Membersihkan pikiran, hati dan jiwa dalam membangun kalbu.

Al-Qur’an al Karim adalah kitab suci yang tidak dapat dikuasai oleh orang yang biasa, kecuali oleh orang yang hati dan akal pikiranya bersih. Tidak mungkin membangun dasar pendidikan sebelum kita terlebih dahulu mendefiniskan pandangan kita tentang dunia, apakah kita hanya hidup di dunia saja atau di akhirat saja? Atau hidup di dalamkeduanya?

(Al-Ghazali, 2002: 109). Akal pikiran yang lurus adalah satu-satunya alat dalam memahami wahyu Ilahi dan alam semesta secara berimbang. Karenanya, selama saya berada di bawah akal sehat, maka saya akan bersandar pada agama, berpegang pada fitrah, dan jauh dari penyimpangan (Al-Ghazali, 2002: 13). Al-Qur’an Al-Karim menegaskan bahwa pembersihan jiwa manusia adalah tujuan dari beragam kewajiban keagamaan, dan penyucian yang dituntut adalah pendidikan yang benar, yaitu menyucikan unsur-unsur manusiadari kejelekan dan menjadikan instingnya di bawah naungan akal yang beriman sehingga tidak melenceng dan tergores (Bakar, 1997: 103). 3). Menyadari bahwa Al- Qur’an adalah sumber ilmu.

Al-Quran sangat mengagungkan kedudukan ilmu dengan pengagungan yang tidak pernah ditemukan bandinganya dalam kitab- kitab suci yang lain. Al-Qur’an juga mengajak untuk memikirkan keajaiban penciptaan tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, sistem perkembanganya dan keadaan-keadaan lingkunganya.Al-Qur’an untuk memikirkan penciptaan manusia sendiri dan rahasia-rahasia yang terdapat di dalam dirinya. Bahkan ia

(6)

pun mengajak untuk memikirkan jiwa dan rahasia-rahasia batinya serta hubunganya dengan alam malakut. Ia juga mengajak untuk melakukan perjalanan ke seluruh pelosok dunia sambil memikirkan peninggalan-peninggalan orang-orang dahulu kala, menyelidiki dan meneliti keadaan bangsa-bangsa, kelompok-kelompok manusia, serta kisah-kisah, sjarah-sejarah dan peajaran-pelajaran mereka (Thaba-thaba’I, 2000: 23-24).Al-Quran menyeru untuk mempelajari ilmu-ilmu ini sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran dan realitas, dan cermin untuk mengetahui alam, yang di dalamnya pengetahuan tentang Allah mempunyai kedudukan yang paling utama. Adapun ilmu yang membuat manusia lupa akan kebenaran dan realitas itu, menurut al-Quran itu sama dengan kebodohan (Thaba-thaba’I, 2000: 23-24).

Menggunakan metodologi Al-Qur’an sebagai sarana bepikir ilmiah. Menuntut imu pengetahuan dalam Islam bertujuan untuk mencapai dua kebaikan; dunia dan kahirat. al- Quran telah mengarahkan kita untuk mengkaji semua kebaikan yang Allah SWT titipkan di muka bumi. Dan al-Quran memberitakan kepada kita bahwa Allah SWT menciptakan bumi ini, semunaya untuk kepentingan kita. Sebagaimana juga al-Quran mengajak kita untuk merenungi kerajaan langit dan bumi dan apa saja yang Allah ciptakan, juga mendorong kita untuk mengkaji kekuatan jiwa untuk mengambil manfaat dalam membersihkan jiwa dan mendorongnya untuk berusaha keras agar terjadi hubungan yang kontinyu dengan penciptaan bumi dan langit(Baiquni, 1995 : 278). Dari sini, tujuan terbesar ilmu pengetahuan dalam Islam ialah komunikasi dengan Allah SWT, karena Dia merupakan zat yang Maha Tinggi untuk kebenaran, kebaikan dan keindahan. Ini merupakan kesatuan gejala alam yang nampak(Bakar, 1997: 300). Karena menurut Jalauddin, tujuan terakhir dari pendidikan muslim terletak dalam ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia(Jalaluddin, 2011: 129).Karena itulah, untuk membentuk ketundukan ini, harus dimulai dari pencarian hakikat kebenaran itu, yaitu al-Haq, yang Maha benar.

Ilmu yang harus dipelajari oleh umat Islam adalah segala ilmu yang bermanfaat, untuk kemaslahatan, jadi tidak hanya ilmu akhirat saja akan tetapi ilmu dunia juga mesti dipelajari agar seimbang, tercipta masyarakat keilmuan yang kondusif. Dengan seimbangnya ilmu dunia dan akhirat tentunya keinginan mewujudkan masyarakat‚

Baldatun Toyyibatun wa Rabbun Gofur yang dicita-citakan akan dapat diraih. Oleh sebab itu, pentingnya memperbaiki tradisi keilmuan di kalangan umat Islam agar dapat meraih kejayaan Islam kembali. Tentunya dengan meningkatkan peranan nilai-nilai keIslaman

(7)

dalam pengetahuan iptek baik dari segi ontologi, epistemologi danaksiologi. Juga upaya meningkatkan peranan potensi umat, baik dalam penguasaan iptek maupun dalam penggunaannya, sehingga umat mampu memegang peranan dalam meningkatkan taraf hidupnya sendiri dan umat manusia di dunia atas dasar ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu diperlukan penyeimbangan antara ilmu dunia dan akhirat, harus berdampingan. Karena apabila ilmu duniawi tidak didampingi ilmu akhirat maka akan menjadi liar dan bahkan mugkin tidak berguna.

Untuk memperbaiki tradisi keilmuan maka perlu juga menghindari atau meminimalisir segala bentuk pembahasan dan perdebatan yang tidak perlu, yang tidak berguna dalam hal studi Islam, karena perbedaan dan segala bentuknya adalah rahmat Allah, dan semuanya menampilkan keindahan Islam. Umat Islam sendiri perlu mengadakan perubahan sikap mental, dengan menghapuskan dikotomi. Dengan begitu terbuka kemungkinan umat Islam akan kembali memainkan peranan yang berarti di seluruh bidang atau cabang ilmu pengetahuan seperti sediakala, dan kebangkitan Islam akan jadi kenyataan. Mempelajari ilmu syari’atadalah fardhu ‘ain, sedangkan ilmu-ilmu yang lain seperti sains, ekonomi dan sebagainya yang berguna untuk kemaslahatan umat adalah fardhu kifayah.

Al-Qur'an mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw. Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan ghaibnya.

Ketiga isyarat-isyarat ilmiahnya (M. Quraish Shihab, 1992: 27-32). Sebagai Kitab Suci, Al-Qur'an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ajaran-ajarannya begitu luas, serta ditujukan kepada umat manusia didalam kehidupan yang bagaimana juga, termasuk yang masih primitif, maupun yang telah berperadaban dan berkebudayaan yang tinggi.

Selain itu juga pertapa, yang tidak begitu mengindahkan harta, maupun usahawan, orang kaya maupun yang miskin, yang pandai maupun yang bodoh. Pokoknya untuk seluruh golongan masyarakat, serta meliputi segala lapangan kegiatan masyarakat (Masyarakat Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971:76)I. Tiada bacaan semacam Al-Qur’an yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak (M.Quraish Shihab,1996:3).

(8)

Bagi umat Islam, Al-Qur'an merupakan tolak-ukur tertinggi dalam menetapkan benar-salah atau buruk baiknya suatu (pendirian,pandangan, akidah, sikap, perbuatan, emosi, peraturan hukum, kebijaksanaan, tradisi dan sebagainya). Mereka boleh menerima dan mengembangkannya sedemikian rupa, sehingga sesuai dan sejalan dengan ajaran Al- Qur'an, atau minimal tidak bertentangan dengannya (Ensiklopedi Islam Indonesia: 796).

Cukup beralasan bila Al-Qur'an menjadi tumpuan utama bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi keilmuan Islam.

Menurut Hasan Langgulung, ilmu yang mula-mula menjadi tumpuan pembahasan pada hari-hari pertama Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah, diikuti oleh ilmu tafsir, qiraat, fiqh, qadha (kehakiman), faraidh, dan ilmu Hadits. Pada zaman Khulafa' al-Rasyidin ilmu- ilmu tersebut tersebar ke seluruh pelosok Dunia Islam pada waktu itu. Di antara kota-kota ilmiah yang terpenting ketika itu adalah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Damsyik, dan Fustat di Mesir (Hasan Langgulung, 1988: 6).

Ilmu tafsir berkembang dari masa ke masa, menyertai perkembangan Islam itu sendiri. Dr.Muhammad Husein Adz-Dzahabi membagi periodisasi penafsiran Al-Qur'an dalam tiga fase. Pada fase pertama berlangsung pada masa Rasulullah Saw. dan para Sahabat (Muhammad Husein adz-Dzahabi, 2009:xii). Secara Rasulullah dapat memahami Al-Qur'an baik secara global maupun secara rinci, karena Allah Swt. menjaminnya dengan hafalan dan penjelasan (Muhammad Husein adz-Dzahabi: 24).

Pada fase pertama ini mencakup: pemahaman Nabi dan para Sahabat tentang Al- Qur’an, para ahli tafsir dari kalangan Sahabat, kedudukan Rasulullah Saw, dan sumber ketiga melalui ijtihad dan pemahaman dengan menggunakan pengetahuan tentang rahasia bahasa Arab, tradisi bangsa Arab, keadaan orang Yahudi dan Nasrani saat Al-Qur'an turun, serta kekuatan pemahaman dan daya nalar (Muhammad Husein adz-Dzahabi: 27-52).

Adapun ahli tafsir yang paling terkenal dalam masa ini adalah Khalifah yang empat (Abu Bakr al-Shiddiq,Umar ibn Khaththab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib), Ibn Mas'ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Abdullah ibn Zuber. Selain itu ada pula yang menyebut nama-nama seperti Anas ibn Malik, Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Abdullah ibn Amir ibn Ash, dan Aisyah radhiyallahu'anhum. Namun yang tafsirnya dinukilkan dari mereka yang sampai ke kita sangat sedikit. Di antara Khalifah yang empat, Ali ibn Abi Thalib adalah Khalifah yang paling banyak riwayatnya tentang tafsir (Muhammad Husein adz-Zahabi:57).

(9)

Fase kedua adalah tafsir periode Tabi'in. Dalam periode ini berdiri madrasah tafsir di tiga tempat, yakni di Mekkah, Madinah dan Irak. Para ahli tafsir kalangan Tabi'in pedoman yang digunakan adalah Al-Qur'an, Sunnah yang diriwayatkan para Sahabat, tafsir Sahabat, serta ijtihad (Muhammad Husein adz-Dzahabi: 93). Para tokoh ahli tafsir di Mekkah yang dikenal semasa ini adalah Sa'id ibn Juber, Mujahid, Ikrimah, Thawus ibn Kisan dan Atho ibn Rabah. Sedangkan di Madinah adalah tiga tokoh ahli tafsir yang dikenal, yakni Zaid ibn Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazhi (Muhammad adz-Dzahabi: 94-108).

Madrasah tafsir di Mekkah didirikan oleh Ibn Abbas, di Madinah didirikan oleh Ubay ibn Ka'ab, sedangkan madrasah di Irak didirikan oleh Abdullah ibn Mas'ud (Muhammad Husein adz-Dzahabi: 95-111). Para tokoh ahli tafsir di negeri Irak ini adalah Alqamah Qais, Masruq, Al-Aswad ibn Yazid, Murrah al-Hamadani, Amir asy-Sya'bi, Hasan Basri, dan Qatadah ibn Da'amah al-Sadusi (Muhammad Husein adz-Dzahabi: 111- 112) Madrasah tafsir di Irak ini merupakan institusi kajian tafsir yang pertama di luar Jazirah Arab. Berdirinya madrasah ini sejalan dengan perkembangan dan peluasan wilayah kekuasaan Islam semasa periode Tabi'in.

Kemudian di fase ketiga berlangsung kodifikasi tafsir. Fase ini berawal dari masa Bani Abbas, hingga sekarang yang mencakup Tafsir bial-Ma'tsur, Tafsir bi al-Ra'yi,Tafsir Sufi, Tafsir Filsuf, Tafsir Fuqaha', Tafsir melalui ilmu modern. Tafsir kontemporer ini terbatas pada Tafsir bercorak keilmuan, Tafsir bercorak kemadzhaban, Tafsir bercorak kekufuran, dan Tafsir bercorak adab sosial (Muhammad Husein adz-Dzahabi: xii-xiii).

Pada periode ini Tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, dan terpisah dari Hadits. Sebagai disiplin ilmu yang otonom, maka di masa ini dilakukan kodifikasi Tafsir. Proses kodifikasi ini berlangsung di penghujung masa Bani Umayyah dan awal Bani Abbas (Muhammad adz-Dzahabi:135).

Para ahli Tafsir dituntut untuk memiliki sejumlah disiplin ilmu. Adapun disiplin ilmu dimaksud adalah: 1)Ilmu Lughah (bahasa); 2) ilmu Nahu (tata bahasa); 3) Ilmu Sharaf (perubahan kata); 4) Ilmu Isytiqaq (pecahan kata); 5) Ilmu Balaghah; 6) Ilmu Ma'ani, pengenalan struktur kalimat berdasarkan makna; 7) Badi', pengenalan segi keindahan ucapan kata; 8) Ilmu Bayan, pengenalan struktur kalimat berdasarkan jelas dan samarnya maksud yang dikandung; 8) Ilmu Qira;at (bacaan); 9) Ushuluddin (ilmu kalam); 10) Ilmu Ushul Fiqh; 11) Ilmu Azbab al-Nuzul (latar belakang turunnya ayat); 12) Ilmu al-Qisas;

(10)

13) Ilmu Nasikh Mansukh; 14) Ilmu Hadits; dan 15) Ilmu Mauhibah (Muhammad Husein adz-Dzahabi:250-251).

Sebagai sumber utama ajaran Islam, Al-Qur'an juga merupakan rujukan dalam pengembangan nilai-nilai peradaban sejalan dengan misi kerasulan Muhammad Saw., yaitu “rahmat li al-'Alamin.” Dengan demikian, dalam tradisi keilmuan peradaban Islam, kajian bidang Al-Qur'an menempati urutan pertama dan utama. Selain jadi bidang kajian khusus, Al-Qur'an juga dijadikan paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peradaban Islam.

Berbagai keistimewaan dijumpai dalam kajian bidang Al-Qur'an ini. Dalam kedudukannya sebagai mukjizat, otentisitas Al-Qur'an memperoleh jaminan langsung dari Allah Swt: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS.15:9). Kami, yakni Allah, dengan menugaskan Malaikat Jibril, yang menurunkan Al-Qur'an dan Kami juga bersama-sama kaum Muslimin benar-benar akan terus-menerus menjadi pemelihara-pemelihara otentisitas dan kekekalannya. (M.Quraish Shihab,2012:110).

Dalam rangkaian penjelasan ini terlukis secara jelas dan utuh akan keabadian dalam bidang kajian Al-Qur'an ini. Bacaan yang terdiri atas 77.439 kosa kata, dengan jumlah 323.015 huruf (M.Quraish Shihab,1996:4), ternyata mampu dihafal secara cermat oleh para hafiz sepanjang zaman. Al-Qur'an berbahasa Arab ini ternyata mampu dijpelihara oleh para hafiz yang ibunya bahasa Arab, maupun oleh para hafiz yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Sebagai sumber utama ajaran Islam, Al-Qur'an juga menjadi rujukan dari segala bentuk dan jenis ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi basis dari perkembangan peradaban Islam.

(11)

PENUTUP

Kesimpulan

Tradisi keilmuan ialah pemahaman ilmu pengetahuan secara turun menurun dari para pendahulu yang senantiasa diikuti terus-menerus. Ilmu yang ada yang diwariskan dalam masyarakat Islam juga bermacam ragam, akan tetapi ilmu tersebut secara garis besar ada dua macam yaitu Ilmu yang terpuji dan Ilmu yang tercela.

Al-Qur'an mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw. Kedua adalah pemberitaan- pemberitaan ghaibnya. Ketiga isyarat-isyarat ilmiahnya.

Al-Qur'an merupakan tolak-ukur tertinggi dalam menetapkan benar-salah atau buruk baiknya suatu (pendirian,pandangan, akidah, sikap, perbuatan, emosi, peraturan hukum, kebijaksanaan, tradisi dan sebagainya).

Adapun ilmu yang mula-mula menjadi tumpuan pembahasan pada hari-hari pertama Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah, diikuti oleh ilmu tafsir, qiraat, fiqh, qadha (kehakiman), faraidh, dan ilmu Hadits.

Referensi

Dokumen terkait

Metode maudhu‟i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al- Qur‟an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-

Dari definisi al-Qur‟an yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa al-Qur‟an itu adalah merupakan salah satu mukjizat di antara mukjizat-mukjizat yang diberikan

Untuk menjaga keaslian cara baca Al-Qur‟an Allah mengutus malaikat Jibril untuk mengajarkan secara talaqqi musyafahah (bertatap muka langsung) cara membaca Al-Qur‟an yang

\ Dalam menafsirkan Al-Qur‟an dan memahaminya dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya diperlukan ilmu-ilmu Al- Qur‟an karena dengan ilmu-ilmu Al-Qur‟an

Sementara itu, menurut Nashruddin Baidan (2011: 67) ilmu tafsir membahas teori-teori yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an, jadi penafsiran Al-Qur`an

a) Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Qur`an adalah sesuatu yang terkandung dalam al- Qur`an itu sendiri yaitu susunan prosanya yang asing dan

Penelitian ini berjudul “ Makna Khalīfah Dalam Al-Qur`an: Tinjauan Semantik Al- Qur`an Toshihiko Izutsu” , ini merupakan sebuah kajian yang meneliti pemaknaan kata

1) Menjadikan petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial. Al-Qur‟an merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang