TUGAS BMR
SEJARAH MELAYU RIAU
DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD YAZID ILMANY KELAS:VIII.9
SMP NEGERI 8 PEKANBARU T.A 2023/2024
KERAJAAN MELAYU PRA ISLAM
1. Kerajaan Kandis
Sejarah Berdirinya
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Kendis adalah keturunan Alexander Agung dari Makedonia. Konon, salah satu keturunan Alexander Agung yang bernama Maharaja Diraja pergi mengembara hingga sampai ke Pulau Emas atau Pulau Sumatera. Begitu sampai di Sumatera, Maharaja Diraja membangun istana di Bukit Bakau, yang kemudian dinamain Istan Dhamna. Keberadaan istana ini juga menandai bahwa Maharaja Diraja mendirikan sebuah kekuatan politik berbentuk kerajaan. Maharaja Diraja memiliki putra bernama Darmaswara, dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal. Datuk Rajo Tunggal kemudian menikah dengan wanita yang bernama Bunda Pertiwi dan meneruskan kepemimpinan Kerajaan Kandis setelah ayahnya meninggal.
Masa kejayaan dan kehidupan ekonomi
Pada masa pemerintahan Datuk Rajo Tunggal, Kerajaan Kandis mencukupi kebutuhan
ekonominya dari hasil hutan dan hasil buminya yang melimpah. Hasil hutannya berupa damar, rotan, dan sarang burung layang-layang. Sedangkan hasil buminya seperti emas dan perak.
Rajo Tunggal pun memerintahkan untuk membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri
Perdagangan Bandaro Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Demikianlah hubungan perdagangan dengan Malaka terjalin sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya di bawah kekuasaan Datuk Rajo Tunggal yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan Malaka, Bandaro Hitam menikah dengan salah satu warganya dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.
Runtuhnya Kerajaan Kandis
Ketika Kerajaan Kandis mencapai puncak kejayaan, bawahan raja saling menyebar fitnah karena ingin berkuasa. Pada akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan. Orang-orang yang merasa mampudan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain.
Kemudian berdirilah kerajaan-kerajaan baru, seperti Kancil Putih dan Koto Alang. Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru ini, mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan hingga berujung pada peperangan. Peristiwa itulah yang menandai bahwa Kerajaan Kandir telah terpecah dan akhirnya runtuh.
2. Kerajaan Koto Alang
Sejarah Kerajaan Koto Alang
Menurut Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, Kerajaan Koto Alang didirikan sekitar abad ke-2 Masehi di atas reruntuhan Kerajaan Kandis. Ketika Kerajaan Kandis
mencapai puncak kejayaan, bawahan raja saling menyebar fitnah karena ingin berkuasa.
Dalam perkembangannya, banyak orang-orang berpengaruh yang mendirikan kerajaan, salah satunya adalah Kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau sekarang). Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru ini, mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan hingga berujung pada peperangan. Kerajaan Koto Alang sempat memerangi Kerajaan Kancil Putih, sebelum akhirnya ditaklukkan oleh Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning, yang menolak untuk diperintah oleh
Kandis, memilih untuk pindah ke daerah Jambi. Sedangkan patih dan tumenggung yang mendampinginya memerintah pindah ke Merapi.
Perdebatan terkait kerajaan tertua Berdasarkan sejumlah literatur dan buku sejarah, Kerajaan Kutai dikatakan sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Namun, jauh sebelum Kerajaan Kutai berdiri, di Riau diperkirakan telah berdiri beberapa kerajaan, salah satunya adalah Kerajaan Koto Alang. Akan tetapi, keadaan pemerintahan Koto Alang saat itu masih dipertanyakan, apakah memenuhi syarat sebagai kerajaan atau belum. Sebab, kondisi Koto Alang sebagai sebuah sistem yang disebut sebagai kerajaan belum dapat dipertanggung jawabkan secara pasti. Hal yang sama juga terkait dengan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Melayu dan sekitarnya, seperti Kerajaan Kandis dan Kerajaan Kancil Putih. Seperti diketahui, sejarah Kerajaan Koto Alang masih sangat misterius karena terbatasnya sumber sejarah ataupun
penelitian ilmiah.
3. Kerajaan Katangka
Kerajaan bernama Katangka, berada di dekat muara Takus kabupaten Kampar. Sebutan Katangka dapat bermakna sebagai bangunan yang berbentuk stupa, dapat juga bermakna tempat suci.Pemaknaan kata disebut juga mengacu pada makna liku, ukiran dan tanda.
Kemudian makna selanjutnya adalah tempat tinggi sebagai tempat pengintaian. Hal ini sejalan dengan keberadaan Katangka di suatu tempat yang tinggi dibandingkan dengan sekitarnya.
4. Kerajaan Kuantan
Kerajaan Kuantan pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Kandis itu sendiri.pada masa Kerajaan Kuantan, ibu kota di pindahkan dari Padang Candi ke Sintuo, yaitu suatu tempat diseberang kota Teluk Kuantan sekarang.Tidak dapat pula diketahui secara pasti kapan
berdirinya kerajaan Kuantan.
Suatu ketika Kuantan tidak memiliki raja. Maka kebetulan pada waktu itu dating rombongan raja dari bintan bernama Sang Sapurba. Kedatangan Sang Sapurba sangat dielu-elukan oleh rakyat Kuantan. Sang Sapurba kemudian diangkat menjadi Raja Kuantan, dengan gelar Tri Murti Buana.
KERAJAAN KERAJAAN ISLAM DI RIAU
1.Kerajaan Siak
Sejarah berdirinya Kerajaan Siak
Sebelum Kerajaan Siak berdiri, daerahnya adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor.
Penguasa wilayah ini juga ditunjuk langsung oleh Sultan Johor.
Ketika Kesultanan Johor runtuh, di wilayah Siak terjadi kekosongan kekuasaan selama hampir 100 tahun.
Raja Kecik, yang pernah terlibat perang saudara di Johor kemudian menetap di Bintan, dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan, anak Sungai Siak.
Negeri baru yang berpusat di Buantan ini dinamai Kerajaan Siak.
Kendati demikian, pusat kerajaan sempat beberapa kali mengalami pemindahan.
Barulah pada masa pemerintahan Sultan Ismail (1827-1864), pusat kerajaan akhirnya menetap di Kota Siak Sri Indrapura sampai akhir pemerintahannya.
Raja-raja Kerajaan Siak
Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (1723–1746)
Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaluddin Shah (1746–1760)
Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Shah (1760–1761)
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Shah (1761–1766)
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Shah (1765–1779)
Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Shah (1779-1781)
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Shah (1781–1791)
Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1791–1811)
Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1811–1827)
Sultan As-Sayyid Al-Sharif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827–1864)
Sultan As-Sayyid Al-Sharif Kassim Abdul Jalil Syaifuddin I (1864–1889)
Sultan As-Sayyid Al-Sharif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889–1908)
Sultan As-Sayyid Al-Sharif Kassim Abdul Jalil Syaifuddin II (1915–1945)
Puncak kejayaan Kerajaan Siak
Setelah mendirikan Kerajaan Siak, Sultan Abdul Jalil atau Raja Kecik mulai melakukan perluasan wilayah dan membangun pertahanan armada laut.
Dalam perkembangannya, Siak terus menunjukkan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menaklukkan Mempawah di Kalimantan Barat.
Pada masanya, kerajaan ini juga menjadi salah satu pusat penyebaran dakwah Islam.
Pada masa sultan Siak ke-11, yaitu Sultan Syarif Hasyim, dibangunlah istana megah yang diberi nama Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak.
Puncak kejayaan Kerajaan Siak juga berlangsung pada pemerintahan Sultan Syarif Hasyim.
Kebesaran kerajaan ini dapat dilihat dari pesatnya perkembangan ekonomi kerajaan.
Selain itu, Sultan Syarif Hakim bahkan berkesempatan untuk berkunjung ke Eropa, yaitu Jerman dan Belanda.
Keruntuhan Kerajaan Siak
Keruntuhan Kerajaan Siak diawali dengan ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera.
Salah satu akibat dari ekspansi Belanda tersebut adalah wilayah kedaulatan Siak menjadi semakin sempit.
Pada 1840, Sultan Siak dipaksa untuk menandatangani perjanjian dengan Inggris, yang menyebabkan wilayahnya menjadi semakin sempit lagi.
Kemudian pada 1858, Kesultanan Siak benar-benar kehilangan kedaulatannya setelah menandatangani perjanjian dengan Belanda.
Perubahan ini juga membuat pengaruh hegemoni Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya lenyap.
Kendati demikian, Kesultanan Siak masih mampu bertahan sampai masa kemerdekaan Indonesia.
Barulah setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sultan terakhir Siak, Sultan Syarif Kasim II, menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.
Peninggalan Kerajaan Siak Sri Indrapura
Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Siak
Patung Sultan Syarif Hasyim
Masjid Raya Syahabuddin
Mahkota kerajaan
Meriam bunting
2. Kerajaan Indragiri
Sejarah Awal
Indragiri didirikan pada akhir abad ke-13, tetapi baru tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam pada abad ke-15. Masuknya pengaruh Islam ke kerajaan diperkirakan berasal dari Kesultanan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Dari berita Tome Pires, yang menjadi sumber sejarah Kerajaan Indragiri, kerajaan ini rutin memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka. Istana kerajaannya baru dibangun oleh Nara Singa II atau Sultan Indragiri IV. Bersamaan dengan itu, didirikan pula Rumah Tinggi di Kampung Dagang. Pada periode inilah Raja Indragiri mulai menetap di ibu kota kerajaan yang berlokasi di Pekan Tua sekarang.
Hubungan dengan Portugis dan Belanda
Sebelum 1641, Kerajaan Indragiri berhubungan erat dengan Portugis. Kerajaan ini memang banyak menghasilkan barang komoditas, seperti lilin, emas, dan kayu gaharu. Pada 1765, Sultan Hasan Salahuddin Kramat Syah memindahkan ibu kota kerajaan ke Japura. Setelah Malaka dikuasai oleh Belanda, kerajaan ini mulai mejalin hubungan dengan VOC. Bahkan VOC juga mendirikan kantor dagangnya di Indragiri, berdasarkan perjanjian pada 28 Oktober 1664. Pada periode ini pula, Belanda mulai ikut campur dengan urusan internal kerajaan dengan mengangkat Sultan Muda yang berkedudukan di Peranap, dengan batas wilayah ke Hilir sampai batas Japura.
Jatuh ke tangan Belanda
Pada 5 Januari 1815, ibu kota Kerajaan Indragiri kembali dipindahkan oleh Sultan Indragiri XVII atau Sultan Ibrahim ke Rengat. Pada masa pemerintahan Sultan Indragiri XVII inilah undang-undang kerajaan mulai disusun. Selain itu, Sultan Ibrahim diketahui pernah ikut dalam Perang Teluk Ketapang untuk merebut Malaka dari Belanda pada 18 Juni 1784. Kekuasaan politik Indragiri berhasil dihilangkan berdasarkan Tractat van Vrede en Vriendschap (Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan) pada 27 September 1838. Perjanjian ini sebenarnya menandai bahwa pemerintahan dan kekuatan politik Indragiri telah dikuasai oleh Hindia-Belanda. Pasalnya, Belanda menempatkan seorang Controller yang memegang wewenang semua jawatan di wilayah Indragiri.
Peninggalan Kerajaan Indragiri Istana Indragiri
Rumah Tinggi Masjid Masjid Raja Peranap
3. Kerajaan Kampar
Kesultanan Pelalawan
atau Kerajaan Pelalawan (1725 M-1946 M) yang sekarang terletak
di Kabupaten Pelalawan, Riau. Periode
pemerintahan di
Pelalawan dibagi menjadi dua: periode
pra Islam dan pasca
Islam. Pada era pra Islam,
kerajaan ini masih bernama Pekantua.
Sementara
pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama,
dari Pekantua Kampar,
kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan.
Kerajaan ini eksis dari
tahun 1380 hingga 1946.
Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan
Sultan Mansur Syah (1459-1477 M)
menyerang Kerajaan Pekantua, dan
kerajaan Pekantua dapat dikalahkan.
Kemudian Sultan
mengangkat Munawar Syah sebagai Raja
Pekantua. Pada upacara penebalan, diumumkan bahwa
kerajaan Pekantua berubah menjadi
"kerajaan Pekantuan Kampar"
Ketika kerajaaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin
Syah II, Raja
Kampar), Tun Megat di Kerajaan Pekantua Kampar meminta salah seorang
keturunan Sultan
Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua
Kampar untuk menjadi raja.
Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman
dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja Dinda"
(1590-1630 M).
selanjutnya beliau
memindahkan pusat kerajaan
Pekantua Kampar dari Pekantua ke Bandar
Tolam.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda
digantikan oleh
puteranya Maharaja Lela I, yang
bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M).
Tak lama kemudian
beliau pun mangkat, dan digantikan oleh
puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), selanjutnya
digantikan
puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M).
Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama,
ibu kota kerajaan
dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini
dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri.
Setelah beliau mangkat digantikan Maharaja
Wangsa Jaya.
Ketika Maharaja
Wangsa Jaya (1686- 1691 M) mangkat digantiakn oleh
puteranya
Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang
kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja
Dinda
II (1720-1750 M). Pada masa maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M
terjadi pemidahan pusat kerajaan Pekantua
Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai
Kampar,dan nama kerajaan
"Pekantua Kampar"
diganti menjadi kerajaan
"Pelalawan". setelah
beliau mangkat, digantikan
puteranya Maharaja
Lela Bungsu (1750-1775 M), yang berhasil
membuat hubungan dagang
dengan daerah sekitarnya.
Kemudian kerajaan
tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879
dengan terjadinya perjanjian
pengakuannya Kampar berada di bawah
pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan
Indragiri sebelum 1641 yang berada di
bawah Kemaharajaan Malayu
berhubungan erat
dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah
berhubungan
dengan VOC yang mendirikan kantor
dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober
1664Kesultanan Pelalawan
atau Kerajaan Pelalawan (1725 M-1946 M) yang sekarang terletak
di Kabupaten Pelalawan, Riau. Periode
pemerintahan di
Pelalawan dibagi menjadi dua: periode
pra Islam dan pasca
Islam. Pada era pra Islam,
kerajaan ini masih bernama Pekantua.
Sementara
pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama,
dari Pekantua Kampar,
kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan.
Kerajaan ini eksis dari
tahun 1380 hingga 1946.
Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan
Sultan Mansur Syah (1459-1477 M)
menyerang Kerajaan Pekantua, dan
kerajaan Pekantua dapat dikalahkan.
Kemudian Sultan
mengangkat Munawar Syah sebagai Raja
Pekantua. Pada upacara penebalan, diumumkan bahwa
kerajaan Pekantua berubah menjadi
"kerajaan Pekantuan Kampar"
Ketika kerajaaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin
Syah II, Raja
Kampar), Tun Megat di Kerajaan Pekantua Kampar meminta salah seorang
keturunan Sultan
Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua
Kampar untuk menjadi raja.
Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman
dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja Dinda"
(1590-1630 M).
selanjutnya beliau
memindahkan pusat kerajaan
Pekantua Kampar dari Pekantua ke Bandar
Tolam.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda
digantikan oleh
puteranya Maharaja Lela I, yang
bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M).
Tak lama kemudian
beliau pun mangkat, dan digantikan oleh
puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), selanjutnya
digantikan
puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M).
Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama,
ibu kota kerajaan
dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini
dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri.
Setelah beliau mangkat digantikan Maharaja
Wangsa Jaya.
Ketika Maharaja
Wangsa Jaya (1686- 1691 M) mangkat digantiakn oleh
puteranya
Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang
kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja
Dinda
II (1720-1750 M). Pada masa maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M
terjadi pemidahan pusat kerajaan Pekantua
Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai
Kampar,dan nama kerajaan
"Pekantua Kampar"
diganti menjadi kerajaan
"Pelalawan". setelah
beliau mangkat, digantikan
puteranya Maharaja
Lela Bungsu (1750-1775 M), yang berhasil
membuat hubungan dagang
dengan daerah sekitarnya.
Kemudian kerajaan
tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879
dengan terjadinya perjanjian
pengakuannya Kampar berada di bawah
pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan
Indragiri sebelum 1641 yang berada di
bawah Kemaharajaan Malayu
berhubungan erat
dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah
berhubungan
dengan VOC yang mendirikan kantor
dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober
1664.
Sejarah Kerajaan Kampar
Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku berjudul Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia menjelaskan bahwa Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdullah di Kampar, raja Kampar tidak mau menghadap kepada Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu.
Hal ini mengakibatkan Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukan ke Kampar. Sultan Abdullah pun meminta bantuan dari Portugis dan akhirnya berhasil mempertahankan Kampar.
Portugis mengungsikan Sultan Abdullah ke Malaka. Sementara, Sultan Mahmud Syah I
menyebarkan kabar angin ke Malaka seolah-olah Sultan Abdullah secara rahasia menjalankan pemberontakan terhadap Portugis.
Mendengar kabar ini, orang Portugis curiga dan akhirnya termakan omongan tersebut sehingga Sultan Abdullah ditangkap dan dihukum gantung di Malaka.
Kejadian ini sebagai bukti ketidaksetiaan Portugis dan merupakan tamsil untuk Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Both.
Kemudian, Sultan Mahmud dikejar-kejar juga oleh Portugis dari Bintan. Jadi, ia harus bertahan di Kampar (Pelalawan) hingga mangkatnya pada tahun 1528 M.
Setelah itu, Kampar berada dibawah kekuasaan para pembesar kerajaan, salah satunya adalah Mangkubumi Tun Perkasa.
Mangkubumi Tun Perkasa mengirimkan utusan ke Maharajaan Melayu di bawah pimpinan dari Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon supaya di Kampar ditempatkan raja.
Hasil permohonan kemudian diterima dan dikirim seorang pembesar dari Kerajaan Melayu, yakni Raja Abdurahman, dengan gelar Maharaja Dinda I dan berkedudukan di Pekantua.
Selanjutnya, hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Siak dan Kuantan adalah dalam bidang perdagangan.
Namun, pada masa pemerintahan pengganti, Maharaja Dinda II memindahkan ibu kota kerajaan Kampar di tahun 1725 ke Pelalawan.
Selanjutnya, kerajaan tersebut harus tunduk kepada Kerajaan Siak dan akhirnya pada 4
Februari 1879, dengan terjadinya perjanjian pengakuannya, Kerajaan Kampar berada di bawah pemerintahan dari Hindia-Belanda.
Demikianlah penjelasan singkat tentang sejarah Kerajaan Kampar yang perlu diketahui.
Semoga bermanfaat! (Ek)
4. Kerajaan Kunto Darussalam
KERAJAAN Kunto Darussalam pernah memerintah dalam kurun waktu yang cukup lama di bumi melayu Riau. Hal ini ditandai dengan masih ditemukannya sisa-sisa peninggalan Kerajaan.
Kerajaan Kunto Darussalam merupakan satu dari lima kerajaan yang berdiri di sepanjang aliran sungai Rokan bagian hulu, yakni kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Rambah, Kerajaan
Tambusai, dan Kerjaan Kepenuhan. Kelimanya dikenal dengan sebutan "Lima Luhak" atau lima nagari yang kini menjadi kabupaten Rokan Hulu, provinsi Riau.
Istana Kerajaan Kunto Darussalam yang asli memang sudah tiada, namun ada bangunan yang dibuat menyerupai istana kerajaan Kunto Darussalam terdahulu.
Walaupun jejak peninggalan kerajaan tidak utuh dan lengkap, namun masih dapat diamati bahwa pusat pemerintahan kerajaan Kunto Darussalam terletak di Kota Lama, dekat jembatan sungai Rokan.
Sebagaimana kerajaan-kerajaan yang ada di bumi Melayu Riau pada umumnya, kerajaan Kunto Darussalam juga merupakan kerajaan Islam yang disebarluaskan oleh seorang ulama besar bernama Syekh Burhanuddin pada abad ke-14.
Masuknya Islam di Kunto Darussalam berasal dari Kuntur-Kampar sekitar abad ke-14, ketika banyak pemeluk agama Islam berpindah ke daerah Rokan, karena kerajaan Kuntur-Kampar direbut oleh Adityawarman yang menganut ajaran Hindu-Budha.
Bersamaan dengan ini masuk pula para saudagar dari Samudra Pasai dan Melaka. Di bawah pengaruh Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Melaka ketika itu para saudagar ini membawa ajaran Islam ke luhak Rokan.
Pengembangan agama Islam di Kunto Darussalam sangat menonjol dengan bukti adanya makam seorang ulama besar di Nahir-Kunto Darussalam bernama Syekh Burhanuddin yang wafat pada sekitar tahun 1601 M.
Dari informasi yang kami peroleh mengenai sumber-sumber sejarah dari kerajaan Kunto Darussalam, sebelum berdirinya kerajaan kunto Darussalam, kerajaan Rokan merupakan kerajaan pendahulu dan cikal bakal berdirinya kerajaan Kunto Darussalam.
Kerajaan kunto Darussalam berpusat di Kota Lama. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1878 dan berakhir pada tahun 1942, yaitu ketika masuknya penjajahan Jepang.
Tahun 1942, Jepang memasuki kerajaan kunto Darussalam dan menghilangkan kekuasaan Raja dengan menangkap raja terakhir yaitu Tengku Ma’ali dan dijeblos ketahanan di Teluk Kuantan.
Pada masa pendudukan Jepang Kunto Darussalam dijadikan status sebagai daerah ‘Ku” yang dikepalai oleh “Kuco” yang wilayah kekuasaannya setara dengan onder district pada zaman Belanda atau setingkat pada masa kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia di kunto Darussalam ditempatkan sebagai asisten wedana.