• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS M SHOLIHIN

N/A
N/A
Tribowo Sptr

Academic year: 2024

Membagikan "TUGAS M SHOLIHIN"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

NAMA : M SHOLIHIN

NIM : B1B224021

DOSEN PENGAMPU : Bpk Ian Pasaribu, S.IP,M.SI

MENGANALISIS KASUS HAM YANG ADA DI INDONESIA

Sejak dilahirkan manusia telah diberikan hak mendasar atau hak pokok yang harus diakui oleh sesama manusia. Hak yang dikenal dengan hak asasi tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari masing-masing individu yang memilikinya. Negara Indonesia yang berdasarkan pada pancasila, dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jelas telah memberikan pengakuan akan adanya hak asasi manusia (HAM) bagi setiap rakyatnya. Legitimasi akan hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan batasan tentang Hak Asasi Manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pemerintah selaku pemangku kekuasaan di Indonesia juga diberikan perintah agar senantiasa menjalankan dan menegakkan supremasi hukum terhadap HAM yang dimiliki oleh setiap rakyat Indonesia. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 mengatakan: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Peristiwa 1965 menjadi salah satu catatan hitam Indonesia. Di tahun tersebut, banyak warga mengalami kekerasan, baik dari militer maupun unsur sipil yang disponsori oleh militer.

Peristiwa ini diawali dengan penculikan dan pembunuhan para Jendral pada 30 September

(2)

1965 (G30S). Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding keras menjadi pelaku penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa tersebut.

”Komnas HAM akan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu termasuk peristiwa 1965-1966. Penyelidikan ini sesuai mandat Komnas HAM dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kata M. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi, Hukum dan HAM (Insersium) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada Rabu (30/09/2020).

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia adalah G30S PKI. Gerakan 30 September oleh PKI yang disebut G30S PKI adalah salah satu tragedi nasional mengancam keutuhan NKRI. Seperti namanya tragedi tersebut terjadi pada tanggal 30 September 1965.

Peristiwa itu berlangsung selama dua hari yakni sampai tanggal 1 Oktober 1965.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menjadi tragedi nasional tersebut diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dan menimbulkan korban di kalangan petinggi militer. Latar belakang peristiwa G30S PKI adalah sebab persaingan politik, karena PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk.

Peristiwa G30S PKI terjadi selama dua hari satu malam, yakni mulai 30 September sampai 1 Oktober tahun 1965. Pada tanggal 30 September 1965, kegiatan koordinasi dan persiapan, selanjutnya pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari kegiatan pelaksanaan penculikan dan pembunuhan.

Berikut kronologi singkat awal pemberontakan G30S PKI:

• Gerakan 30 September 1965 berada di bawah kendali Letkol Untung dari Komando Batalion I resimen Cakrabirawa Letkol Untung pemimpin Gerakan 30 September 1965

• Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief menjadi ketua pelaksanaan penculikan.

• Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jendral menjadi korban penculikan dan pembunuhan yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen. Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan dan Brigjen Sutoyo dan satu perwira yakni Lettu Pierre Tendean. Keseluruhannya dimasukkan ke dalam lubang di kawasan Pondok Gede, Jakarta.

• Satu Jendral selamat dalam penculikan ini yakni Jendral A.H. Nasution, namun putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryani serta ajudannya Lettu Pierre Tendean.

(3)

• Korban lain adalah, Brigadir Polisi K.S. Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J.

Leimena.

• Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.

• Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia. Dan mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan bahwa gerakan G30S adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jendral yang ingin mengambil alih negara.

Akibat peristiwa pada 30 September 1965 itu, banyak petinggi AD tidak diketahui keberadaannya. Setelah menerima laporan serta membuat perkiraan, Soeharto mengambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh, lalu langsung mengambil alih pimpinan AD guna menindaklanjuti peristiwa tersebut. Pada 1 Oktober 1965, penumpasan pemberontakan G30S PKI pun dimulai. TNI berusaha menetralisasi pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka. Selanjutnya, Mayjen Soeharto menugaskan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi. Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh pasukan G30S. Diumumkan pula bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat. Pada 2 Oktober 1965, operasi berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas Kawasan. Pada tanggal yang sama atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi jenazah para perwira di lubang sumur tua yang disebut Lubang Buaya. Pada 4 Oktober 1965, dilakukan pengangkatan jenazah tersebut dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Para perwira yang gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Upaya penumpasan terus dilakukan, rakyat Indonesia turut membantu dan mendukung penumpasan tersebut. Demonstrasi anti-PKI berlangsung di Jakarta. Operasi penumpasan pun berlanjut dengan menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab pada peristiwa itu. Selanjutnya, atas desakan rakyat yang menuntut PKI untuk dibubarkan, puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas di bawahnya.

(4)

Kesimpulan :

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak fundamental yang dimiliki setiap individu sejak lahir dan diakui secara resmi di Indonesia melalui Pancasila dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM. Namun, sejarah Indonesia mencatat pelanggaran berat HAM, salah satunya adalah peristiwa G30S 1965, di mana terjadi pembunuhan terhadap sejumlah perwira militer yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Penumpasan gerakan ini diikuti oleh kekerasan yang luas, dan hingga kini, upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu masih terus dilakukan.

Sumber Referensi

http://scholar.unand.ac.id/37572/2/BAB%20I%20%28Pendahuluan%29.pdf

https://news.detik.com/berita/d-6314325/kronologi-g30s-pki-secara-singkat-awal-hingga- pasca-tragedi

https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/10/6/1587/menyoal-pelanggaran-ham- yang-berat-peristiwa-1965-1966.html

Referensi

Dokumen terkait