KILAS BALIK PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984: PELANGGARAN HAM BERAT
Disusun Oleh:
Yospi Arda Jaya 122470035
Dosen Pengampu:
Isoralla, S.Si., M.Sc.
FAKULTAS TEKNOLOGI INFRASTRUKTUR DAN KEWILAYAHAN PROGRAM STUDI REKAYASA TATA KELOLA AIR TERPADU
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA TAHUN 2025
BAB I PENDAHULUAN
Hak asasi manusia adalah hak moral universal yang harus dimiliki oleh setiap manusia di mana pun dan kapan pun, serta tidak boleh dirampas oleh siapa pun tanpa menimbulkan penghinaan berat terhadap keadilan. Hak ini harus dimiliki oleh setiap individu semata-mata karena mereka adalah manusia (Cranston, 1973: 36).
Dari definisi tentang HAM tersebut, serta berbagai definisi lain yang diberikan dalam menelaah hak asasi manusia, pemahaman tentang HAM kemudian dianggap bersifat universal, yang berarti berlaku bagi semua orang, di semua waktu, dan di semua tempat. Selain itu, hak asasi manusia dimiliki oleh semua manusia dan harus dijaga serta dilaksanakan oleh setiap individu. (Prajarto, 2004: 317)
Secara pasti, tugas negara terkait Hak Asasi Manusia (HAM) diaktualkan dengan melindungi HAM setiap orang dari penyalahgunaan kekuasaan negara, menjamin keberadaan HAM pada setiap individu dalam ketentuan hukum maupun dalam pelaksanaannya, serta memenuhi HAM setiap individu. Sebagai contoh, untuk hak tidak disiksa (right not to be tortured), negara harus membuat aturan hukum yang melarang praktik-praktik penyiksaan guna melindungi setiap individu dari tindak penyiksaan. Selain itu, negara juga harus memastikan bahwa setiap orang benar-benar terbebas dari tindak penyiksaan dan memenuhi hak untuk tidak disiksa secara nyata. Dalam konteks ini, negara merupakan pihak yang berkewajiban untuk melindungi, menjamin, dan memenuhi HAM, karena negara memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, negara dituntut untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dalam kaitannya dengan HAM. Pengertian negara tidak hanya mencakup eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif, termasuk seluruh aparatur negara dan aparat penegak hukum. (Andre Sujatmoko, 2015: 59)
Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat diwujudkan hanya karena diberikan oleh masyarakat atau kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan fitrah dan kodratnya sebagai manusia. Oleh karena itu, HAM tidak bergantung pada hukum positif yang berlaku, melainkan pada martabat setiap individu sebagai manusia (Asplund, 2009: 11). Dengan demikian, faktor-faktor seperti ras, jenis kelamin, agama, maupun bahasa tidak dapat meniadakan eksistensi HAM pada diri manusia.
Asumsi ini menjadi dasar diterimanya pernyataan hak asasi manusia sedunia pada tahun 1948 oleh suatu badan internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(Suryono, 2007: 86)
Melalui resolusi PBB Nomor 217 (III), negara-negara anggota PBB mencetuskan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga saat ini menjadi
"a common standard of achievement for all people and all nations." Sebagai sebuah pernyataan atau piagam, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) bersifat mengikat secara moral, namun belum secara yuridis. Agar suatu pernyataan dapat
mengikat secara yuridis, ia harus dituangkan dalam bentuk perjanjian unilateral.
Indonesia sendiri telah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional yang mengikat bagi negara-negara yang meratifikasinya, salah satunya adalah International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik).
Di zaman Orde Baru, presiden dan bagian pemerintahan yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak tercatat melakukan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Perbuatan-perbuatan tersebut terjadi akibat perilaku negara dan aparatnya. Dalam melihat kondisi penegakan hukum yang ada, banyak orang menyaksikan betapa banyak kasus hukum yang belum terselesaikan secara tuntas. Sering kali terdengar bahwa ketika proses pengadilan sedang berlangsung, upaya naik banding berlangsung berlarut-larut, disertai dengan isu kejahatan dalam peradilan dan tuduhan suap yang dapat membebaskan terdakwa dari jerat hukum. Alasan klise yang selalu muncul dari pengadil adalah bahwa putusan telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sehingga secara yuridis formal tidak salah. Perbedaan antara pengadilan dan lembaga-lembaga lain terletak pada kenyataan bahwa pengadilan, dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, selalu secara positif dan aktif memperhatikan serta melaksanakan berbagai peraturan hukum yang berlaku di suatu negara. (Hamzah, 2004: 100)
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, peraturan mengenai hak asasi manusia ditetapkan berdasarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, serta berbagai instrumen internasional lainnya yang mengatur tentang hak asasi manusia. Materi Undang- Undang ini juga disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Selain itu, dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, masalah mengenai hak asasi manusia dicantumkan secara khusus dalam Bab X Pasal 28 A hingga 28 J, yang merupakan hasil Amandemen Kedua pada tahun 2000.
Di mancanegara, termasuk Indonesia, tercatat banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana para pelakunya sering kali bebas berkeliaran dan bahkan tidak terjangkau oleh hukum.
Hal ini dapat diartikan sebagai tindakan membiarkan tanpa penghukuman oleh negara terhadap pelaku, yang dikenal sebagai impunitas. Impunitas, dalam pengertian ini, merujuk pada keadaan di mana para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia, seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap manusia, dan kejahatan perang, tidak diadili.
Fenomena hukum politik ini dapat kita saksikan sejak abad yang lalu hingga hari ini.
Menjelang turunnya Presiden Soeharto, terjadi aksi mahasiswa besar-besaran di hampir seluruh daerah di Indonesia dengan tuntutan untuk melakukan perubahan menuju pemerintahan yang demokratis serta reformasi total. Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut ditangani dengan pola-pola represif, yang mencakup pembubaran aksi-aksi demonstrasi, penembakan di luar proses hukum, serta tindakan penganiayaan lainnya.
Peristiwa Tanjung Priok adalah kerusuhan yang melibatkan tentara dan warga di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Kerusuhan ini berawal dari cekcok antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan warga, di mana Babinsa meminta warga untuk mencopot spanduk dan brosur yang dianggap tidak bernapaskan Pancasila. Pada saat itu, Pemerintah Orde Baru melarang paham- paham yang dianggap anti Pancasila. Kerusuhan Tanjung Priok menjadi salah satu kerusuhan besar yang terjadi pada masa Orde Baru, di mana tragedi ini dihujani aksi penembakan yang mengakibatkan 24 orang tewas dan 55 orang luka-luka.
Namun, jumlah korban secara pasti hingga saat ini masih belum diketahui.
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN
Peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa Orde Baru dan mengakibatkan banyak korban. Peristiwa ini bermula dari ceramah-ceramah yang dilakukan di masjid-masjid sekitar Tanjung Priok, khususnya di Musholah As-Sa'adah, yang membahas dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah penetapan Pancasila sebagai asas tunggal ideologi bangsa Indonesia. Selain itu, terdapat penekanan terhadap umat Islam, seperti larangan melakukan ceramah tanpa izin, larangan bagi anak SMA untuk mengenakan kerudung, serta kewajiban untuk berfoto setengah badan yang memperlihatkan kedua telinga. Penekanan ini juga dirasakan oleh organisasi- organisasi dan partai-partai politik Islam yang dilarang untuk mengikuti pemilu dan dinonaktifkan kegiatannya.
Pada 10 September 1984, Sersan Hermanu, anggota dari Bintara Pembina Desa sampai di Masjid As Saadah di Tanjung Priok. Di sana ia menyuruh pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang berisi tulisan kritik kepada pemerintah. Namun, Biki menolak permintaan tersebut. Hermanu kemudian memutuskan untuk melakukannya sendiri. Ketika sedang melakukannya, ia memasuki area masjid tanpa melepas alas kakinya. Mendengar laporan tersebut, warga yang dipimpin pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu. Akibat aksinya tersebut, Rambe, Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi dan Muhammad Noor ditangkap. Dua hari pascapenangkapan, ulama Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan khotbah mengenai asas tunggal Pancasila di Masjid As Saadah. Setelah itu, Biki memimpin sebuah demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, tempat keempat orang tersebut ditahan. Akan tetapi, upaya yang dilakukan Biki tidak mendapat tanggapan yang baik. Mereka dihadang oleh aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara. parat keamanan berusaha melakukan tindakan persuasif untuk membubarkan massa.
Akan tetapi, saat itu massa tidak dapat dibubarkan, karena tuntutan belum dipenuhi. Akhirnya, aparat melakukan langkah terakhir. Aparat menghujani massa dengan timah panas. Akibatnya, banyak korban berjatuhan. Komnas HAM mencatat korban tewas mencapai 24 orang, sedangkan 55 orang luka-luka. Korban yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot Subroto.
Setelah kejadian itu berlangsung, banyak yang menyayangkan tindakan ABRI.
Banyak tanggapan yang muncul bahwa peristiwa ini telah melanggar HAM dan harus segera diselesaikan. Kasus kemudian berlanjut hingga sidang subversi.
Sejumlah orang diadili atas tuduhan melawan pemerintahan yang sah. Salah satu orang yang terdakwah adalah Salim Qadar, dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan Tonny Ardie 17 tahun 6 bulan penjara. (Kompas, 2021)
BAB III KESIMPULAN
Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang terdakwa yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984. Dari jumlah tersebut, 12 orang, termasuk R. Butar- butar dan Sutrisno, dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi hukuman. Sementara itu, 2 orang terdakwa lainnya, yaitu Sriyanto dan Mascung, dinyatakan tidak terbukti bersalah.
Peristiwa Tanjung Priok 1984 merupakan salah satu tragedi pelanggaran hak asasi manusia yang paling mencolok dalam sejarah Indonesia, di mana tindakan represif aparat negara terhadap demonstrasi masyarakat yang menuntut keadilan dan reformasi berujung pada kekerasan yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan luka-luka. Kerusuhan ini mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak individu dan menunjukkan dampak negatif dari kebijakan politik Orde Baru yang mengekang kebebasan berpendapat. Meskipun telah berlalu beberapa dekade, peristiwa ini tetap menjadi pengingat pentingnya penegakan hak asasi manusia, keadilan, dan perlunya reformasi dalam sistem hukum untuk mencegah terulangnya pelanggaran serupa di masa depan. Upaya untuk mengakui dan menuntut keadilan bagi para korban masih terus dilakukan, menegaskan bahwa hak asasi manusia harus dihormati dan dilindungi tanpa diskriminasi.
REFERENSI
Andrey, Sudjatmoko, 2015, Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter, Rajawali Perss, Jakarta.
Asplund, Knut D., (eds,) (Penyunting/editor), Hukum Hak Asasi Manusia,
Yogyakarta, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII)
Cranstory M. IMat Are Human Rights? ,New York: Basics Books, 1973 Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/63a0d7ac2255c4ce66ce e5bfc8ff224c.html
https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/03/114424479/kerusuhan-priok- latar-belakang-kronologi-dan-dampak?page=all#page2.
Prajarto, Nunung, The Australian and Indonesian Dialogue on Human Rights: An International
Suryono, Hassan, , Implementasi dan Sinkronisasi Hak Asasi Manusia
Internasional Dan Nasional, dalam Muladi (editor), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif 72 J U R N A L M E D I A H U K U M Hukum dan Masyarakat, Bandung, PT Rafika Aditama.2007