• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencoba Berdamai dengan Sejarah Kelam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mencoba Berdamai dengan Sejarah Kelam"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Mencoba Berdamai dengan Sejarah Kelam

Ariel Heryanto, CNN Indonesia Rabu, 20/04/2016 08:09 WIB

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160420080959-21-125169/mencoba-berdamai-dengan-sejarah-kelam/

Ilustrasi. (Astari Kusumawardhani)

Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah peristiwa bersejarah baru terjadi: Simposium Nasional bertema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”, berlangsung 18-19 April 2016 di Jakarta. Inilah pertama kalinya sejak banjir darah setengah abad lampau, ada sebuah forum resmi oleh negara yang bisa mempertemukan sekitar 200 orang dari kubu yang sangat atau paling bertolak belakang untuk berbagi pandangan, ingatan serta harapan.

Hadir sejumlah perwira tinggi militer yang kariernya terbina sejak dan berkat kejayaan Orde Baru. Ada sejumlah intelektual (mantan) pendukung Orde Baru. Ada sejumlah korban dan penyintas paling awal dari kalangan pendukung Sukarno, Komunis atau yang di-Komunis-kan maupun kalangan keluarga militer anti-Komunis. Ada pula aktivis hak-hak asasi manusia, juga beberapa akademik yang pandangan politiknya sangat berbeda atau bertentangan.

Mereka berbicang secara terbuka selama dua hari penuh tanpa sensor atau ancaman fisik. Bukan sekedar berdebat, mereka saling mendengar uraian lawan debat, tanpa merasa perlu bersetuju dalam semua hal. Perbincangan mereka direkam lengkap oleh puluhan kamera, baik yang resmi dari panitia maupun dari peserta untuk disebarkan langsung ke seluruh penjuru dunia.

(2)

2 Peristiwa ajaib seperti itu hanya bisa terjadi berkat kerja keras sebuah tim yang sangat majemuk. Sejumlah individu dan organisasi dari kubu yang sangat berbeda namun bersama-sama ingin mencari titik temu bagi masa depan Indonesia. Penghargaan setinggi-tingginya layak diberikan kepada Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo, pemrakarsa awal, yang baru dilantik sebagai Gubernur Lemhannas. Juga Mayjen Pol (Purn.) Drs. Sidarto Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan mantan ketua MPR. Keduanya tokoh kunci di balik Simposium.

Yang tak kalah penting adalah para pendukung kepanitiaan Simposium: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Pers Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Fisipol Universitas Gadjah Mada, FISIP Universitas Udayana, Pusat Kajian Demokrasi dan HAM Universitas Sanata Dharma, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Institute for Peace and Democracy, dan Forum Silaturahmi Anak Bangsa.

Bisa dibayangkan, betapa meriah acara tentang topik sepeka itu. Apalagi baru pertama kalinya terjadi. Di setiap sesi, orang seakan berebut kesempatan berbicara. Di setiap sesi, moderator kesulitan meminta orang berbicara secara singkat dan langsung ke pokok masalah.

Tidak semua yang diundang menyambut baik acara itu. Mungkin tidak semua yang aktif dalam acara itu sepenuhnya puas. Kritik dan penolakan terhadap Simposium datang dari mereka yang berada di kutub paling kiri dan paling kanan dalam spektrum politik. Yang pertama, mencurigai pertemuan itu hanya tipu muslihat dari pemerintah untuk mengesahkan sebuah rencana “penyelesaian” masalah 1965 secara dangkal dan sempit tanpa menghormati penderitaan dan hak-hak korban. Yang di seberang lain, menuduh pertemuan ini hanya bertujuan membela PKI yang berupaya “bangkit kembali”.

Maka penting dicatat kemeriahan acara yang sangat istimewa itu hanya dapat berlangsung mulus, berkat jasa ratusan petugas keamanan yang berjaga-jaga di sekeliling gedung pertemuan disertai dua panser. Ada kelompok massa yang bertekad menggagalkan Simposium, tapi dicegah polisi. Saya tidak yakin apakah sebagian besar peserta sadar akan jasa pengamanan ini ketika sedang asyik berbincang dalam Simposium tentang kekerasan dan militer berkait politik 1965.

Dalam kesempatan sempit di sesi terakhir hari pertama, saya menekankan pentingnya peran aparat negara bersenjata dalam membentuk liku-liku sejarah di Indonesia, seperti halnya banyak negara lain. Saya mengkritik sebagian besar pembahasan sepanjang hari pertama yang lebih menekankan aspek konflik horizontal ketimbang vertikal dalam gejolak

(3)

3 politik berdarah sejak 1965.

Dalam seluruh sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial, tidak ada satu pun peristiwa kekerasan massal bisa meliputi wilayah luas, dan berlangsung berhari-hari, dan memakan banyak korban tanpa ada campur tangan negara. Konflik seperti itu bukan semata-mata konflik antargolongan dalam masyarakat. Banjir darah 1965-1967 bukan semata-mata konflik ideologi antara Komunis dengan lawan politiknya. Sebagaimana kekerasan Mei 1998 bukan masalah rasisme antar kelompok etnis.

Peristiwa 1965 merupakan bukti gagalnya Negara mengelola masyarakat yang majemuk dan saling bertikai tidak sebatas ranah politik. Bukan sekedar gagal, apabila aparatnya tidak hanya mendiamkan kekerasan massal antarwarganya. Bila aparat ikut terlibat dalam konflik bersenjata itu, mereka telah melakukan kejahatan.

Jadi dalam kasus 1965, adanya konflik antargolongan (kubu pro-Komunis dan anti-Komunis) bukannya kita sangkal. Tetapi seandainya konflik itu dibiarkan berkobar di kalangan masyarakat sendiri, jadinya seperti bentrokan lokal yang sporadis dan acak. Jika ada korban nyawa, jumlahnya puluhan, atau beberapa ratus. Sulit membayangkan akan mencapai angka seribu. Tapi kalau ternyata korbannya ratusan ribu dalam waktu singkat, pasti Negara sudah ikut bermain sangat aktif di situ.

Peristiwa 1965-1967 tidak layak dibahas semata-mata atau terutama sebagai konflik antar-golongan (kubu pro-Komunis dan anti-Komunis). Tapi dalam wacana publik dalam setengah abad ini, justru konflik horizontal itu yang paling populer. Juga selama diskusi hari pertama Simposium.

Maka saya sangat gembira mendengar pidato penutupan dari Sidarto Danusubroto, sebagai pengarah panitia. Dua dari 12 butir pesannya menekankan kegagalan Negara dalam mengelola kehidupan publik yang beradab. Beliau juga mencatat keterlibatan Negara dalam apa yang seakan-akan menjadi konflik horizontal.

Saatnya bangsa Indonesia berdamai dengan masa lalunya

http://www.antaranews.com/berita/556245/saatnya-bangsa-indonesia-berdamai-dengan-masa-lalunya?utm_source=topnews&utm_medium=home&utm_campaign=news

Rabu, 20 April 2016 00:15 WIB | 1.403 Views Oleh Aubrey Kandelila Fanani

(4)

4 hadirin, mengakhiri "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" di Jakarta pada 18-19 April 2016.

Koor pada Selasa malam dari para korban dan pelaku Tragedi 1965, aktivis, pihak pemerintah menjadi satu padu, menggetarkan jiwa dan membangunkan bulu kuduk.

Malam itu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto baru saja membacakan hasil, refleksi serta rekomendasi hasil simposium yang diselenggarakan Kemenkopolhukam, Komnas HAM,dan Wantimpres.

Salah satu rekomendasinya adalah rehabilitasi umum bagi korban HAM dalam konteks memberikan hak sipil dan hak warga negara sepenuhnya tanpa stigma dan diskriminasi. Selain itu, suasana kebebasan selama simposium juga diharapkan dapat dilakukan di daerah tanpa ada gangguan dari pihak mana pun dan negara wajib untuk melindunginya. Sidarto yang juga mantan Ketua MPR berharap simposium ini sebagai langkah awal bagi penyelesaian dan menyeluruh berkeadilan.

Pembacaan rekomendasi itu disambut dengan riuh tepuk tangan dan tangis haru dari mereka yang menantikan hal tersebut selama 50 tahun lebih.

Tragedi kemanusiaan pada 1965 dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang banyak memakan korban jiwa atas mereka yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tragedi yang didahului dengan aksi penculikan dan pembunuhan atas enam perwira tinggi dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat, yang kemudian dikenal sebagai tujuh pahlawan revolusi.

Bagi Sidarto tragedi itu harus diakui dengan kebesaran jiwa bahwa kita belum bisa mengelola bangsa yang majemuk secara beradab, terutama perbedaan ideologi yang masih terus membayangi sampai saat ini.

Masih ada anggapan bahwa kita masih mengelola perbedaan ras, agama dan perbedaan lain dengan kekerasan.

(5)

5 dengan politik internasional, yaitu perang dingin, dan keterlibatan negara pada tragedi tersebut.

Bagi mantan ajudan terakhir Presiden Soekarno itu Tragedi 1965 menyebabkan korban pahlawan revolusi serta keluarga, lebih jauh tragedi ini menyebabkan pembantaian atas mereka yang diduga terlibat PKI, perburuan dalam jumlah besar, belasan ribu orang dibuang, dipenjara, disiksa tanpa proses pengadilan, tanpa pembelaan diri dan langsung ditahan dalam jangka waktu yang lama. Kemudia mereka dikenal sebagai tahanan politik. Dia meminta semua pihak memiliki kebesaran jiwa dalam memandang perjalan Indonesia sebagai bangsa, dan menyadari bahwa pada masa lalu telah terjadi pelanggaran HAM yang menyebabkan luka bagi bangsa.

Menjadi kewajiban bagi seluruh bangsa pula untuk menyembuhkannya , terutama atas dasar negara kemanusiaan yang adil dan beradab.

Rekomendasi tersebut belumlah matang. Tim perumus masih akan melengkapi rekomendasi tersebut dalam beberapa hari.

Gubernur Lemhannas Agus Widjojo selaku Panitia Pengarah Simposium Nasional itu mengatakan seluruh usulan hasil simposium tersebut akan dirumuskan, lalu rekomendasi tersebut akan diberikan kepada Preside Joko Widodo, untuk diambil sebagai keputusan pemerintah.

Rekomendasinya akan dianalisis secara komprehensif terlebih dahulu dari semua temuan. Penyelesaian kasus ini menggunakan konsep rekonsiliasi nasional yang harus berdasarkan pengungkapan kebenaran, melihat korban, kemudian memperbaiki reformasi kelembagaan agar tidak terjadi hal yang serupa.

Nani Nurani, salah satu bekas tahanan politik merasa bahagia dengan hal tersebut. "Kita tinggal tunggu pelaksanaanya, saya tidak mengharapkan ini cepat terwujud, pasti bertahap, tapi paling tidak sekarang masalah ini dibahas, setelah 50 tahun tidak pernah disentuh," kata Nani yang pernah menjadi mendekam di penjara selama tujuh tahun karena diduga PKI.

(6)

6 "Saya harap saya masih hidup, kalau pun saya sudah meninggal, paling tidak anak cucu saya bisa merasakannya," kata dia.

Ketua Yayasan Penelitan Korban Pembunuhan 1965-1966 yang juga mantan aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia menganggap rekomendasi tersebut hasil perjuangan bersama. Ini juga langkah awal untuk rekonsiliasi nanti, kewajiban negara untuk melindungi suasana kondusif di simposium ini sampai ke daerah, nanti kita akan coba sosialisasikan.

Memang penangkapan dan pembunuhan besar-besaran atas anggota dan siapa saja yang diduga PKI telah berlangsung.

Hingga kini tragedi itu masih menjadi beban sejarah. Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Komnas HAM sebenarnya telah melakukan penyelidikan dan menyampaikan laporannya atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1965-1966 kepada Kejaksaan Agung.

Meski pemerintahan sudah berganti, namun stigma sebagai tahanan politik dan juga diskriminasi masih juga melekat pada mereka, untuk itu hasil simposium yang diharapkan dapat terealisasi menjadi titik terang mencari keadilan bagi mereka.

Depresi

Ahli psikiatri Mahar Agusno yang menangani klien dari kalangan korban dan pelaku tragedi 1965, mengatakan, kedua belah pihak sama-sama mengalami depresi.

Bahkan menurut pengalamannya, depresi pada pelaku lebih berat dibandingkan korban. Ia menceritakan pernah menangani klien yang dulunya sebagai tentara dan membunuh orang PKI, dia mengalami gangguan stress pasca-trauma hingga menderita stroke, dan dia bermimpi bermain bola dengan orang yang dia bunuh.

Bagi pelaku, lebih menyiksa, apalagi jika mereka sudah semakin tua, karena semakin mendekati kematian.

(7)

7 permasalahan hidup yang mengingatkan peristiwa traumatik.

Berdasarkan penelitiannya pada 46 korban dalam rentang usia 48 sampai 85 tahun di Yogyakarta sepanjang 2014-2016, gejala dikelompokkan dalam depresi, pengalaman traumatis, penyakit organik, keluhan yang berkaitan dengan lingkungan dan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Mereka juga sering merasa karena tidak bisa berbuat apapun akibat sudah tua, lemah serta sebagian sakit-sakitan.

Gejala yang juga diakibatkan oleh pengalaman traumatis ini menyebabkan tidak mau mengikuti kegiatan atau berita politik, takut kejadian yang sama dialami anak-cucu, mimpi disiksa, hingga merasa terus dimonitor.

Lebih jauh lagi, mereka merasa khawatir akan keselamatan orang yang menolongnya dan takut jika diberikan pelayanan akan berujung pada penangkapan.

Mereka juga masih merasa didiskriminasi dan dianggap bersalah serta merasa sistem sekarang belum memulihkan keaadan mereka.

Dia menambahkan, hampir semua merasakan kesulitan hidup karena harta bendanya habis dan sudah tak bisa bekerja dengan baik.

Oleh sebab itu klien perlu segera dicukupi kebutuhan dasarnya, dia berharap hal ini akan mempunyai efek penyembuhan psikologis yang jauh lebih baik.

Selain pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan jaminan kesehatan, mereka juga perlu mendapat jaminan untuk mendapatkan rasa aman agar bisa hidup lebih tenang. Mengulas hal ini, tokoh NU yang mengadakan rekonsiliasi kepada tingkat desa Imam Aziz, mengatakan kaum perempuan yang lebih mendalam karena perempuan sasaran yang menjadi objek kekerasan adalah seksual.

Aziz telah melakukan rekonsiliasi di 75 kabupaten/kota selama 5 tahun.

Menurut pengalaman dia berdialog dengan korban, para perempuan ditangkap dan disiksa di rumah tahanan setempat atau lokasi yang difungsikan sebagai rumah tahanan.

(8)

8 Tragedi itu masa lalu bangsa ini. Beban sejarah itu perlu diakhiri agar bangsa besar ini dapat bersatu menyongsong masa depan.

Editor: B Kunto Wibisono COPYRIGHT © ANTARA 2016

Referensi

Dokumen terkait

Very recently some basic theory for the initial value problems of fractional differ- ential equations involving Riemann-Liouville differential operator has been discussed..

Mata kuliah ini membahas konsep dasar, jenis, dan langkah-langkah penelitian, identifikasi dan perumusan masalah penelitian, variabel penelitian, kajian teori,

Kedua lahwun adalah sifat lalai yang terdapat dalam diri manusia, lalai karena tidak terbiasa berpikir panjang atau sengaja tidak mau berpikir panjang.. Apa yang dilakukan

Pada tahap pembentukan tari Menori ini sesuai dengan ide serta motif – motif gerak yang telah didapat dilakukan dengan membentuk garapan bagian perbagian.tahap ini juga

Memperhatikan hal tersebut di atas, dengan ini Saudara diminta untuk melakukan pembuktian kualifikasi dengan menunjukkan/memperlihatkan semua data rekaman atau asli

Hasil penelitian pada faktor organisasi menunjuk- kan terdapat hubungan bermakna antara persepsi perawat terhadap kepemimpinan kepala ruangan, struktur organisasi, imbalan, dan

Posisi dalam pekerjaan mendapatkan hasil bahwa ketua tim memiliki ekspektasi terhadap penerapan jenjang karir lebih tinggi dari pe- rawat pelaksana Penelitian Han dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative dan permisive akan menciptakan lebih banyak anak yang memiliki harga diri