Pendahuluan ini menjelaskan tentang pentingnya pendidikan sebagai wadah untuk menanamkan nilai- nilai kebudayaan dan karakter bangsa. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan adalah tempat di mana kebudayaan dan peradaban masyarakat dapat tumbuh dengan baik. Semangat Merdeka Belajar, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, memberikan kesempatan pada setiap individu untuk belajar sesuai arahan Ki Hajar Dewantara.
Profil Pelajar Pancasila menjadi pedoman bagi pendidik dalam membangun karakter pelajar yang kompeten dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Profil ini mencakup enam dimensi, yaitu keberiman dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemandirian, gotong royong, kebinekaan global, berpikir kritis, dan kreativitas.
Selain itu, pendahuluan juga menjelaskan asal-usul nama "Indonesia" dan perkembangannya dalam literatur antropologi dan etnologi. Istilah "Indonesia" pertama kali diperkenalkan oleh James Richardson Logan dan semakin populer berkat karya-karya etnolog Jerman seperti Adolf Bastian. Akhirnya, nama
"Indonesia" menjadi populer di kalangan bangsa Eropa dan diadopsi oleh pelajar Indonesia di Belanda melalui organisasi "Perhimpunan Indonesia".
Pendahuluan ini memberikan gambaran tentang hubungan antara pendidikan, nilai-nilai Pancasila, dan sejarah penamaan "Indonesia", serta menggambarkan konteks kebudayaan dan pendidikan
nasional Indonesia.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam konsepsi Pancasila menjadi cermin dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam menjadi sebuah negara bangsa. Indonesia memiliki nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, dan religius yang menjadi inti dari makna filsafat Pancasila. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam lima sila Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, yang membentuk landasan filosofis bangsa Indonesia.
Perjalanan bangsa Indonesia bergantung pada efektivitas penyelenggaraan negara dan upaya pelestarian nilai-nilai luhur kebangsaannya. Pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila lahir sebagai hasil refleksi dan renungan dalam mencari dasar negara Indonesia merdeka. Soekarno menjelaskan bahwa Pancasila adalah inspirasi dari pertanyaan tentang dasar negara Indonesia yang diajukan oleh Dr. Radjiman Widyodiningrat, ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK). Lima sila Pancasila, yaitu nilai esensial tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia sejak zaman dahulu sebelum negara ini berdiri.
Dengan demikian, nilai-nilai luhur Pancasila juga mencerminkan perjalanan historis, kultural, dan filosofis bangsa Indonesia, serta menjadi pondasi yang mengikat bangsa Indonesia dalam kehidupan bersama.
dan penyelenggaraan negara.
1. Nilai Luhur Masa Awal Indonesia
Peradaban awal manusia di Indonesia, yang dikenal sejak temuan artefak dan fosil manusia seperti mencerminkan nilai-nilai awal yang menjadi indikator bagi nilai-nilai Pancasila. Kehidupan religius tumbuh pada masa Neolithikum, ditandai dengan temuan artefak dan lukisan dinding goa di berbagai wilayah di Indonesia, menunjukkan keyakinan akan pencipta atau pelindung kehidupan manusia.
Nilai kemanusiaan tercermin dalam perilaku penghargaan terhadap anggota masyarakat yang meninggal, yang ditunjukkan melalui ritual penguburan dan pemujaan arwah. Sistem barter dan kehidupan bersama dalam komunitas "manusia gua" menunjukkan nilai persatuan, di mana kaum pria mencari makanan sementara kaum wanita menetap di gua, membuat alat rumah tangga, dan menjaga anak-anak.
Kehidupan organisasi awal tercermin dalam terbentuknya desa komunal dan praktik bercocok tanam.
Sistem barter untuk memenuhi kebutuhan desa komunal didasarkan pada kesepakatan dan musyawarah untuk pemenuhan kebutuhan hidup utama. Konsep primus interpares, di mana sosok pemimpin yang dapat diandalkan muncul, membawa konsekuensi religio-magis yang berfungsi sebagai pemimpin di bidang sosial, politik, dan keagamaan.
Kehidupan desa komunal membawa konsekuensi pola kehidupan gotong royong, di mana masyarakat saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan hidup dan menimbun persediaan makanan dalam sebuah "lumbung padi". Konsep ini menanamkan nilai berbagi demi kesejahteraan bersama.
Secara keseluruhan, peradaban awal manusia di Indonesia mencerminkan nilai-nilai yang menjadi pondasi bagi nilai-nilai Pancasila, seperti kemanusiaan, persatuan, gotong royong, dan keadilan, yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak masa prasejarah.
2. Masa Kerajaan Tradisional bervisi Nasional
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia terus berkembang ketika ada pengaruh asing (India-Cina) masuk ke Indonesia. Hubungan awal Nusantara dan Cina-India terjadi karena perdagangan Nusantara yang dibawa ke Cina berupa lada, pala, cengkeh, kapur barus, kayu wangi, cula badak, gading gajah, dan sejumlah jenis hewan seperti kera putih dan burung kasuari. Sebagai pertukarannya, orang Nusantara
mendapatkan barang-barang keramik maupun kain sutera Cina.
Keberhasilan penetrasi budaya itu melahirkan tumbuhnya kerajaan di Nusantara bercorak Hindu dan Budha seperti kerajaan Kutai, Tarumanegara, Mataram Hindu, Sriwijaya, Kadiri, Singasari, Bali, Majapahit.
Penyebaran budaya Hindu akibat kolonisasi masyarakat India di Indonesia membawa pengaruh budaya pada 1) perubahan tata negara dan pandangan agama; 2) unsur budaya masyarakat dengan sistem kasta di Hindu melahirkan proses akulturasi dan internalisasi agama dalam agama tradisional Nusantara yang
masih berpola animisme dinamisme. Bukti fisik pengaruh India dan Cina di Indonesia ini terlihat pada prasasti, artefak dan beberapa bangunan candi, klenteng dan vihara yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Nilai kemanusiaan dalam ajaran Hindu adalah sistem kasta yang tidak sama dengan sistem kasta di India.
Hubungan dagang dengan masyarakat India membawa pengaruh terjadinya perkawinan campur antara masyarakat Indonesia-India-Cina. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia terbuka, ramah terhadap siapapun menghargai hak asasi dalam konteks sederhana. Interaksi sosial melalui kontak budaya dan kontak antar kasta membawa pengaruh pada perpaduan budaya yang menginternalisasi nilai interaksi sosial. Tidak adanya perbedaan ras, suku, agama dan golongan dalam proses interaksi
mendorong beraneka bangsa dapat hidup nyaman di Indonesia. Bangsa Indonesia bertindak selektif, sehingga budaya India-Cina tidak menjadi unsur dominan dalam kerangka budaya Indonesia.
Unsur persatuan terjadi perpaduan budaya di bidang politik. Kutai menjadi kerajaan awal Hindu dengan bukti fisik berupa prasasti 7 buah yupa bernuansa India. Raja Tarumanegara di Jawa Barat memiliki gelar termashur Sri Purnnawarmman sebagai sang raja pemimpin besar yang membawa kesatuan kedaulatan pemerintahan kerajaan yang bijaksana dan kuat. Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya bersatu berkat perkawinan politik antara Pramodhawardhani (putri raja Samaratungga/Dinasti Syailendra) dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya). Penyatuan ini membuat aspek politik pemerintahan dan agama (pemeluk Hindu dan Buddha) dapat hidup berdampingan. Upaya persatuan secara lebih luas diterapkan pada kerajaan Singasari masa raja Kertanegara dengan konsep Cakrawala Mandala. Kebesaran dan keluasan ini menunjukkan adanya upaya penyatuan wilayah dan kesatuan tata pemerintahan yang dipegang seorang pemimpin besar (raja Kertanegara dari Singasari) pada waktu itu.
Pengaruh Hindu-Budha paling nyata di bidang politik di Nusantara ialah diperkenalkannya sistem kerajaan. Sebelumnya, kedudukan pemimpin dalam masyarakat Nusantara ialah orang yang dituakan oleh sesamanya (primus interpares). Sesuai dengan sistem kerajaan yang berlaku di India, kedudukan pemimpin dalam masyarakat berubah menjadi mutlak dan turun-temurun berdasarkan hak waris (atau dinasti) yang sesuai dengan peraturan hukum kasta. Pembagian kerja dalam beberapa menteri kerajaan dan dewan raja menunjukkan bahwa sudah terjadi pembagian tugas dan kinerja yang baik untuk mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang baik dan demokratis.
Masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha di Nusantara terjadi pada masa Sriwijaya dan Majapahit sebagai bukti bahwa perjalanan bangsa Indonesia (Nusantara) memiliki kedudukan penting. Kedua kerajaan ini disebut sebagai negara tradisional bervisi dan berskala nasional karena memiliki ciri adanya suatu bentuk negara bangsa. Ciri ini ditandai dengan bentuk kerajaan dan tata pemerintahan sudah memiliki sifat berdaulat, wilayah yang pasti dan rakyat pendukungnya.
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari karena masyarakatnya hidup dari pelayaran dan perdagangan.
Tumbuh dan berkembangnya Sriwijaya berawal dari penaklukan yang dilakukan terhadap Melayu (Jambi). Sejak abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat pendidikan agama Budha Mahayana.
Seorang musafir Cina (1-Tsing, pernah tinggal 6 bulan di Sriwijaya) menerangkan bahwa pendeta- pendeta Cina datang ke Sriwijaya belajar bahasa Sansekerta dan menyalin kitab suci agama Budha.
Sriwijaya menjadi pusat perkembangan agama Budha terpenting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Hasil 30 tulisan Siddhayatra, di sekitar Palembang menandakan bahwa perkembangan Budha memiliki kesamaan dengan India. Ajaran Budha Mahayana tidak mengenal sistem kasta dan dan mengajarkan cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kenikmatan/kemakmuran bersama. Ajaran ini diarahkan dalam kebijakan Sriwijaya untuk memperbaiki dan mengembangkan kemakmuran melalui kerjasama di bidang politik, ekonomi dan keagamaan dengan semboyan politik "Kami cinta perdamaian, tetapi lebih cinta pada kemerdekaan".
Inskripsi tulisan di prasasti Telaga Batu menunjukkan Śrīwijaya sebagai kerajaan berbentuk Kadātuan (kelompok dātu) dengan sistem birokrasi berpola kebaharian, tata tertibnya berisi ancaman dan pelanggaran. Persatuan melalui perkawinan politik antara raja Airlangga di Kadiri (Jawa Timur) dengan putri raja Sriwijaya (Sanggrama wijaya tunggawarman) untuk melestarikan bahasa Melayu Kuno sebagai bahasa komunikasi. Kadātuan Śrīwijaya dibagi dalam beberapa mandala (semacam propinsi) yang dipimpin seorang dātu (berasal dari putra raja/keluarga bangsawan). Terdapat Dewan nagari sebagai wadah politik memberikan nasehat kepada penguasa kerajaan. Semua permasalahan diputuskan secara musyawarah melalui Dewan Nagari. Sriwijaya berusaha memajukan kehidupan masyarakatnya melalui jalur niaga dan maritim yang bersifat insulair, inter insulair dan internasional sehingga keberhasilan Sriwijaya sebagai kerajaan nasional besar selama abad ke-7 sampai abad ke-14. Tahun 1293 berdiri kerajaan Majapahit, wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari Semenanjung Melayu sampai Irian barat melalui Kalimantan Utara. Sumpah palapa Mahapatih Gajah Mada berisi cita- cita mempersatukan nusantara raya. Majapahit mempunyai nilai hubungan birokrasi berdasarkan nilai musyawarah mufakat melalui sistem pemerintahannya. Hakekat dan makna Pancasila dikenal masyarakat Indonesia sejak zaman Majapahit abad ke-14. Makna Pancasila pada masa ini dikenal sebagai Pancasila Krama yang memiliki 5 elemen dasar pembangunan karakter bangsa yaitu 1) tidak boleh melakukan kekerasan; 2) tidak boleh mencuri; 3) tidak boleh berjiwa dengki; 4) tidak boleh berbohong; dan 5) tidak mabuk minuman keras (Winataputra, 2006).
Kehidupan keagamaan masa Majapahit mengutamakan sikap toleransi tinggi. Hal ini terbukti bahwa berkembang sinkretisme 3 ajaran agama besar yaitu ajaran Hindu-Budha dan Islam serta sinkretisme agama yang berpadu keyakinan masyarakat kuno yang berpola animisme- dinamisme. Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular disebutkan bahwa sikap toleransi ini tersebut dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa" artinya walaupun berbeda namun satu juga. Perlindungan hukum agama dengan mengangkat 2 pejabat khusus keagamaan yaitu 1) Dharmadyaksa ring kasaiwan sebagai pemangku agama Hindu-Siwa; dan 2) Dharmadyaksa ring kasgotan sebagai pemangku agama Budha.
Perbedaan ras dan budaya tidak mempengaruhi pola interaksi di bidang budaya, sosial, ekonomi maupun politik. Majapahit menerapkan konsepsi Pancasilakrama dengan baik dan dipatuhi seluruh lapisan masyarakat apabila ingin dianggap sebagai warga Majapahit.
Kebijakan raja Hayam Wuruk melakukan lawatan ke desa-desa di wilayah pemerintahannya mendorong Majapahit memiliki suatu tatanan kemasyarakatan baik. Pancasilakrama menjadi dasar menata
kehidupan bermasyarakat bagi warga negara Majapahit untuk menjalin hubungan perdagangan sehingga mewujudkan kesetaraan peran Majapahit sejajar dengan kerajaan di Cina, Siam, Champa, Kamboja dan Malaka. Nilai persatuan diawali saat Raden Wijaya meminta bantuan perlindungan kepada Arya Wiraraja (Bupati Sumenep) untuk membuka hutan tarik (delta sungai Brantas) sebagai wilayah Majapahit. Puncak kejayaannya pada masa Hayam Wuruk tahun 1350-1389 telah berpandangan luas dan tajam untuk menyatukan Nusantara secara sosio-antropologis tanpa ada peperangan. Menurut buku/kakawin Negarakertagama, daerah yang mengakui kedaulatan Majapahit pada waktu itu adalah:
a. Daerah Melayu meliputi: Jambi, Minangkabau, Siak, Kampar, Rokan, Mandailing, Tamiang, Perlak, Karitang, Padang-lawas, dan Lampung.
B. Daerah Malaka meliputi: Pahang, Langkasuka, Trengganu, Tumasik, daerah Sungai Pattani, dan Kuala Lumpur.
C. Daerah Jawa meliputi 21 negara daerah, yaitu: Daha (Kediri), Jagaraga, Kahuripan (Jenggala),
Tanjungpura, Pajang, Kembangjenar, Matahun, Wirabhumi, Keling, Kaiingapura, Pandan Salas, Paguhan, Wengker, Kabalan, Tumapei, Singosari, Singapura, Pamotan, Mataram, Lasem, Pakembangan, dan Pawwanawwan. Daerah Pasundan (Jawa Barat) ternyata tidak dimasukkan sebagai wilayah kekuasaan Majapahit.
d. Daerah bagian timur meliputi: Bali, Nusa Penida, Bima, Dompo, Seram, Wuanin di Papua Barat, Lumak, Makasar, Selayar, dan Calyoa (Kangean).
Puncak kejayaan Majapahit menurut kitab Nagarakratagama meliputi wilayah Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah pantai Papua Barat. Menurut Cribb, wilayah Semenanjung Melayu yang dimaksud adalah daerah Langkasuka di sebelah utara Kedah (Malaysia). Wilayah luas Majapahit menjadikannya sebagai kerajaan nasional dengan sistem
ketatanegaraan modern. Mapatih Gajah Mada melaksanakan sistem sentralisasi pemerintahan dengan raja sebagai penguasa tunggal. Pola sentralisasi tertib terbagi dalam tiga kewenangan, yaitu 1)
kewenangan pemerintahan pusat, 2) daerah, dan 3) desa. Keberhasilan Gajah Mada ini dapat menyatukan nusantara dalam kesatuan kedaulatan Majapahit melalui Sumpah Palapa.
Struktur pemerintahan Majapahit dikelompokkan ke dalam empat badan lembaga, yaitu 1) raja dan kerabat raja; 2) dewan penasehat raja; 3) dewan menteri; dan 4) para gubernur provinsi. Dewan penasehat (Bhattara Sapta Prabhu) merupakan lembaga yang diberi kesempatan menyampaikan pendapat dan mempunyai hak memilih. Tugas, fungsi struktur pemerintahan selalu melakukan upaya musyawarah dalam memecahkan permasalahan hidup bersama. Keistimewaan Majapahit adalah memberikan hak otonomi daerah pada setiap desa untuk mengatur kehidupan banjar/desa masing- masing. Upaya keadilan dan kesejahteraan sosial dibangun melalui pengembangan ekonomi berbasis pertanian dan perdagangan. Kesejahteraan ekonomi masyarakat berbasis keunggulan daerah dengan
menjalin hubungan dagang di berbagai kalangan. Jalinan perdagangan ini meluas sampai ke Sriwijaya, Cina, Siam, Champa dan Kamboja