SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Miftah Rahmawati NIM: 11180331000018
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444 H. / 2023 M.
KORELASI KEMERDEKAAN MANUSIA DAN KEHARUSAN UNIVERSAL PERSPEKTIF NURCHOLISH MADJID
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Miftah Rahmawati NIM. 11180331000018
Dosen Pembimbing
Dr. Aktobi Ghozali, M.A.
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1444 H. / 2023 M.
i
Universal Perspektif Nurcholish Madjid” ditulis oleh Miftah Rahmawati, dengan NIM 11180331000018, program studi Aqidah Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengupas korelasi antara kemerdekaan manusia dengan keharusan universal menurut sosok intelektual muslim kontemporer di Indonesia, Nurcholish Madjid. Ia merupakan cendekiawan muslim berdarah Jombang, Jawa Timur. Corak pemikirannya rasional dan modern, sehingga sering dijadikan kiblat oleh generasi berikutnya. Ia mencoba memberikan refleksi filosofis mengenai keharusan universal (takdir) ini dengan mengkorelasikan dengan kemerdekaan manusia (ikhtiar) dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan manusia.
Metode penelitian yang digunakan adalah library research, yaitu studi kepustakaan dengan bersumber pada karya-karya Nurcholish Madjid. Alasan penulis mengambil tema kemerdekaan manusia dan keharusan universal dalam penelitian ini karena keharusan universal (takdir) memiliki peran penting dan berpengaruh pada kehidupan manusia. Selain itu, dikarenakan banyaknya masyarakat, terkhusus Indonesia yang seringkali keliru dalam memahaminya.
Berdasarkan hasil penelitian, keharusan universal menurut Nurcholish Madjid merupakan term pengganti takdir. Keharusan universal diartikan sebagai hukum-hukum universal yang telah ditetapkan Allah di alam ini. Hukum universal adalah ukuran dan batasan yang dimiliki oleh makhluk-Nya dan menjadi batasan dari kemerdekaan manusia itu sendiri. Ikhtiar merupakan implikasi dari kemerdekaan manusia yang diwujudkan dalam perbuatannya. Puncak dari ikhtiar itulah yang disebut sebagai takdir (keharusan universal).
Kata Kunci: Nurcholish Madjid, Keharusan Universal, Kemerdekaan Manusia
ii ABSTRACT
This thesis entitled "The Correlation of Human Freedom and Universal Necessity in the Perspective of Nurcholish Madjid" was written by Miftah Rahmawati, with NIM 11180331000018, Aqidah Islamic Philosophy study program, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
This study aims to explore the correlation between human freedom and universal necessity according to a contemporary Muslim intellectual figure in Indonesia, Nurcholish Madjid. He is a Muslim scholar of Jombang, East Java. His style of thinking is rational and modern, so that it is often used as a mecca by the next generation. He tries to provide a philosophical reflection on this universal imperative (destiny) by correlating it with human freedom (effort) and what its implications are for human life.
The research method used is library research, namely library research based on the works of Nurcholish Madjid. The reason the writer takes the theme of human freedom and universal necessity in this study is because universal necessity (destiny) has an important and influential role in human life. In addition, because many people, especially Indonesia, are often mistaken in understanding it.
Based on the results of the research, according to Nurcholish Madjid, universal necessity is a replacement term for destiny. Universal imperatives are defined as universal laws that have been established by Allah in this world.
Universal law is the size and limitation that is owned by His creatures and becomes the limit of human freedom itself. Endeavor is the implication of human freedom which is manifested in his actions. The culmination of that endeavor is what is referred to as destiny (universal necessity).
Keywords: Nurcholish Madjid, Universal Necessity, Human Freedom
iii
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Korelasi Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal Perspektif Nurcholish Madjid”. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mengikuti sidang skripsi, jurusan Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat beserta salam penulis haturkan kepada sang reformis dunia, yang telah mengantarkan manusia dari zaman yang penuh kegelapan menuju zaman yang penuh cahaya, sang tauladan bagi seluruh umat muslim. Beliau yaitu Sang Baginda Rasulullah, Nabi Muhammad SAW.
Selama penelitian dan penulisan skripsi ini tentunya penulis banyak menemui hambatan dan rintangan. Namun berkat bantuan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1.
Ibu. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin 3. Ibu Dr. Tien Rohmatin, M.A. dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku
Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi Aqidah Filsafat Islam
4. Bapak Dr. Aktobi Ghozali, M.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah sabar dalam memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis
iv
5. Abi Mursito dan Umi Witi, selaku orang tua tercinta atas segala doa restu dan dukungan secara moral maupun moril kepada penulis
6. Kakak-kakak tercinta, Nanang Kurniawan dan Agestia Isnain Kurniawati atas dorongan yang diberikan kepada penulis
7. Sahabat-sahabatku tersayang, Yola Yolanda Afrianti, Dedeh Juliyati Kurnianingsih, Elok Nur Faizah, Nurul Farhani, yang selalu menemani dan mendengarkan segala bentuk keluh kesah penulis
8. Teman-teman seperjuangan prodi Aqidah Filsafat Islam Angkatan 2018 9. Teman-teman dan para senior Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
banyak memberikan ruang penulis untuk mengembangkan diri
10. UKM Himpunan Qari dan Qariah Mahasiswa (HIQMA) yang telah memberikan ilmu, relasi, dan pengalaman kepada penulis
11. Oishi Cafe Resto, sebagai tempat setia sekaligus saksi bisu perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Tiada kata yang dapat mewakili kecuali ucapan terimakasih secara mendalam, semoga segala bentuk kebaikan mereka diberikan ganjaran terbaik oleh Allah SWT. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi diri penulis, maupun bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 16 November 2022 Penulis,
Miftah Rahmawati
v A. Padanan Aksara
Arab Latin Keterangan
ا Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
ب B Be
ت T Te
ث ṡ es (dengan titik di atas)
ج J Je
ح ḥ ha (dengan titik di bawah)
خ Kh ka dan ha
د D De
ذ Ż zet (dengan titik di atas)
ر R Er
ز Z Zet
س S Es
ش Sy es dan ya
ص ṣ es (dengan titik di bawah)
ض ḍ de (dengan titik di bawah)
vi
ط ṭ te (dengan titik di bawah)
ظ ẓ zet (dengan titik di bawah)
ع ‘ apostrop terbalik
غ G Ge
ف F Ef
ق Q Qi
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
و W W
ه H Ha
ء ’ Apostrop
ي Y Ye
B. Vokal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َ ا Fatḥah A a
َ ا Kasrah I i
َ ا Ḍammah U u
vii
َيََﹷ ai a dan i
وَﹷ au a dan u
C. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اى ā a dengan garis di atas
يى ī i dengan garis di atas
وى ū u dengan garis di atas
viii DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 8
F. Metodologi Penelitian ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II DISKURSUS TENTANG TAKDIR (KEHARUSAN UNIVERSAL) ... 13
A. Sekilas Tentang Terminologi Takdir ... 13
B. Takdir Pada Zaman Islam Klasik dan Pertengahan ... 14
C. Takdir Menurut Aliran-Aliran Kalam ... 16
C.1 Qadariyah ... 17
C.2 Jabariyah ... 20
C.3 Asy’ariah ... 24
D. Wacana Takdir di Indonesia ... 27
E. Takdir Menurut Tokoh Pemikir Islam Kontemporer ... 30
BAB III BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID ... 38
A. Sosok Kepribadian Nurcholish Madjid ... 38
B. Biografi Intelektual Nurcholish Madjid ... 42
C. Karir Nurcholish Madjid ... 47
D. Periode Pemikiran Nurcholish Madjid ... 48
E. Karya-karya Nurcholish Madjid ... 48
F. Wafatnya Nurcholish Madjid ... 53
BAB IV KORELASI KEMERDEKAAN MANUSIA DAN KEHARUSAN UNIVERSAL ... 56
A. Pengertian Kemerdekaan Manusia ... 56
B. Pengertian Keharusan Universal ... 58
C. Korelasi Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal ... 68
ix
B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA ... 75
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah jagad kecil, suatu “mikrokosmos”, yang menjadi cermin dari jagad besar, “makrokosmos”, yang meliputi seluruh alam semesta. Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya. Manusia terdiri dari individu-individu atau kenyataan- kenyataan perorangan yang tidak terbagi-bagi, maka masing-masing perorangan itu menjadi “instansi” pertanggungjawaban terakhir dan mutlak dalam pengadilan Hadirat Ilahi di akhirat nanti. Masing-masing perorangan itu juga yang akhirnya di tuntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk moral yang bertanggung jawab yang akan memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada pribadi yang lain. Karena itu, nilai seorang pribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama nilainya dengan nilai kosmis seluruh alam semesta.1
Dalam kehidupan kosmos ini, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kejadian dan peristiwa. Dalam setiap kejadian tersebut ada yang mengatakan terdapat peran Tuhan sebagai zat yang berkuasa. Tuhan telah mengatur segala kejadian yang ada di alam semesta sesuai dengan kehendak
1 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2010). h. 44.
yang telah direncanakan sejak zaman azali sesuai dengan kadar dan ukurannya.2 Hal inilah yang seringkali disebut sebagai takdir.
Sebelum mendalami persoalan takdir, terlebih dahulu manusia harus tau apa makna takdir itu sendiri. Secara harfiah kata takdir berasal dari qaddara yang berasal dari akar kata qadara, yang memiliki arti mengukur, memberi kadar atau ukuran dalam diri, sifat atau kemampuan yang maksimal dari makhluk-Nya.3 Di dalam al-Qur’an kata takdir digunakan sebanyak 133 kali.
Sedangkan kata qaḍa sendiri disebutkan sekitar 63 kali. Kata qadar dalam berbagai derivasinya, tidak termasuk bentuk fa‘il (qadir) disebutkan sekitar 73 kali.4
Permasalahan takdir merupakan salah satu permasalahan filosofis yang dianggap rumit sejak abad pertama Hijriyah di kalangan para pemikir muslim dengan dalih masing-masing. Pada akhirnya menciptakan sekte atau aliran- aliran pemikiran akidah di dunia Islam. Hingga saat ini tidak terdapat kesepakatan mengenai konsep yang hakiki mengenai takdir.5 Salah satu yang menyebabkan hal ini adalah adanya multitafsir dari orang-orang mengenai kitab suci al-Qur’an. Beberapa ayat al-Qur’an, memiliki pengertian lahir yang bertentangan. Di satu pihak ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia memiliki kehendak atas perbuatannya, sehingga ia wajib mempertanggungjawabkannya, di sisi lain terdapat ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Tuhan yang memiliki kehendak dan telah menjadikan
2 Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: Diponegoro, 1978). h. 144.
3 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007). h. 61.
4 Nurul Zibad, Taqdir dalam Pandangan Sayyid Quthb (Skripsi UIN Jakarta, 2013). h. 3.
5 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992). h. 55.
3
segala sesuatu.6 Dari pernyataan di atas, wajar jika kemudian manusia mempertanyakan tentang kehidupan yang dijalaninya. Apakah ia berjalan di atas pilihan manusia itu sendiri atau sebenarnya manusia berjalan di atas kuasa Tuhan? lantas bagaimanakah hubungan antara perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan? apakah manusia berhak disebut sebagai pencipta perbuatan karena ia memiliki kemerdekaan asasi? Dalam sejarah, perdebatan ini seringkali menjadi fenomena yang melekat di telinga manusia.
Dalam hal ini, Nurcholish Madjid yang memiliki sapaan akrab “Cak Nur”, membahasakan ulang takdir sebagai keharusan universal dan ikhtiar sebagai kemerdekaan manusia. Ia mencoba memberi pandangan mengenai diskursus takdir dan mencoba memberikan refleksi filosofis mengenai hal ini kemudian mengkorelasikan dengan ikhtiar. Menurutnya, setiap manusia dilahirkan sebagai individu yang merdeka. Kemerdekaan di sini diartikan sebagai aktivitas yang didorong oleh kemauan yang murni dan kebebasan memilih sesuai dengan hati nuraninya. Akan tetapi sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari kemanusiaan, bukan berarti manusia memiliki kemerdekaan mutlak tanpa batas. Batas-batas itu ada sebagai hukum yang tetap dan pasti, hukum itulah yang mengakibatkan adanya takdir atau yang disebut dengan keharusan universal.7
Dalam memahami persoalan ini, banyak manusia yang dianggap tidak bisa memahami takdir. Akibatnya, manusia seringkali menolak realitas yang
6 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam,) (Jakarta: Bulan Bintang, 2010). h. 173.
7NDP HMI (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam), (Jakarta: PB HMI, 2009). h.13.
ada dan telah terjadi. Mereka ini dapat dikatakan sebagai orang-orang yang menolak takdir. Mengapa manusia seringkali mengalami frustasi? karena takdir yang telah terjadi, tidak sesuai seperti yang diharapkan manusia. Padahal, menurut Cak Nur, takdir (keharusan universal) merupakan buah hasil dari ikhtiar yang dilakukan manusia itu sendiri.
Adanya ketidaksesuaian takdir yang terjadi dengan ekspektasi manusia itulah yang seringkali memicu permasalahan. Tak jarang jika kemudian menimbulkan pemikiran-pemikiran negatif terhadap Tuhannya. Telah dijelaskan di dalam al-Qur’an:
َنْيِذَّلا َي ْذ اَنَّ بَر ِِۚضْرَْلْاَو ِتهوهمَّسلا ِقْلَخ ِْفِ َنْوُرَّكَفَ تَ يَو ْمِِبِْوُ نُج ىهلَعَّو اًدْوُعُ قَّو اًماَيِق َهٰللّا َنْوُرُك
ِراَّنلا َباَذَع اَنِقَف َكَنهحْبُس ِۚ
ًلًِطَبَ اَذهه َتْقَلَخ اَم
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka” (Q.S Al-Imran [3]: 191)
Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah menciptakan manusia tidaklah ada yang sia-sia. Semua memiliki porsinya masing-masing.
Semua memiliki ukurannya dan ketetapannya. Ketetapan itulah yang tidak bisa dilawan oleh setiap insan di bumi. Namun, dengan segala hal yang ditetapkan itu lantas bukan menjadi alasan bagi manusia untuk berpasrah pada keharusan universal (fatalisme). Bersikap pasrah dan pasif terhadap keharusan universal merupakan mindset yang salah dan perlu diubah, di sinilah ikhtiar berperan.
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, yang mempunyai akal,
5
dan semestinya mempergunakan akalnya dengan segala hal yang bernilai positif. Dengan akal, manusia memperluas ilmu pengetahuan, dengan ilmu pengetahuan itu manusia dapat melakukan ikhtiar.
Percaya kepada takdir merupakan rukun iman yang keenam. Namun percaya di sini bukanlah sekedar percaya akan keberadaannya, melainkan mempercayai juga kualitasnya. Dalam kata lain, tidak sekedar mempercayai eksistensinya, namun juga esensinya. Kepercayaan kepada takdir adalah sesuatu yang bersifat alami (fitri) dan inheren dalam diri manusia.8
Dalam hal ini, takdir juga memiliki implikasi terhadap etos kerja seseorang. Di antaranya penelitian dari Nanat Fatah Nasir tentang Etos Kerja Wirausahawan Muslim di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1999 yang menyatakan bahwa “bagi orang Islam yang menganut paham Qadariyah, keberhasilan ikhtiar manusia dalam kegiatan ekonomi sangat ditentukan oleh usahanya sendiri, sebaliknya bagi penganut paham Jabariyah, keberhasilan ekonomi mereka sangat ditentukan oleh kehendak Allah Swt dan semata-mata bukan ditentukan oleh kerja keras manusia.” Sedangkan dalam penelitian Zuly Qodir tentang “Agama dan Etos Dagang di Yogyakarta pada tahun 2002 menyatakan bahwa “ajaran Islam yang mereka pahami dari Muhammadiyah berdampak pada etos kerja mereka dan menjadikan mereka lebih progresif dan mengarah pada kemajuan”. Terdapat pula dalam penelitian Irwan Abdullah tentang “Tradisi Berdagang Masyarakat Muhammadiyah di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
8 Ahmad Kosasih, Problematika Keharusan universal dalam Teologi Islam…..h. xii.
tradisi berdagang mereka sangat kuat dipengaruhi oleh ajaran reformatif di Muhammadiyah.”9
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam bagaimana sosok Cak Nur ini mengupas dan memaknai persoalan takdir. Penulis tertarik mengambil tokoh ini karena pemikiran tokoh ini cukup filosofis dalam membahas persoalan takdir (keharusan universal), terlebih tetap berpedoman pada dalil-dalil al-Qur’an yang kemudian dari ayat-ayat tersebut dikritisi.
Selain itu tokoh ini memiliki corak pemikiran yang modern serta rasional, sehingga sangat relevan jika konteksnya dikaitkan dengan era saat ini. Selain itu pemikirannya cukup berpengaruh di Indonesia dan banyak dijadikan kiblat oleh generasi setelahnya. Karena itu penulis mengambil judul “Korelasi Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal Perspektif Nurcholish Madjid”. Alasan penulis mengangkat tema ini karena persoalan takdir melekat dengan manusia dan berpengaruh terhadap kehidupannya, akan tetapi masih banyak krisis manusia yang keliru dalam memahami dan memaknai takdir itu sendiri, serta agar manusia dapat mengetahui kaitan penting antara ikhtiar dan juga takdir. Penelitian ini memiliki signifikansi karena dalam level praksis, manusia selalu berlandaskan pada cara berpikir mereka dan teori yang telah didapatkannya. Maka dari itu agar implikasinya tepat, perlu adanya pemahaman teori yang tepat juga. Dengan pemahaman takdir yang tepat, maka dalam hal praksisnya manusia akan lebih terarah dalam menjalani kehidupannya.
9 Azhari Akmal Tarigan, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2018). h. 148-149.
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis berupaya untuk mencari jawaban atas terkait dengan permasalahan-permasalahan yang ada.
Yaitu bagaimana hubungan antara kemerdekaan manusia dengan keharusan universal terkhusus perspektif Nurcholish Madjid. Hal ini layak dikaji karena persoalan keharusan universal merupakan persoalan teologi yang memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Agar manusia tidak salah dalam memahami segala peristiwa dan kejadian dalam kehidupannya dan dapat meningkatkan daya juang manusia agar lebih produktif.
C. Pembatasan Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan penulis, tulisan ini fokus pada ruang lingkup pembahasan kemerdekaan manusia dan keharusan universal perspektif Nurcholish Madjid.
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Apa yang dimaksud kemerdekaan manusia menurut Nurcholish Madjid ? 2. Apa yang dimaksud keharusan universal menurut Nurcholish Madjid ? 3. Bagaimana korelasi antara kemerdekaan manusia dengan keharusan
universal ?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah:
1. Menjelaskan makna kemerdekaan manusia menurut Nurcholish Madjid
2. Menjelaskan makna keharusan universal menurut Nurcholish Madjid 3. Menjelaskan bagaimana korelasi antara kemerdekaan manusia dengan
keharusan universal
Adapun manfaat penelitian skripsi ini adalah:
1. Untuk mendapat wawasan dan memperkaya khazanah intelektual mengenai korelasi antara kemerdekaan manusia dengan keharusan universal dalam perspektif Nurcholish Madjid
2. Untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
F. Tinjauan Pustaka
Berikut beberapa karya ilmiah yang telah dipublikasikan terkait dengan diskursus takdir:
Pertama, Skripsi oleh Mu’ammar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditulis pada tahun 2011 dengan judul Kajian hadis tentang konsep ikhtiar dan takdir dalam pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Nurcholish Madjid: (studi kasus komparasi pemikiran). Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa antara al-Ghazali dan Nurcholish Madjid memiliki kesamaan dalam memaknai konsep takdir dan ikhtiar dalam kacamata ilmu hadis dan ditinjau dari beberapa dalil hadis. Takdir adalah hukum Allah, ketetapan Allah untuk alam semesta.
Sedangkan ikhtiar merupakan suatu kebebasan, kemerdekaan memilih atas sesuatu.
9
Kedua, Skripsi oleh Rahma Wita mahasiswi UIN Sumatera Utara Medan, ditulis pada tahun 2019 dengan judul Pemaknaan Takdir dalam Al- Quran Studi Atas Tafsir Fakhrurrazi dan Relevansi Terhadap Kehidupan Kontemporer. Skripsi ini menjelaskan diskursus takdir yang diambil dari dalil- dalil al-Qur’an yang kemudian diimplikasikan kepada kehidupan kontemporer manusia saat ini.
Ketiga, Skripsi oleh Djaya Cahyadi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditulis pada tahun 2011 dengan judul takdir dalam pandangan Fakhr Al Din Al Razi. Di dalam skripsi ini dijelaskan mengenai persoalan takdir yang dikaitkan dengan semua sekte-sekte Islam ditinjau dari kacamata Fakhr Al-Din Al-Razi.
Keempat, Skripsi oleh Agus Salim mahasiswa UIN Bandung, ditulis pada tahun 2008 dengan judul Konsep Takdir dalam Islam. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai pembagian takdir yang terdapat dalam masyarakat Islam, kemudian memberikan hikmah dan nilai dalam kehidupannya.
Kelima, Skripsi oleh Abdul Rahman mahasiswa IAIN Sumatra, ditulis pada tahun 2000 dengan judul takdir di dalam al-Qur’an. Dalam skripsi ini mengupas makna takdir yang terdapat dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir tematik.
Keenam, Skripsi oleh Nurul Zibad mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditulis pada tahun 2013 dengan judul Taqdir dalam Pandangan Sayyid Quthb. Dalam skripsi ini mengurai makna takdir perspektif tokoh yaitu Sayyid Quthb.
Ketujuh, Skripsi oleh Nurduhlia mahasiswa IAIN Bandar Lampung, ditulis pada tahun 2006 dengan judul Taqdir dalam Pandangan Nurcholish Madjid. Dalam skripsi ini menguraikan makna taqdir menurut Nurcholish Madjid.
Berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya, studi ini lebih memfokuskan pada korelasi antara kemerdekaan manusia dengan keharusan universal perspektif Nurcholish Madjid dengan menggunakan pendekatan teologis.
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah kualitatif dengan teknik library research atau studi kepustakaan, dengan referensi karya-karya Nurcholish Madjid dan menelaah pemikirannya melalui hasil bacaan karya- karya tersebut.
2. Sumber data
Penelitian ini menggunakan sumber data kepustakaan yaitu sumber data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah buku karya Nurcholish Madjid yaitu Pintu-Pintu Menuju Tuhan, untuk sumber data sekunder berasal dari karya beliau juga yaitu Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Kemudian juga diambil dari berbagai karya-karyanya di antaranya Pesan-Pesan Takwa, Islam Doktrin dan Peradaban, Islam Agama Kemanusiaan, dan lain lain.
11
3. Metode pengumpulan data
Proses yang dilakukan oleh penulis dalam mengumpulkan data di antaranya:
Pertama, teknik dokumenter yaitu mengumpulkan sumber data primer dan sekunder. Kedua, sumber buku itu dikumpulkan baik dalam bentuk hard file maupun soft file (pdf). Ketiga, sumber-sumber tersebut dianalisis dan diklasifikasikan sesuai dengan kelompoknya.
4. Analisis data
Dalam melakukan analisis data penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan teologis dengan metode deskriptif dan analitis. Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan bagaimana konsep keharusan universal menurut Nurcholish Madjid. Kemudian metode analitis digunakan untuk menganalisis bagaimana korelasi antara kemerdekaan manusia dan keharusan universal menurut Nurcholish Madjid.
5. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam penelitian ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2017 berdasarkan SK REKTOR no. 507.
H. Sistematika Penulisan
Penulis menyusun sistematika penelitian sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan. Unsur-unsur yang terdapat dalam bab ini di antaranya latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang diskursus takdir ditinjau dari berbagai perspektif yang meliputi terminologi takdir, sejarah dan perkembangan wacana takdir, dan takdir menurut perspektif beberapa cendekiawan muslim.
Bab III menguraikan biografi Nurcholish Madjid, kepribadiannya, karya-karyanya, perjalanan karirnya, dan lain-lain.
Bab IV membahas mengenai pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal, serta korelasi antara keduanya.
Bab V berisi penutup yaitu kesimpulan dan saran.
13 BAB II
DISKURSUS TENTANG TAKDIR
A. Sekilas Tentang Terminologi Takdir
Islam sebagai agama bersifat mutlak, namun Islam sebagai pemikiran bersifat dinamis. Dalam artian selalu mengalami perkembangan. Perkembangan- perkembangan tersebut pada akhirnya akan membentuk sebuah sejarah peradaban Islam. Ilmu kalam (teologi) menjadi suatu rangkaian kesatuan sejarah dan telah ada di masa lampau, masa sekarang, bahkan tetap ada di masa yang akan datang. Mulai dari zaman Islam klasik, pertengahan, bahkan sampai Islam tiba di Indonesia.
Dalam kurun waktu itulah, pemahaman mengenai teologi Islam juga mengalami perkembangan, tak terkecuali diskursus tentang takdir. Pentingnya membahas persoalan teologi takdir ini dikarenakan setiap orang yang beragama, bertindak dan berperilaku sangat dipengaruhi oleh visi teologi yang dianutnya. Diskursus takdir merupakan persoalan teologi yang terus mengalami perkembangan, karena selalu terdapat perspektif baru dari masa ke masa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takdir diartikan sebagai ketetapan Tuhan; ketentuan Tuhan; nasib yang sudah ditentukan sejak zaman azali.
Akan tetapi manusia juga diberi kewajiban untuk tetap berikhtiar dan bertawakal, menyerahkan segala urusan setelah berusaha kepada dzat yang menentukan takdir, yakni Allah.1
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996), h. 992.
Sedangkan di dalam kamus Bahasa Arab karya Mahmud Yunus, takdir berasal dari kata qadara yang bermakna ketentuan. Sesungguhnya Allah telah menentukan suatu perkara atas kehendaknya. Sedangkan terdapat kata qaddara dengan tambahan tasydid yang memiliki arti Allah telah menjadikan manusia berkuasa melakukan sesuatu dengan kadar dan kemampuan yang dimilikinya. Kata taqdīr dengan tambahan huruf hijaiyah ta dan ya memiliki arti Allah telah menakdirkan sesuatu atau Allah telah menentukan sesuatu.2
Takdir adalah segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Takdir telah ditentukan oleh Allah, baik sesuatu yang baik maupun sesuatu yang buruk. Segala sesuatu yang terjadi atas rencana-Nya dan kehendak-Nya, namun manusia diberi hak untuk melakukan usaha semaksimal mungkin, dan Allah yang menentukan.3
B. Takdir Pada Zaman Islam Klasik dan Pertengahan
Pada zaman Islam klasik (650-1250 M), para ulama menyadari betapa pentingnya rasio (akal), sehingga akal ditempatkan pada kedudukan yang tinggi dalam al-Qur’an dan Hadis. Pada saat itu juga, mereka dibenturkan dengan perkembangan sains dan filsafat Yunani di Aleksandria (Mesir), Antiokhia (Suriah), Jundishapur (Irak) dan Bactra (Persia). Kedudukan akal dalam sains dan filsafat Yunani tentunya memiliki posisi yang sangat sentral. Peranan akal yang sentral inilah yang pada akhirnya menjadi penunjang para ulama Islam pada masa
2 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 332.
3 A. Munir Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2013, h. 38.
15
itu mengembangkan pemikiran rasionalnya. 4 Pada masa inilah, kalam dan falsafah menjadi diskursus keilmuan yang mendominasi.
Pemikir Islam pada masa Islam Klasik, menempatkan kedudukan akal dan sains dalam posisi yang sentral. Sains membuat mereka mengembangkan konsep hukum alam ciptaan Tuhan. Berkembanglah corak pemikiran yang rasional, ilmiah dan filosofis. Orientasi mereka bukan hanya pada akhirat, namun juga dunia . Sehingga keduanya dapat berjalan secara seimbang. Tidak heran jika pada zaman klasik ini, umat Islam berada pada masa kejayaannya dengan majunya ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Oleh karena itu, zaman Islam klasik telah melahirkan para pemikir Islam yang memiliki produktivitas yang tinggi. Aliran yang berkembang pada era ini adalah Qadariyah.
Namun tidak berhenti di situ, memasuki zaman pertengahan (1250-1800 M) justru pemahaman teologi, tak terkecuali persoalan takdir mengalami degradasi dan pemikiran rasional telah hilang. Cara berpikir rasional dan filosofis telah tergantikan dengan teologi kehendak mutlak Tuhan (Jabariyah atau fatalisme).
Tentu ini bertolak belakang dengan karakteristik teologi zaman klasik.
Akal yang memiliki kedudukan rendah pada masa ini membuat pemikiran umat Islam statis. Sikap taklid buta justru berkembang pesat. Segalanya berganti dengan kehidupan yang jumud dan dogmatis. Pada masa inilah filsafat seakan-akan hilang dan pemikiran keagamaan mengalami stagnasi. Pemahaman yang
4 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h. 112
berkembang adalah bahwa alam ini telah diatur oleh Tuhan menurut kehendak mutlak-Nya. Hal inilah yang menyebabkan Islam menjadi terbelakang.5
Setelah teologi rasional mengalami degradasi pada saat itu, tarekat mengambil alih kedudukan teologi rasional dan mengalami perkembangan yang pesat. Tarekat adalah sebuah jalan yang ditempuh para sufi menuju keridhaan Allah dan keberkahan hidup.6 Tarekat didirikan oleh murid-murid para sufi terkemuka yang bertujuan untuk mengembangkan ajaran sufinya. Karena ajarannya yang cenderung mengutamakan aspek kehidupan spiritual (ukhrawi) dari pada kehidupan materialistik (duniawi), para sufi banyak melakukan banyak ibadah dan menafikkan kesenangan materi.7
C. Takdir Menurut Aliran-Aliran Kalam
Cak Nur berkata “mempercayai takdir merupakan salah satu instrumen dari rukun iman yang keenam; beriman kepada takdir. Iman tidak hanya berupa
“mempercayai akan adanya”, akan tetapi lebih kepada “menaruh kepercayaan”
sepenuhnya.”8 Dalam hal ini terdapat beberapa aliran dalam memahami takdir itu sendiri, dan mereka memiliki perbedaan yang cukup tajam, bahkan bersifat kontradiktif. Aliran ini cukup populer di kalangan masyarakat, seperti Qadariyah, Jabariyah, dan Asy’ariah. Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa pandangan
5 Muhammad Arifin, Teologi Rasional Perspektif Pemikiran Harun Nasution, (Aceh:
LKKI, 2021). h. 45.
6 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf Jilid II S-Z (Bandung: Angkasa, 2012), h. 1309.
7 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995). h.
116.
8 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2005). h. 44.
17
dan pemahaman tentang takdir dari ketiga aliran ini. Penulis menspesifikkan pada tema-tema keadilan Tuhan, perbuatan dan kehendak manusia.
C.1 Qadariyah
Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al- Dimasyqi. Ma’bad al-Juhani merupakan seorang tabi‘i yang dapat dipercaya. Ia murid dari Hasan al-Basri. Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah seorang orator yang berasal dari Damaskus. Aliran ini berkembang cukup lama di daerah Irak.9
Nama Qadariyah berasal dari paham yang mereka anut, yaitu manusia memiliki kekuatan atau qudrah untuk melakukan perbuatannya. Secara eksplisit dapat dikatakan bahwa aliran Qadariyah beranggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan pribadi dalam menentukan jalan hidupnya dan memiliki kekuatan untuk mewujudkan perbuatannya. Dalam teologi modern, paham ini akrab dikenal dengan istilah free will, freedom of willingness atau freedom of action.10 Salah satu ayat al-Qur’an yang menjadi pedoman mereka adalah:
ْمِه ِسُفْ نَِبِ اَم اوُِٰيَّغُ ي هَّتََّح ٍمْوَقِب اَم ُِٰيَّغُ ي َلْ ََّللّا َّنِإ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan dari mereka sendiri.” (Q.S Ar-Ra’d [13]:11) Paham Qadariyah, termasuk dalam hal ini Mu’tazilah merupakan aliran yang mengedepankan rasio (akal). Menurut aliran ini segala tindakan dan kebijakan Allah harus sesuai dengan tuntutan akal dan pasti melahirkan tindakan yang
9 M. Yunus Samad, Jurnal Pendidikan Islam Dalam Perspektif Aliran Kalam; Qadariyah,
Jabariyah, Dan Asy’ariah. STAI DDI Pinrang.H. 75.
10 Hasan Basri, Murif Yahya, dkk, Ilmu Kalam; Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran,
(Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2006). h. 31.
mengandung kemaslahatan, akan dinilai tidak adil jika Tuhan menciptakan atau melakukan sesuatu tanpa tujuan. Akal mengharuskan Tuhan itu berbuat sesuatu yang mengandung suatu kemaslahatan.11
Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini merupakan implikasi dari sikap konsistennya Tuhan, dalam memberikan maslahat bagi umat-Nya. Adapun mengenai baik dan buruknya, sebenarnya itu hanya takaran manusia. Sedangkan takaran manusia dan Tuhan jelas berbeda. Aliran ini mengatakan bahwa keburukan hanyalah dalam arti kiasan (majazi). Sedangkan melihat kebaikan, haruslah dilihat secara menyeluruh, bukan hanya partikular. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam suatu perbuatan yang terlihat buruk secara lahiriah, justru menyimpan banyak hikmah yang baik bagi manusia. Sebagai contoh, demonstrasi yang biasa dilakukan oleh mahasiswa. Secara lahiriah jika dilihat perbuatan itu memang terkesan cukup anarkis, menimbulkan keributan, dan kekacauan di mana-mana, namun jika ditelisik lebih dalam, aksi demonstrasi memiliki hikmah tersendiri, seperti penyampaian aspirasi masyarakat, mengurangi sikap otoriter dan arogan bagi penguasa-penguasa pada masanya. Contoh lain terdapat pada peristiwa alam, yaitu bencana gempa bumi, banjir, longsor, dan lain-lain. Secara lahiriah jika dilihat banyak mendatangkan kerugian, namun hikmahnya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia pentingnya menjaga bumi tempatnya berpijak. Mustahil Tuhan melakukan segala sesuatu tanpa tujuan dan hikmah, karena hal itu hanya akan menimbulkan kesia-siaan dan kebodohan. 12
11 Ahmad Kosasih, Problematika Keharusan universal dalam Teologi Islam…h. 112.
12 Ahmad Kosasih, Problematika Keharusan universal dalam Teologi Islam,..h. 113.
19
Masih berkaitan dengan uraian di atas, menurut Qadariyah, Tuhan dikatakan adil jika Dia memberikan kebebasan kepada hamba-Nya untuk melakukan pilihan.
Kunci dari keadilan Tuhan di sini adalah kebebasan berbuat bagi manusia. Maka, tidaklah adil jika Tuhan menjatuhkan hukuman kepada seseorang, sementara orang itu tidak diberi kebebasan atas perbuatannya sendiri atau dalam kata lain seluruh perbuatannya telah ditentukan melalui takdir. Adil adalah memberikan hak kepada yang benar-benar berhak mendapatkannya. Jika tidak demikian, maka akan disebut sebagai zalim. Sedangkan Tuhan mustahil berlaku zalim.13 Menurut kaum Qadariyah, Tuhan telah membekali manusia sejak lahir dengan qudrat dan iradat- Nya, yaitu suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akalnya dan ajaran agama itu dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.14 Kemudian dengan adanya iradah tersebut muncul pemahaman bahwa; Pertama, manusia adalah pencipta sekaligus yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Kedua, karena perbuatan tersebut atas kemauan diri sendiri maka balasannya di akhirat adalah sebagai konsekuensinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan prinsip-prinsip yang dianut oleh golongan Qadariyah tentang keadilan adalah sebagai berikut:
a. Tuhan pasti memberikan ganjaran kepada setiap manusia yang berbuat baik dan menjatuhkan siksaan kepada setiap manusia yang berbuat buruk.
Dengan kata lain Tuhan konsisten dan konsekuen terhadap janji-janji yang telah ditetapkan-Nya dan mustahil untuk mengingkarinya.
13 Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1997). h. 27.
14 Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 1998). h. 147.
b. Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak. Atas dasar inilah manusia wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Berdasarkan janji-Nya, Tuhan tidak akan memberikan beban atau ujian kepada manusia melebihi batas kesanggupannya. 15
Harun Nasution, memandang bahwa aliran Qadariyah memiliki ruang yang cukup luas untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Barangkali masih banyak manusia yang menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menyesuaikan dengan kehidupan di era kontemporer saat ini yang tengah bergelut dengan kemajuan teknologi dan sains.
Dalam kata lain, penganut paham Qadariyah ini menganggap bahwa mereka memiliki kemampuan dalam hal kemajuan dan pembangunan.16
C.2 Jabariyah
Paham Jabariyah pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham, kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shofwan dari Khurasan, Persia dan dikembangkan oleh al-Husain bin Muhammad an Najar.17 Paham yang dibawa oleh Jahm bin Shafwan adalah manusia tidak memiliki kekuasaan dalam berbuat apa- apa, manusia tidak memiliki daya, dan tidak memiliki kehendak sendiri serta tidak memiliki pilihan.18
15 Ahmad Kosasih, Problematika Keharusan universal dalam Teologi Islam,..h. 116.
16 Suriati, Implikasi Keharusan universal Dalam Kehidupan Manusia, Jurnal Institut
Agama Islam Muhammadiyah Sinjai, Vol. 3 No. 1, 2018, h. 38.
17Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam dari Tauhid Menuju Keadilan. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016). h. 83.
18Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan…h. 35.
21
Kata Jabariyah berasal dari akar kata Jabara, yang memiliki makna memaksa. Dinamakan demikian karena kaum ini memiliki paham bahwa manusia melakukan segala perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa, yaitu berdasarkan kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam teologi modern dikenal dengan istilah fatalisme atau predestination dalam artian segala perbuatan telah ditentukan sejak azali oleh Tuhan. 19
Salah satu dalil al-Qur’an yang dijadikan pedoman paham Jabariyah adalah:
نوُلَمْعَ ت اَمَو ْمُكَقَلَخ َُّللّٱَو
“Allah-lah yang menciptakan kamu apa yang kamu kerjakan.” (Q.S As- Shaffat [37]: 96)
Bertolak belakang dengan pendapat aliran Qadariyah, menurut Jabariyah esensi dari keadilan Tuhan adalah jika Dia dapat berbuat dengan kehendak-Nya sebagai Raja dari segala raja. Jabariyah tidak melihat sisi adilnya Tuhan kepada manusia, melainkan dari sisi adilnya manusia kepada Tuhannya.20 Tindakan-Nya tidak dibatasi oleh konstitusi apa pun, karena itu apa pun yang dilakukan Tuhan, meskipun itu bertentangan dengan janji-Nya seperti memasukkan orang yang taat ke dalam neraka, ataupun sebaliknya yaitu memasukkan orang jahat ke dalam surga, itulah bentuk keadilan Tuhan. Tuhan adalah raja yang absolut. Implikasi dari pemahaman ini adalah bahwa Tuhan memiliki kewenangan atau dapat berbuat
19Hasan Basri, Murif Yahya, dkk, Ilmu Kalam; Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran- Aliran,…. 32.
20 Ahmad Kosasih, Problematika Keharusan universal dalam Teologi Islam,…..h. 116.
sewenang-wenang terhadap makhluk-Nya, terlebih manusia diibaratkan hanyalah wayang, sedangkan Tuhan adalah dalangnya.
Dalam pemahaman aliran Jabariyah, manusia bersifat terikat, bukan terikat atas kehendak dan kemauan diri sendiri, melainkan terikat oleh kehendak mutlak Tuhan. Dapat dikatakan bahwa manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.21 Manusia diibaratkan sebagai bulu-bulu yang berterbangan ditiup angin, yang tidak mempunyai kuasa apa pun. Manusia hanya menjalankan yang telah digariskan. Tuhan memiliki kuasa mutlak yang meliputi segala sesuatu termasuk dalam ikhtiar manusia dan amalan manusia. Jika manusia mempunyai kehendak, ikhtiar dan kuasa maka itu dapat mengurangi kuasa Tuhan itu sendiri.22
Selain itu, dijelaskan pula bahwa aliran ini muncul dipengaruhi dan disebabkan oleh kondisi alam bangsa Arab pada waktu itu. Secara geografis bangsa Arab dikelilingi oleh gurun pasir yang disinari terik matahari dengan minimnya air serta tumbuhan yang berada di sana. Dalam situasi tersebut, masyarakat Arab tidak dapat berbuat apa-apa maupun mengubah keadaan seperti yang mereka harapkan.
Hal itulah yang membuat mereka merasa lemah, kemudian bergantung kepada alam dan Tuhan. Pada akhirnya menimbulkan paham fatalisme di aliran ini.23
Paham Jabariyah merupakan paham tradisional dan konservatif dalam Islam. Di Indonesia, paham yang bersifat dominan adalah Jabariyah. Hal ini dapat
21 M Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014). h. 64.
22 Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam,…. h. 21.
23 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:
UI Press, 1986). h. 31.
23
dilihat dengan adanya suatu peristiwa atau kejadian. Sebagai contoh, kecelakaan pesawat yang menimbulkan berbagai kerugian secara materil maupun immateril.
Dalam kasus di atas, penganut Jabariyah akan mengatakan bahwa kecelakaan itu memang sudah menjadi keharusan universal dan kehendak Tuhan. Sedangkan bagi yang berpaham Qadariyah, ia akan mencari tahu dimana letak peranan manusia dalam kecelakaan itu, dengan kata lain semangat investigasinya jauh lebih besar.
Akibatnya, ilmu pengetahuan lebih berkembang di dalam paham Qadariyah. Paham Qadariyah disebut sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam.24
Menurut pendapat dua tokoh terkemuka Islam, yaitu Harun Nasution dan Muhammad Abduh salah satu penyebab kemunduran umat Islam adalah karena umat Islam menganut paham Jabariyah. Paham Jabariyah ini dapat menyebabkan manusia kehilangan daya juang karena senantiasa pasrah kepada nasib yang telah ditentukan oleh Tuhan.25
Penulis melihat bahwa aliran Qadariyah dan Jabariyah sangat berpengaruh pada pola hidup dan pemikiran mereka. Jabariyah dengan keyakinannya sebagai manusia yang bersifat wayang dan Tuhan adalah dalangnya, sedangkan Qadariyah dengan mengerahkan segala daya upaya kreatifitasnya sebagai bentuk penyesuaian terhadap takdir ataupun kehendak Tuhan. Bertolak belakang, bukan berarti salah satu dari mereka ada yang bersifat benar maupun salah, karena kembali lagi kepada konsep kemerdekaan pribadi. Sedangkan benar salah hanya ada pada takaran manusia. Bukan tidak mungkin, aliran-aliran ini akan semakin menunjukkan
24 Didin Komarudin, Buku Daras Studi Ilmu Kalam I (Bandung: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, 2015). h. 71.
25 Suriati, Implikasi Keharusan universal Dalam Kehidupan Manusia,….h. 40.
eksistensinya, atau justru bertambah kuantitasnya, karena di zaman modern ini pun banyak ulama yang semakin kritis dalam menghadapi dinamisnya kehidupan.
C.3 Asy’ariah
Dalam suasana yang keruh karena pertentangan antara aliran Qadariyah dan Jabariyah, timbullah satu aliran yang bernama Asy’ariah. Kemunculan aliran ini merupakan bentuk reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Bermula dari pengikut aliran Mu’tazilah, aliran ini kemudian memisahkan diri, dan ingin menjadi jalan tengah di antara aliran-aliran yang ada pada saat itu.
Aliran Asy’ariah didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari sebagai bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah yang terlalu memuja kekuatan akal pikiran, sehingga dianggapnya semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan, dan meresahkan masyarakat. Selain itu juga kekhawatiran atas adanya perpecahan kaum muslimin yang bisa melemahkan agama Islam itu sendiri.26
Al-Asy’ari merupakan murid kesayangan dari seorang tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu Ali al-Jaba’i selama 40 tahun. Karena kepintaran dan kemahirannya, ia sering mewakili Abu Ali al-Jaba’i dalam berdiskusi. Namun pada perkembangan selanjutnya, ia semakin menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah dan selanjutnya condong kepada pemikiran para fuqaha’ dan ahli hadis.27
Atas fenomena tersebut, aliran ini mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis (Mu’tazilah) dan tradisionalis (Jabariyah), yaitu dengan menawarkan
26 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, ( Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003). h. 129.
27 Supriadin, Jurnal Al-Asy’ariah; Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Doktrin-Doktrin
Teologinya. Vol.9 No.2 Tahun 2014, PPS UIN Alauddin Makassar, h. 63.
25
penggunaan nas dan akal yang dipergunakan secara seimbang. Dalam artian, sebagai seorang muslim sudah seharusnya menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar (pokok) dan utama di samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih kuat dari pada memperkuat nas-nas tersebut. Keduanya, antara al-Qur’an dan Hadis dan akal memiliki porsi yang sama. Dengan tawaran jalan tengah tersebut, banyak masyarakat Islam yang dapat menerimanya.
Menurut Asy’ariah, perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan. Tuhan yang berkehendak, dan Tuhan yang berkuasa atas segala perbuatan manusia. Akan tetapi, manusia juga memiliki kemampuan untuk melakukan (kasb) sesuatu perbuatan.
Kasb diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia namun berasal dan diciptakan oleh Tuhan melalui perantara daya. Dengan kata lain, Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut.28
Dalam sistem aqidah Asy’ariah, teori kasb memang dinilai cukup rumit.
Bahkan dituding sebagai penyebab gejala fatalis pada kaum Asy’ari. Pada umumnya, kaum Asy‘ari memang penganut paham predestinasi yang kuat, yang dari satu sisi dapat menimbulkan kesan kepasifan. Kaum Asy‘ari percaya bahwa nasib manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan, termasuk apakah akan masuk surga atau neraka. Meskipun begitu kaum Asy’ari mengatakan bahwa terdapat tanda- tanda di dunia ini bagi setiap orang apakah ia akan masuk surga atau tidak, yaitu apakah ia lebih banyak berbuat kebaikan atau kejahatan. Setiap orang dimudahkan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan takdirnya. Maka seseorang tetap diwajibkan
28 Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001). h.166.
berbuat baik, antara lain untuk “membuktikan” bahwa dia ditakdirkan oleh Allah bakal masuk surga.29
Sebagai contoh dari teori kasb, perbuatan kufur itu pada dasarnya bersifat buruk, namun sebagai orang kafir pasti mereka menghendaki perbuatannya itu bersifat baik. Namun apa yang diinginkan orang kafir tersebut tidak dapat terwujud.
Di sinilah peran Tuhan, yang mewujudkan perbuatan kufur itu bukanlah orang kafir yang tidak mampu membuat kufur itu bersifat baik, melainkan Tuhan. Dalam contoh lain, takwa itu tentu bersifat baik. Setiap muslim pasti menginginkan dan menghendaki untuk bertakwa kepada Tuhannya secara mudah, akan tetapi pada kenyataannya, banyak kaum muslim yang masih merasa sulit dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, manusia tidak dapat mewujudkan keinginannya tanpa kehendak Tuhan, tetapi manusia memiliki daya untuk melakukan perbuatan tersebut. 30 Menurut penulis, aliran ini mencoba untuk memberikan tawaran baru sebagai kalam moderat.
Mengenai keadilan Tuhan, Asy’ariah menilai Tuhan bersifat adil sekalipun ia mengingkari janji dan ancaman yang telah diperuntukkan kepada manusia. Tuhan tidak bersifat zalim, sekalipun Dia menyiksa hamba yang taat kepada-Nya, maupun sebaliknya yaitu memberikan balasan yang baik kepada hamba Nya yang kafir atau mengingkari-Nya. Ia tetap adil meskipun perbuatan-Nya bertentangan dengan standar keadilan yang dipahami oleh manusia. Sebab Ia memiliki kekuasaan,
29 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992). h. 508.
30 Hasan Basri, Murif Yahya, dkk, Ilmu Kalam; Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran,
(Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2006). h. 55.
27
kewenangan untuk menempatkan sesuatu pada posisi yang sewajarnya, yaitu melakukan kekuasaan mutlak-Nya dalam kerajaan-Nya. 31
Keadilan yang dipahami oleh Asy’ariah ini hampir serupa dengan paham sebagian umat yang merestui seorang raja yang absolut dan diktator. Sang raja yang absolut dan diktator itu memiliki hak penuh untuk membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian dapat digambarkan bahwa raja itu di atas dan undang-undang dan hukum, artinya ia tidak perlu tunduk pada peraturan undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu buatannya sendiri. 32
Dari uraian di atas dapat diambil poin-poin sebagai berikut:
a. Asy’ariah mempercayai adanya hukum Tuhan sejak zaman azali,
b. Semua yang terjadi di dunia ini sudah ditetapkan oleh Tuhan baik dan buruknya, manusia hanya menjalaninya
c. Yang dimiliki dan merupakan kewajiban manusia hanyalah kasb, ikhtiar dan usaha.
d. Pahala yang diberikan Tuhan kepada manusia merupakan bentuk dari karunia-Nya, sedangkan hukuman atau dosa yang diberikan kepada manusia atas perbuatannya merupakan bentuk keadilan Tuhan. 33
D. Wacana Takdir di Indonesia
Secara historis, Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7 Masehi, di daerah pantai timur Sumatra yaitu Pasai dan Perlak, sebuah kawasan yang terletak di daerah Aceh. Hingga saat ini, Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi
31 Muhammad Arifin, Teologi Rasional… h. 34.
32 Muhammad Arifin, Teologi Rasional… h. 35.
33 Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2013). h. 224.
penganut agama Islam cukup banyak. Akan tetapi jika diamati, persoalan teologi cukup meresahkan bagi beberapa kalangan. Khazanah pemikiran keislaman di Indonesia masih cenderung bersifat tradisional. Tentu itu sangat berpengaruh terhadap pola hidup dan produktivitas masyarakat Indonesia. Mencermati persoalan tersebut, pemikiran kalam yang berkembang di kalangan umat muslim Indonesia adalah pemikiran Asy’ariah.
Harun Nasution melihat bahwa umat Islam Indonesia sangat mempercayai bahwa nasib sepenuhnya sudah ditentukan oleh Tuhan secara mutlak. Manusia tidak berdaya, lemah dan bahkan cenderung menyerah pada kenyataan hidup yang mereka hadapi, berpangku tangan menerima qada dan qadar. Karena kepercayaan tersebut, maka manusia merasa bahwa usaha yang dilakukannya tidak berdampak besar, sehingga mereka lebih memilih untuk memperkecil usaha dan memperbanyak doa. Sikap seperti inilah yang disebut dengan fatalisme, tidak mendorong pada kemajuan dan produktivitas.34
Berkembangnya pemahaman teologi yang cenderung fatalistik dan deterministik diperkuat oleh kondisi geografis Indonesia sebagai negara agraris, itu artinya kehidupan masyarakat juga berkutat pada lingkup pertanian dan kelautan.
Dari situlah pemahaman aqidah masyarakat muslim Indonesia lebih cenderung pada aliran Asy’ariah. Secara konseptual, sebenarnya Asy’ariah tidak mengajarkan sikap fatalisme. Namun pada realitanya, dimensi ilahiah lebih mendominasi dibandingkan dimensi insaniah. Karena menurut masyarakat muslim Indonesia, ada perasaan bersalah jika cenderung memberikan porsi lebih terhadap usaha dan
34 Muhammad Arifin, Teologi Rasional… h. 47.
29
pilihan, bahkan terkesan menyaingi Tuhan. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat muslim cenderung fatalistik. Dengan demikian, pemahaman teologi umat muslim di Indonesia tidak sepenuhnya berangkat dari teologi Asy’ariah melainkan teologi yang telah direkonstruksi oleh lingkungan dan tradisi kehidupan masyarakat yang agraris yang lebih menekankan kepada sikap kepasrahan terhadap Tuhan, sehingga menyebabkan persoalan teologi di Indonesia ini bersifat konservatif dan kurang memberikan ruang terhadap teologi rasional.35
Pernyataan di atas diperkuat oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yapti Jeneponto, Sulawesi Selatan. Penelitian tersebut membahas bagaimana budaya fatalisme menjadi penyebab kemiskinan komunitas nelayan di kampung Pandang-Pandang, Kecamatan Arungkeke, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Hasil dari penelitian tersebut adalah adanya keyakinan dan kekuatan spiritual yang berimplikasi terhadap kehidupan mereka. Keyakinan dan kepasrahan kepada Tuhan sudah menjadi tradisi turun temurun komunitas tersebut. Mereka lebih mengutamakan doa dalam bentuk ritus dan mistik dari pada upaya untuk mengembangkan nilai-nilai instrumental. Fatalisme menyebabkan mereka komunitas nelayan ini menerima bahwa hidup telah ditentukan oleh Tuhan, dan manusia hanya bertugas menjalaninya. Inilah yang kemudian terwujud dalam tindakan sosial mereka untuk tidak terlalu mengejar nilai lebih dalam bekerja. 36
35 M Ridwan Lubis, Melacak Akar Paham Teologi Islam di Indonesia, Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta. Vol. 14. No. 2. h. 13.
36 Maksud Hakim, Jurnal Fatalisme dan Kemiskinan Komunitas Nelayan, Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Yapti Jeneponto, Sulawesi Selatan, 2019. h. 170.
Tampaknya etos kerja memang tidak terlepas dari sistem kepercayaan seseorang. Hal itu diperoleh dari pengamatan bahwa masyarakat tertentu dengan sistem kepercayaan tertentu memiliki etos kerja yang lebih baik atau lebih buruk dari pada masyarakat lain dengan sistem kepercayaan lain. Misalnya, yang paling terkenal ialah pengamatan Max Weber terhadap masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian dia angkat menjadi dasar dari tesisnya yang terkenal
“Etika Protestan”. Para peneliti lain juga melihat gejala yang sama pada masyarakat dengan sistem kepercayaan yang berbeda seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert Bellah), Santri di Jawa (oleh Geertz), dan Hindu Brahmana di Bali (juga oleh Geertz), serta seorang peneliti yang mengamati hal serupa untuk kaum Isma‘ili di Afrika Timur.37
E. Takdir Menurut Tokoh Pemikir Islam Kontemporer
Di era kontemporer saat ini, para tokoh muslim juga menyumbangkan sejumlah pemikirannya mengenai diskursus keharusan universal ini. Seperti Harun Nasution, Muhammad Abduh, Nurcholish Madjid.38
1. Harun Nasution
Harun Nasution, merupakan sosok pembaharu Islam yang lahir di Siantar, Sumatera Utara pada hari selasa tanggal 23 September 1919. Ayahnya adalah
37 Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Jakarta: Democracy
Project, 2011), h. 678.
38 Alasan penulis mengambil ketiga tokoh ini adalah;
1. Harun Nasution: merupakan tokoh pembaharu yang memperkenalkan ilmu kalam pertama kali dalam ranah institusi pendidikan yaitu IAIN/UIN Jakarta
2. Muhammad Abduh: merupakan tokoh Muslim yang terkenal dengan pemikiran rasionalismenya yang sangat kuat.
3. Nurcholish Madjid: merupakan tokoh pembaharu pemikiran Indonesia yang mengusung tema keIslaman dan kemodernan, sehingga sesuai dengan konteks zaman.
31
seorang ulama zaman dahulu yang mengetahui kitab-kitab Jawi, dan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang sewaktu gadisnya pernah bermukim di Mekah sehingga dapat berbahasa Arab.39 Pola pemikirannya bercorak rasionalis, modernis, dan berlandaskan pada kekuatan akal dan wahyu.
Pemikiran teologi Harun Nasution memiliki ciri khas bersifat bebas, realistis, dan memberikan implikasi langsung pada kehidupan sosial. Oleh karenanya sering disebut sebagai teologi rasional. Mengenai persoalan takdir, Harun Nasution memandang bahwa perlu adanya pemahaman yang tepat mengenai diskursus takdir ini.40 Karena, hal ini dapat mempengaruhi terhadap produktivitas masyarakat. Dalam pemahamannya, agama mengajarkan dua hal. Pertama, sesudah kehidupan dunia yang materil ini terdapat kehidupan akhirat yang bersifat spiritual.
Keduanya memiliki efeknya masing-masing. Jika manusia memandang bahwa kehidupan dunia ini jauh lebih penting, maka tingkat produktivitasnya akan meningkat, tentu agar mendapat kepuasan dan kebahagiaan hidup di dunia, begitupun sebaliknya. Al-Qur’an dan Hadis telah menyatakan bahwa antara kehidupan yang bersifat material atau duniawi dan kehidupan ukhrawi yang bersifat spiritual adalah dua hal yang sama-sama penting. Untuk mencapai kebahagiaan akhirat, tidak harus meninggalkan kehidupan dunia, begitupun ketika ingin mendapatkan kebahagiaan duniawi. Islam mementingkan keduanya sehingga tercapai kehidupan hasanah di dunia maupun akhirat. Kedua, agama mengajarkan persoalan nasib dan perbuatan manusia. Jika nasib manusia telah ditentukan oleh Tuhan, termasuk perbuatan manusia, maka tingkat produktivitas masyarakat akan
39 Nurhidayat Muh.Said, Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran
Harun Nasution”, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006). h. 9.
40 Muhammad Arifin, Teologi Rasional… h.10.
rendah, karena memandang bahwa segala sesuatu telah ditentukan, oleh karenanya manusia tidak memiliki kuasa apa pun atas perbuatannya. Paham ini dikenal dengan fatalisme. 41
Harun Nasution memandang bahwa umat Islam seharusnya dapat mengamalkan ide-ide kaum Mu’tazilah sebagai basis dalam membangun filsafat dan teologi Islam yang rasional dan modern, terlebih jika ingin beradaptasi dengan modernitas. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan gairah rasionalisme dan mengeliminasi dampak negatif tradisionalisme.42 Itu artinya, manusia harus mampu menempatkan akal secara dominan dalam hidupnya. Karena dengan begitu, manusia dapat memaksimalkan kebebasan berpikir dan bertindaknya namun dengan syarat tidak terlepas dari ajaran dasar al-Qur’an dan Hadis.
Menurut Harun Nasution term takdir dan sunatullah memiliki makna yang berbeda. Takdir adalah ketetapan Tuhan, sedangkan sunatullah adalah hukum alam.
Dalam terminologi Barat sering disebut sebagai natural laws. Namun terdapat perbedaan di antara keduanya, natural laws merupakan ciptaan alam, sedangkan sunatullah merupakan ciptaan Tuhan.43
Harun Nasution memandang bahwa Tuhan melaksanakan segala sesuatu, mewajibkan dan membatasi diri-Nya, berdasarkan ketetapan yang telah dibuat-Nya sendiri. Sebagaimana pemimpin konstitusional berkewajiban mengatur rakyatnya berdasarkan konstitusi negara tersebut. Terdapat empat jenis perbuatan Tuhan kepada manusia; kewajiban Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia, tidak
41 Harun Nasution, Islam Rasional... h. 113.
42 Muhammad Arifin, Teologi Rasional Perspektif Pemikiran... h. 9.
43 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003). h. 124.
33
memberikan beban diluar batas kemampuan manusia, mengirim rasul-rasul dan janji serta ancaman. 44
2. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh, merupakan salah seorang mufti, teolog, sekaligus pembaharu Islam modern yang berasal dari Mesir. Karya-karyanya banyak mendapatkan pujian oleh generasi-generasi berikutnya. Ide-ide pembaharuannya bersumber dari keadaan sosial budaya yang melatarbelakanginya serta pada guru- guru yang memang ahli pada bidangnya. Pemikirannya bersifat sangat rasional, mendudukkan akal di posisi yang penting dan utama dalam memahami berbagai fenomena, namun tetap dalam ikatan rujukan al-Qur’an dan Hadis.
Dalam memahami persoalan keharusan universal, Muhammad Abduh mengkaitkan dengan qaḍa dan qadar. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatannya dengan didukung oleh tiga unsur; akal, kemauan, dan daya. Akan tetapi kebebasan tersebut bersifat terbatas, artinya masih ada kekuatan di atas akal manusia. Qaḍa diartikan sebagai kaitan antara ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui, sedangkan qadar adalah terjadinya segala sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan. Sehingga menurut Abduh, Tuhan tidak ikut campur dalam menentukan perbuatan manusia, akan tetapi Tuhan mengetahui apa-apa yang terjadi. Dalam hal ini Tuhan berperan sebagai Yang Maha Tahu, namun tidak sebagai penghalang bagi manusia dalam menentukan kebebasannya. Dengan demikian, menurut Muhammad Abduh manusia itu memiliki kebebasan dalam bertindak, mempunyai pilihan sendiri atas tindakannya,
44 Muhammad Arifin, Teologi Rasional Perspektif Pemikiran... h. 36.