• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan inovasi produk dan jasa perbankan dalam satu dekade terakhir memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Produk dan jasa yang ditawarkan perbankan juga semakin berkembang sejalan dengan keinginan nasabah untuk mendapatkan layanan keuangan yang semakin lengkap dan komprehensif. Kecenderungan nasabah untuk melihat bank sebagai “financial supermarket” telah mendorong bank harus menciptakan produk berbasis teknologi yang lebih bervariasi dalam satu atap. Nasabah bank saat ini bahkan tidak hanya ingin mendapatkan produk bank saja melainkan juga produk lembaga keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan sekuritas seperti produk bancassurance, asset backed securities, credit linked notes, dan reksadana. Teknologi merupakan faktor kritikal bagi bank didalam memenangkan persaingan ekonomi global pada era digital karena dianggap dapat memenuhi strategi keunggulan bersaing perusahaan (Huang and Hu, 2007).

Secara makro, perbankan merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dimana kinerja perbankan sepanjang tahun 2003-2008 memperlihatkan peningkatan seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Selama 2008 terjadi peningkatan simpanan masyarakat sebesar 16,06% dimana produk simpanan seperti tabungan merefleksikan sangat pentingnya dukungan teknologi karena berkaitan dengan Automated Teller Machine (ATM), SMS banking, internet banking, electronic data capture, cash management, phone banking, kiosk, dan koneksi dengan pihak ketiga lainnya seperti ticketing dan bill payment.

Tabel 1. Kinerja Perbankan Indonesia 2003-2008

Kelompok Bank Posisi

2003 2004 2005 2006 2007 2008 Total Asset (Rp T) 1.196,2 1.272,3 1.469,8 1.693,5 1.986,5 2.310,6 DPK (Rp T) 888,6 963,1 1.127,9 1.287,0 1.510,7 1.753,3 Kredit (Rp T) 477,2 595,1 730,2 832,9 1.045,7 1.353,6

LDR (Kredit / DPK) 53,7 61,8 64,7 64,7 69,2 77,2

NIM 3,2 6,3 6,2 7,7 8,9 10,8

NPLs Gross (%) 8,2 5,8 8,3 7,0 4,6 3,8

Laba/Rugi 2,7 5,1 3,2 40,5 49,9 48,1

Permodalan 110,9 118,6 115,9 134,5 193,7 219,2

Sumber: Laporan Bank Indonesia (2009)

(2)

2 Dari segi infrastruktur secara fisik, sampai dengan bulan April 2009 jaringan kantor bank umum juga bertambah sebanyak menjadi 12.201 kantor.

Peningkatan jumlah kantor bank seperti terlihat pada Tabel 2 mengindikasikan meningkatnya kebutuhan akses masyarakat terhadap layanan perbankan dan sekaligus mencerminkan adanya suatu peluang bisnis perbankan.

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Cabang Bank 2003-2008

Jumlah Posisi

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Bank 138 133 131 130 130 124

Kantor 7.730 7.939 8.236 9.110 9.680 10.936

Sumber: Laporan Bank Indonesia (2009)

Industri perbankan merupakan suatu industri yang bersifat padat modal dan memiliki risiko usaha yang sangat tinggi khususnya di bidang teknologinya, sehingga penerapan suatu strategi bisnis bank yang tidak tepat waktu maupun tujuan dapat menimbulkan dampak yang luar biasa mengingat mahalnya biaya exit policy yang harus ditanggung. Jatuhnya industri perbankan Indonesia paska krisis tahun 1997 juga berpengaruh terhadap kestabilan sektor keuangan secara keseluruhan yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kelangsungan sektor riil sehingga kestabilan sistem perbankan maupun keuangan harus dipertahankan. Peranan bank yang semakin terintegrasi dengan perekonomian suatu negara berdampak lemahnya sektor perbankan tidak hanya akan mempengaruhi ketahanan perekonomian jangka panjang, melainkan juga dapat memicu krisis finansial yang selanjutnya mendorong suatu krisis ekonomi seperti di atas (Vaithilingm et al., 2006). Strategi arsitektur Teknologi Informasi (TI) perbankan yang bagus dan komprehensif diharapkan dapat mendukung tujuan stabilitas ekonomi sekaligus mampu memenuhi salah satu pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API) tentang perlunya penciptaan dan penguatan infrastruktur pendukung industri perbankan Indonesia (API, 2004).

Kemajuan teknologi perbankan yang sangat pesat telah memungkinkan berkembangnya berbagai saluran distribusi elektronis untuk memasarkan produk dan jasa bank menjadi semakin beragam, mudah, serta tidak berbatas. Bank- bank semakin banyak menawarkan dan mendistribusikan produk dan jasanya dengan memanfaatkan suatu saluran distribusi berbasis elektronik seperti ATM, internet banking, phone banking, transfer dana elektronis, dan point of sales (Devlin, 1995). Perkembangan TI dalam distribusi pelayanan jasa bank tersebut

(3)

3 menyebabkan telah meningkatnya risiko yang dihadapi oleh industri perbankan baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Seperti kasus pencurian data kartu kredit yang telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran online melalui internet banking (Khanfar, 2007). Meningkatnya risiko tersebut harus mampu diantisipasi dalam prinsip kehati-hatian sehingga penerapan pengawasan dan pengaturan perbankan ke depan harus berbasis manajemen risiko.

Pentingnya teknologi untuk mendukung operasional transaksi perbankan disadari oleh berbagai pihak termasuk regulator perbankan. Bank Indonesia (BI) dari waktu ke waktu telah aktif meningkatkan layanan berbasis teknologi seperti koneksi elektronis on-line antara bank-bank dengan BI seperti Real-Time Gross Settlement (BI-RTGS) untuk meningkatkan likuiditas baik likuiditas pasar uang antar bank maupun likuiditas individu bank sekaligus mengurangi risiko penyelesaian transaksi. Regulasi BI dalam bidang TI tidak dimaksudkan untuk membatasi investasi yang dapat dilakukan perbankan, melainkan lebih untuk memastikan tersedianya suatu sistem dan prosedur transaksi yang memadai demi keamanan nasabah dan berguna untuk kepentingan pengelolaan risiko.

Peran BI dalam mengatur penerapan teknologi bagi perbankan adalah terhadap aspek keamanan yang harus sesuai standar internasional (Miftach, 2003).

Untuk menghadapi peningkatan kompleksitas bisnis bank yang berdampak terhadap risiko teknologinya, pada tahun 2007 BI telah melakukan antisipasi dengan mengeluarkan aturan penerapan manajemen risiko di bidang TI dengan maksud agar bank semakin memberikan perhatian kepada kemampuan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko TI perbankan.

Penentuan strategi investasi TI merupakan hal yang terpenting didalam proses pengambilan keputusan stratejik teknologi karena nilai investasinya terus mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya (Borenstein and Betencourt, 2005). Disisi lain, persaingan antar bank yang semakin ketat mendorong bank-bank harus mampu beroperasi secara lebih efisien dengan cara memanfaatkan teknologi (Zhu et al., 2002). Seperti dapat dilihat pada Gambar 1, biaya teknologi di industri keuangan terus mengalami peningkatan secara signifikan dari waktu ke waktu dan diharapkan turun sejalan dengan perkembangan teknologi baru.

(4)

4

Gambar 1. Biaya Teknologi dan Umum Global Financial Services (IBM, 2005)

Konsep strategi teknologi informasi berkembang dari waktu ke waktu dan saat ini lebih didorong oleh kebutuhan bisnis untuk meningkatkan pelayanan (business driven) sekaligus dapat menghadapi persaingan yang semakin bersifat global. Perkembangan teknologi sering menimbulkan konflik karena berkembang lebih cepat dari kebutuhan bisnis dan kadang justru berfungsi sebagai pendorong bisnis (technology-driven) yang tidak dapat dihindari (Berman and Hagan, 2006).

Teknologi juga sering berkembang karena faktor kemujuran dibandingkan karena perencanaan disain formal (Ciborra, 1994). Pada era tahun 1980-an, strategi teknologi lebih ditujukan pada otomatisasi back office untuk penghematan biaya dan penanganan jumlah transaksi yang tinggi. Pada era 1990-an penggunaan teknologi ditujukan untuk keperluan mendekati nasabah. Saat ini teknologi perbankan banyak difokuskan untuk mendukung peningkatan jumlah saluran distribusi (delivery channel) berupa kantor cabang, ATM, internet banking, dan phone banking. Dengan kata lain perencanaan strategi teknologi sebenarnya baru terbatas kepada bagaimana teknologi dapat memenuhi kebutuhan organisasi dan lebih menaruh perhatian terhadap kapabilitas dan sumber daya teknologi yang meliputi perangkat keras, perangkat lunak, telekomunikasi, implementasi sistem, dan dukungan pengguna (Ward and Peppard, 2002).

Konsep strategic alignment antara unit bisnis dan teknologi yang dikembangkan Massachusetts Institute of Technology pada era 1990an menjadi kurang begitu populer ketika muncul era keunggulan bersaing dimana faktor kelebihan pesaing menjadi kunci utama kesuksesan suatu perusahaan (Morton, 1991).

205 220 225

275 312

350

264 253 258

230

111 107 102

100

0 50 100 150 200 250 300 350 400

2001 2002 2003 2004 2005e 2006e 2007e 2008e 2009e 2010e

Potensi penurunan biaya kepatuhan

US$ Billion

(5)

5 Paska krisis 1997, perbankan yang tidak menyiapkan strategi secara tepat dan lemah tata kelola teknologi informasinya telah merasakan dampaknya dimana persaingan semakin meningkat tetapi nilai investasinya justru menjadi luar biasa mahal. Tingginya beban perusahaan karena mahalnya biaya investasi teknologi dapat menimbulkan kegagalan karena meningkatknya risiko operasional dan risiko reputasi. Ketidaksiapan strategi dalam mendukung sistem pengendalian interen untuk mendukung kepercayaan investor terbukti dengan banyaknya penyimpangan seperti kasus Enron, WorldCom, Philadelphia, dan Tyco hingga memunculkan The Sorbones-Oxley Act tahun 2002.

Investasi di bidang teknologi dengan nilai sangat besar dan kadang tanpa memandang manfaatnya bagi bisnis sering memunculkan tanda tanya seperti kasus teknologi aplikasi Enterprise Resource Planning (Davenport, 1998) dimana hanya 25% proyek ERP yang dianggap berhasil (Impact, 1998). Tingginya nilai investasi teknologi yang secara global mencapai $2 trilyun per tahun guna meningkatkan keunggulan kompetitif dan produktivitas justru dapat menimbulkan permasalahan karena teknologi menjadi target sekaligus tumpuan harapan berbagai pihak (Applegate et al., 2007). Kesulitan mengukur nilai manfaat dari investasi teknologi yang nilainya sangat besar telah memunculkan tantangan tersendiri (Carr, 2004; DeJarnett et al., 2004). Kompleksitas menjadi semakin bertambah ketika investasi teknologi yang kritikal dan mahal ternyata memerlukan analisis multi dimensi karena keberhasilannya sangat tergantung kepada kesiapan aspek-aspek lainnya, seperti SDM, jaringan, infrastruktur, dan potensi kegagalan dalam implementasinya.

Sebagian pihak menganggap teknologi penting karena dapat meningkatkan daya saing perbankan, mendukung proses transaksi internal, dan pengambilan keputusan stratejik. Disisi lain, dengan semakin tersedianya teknologi dari pihak ketiga, teknologi dipandang sebagai komoditas belaka dan kedepan tidak lagi menjadi sesuatu yang unik yang dapat memberikan keunggulan bersaing (Carr, 2003). Kesulitan lain adalah menjadi pionir tidak menjamin menjadi penguasa pangsa pasar karena perusahaan yang masuk pasar kemudian dapat memiliki teknologi yang lebih maju dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik (Bohlmann et al., 2002).

Kemajuan teknologi memungkinkan bank untuk meningkatkan efisiensi kegiatan operasional dan mutu pelayanan bank kepada nasabah. Peran teknologi di era ekonomi digital menjadi kontributor kunci dan pendorong bisnis

(6)

6 proses yang semakin tergantung kepada teknologi (Earl and Khan, 2001). Tetapi penggunaan teknologi dapat meningkatkan risiko yang dihadapi bank sehingga bank perlu menerapkan manajemen risiko secara efektif (PBI, 2007). Risiko menjadi semakin tinggi karena 80% aplikasi teknologi perbankan memerlukan kustomisasi, lebih tinggi dari industri manufaktur (Kaiser, 2001). Pentingnya pemahaman manajemen atas risiko operasional juga menekankan bahwa risiko perbankan semakin meningkat pesat tidak hanya disebabkan oleh perubahan teknik manajemen risiko semata, tetapi juga teknologi yang digunakannya (Basel, 2003). Perubahan drastis di bidang teknologi komunikasi telah memungkinkan suatu cara lain bagi nasabah untuk berinteraksi dengan bank melalui perdagangan elektronis (Robinson and Stanton, 1987) seperti internet banking dan phone banking dan menimbulkan peluang sekaligus tantangan baru dibidang risiko operasional. Perubahan sifat dari risiko operasional karena perkembangan teknologi baru menuntut bank memiliki suatu praktek pengelolaan risiko operasional yang baru. Bank dari waktu ke waktu perlu mengevaluasi kebijakan dan prosedur saluran distribusi elektronisnya sehingga diharapkan dapat memitigasi faktor strategis berupa risiko reputasi dan hukum yang dihadapi bank.

Perbankan juga menghadapi persaingan serius dari lembaga non bank karena perkembangan teknologi memungkinkan lembaga non bank menciptakan alat pembayaran lain seperti e-payment (Bardley and Steward, 2002). Smartcard sebagai alat pembayaran semakin bervariasi seperti tol, bensin, tempat makan, rumah sakit, parkir, belanja di toko, dan transportasi publik seperti di Hongkong dengan kartu Octopus dan di Malaysia dengan kartu ETC atau Touch’n Go.

Smartcard dengan teknologi microchip juga digunakan pada berbagai sistem pembayaran transportasi publik seperti di London dengan Oyster Card.

Perkembangan global memiliki dampak signifikan terhadap penentuan strategi dan pengelolaan suatu organisasi teknologi informasi (King, 2007).

Persaingan global yang ketat semakin menyulitkan perusahaan untuk meraih keunggulan terutama bagi perusahaan yang mengandalkan efisiensi biaya atau maksimisasi penerimaan (Stapleton, 2003). Sebagian besar perusahaan tidak mungkin lagi mengandalkan perbaikan untuk mendapatkan keunggulan dengan sekedar penurunan biaya. Marjin, OHC, tenaga kerja, persediaan, dan beban lain telah dieksploitasi maksimal melalui kemajuan bertahun-tahun, pesaing berbiaya rendah, disintermediasi, bisnis elektronis,

(7)

7 implementasi Electronic Resource Planning (ERP), dan faktor-faktor lain.

Sebaliknya pendapatan tambahan semakin sulit diperoleh karena nasabah menuntut persyaratan yang longgar, pembebasan fee, dukungan purna jual yang mahal, dan kualitas yang tinggi seperti six-sigma. Hubungan jangka panjang bahkan tidak banyak berarti lagi karena nasabah terus berupaya memotong biaya padahal biaya bank semakin mahal dan menekan marjin. Peluang yang masih bisa dimanfaatkan untuk menghadapi persaingan global paska era keunggulan bersaing adalah kejelian dalam mengalahkan pesaing dimana perusahaan harus lebih lihai dalam mencari data dan informasi tambahan dari sumber yang lebih ahli. Keputusan stratejik yang dibuat juga sangat tergantung pada kecepatan dan kualitas data dan informasi yang dimiliki.

Pengelolaan informasi tersebut memerlukan suatu sistem intelijen bisnis, yang meliputi informasi perilaku nasabah, vendor, teknologi pesaing, kebijakan teknologi, serta infrastruktur teknologi seperti telekomunikasi. Intelijen diperlukan karena data atau informasi yang ada perlu diubah menjadi lebih tertata dan terangkum sehingga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan (Vedder and Vanecek, 1998). Pendekatan intelijen dipandang sebagai strategi pendekatan jangka panjang yang komprehensif dan berimbang yang memiliki fungsi vital, tidak hanya untuk keperluan memperluas pangsa pasar, tetapi juga melindungi pangsa pasar yang ada.

Sistem pakar (Expert System) yang merupakan pengembangan dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dapat membantu memecahkan persoalan pengambilan keputusan yang semi atau tidak terstruktur berdasarkan suatu basis pengetahuan dan basis model. Konsep Jaringan Saraf Tiruan (JST) atau neural network akan digunakan untuk membantu merepresentasikan pengetahuan secara otomatis. Metode Analytical Hierarchical Process (AHP) dapat membantu memecahkan masalah perencanaan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas suatu persoalan multi kriteria (Marimin, 2005). Dimensi yang kompleks dalam pengambilan keputusan teknologi informasi yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik dapat disederhanakan menjadi bagian-bagiannya dan ditata dalam suatu hierarki.

Metode analisis yang dipilih harus mudah dipahami semua pihak yang terlibat pada proses pengambilan keputusan. Keputusan teknologi informasi adalah suatu proses pengambilan keputusan stratejik karena masalahnya sangat

(8)

8 kompleks dan saat ini belum terdapat perangkat pengambilan keputusan yang sepenuhnya memadai yang dapat mengakomodasi berbagai aspek justifikasi strategi teknologi informasi perbankan (Borenstein and Betencourt, 2005). Latar belakang penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Latar Belakang Penelitian

1.2 Rumusan Permasalahan

Industri perbankan dihadapkan pada berbagai tantangan dan peluang dimana keberhasilannya sangat tergantung pada rancang bangun strategi teknologi informasi yang memiliki aspek multi dimensi sangat kompleks. Konsep perencanaan berbasis keunggulan kompetitif tidak cukup dapat menjamin bank dapat mempertahankan posisinya. Untuk mengalahkan pesaing, yang masih bisa dilakukan adalah memiliki dan mengolah informasi yang lebih dari pesaing.

Pencarian dan pengolahan informasi secara intelijen dari berbagai sumber yang lebih ahli diharapkan membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat, baik untuk keputusan rutin maupun jangka panjang, yang bergantung pada basis pengetahuan dan basis model yang didukung oleh beragam input. Dengan demikian perlu dilakukan langkah-langkah melalui perancangan sistem intelijen bisnis yang dilengkapi dengan metode yang tepat dan terintegrasi sehingga informasi yang didapat dapat bermanfaat bagi pengambilan keputusan stratejik di bidang teknologi perbankan.

Permasalahan:

Sistem Pengambilan Keputusan Upaya:

Justifikasi Strategi Teknologi Bisnis

Perbankan Tantangan

Teknologi Multi Kriteria Multi Dimensi

Bersaing, Optimal, Tata Kelola, Layanan

Solusi:

Sistem Intelijen Bisnis

(9)

9 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah merancang sistem intelijen bisnis dalam mendukung permodelan teknologi informasi perbankan, dengan tujuan antara sebagai berikut:

a. Menganalisis faktor-faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan di bidang teknologi informasi perbankan.

b. Menganalisis penggunaan sistem intelijen bisnis didalam pengambilan keputusan penentuan suatu kegiatan teknologi informasi perbankan.

c. Menentukan solusi teknologi bagi para pengambil keputusan di berbagai tingkat manajemen teknologi informasi sesuai dengan kebutuhan bisnis berdasarkan sumber daya yang dimiliki.

d. Menghasilkan rancang bangun model perencanaan dan model evaluasi teknologi informasi perbankan sehingga dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengambilan keputusan dengan lebih tepat dan cepat.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk membatasi cakupan penelitian dan untuk lebih memfokuskan penelitian, maka ruang lingkup penelitian adalah sebagai berikut:

a. Subyek penelitian adalah membuat rancang bangun sistem intelijen bisnis menggunakan basis pengetahuan dan basis model dari para pakar.

b. Obyek penelitian permodelan untuk pengambilan keputusan strategi teknologi informasi adalah industri perbankan dengan studi kasus pada PT.

Bank Rakyat Indonesia.

c. Di dalam merancang bangun tersebut menggunakan analisis manajemen stratejik aspek-aspek yang berpengaruh kepada perkembangan perbankan meliputi faktor-faktor internal eksternal dan harus secara langsung terkait dengan perkembangan industri perbankan, yaitu: (1) regulasi; (2) perkembangan industri dan bisnis; (3) perilaku pengguna jasa perbankan berbasis teknologi; (4) perkembangan teknologi; (5) tingkat persaingan; dan (6) sumber daya di bidang teknologi.

d. Rancang bangun perencanaan teknologi perbankan dimulai dengan mengkaji ulang dasar-dasar perencanaan dan evaluasi hasil yang dicapai dan bila perlu mengambil tindakan korektif. Bersamaan dengan itu dibangun rancang bangun sistem perencanaan dan evaluasi implementasinya.

(10)

10 1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan sumbangan pemikiran dan permodelan bagi pengambil keputusan dalam merancang sistem intelijen bisnis di bidang teknologi informasi perbankan yang sesuai dengan kebutuhan bisnis namun tetap efektif dan efisien.

b. Memberikan masukan dan rekomendasi tentang evaluasi, antisipasi bersaing, peramalan, kelayakan, dan strategi teknologi informasi perbankan dalam rangka meningkatkan daya saing.

c. Memberikan sinyal peringatan diri yang perlu dilakukan bank sebagai antisipasi menghadapi persaingan internal maupun eksternal berkaitan dengan bidang teknologi informasi.

d. Memberikan wawasan dan alat bantu dalam pengambilan keputusan bagi para manajemen teknologi informasi perbankan di berbagai tingkat maupun kepada peneliti lain yang memiliki minat dalam pengembangan rancang bangun sistem intelijen bisnis.

(11)

Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB

Referensi

Dokumen terkait

Produk ikan lele yang dipasarkan oleh petani di Kabupaten Indramayu merupakan produk ikan lele dalam kondisi hidup dan sangat diutamakan ikan lele dengan ukuran 7-9 ekor perkilogram,

yang telah diikuti ole penjualan, Sumber : KP Gam Be mengikuti atau kesim rata perse 3 tiga k lebih dari responden responden peningkata kondisi ya yang men yang telah yang telah Ga

manis yang bervariasi, perusahaan harus selalu menyediakan persediaan dalam jumlah yang cukup besar guna mengatasi lonjakan permintaan atau kekurangan terhadap roti manis rasa tertentu

Usaha pembibitan sapi potong merupakan usaha yang memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan, mengingat kondisi saat ini yang masih kekurangan daging sapi dan permintaan akan daging

Dengan dibangunnya klaster industri kelapa sawit di Indonesia diharapkan Indonesia mampu menghasilkan nilai tambah produk turunan sawit tertinggi, meningkatkan daya saing kelapa sawit

Kinerja BPR Bank Pasar Bogor berdasarkan penilaian Bank Indonesia cukup baik, pada tahun 2007 total kredit yang diberikan mencapai Rp10 415 016 526, dengan kredit macet non performing

Alasan karena: Pertama, penerapan konsep CRM yang biasa dilakukan pada hukum pareto yaitu meningkatkan pelayanan yang lebih atau membedakan pelayanan bagi 20 persen nasabah yang

5 Apakah perubahan BO dapat dilakukan untuk pengembangan organisasi yang berdampak pada peningkatan kapabilitas organisasi yang pada gilirannya meningkatkan kinerja organisasi 6 Apakah