Kemampuanpemecahanmasalah merupakan salah satu kemampuan dasar matematika yang perlu dimiliki oleh siswa.Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pengajaran matematika dan berpengaruh terhadap kemampuanpemecahanmasalahmatematik adalah model pembelajaran konstruktivisme. Dalam pembelajaran konstruktivisme siswa dituntut untuk merancang sendiri konsep matematika yang akan dipelajari dengan pengalaman yang dialaminya sendiri.Salah satu langkah yang dilakukan yaitu m e n e r a p k a n m o d e l p e m b e l a j a r a n konstruktivisme terhadap kemampuan p e m e c a h a n m a s a l a h m a t e m a t i k siswa.Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Konstruktivisme Terhadap KemampuanPemecahanMasalahMatematik Siswa.
Berdasarkan hasil analisis gain ternormalisasi didapat gain dari kemampuanpemecahanmasalahmatematik siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan berasal dari varian yang tidak homogen sehingga untuk menguji perbedaan rata-rata skor kemampuanpemecahanmasalahmatematik siswa dari kedua kelas digunakan uji-t’ pada taraf signifikansi a = 0,05 dengan kriteria terima H0 jika thitung < ttabel , pada keadaan lain tolak H 0 . Dari hasil uji-t dengan menggunakan SPSS didapat thitung = 4,625 dengan derajat bebas df = 58. Dengan a = 0,05 dan df=58 maka t tabel = 2,0017. Karena thitung >ttabel , maka H0 ditolak. Hasil yang sama jika dilakukan uji perbedaan rata-rata menggunakan One Way Anova. Uji statistik yang digunakan pada One Way Anova adalah uji-F, dengan menggunakan SPSS didapat F hitung = 21,392 pada derajat bebas pembilang = 1 dan derajat bebas penyebut = 58. Dengan dasar derajat bebas tersebut, dan menggunakan a = 0,05 maka diperoleh Ftabel=5,30. Karena F hitung > F tabel , maka disimpulkan bahwa H 0 ditolak. Penolakan hipotesis nol menunjukkan bahwa peningkatan kemampuanpemecahanmasalahmatematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode drill secara signifikan lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran matematika konvensional.
Salah satu upaya pendidikan agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah melalui pendidikan matematika. Matematika merupakan ilmu yang universal. Artinya sebagian besar disiplin ilmu yang ada diluar matematika, secara langsung maupun tidak langsung memanfaatkan konsep matematika. Sebagaimana juga tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bahwa matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan pesat yang terjadi dibidang teknologi belakangan ini tidak dapat dipungkiri pada dasarnya dilandasi oleh perkembangan dibidang ilmu matematika. Oleh sebab itu, matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi agar mereka memiliki kemampuan berpikir logis, analisis, kritis dan kreatif untuk menghadapi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Pembelajaran matematika merupakan aspek penting bagi siswa disekolah. sejalan dengan yang dirumuskan National Council of Teacher of Mathematics atau NCTM (Wahyudin, 2008:62) yaitu: “(1) daya matematis bagi semua dalam masyarakat teknologi; (2) matematika sebagai sesuatu yang seseorang lakukan menyelesaikan masalah, berkomunikasi, bernalar; (3) suatu kurikulum untuk semua yang meliputi rentang luas muatan, beraneka ragam konteks, dan koneksi- koneksi yang terencana; (4) belajar matematika sebagai proses aktif yang konstruktif; (5) pembelajaran didasarkan pada masalah-masalah yang nyata”. Dengan belajar matematika siswa dapat berlatih menggunakan pikirannya secara logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta memiliki kemampuan bekerja sama dalam menghadapi berbagai masalah”.
Lembar observasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual pesisir tersebut disusun berdasarkan indikator-indikator yang perlu muncul dalam pembelajaran kontekstual berbasis potensi pesisir. Indikator- indikator tersebut secara umum adalah penggunaan masalah kontekstual pesisir, membangun pengetahuan siswa, mengajukan pertanyaan, mengarahkan penemuan konsep, menciptakan komunitas belajar, menggunakan model, menilai secara otentik, dan melakukan refleksi pada akhir proses pembelajaran. Sedangkan lembar observasi aktivitas siswa disusun berdasarkan indikator-indikator: keaktifan bertanya, keberanian mengemukakan dan mempertahankan pendapat, bernegosiasi, keaktifan dalam pemecahanmasalah secara mandiri dan diskusi kelompok, keterlibatan siswa dalam memecahkan masalah pesisir yang diberikan dalam LKS, dan menemukan kembali konsep atau pengetahuan matematika yang sedang dipelajari. Hasil observasi aktivitas guru dan siswa tersebut memberikan gambaran tentang kualitas pelaksanaan proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual berbasis potensi pesisir yang digunakan dalam pembelajaran matematika di kelas eksperimen. Lembar observasi aktivitas guru dan siswa secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B-4 (hal. 394 – 397).
Guru matematika memiliki tugas berusaha memampukan siswa memecahakan masalah sebab salah satu fokus pembelajaran matematika adalah pemecahanmasalah. Sehingga kompetensi dasar yang harus dimiliki setiap siswa adalah standar minimal tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang terefleksi pada pembelajaran matematika dengan kebiasaan berpikir dan bertindak memecahkan masalah. Dalam upaya meningkatkan kemampuanpemecahanmasalah siswa, hendaknya guru berusaha melatih dan membiasakan siswa melakukan bentuk pemecahanmasalah dalam kegiatan pembelajarannya. Seperti memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengadakan perbincangan yang ilmiah guna mengumpulkan pendapat, kesimpulan atau menyusun alternatif pemecahan atas suatu masalah.
Model Treffinger adalah proses pembelajaran yang mencakup dua ranah, yaitu kognitif dan afktif. Model Treffinger terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap pertama Basic Tools, tahap ini meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknik-teknik kreatif. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan kelancaran dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapkan pemikiran kreatif kepada orang lain. Tahap kedua Practice with process, pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools dalam situasi praktis. Tahap ketiga Working with Real Problems, Pada tingkat ini siswa menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools dan practice with process terhadap tantangan dunia nyata. 12 Karakteristik yang paling dominan dari model pembelajran Treffinger ini adalah upaya dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif siswa untuk mencari arah-arah penyelesaian yang akan ditempuh siswa untuk memecahkan permasalahan. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan model Treffinger diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas siswa sehingga akhirnya mampu meningkatkan kemampuanpemecahanmasalah matematika siswa, mengarahkan siswa untuk berpikir secara logis tentang hubungan antar konsep dan situasi dalam permasalahan yang diberikan serta menghargai keragaman berpikir yang timbul selama proses pemecahanmasalah berlangsung.
4) Mengajarkan kemampuanpemecahanmasalah dalam konteks yang akan pebelajar gunakan. Masalah autentik dilakukan dengan menjelaskan, praktik, dan penilaian dengan simulasi, permainan, dan proyek berbasis skenario. Tidak mengajarkan pemecahanmasalah sebagai sesuatu yang abstrak, tidak kontekstual
Agar diperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka harus menggunakan teknik pengumpulan data yang tepat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuanpemecahanmasalahmatematik yang dilaksanakan pada akhir pengembangan kompetensi. Tes tersebut dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan permasalahan matematik dengan langkah-langkah pemecahan menurut Polya, serta penguasaan peserta didik terhadap materi yang telah diberikan pada tiap tindakan pembelajaran.
Instrumen yang digunakan berupa tes untuk menguji kemampuan pemahaman, tes untuk menguji kemampuanpemecahanmasalahmatematik, dan pedoman observasi. Bentuk tes yang digunakan adalah tes pilihan ganda bervariasi dengan cara siswa diberi alternatif pilihan yang disertai dengan alasan singkat. Bentuk tes kemampuanpemecahanmasalahmatematik berupa tes uraian. Sebelum instrumen diberikan kepada siswa, peneliti mengujicobakan tes kemampuan pemahaman, tes kemampuanpemecahanmasalahmatematik, untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran soal.Uji coba tersebut dilakukan pada kelas dan sekolah yang setara dengan sampel penelitian, setelah dikonsultasikan pada ahli dibidangnya, dalam hal ini dosen dan guru senior matematika. Pedoman observasi tidak diujicobakan, tetapi dikonsultasikan kepada ahli dibidangnya, dalam hal ini dosen pembimbing. Tes kemampuan pemahaman disusun dalam bentuk pilihan ganda bervariasi, yaitu pilihan yang disertai dengan alasan singkat. Banyaknya terdiri terdiri dari 30 butir soal baik pemahaman instrumental maupun pemahaman relasional. Bila alternatif jawaban dan penjelasan singkat salah, maka diberi skor 0. Bila alternatif jawaban benar dan penjelasan singkat salah, maka diberik skor 1. Bila alternatif jawaban dan penjelasan singkat benar, maka diberi skor 2.
Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum sekolah dasar dan menengah. Di mana dalam pembelajaran guru diharapkan aktif dalam menyiapkan dan memberi pelajaran yang sesuai untuk memperkaya dan mempercepat perkembangan pengetahuan dan mental siswa. Karena itu pengetahuan siswa yang diperoleh bukan karena meniru dan bukan pula menggambar realitas di luar diri siswa tetapi dikontruksi melalui proses membuat struktur, kategori, konsep dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan (Ajisaka, 2007). Dengan demikian diharapkan kemampuan koneksi dan pemecahanmasalahmatematik akan terstruktur dalam skemata siswa.
Penelitian ini mengkaji bagaimana kemampuanpemecahanmasalahmatematik, kemampuan komunikasi matematik, dan disposisi matematik siswa setelah melalui proses pembelajaran dengan strategi Mathematical Eliciting Activities (MEAs). Penelitian kuasi dengan rancangan static group comparison ini melibatkan 122 siswa dari dua sekolah SMP Negeri di Depok yang berkategori atas dan menengah. Data penelitian ini dihimpun melalui instrumen-instrumen yang meliputi tes pengetahuan awal matematik, tes kemampuanpemecahanmasalahmatematik, tes kemampuan komunikasi matematik, dan skala disposisi matematik. Pelaksanaan penelitian dilakukan sejak bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan April 2011. Analisis data menggunakan uji beda Rerata, uji Chi- Kuadrat, dan ANOVA dua jalur. Hasil penelitian, baik dari data gabungan maupun di sekolah level atas, menginformasikan bahwa siswa yang terlibat dalam pembelajaran dengan strategi MEAs memiliki kemampuanpemecahanmasalah, komunikasi maupun disposisi matematik yang lebih baik daripada siswa yang terlibat dalam pembelajaran konvensional. Siswa yang mendapat pendidikan di sekolah dengan level menengah, menunjukkan bahwa pembelajaran MEAs maupun konvensional dapat mengembangkan kemampuanpemecahanmasalah, komunikasi maupun disposisi matematik pada ketercapaian yang tidak berbeda secara signifikan. Di sekolah level menengah, ternyata kemampuan komunikasi matematik siswa dengan PAM rendah di kelas konvensional sedikit lebih tinggi (5,71 > 5,60) dari siswa yang mendapat pembelajaran MEAs. Hal ini menjelaskan bahwa pembelajaran MEAs kurang tepat dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematik jika diterapkan pada siswa dengan PAM rendah dari sekolah level menengah. Baik di sekolah level atas maupun menengah, pengaruh pembelajaran terhadap kemampuanpemecahanmasalah, komunikasi dan disposisi matematik tidak dipengaruhi oleh level sekolah dan pengetahuan awal matematik siswa. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pengaruh interaksi yang signifikan antara level sekolah dengan kategori pembelajaran, antara kategori PAM dengan kategori pembelajaran terhadap kemampuanpemecahanmasalah, komunikasi maupun disposisi matematik siswa. Pada kelas dengan pembelajaran MEAs terdapat keterkaitan antara kemampuanpemecahanmasalahmatematik dengan kemampuan komunikasi matematik, antara kemampuanpemecahanmasalahmatematik dengan disposisi matematik dan antara kemampuan komunikasi matematik dengan disposisi matematik.
Selain dari penalaran ada aspek lain yang perlu dimiliki siswa yaitu kemampuanpemecahanmasalah. Pemecahanmasalah dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu kemampuan yang ingin dicapai dan merupakan doing mathematics yang diharapkan dapat dicapai siswa. Menurut Branca (1980), pemecahanmasalah merupakan salah satu tujuan pengajaran matematika. Menurut Polya(1985) bahwa tugas utama guru matematika di sekolah ialah menggunakan segala kemampuannya untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah metematika
Selanjutnya Sumarno (1993) menyatakan bahwa kemampuan siswa SMA kelas X dalam menyelesaikan masalah matematika pada umumnya belum memuaskan. Banyak siswa yang beranggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang menakutkan bahkan merupakan mata pelajaran yang paling sulit dipelajari. Turmudi (2008:1) mengatakan ”bertahun -tahun telah diupayakan agar matematika dapat dikuasai siswa dengan baik oleh ahli pendidikan dan ahli pendidikan matematika. Namun hasilnya masih menunjukkan bahwa tidak banyak siswa yang menyukai matematika.” Bahkan tidak sedikit anak yang takut pada pelajaran
Dari semua uraian di atas, jelas terlihat bahwa metode pembelajaran PemecahanMasalah Kreatif pada pokok bahasan bangun datar segi empat, yang diterapkan pada proses pembelajaran dalam penelitian di SMP PARAMARTA Jombang Ciputat memberikan dampak yang positif yaitu siswa mampu menyatakan ide dalam kalimat matematika, menggambar dengan tepat, menuliskan gagasan dengan kalimat sendiri, dan melakukan perhitungan dengan tepat. Selain itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa siswa-siswa yang pembelajarannya dengan metode PemecahanMasalah Kreatif pada umumnya mengutamakan proses penyelesaiannya dengan cara yang berbeda-beda untuk menyelesaikan setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa yang pembelajarannya dengan metode konvensional lebih mengutamakan hasil akhir.
siswa tidak mengetahui cara penyelesaian yang terdapat pada soal aplikasi diatas, mereka hanya mengetahui panjang, lebar dan keliling berturut-turut yaitu (2a + 5) meter, (2a – 1) meter, 32 meter, dari 30 siswa ternyata 9 orang siswa mampu menghitung dengan mengunakan rumus keliling persegi panjang tetapi masih bingung untuk menentukan panjang dan lebar kebun Pak Amir. Sedangkan 21 orang siswa tidak bisa memahami masalah yaitu apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal, sehingga mereka tidak mampu merobah kedalam model matematika. Dari permasalahan diatas siswa akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut yaitu menentukan persamaan kebun Pak Amir dan menghitung panjang beserta lebar kebun Pak Amir. Sehingga dapat kita katakan bahwa kemampuan siswa memecahkan masalah masih sangat rendah.
Montague (2007) mengatakan bahwa pemecahanmasalah matematis adalah suatu aktifitas kognitif yang komplek yang disertai proses dan strategi. Niskayuna (1993) menggolongkan tiga intrepretasi pemecahanmasalah yaitu 1). pemecahanmasalah sebagai pendekatan (Approach): maksudnya pembelajaran diawali dengan masalah; 2). PemecahanMasalah sebagai tujuan (goal): berkaitan dengan pernyataan dengan mengapa matematika diajarkan dan apa tujuan pengajaran matematika; dan 3). Pemecahanmasalah sebagai proses (Procees): suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingya prosedur langkah-langkah, strategi atau cara yang akan dilakukan siswa untuk menyelesaikan masalah sehingga menemukan jawaban.
Uji Korelasi antara kemampuanpemecahanmasalah matematis dengan self- regulated learning siswa dengan menggunakan program microsoft exel . Untuk melihat koefisien korelasi antara kemampuanpemecahanmasalah dengan self- regulated learning maka kedua jenis data harus sama. Karena data kemampuanpemecahanmasalah matematis merupakan data interval, sedangkan self-regulated learning merupakan data ordinal, maka data self-regulated learning harus ditransformasi terlebih dahulu menjadi data interval. langkah-langkah transformasi data telah diuraikan pada tahap pengujian untuk melihat peningkatan kemampuan self-regulated learning .
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahanmasalah. Kemampuan komunikasi dan pemecahanmasalah bagi setiap siswa memiliki kadar yang berbeda. Kemungkinan hal ini karena perbedaan faktor internal dan eksternal yang diperoleh dan dialami siswa. Misalnya karena dukungan orang tua dan adanya hadiah yang diberikan, mendorong siswa untuk lebih giat belajar sehingga kemampuannya lebih terasah.
Selanjutnya kemampuanpemecahanmasalah dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu kemampuan yang ingin dicapai dan merupakan doing mathematics yang diharapkan dapat dicapai siswa. Menurut Branca (1980), pemecahanmasalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika. Menurut Polya (1985) tugas utama guru matematika di sekolah ialah menggunakan segala kemampuannya untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah matematika. Hal senada juga diungkapkan oleh Sumarmo (1994) bahwa pada hakekatnya pemecahanmasalah merupakan proses berfikir tingkat tinggi dan mempunyai peranan yang penting dalam pembelajaran matematika.