• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh model pembelajaran treffinger terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh model pembelajaran treffinger terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk

Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Selvia Ermy Wijayanti

NIM 109017000046

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Agustus 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh model pembelajaran Treffinger terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Penelitian ini dilaksanakan di MTsN Tangerang II Pamulang pada siswa kelas VIII Tahun Pelajaran 2013/2014. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian randomized subject posttest only control design. Pengumpulan data kemampuan pemecahan masalah matematik menggunakan instrumen test.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajar dengan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional (thitung = 3,73 ˃ ttabel = 1,99). Hal ini terlihat dari kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajar dengan model pembelajaran Treffinger pada indikator: mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dan ditanyakan sebesar 91,35%, membuat model matematika sebesar 62,97%, memilih dan menerapkan strategi sebesar 55,41%, dan indikator menjelaskan hasil dan memeriksa kebenaran hasil sebesar 50,3%. Sedangkan siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional pada indikator mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dan ditanyakan sebesar 83,33%, membuat model matematika sebesar 60%, memilih dan menerapkan strategi sebesar 42,08%, dan indikator menjelaskan hasil dan memeriksa kebenaran hasil sebesar 27,22%. Kesimpulan penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran Treffinger berpengaruh lebih tinggi terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.

(6)

ii

Model on the Student’s Ability of Mathematical Problem Solving”. Paper of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training of State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, August 2014.

The purpose of this research is to analyze the effects of Treffinger Learning Model on the student’s ability of mathematical problem solving. This research was conducted in MTsN Tangerang II Pamulangon grade VIII, academic year 2013/2014. The method used was quasi experimental method with randomized subject posttest only control design. Collecting data using a mathematical problem solving ability test instrument.

The results of the study revealed that the mathematical problem-solving ability of students who are taught by the learning model Treffinger higher than students taught with conventional learning models (tcount=3.73>ttable=1.99). This can be

seen from the mathematical problem-solving ability of students who are taught by Treffinger learning model on indicators: identifying the elements that are known and asked for 91.35%, create mathematical models of 62.97%, choose and implement a strategy for 55.41% , and indicators explaining the results and verify theresults of 50.3%. While students who are taught with conventional learning models on the indicator to identify the elementsthat are known and asked for 83.33%, create mathematical models by 60%, choose and implement a strategy for 42.08%, and indicators explaining the results and verify the results of 27.22%. The conclusion of this research is the application of learning models Treffinger higher effect on mathematical problem solving ability of students than with conventional learning models.

(7)

iii

Alhamdulillah segala puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ihsan, nikmat iman, dan nikmat islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun berkat doa, perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan positif dan bantuan dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, M.A, Ph.D selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu keguruan UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pembimbing I yang penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan, waktu, dan arahan dalam membimbing penulis selama ini.

3. Bapak Abdul Muin, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Eva Musyrifah, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang penuh kesabaran

dalam meberikan bimbingan, waktu, arahan dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.

5. Bapak Otong Suhyanto, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menjalani masa perkuliahan. 6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah

(8)

7. Kepala dan Wakil Kepala MTs Negeri Tangerang II Pamulang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Bapak Lukman, S.Pd, selaku guru bidang studi matematika kelas VIII yang telah banyak membantu peneliti pada saat melakukan penelitian.

9. Siswa dan siswi MTs Negeri Tangerang II Pamulang, khususnya kelas VIII-2 dan VIII-4 yang telah menjadi subjek penelitian dan membantu saat proses penelitian.

10. Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta, Ibunda Sunarti dan Ayahanda Sri Wiyanto, yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materil. Juga tak henti-hentinya memanjatkan do’a untuk kelancaran penulis dalam menyusun skripsi. Adik-adikku Windy Dwi J. dan Hestina Tri J. yang selalu memberikan semangat pada penulis dalam keseharian.

11. Muhamad Ramdhan S.Kom yang sudah memberikan dukungan, semangat, dan membantu penulis dalam meyelesaikan skripsi.

12. Sahabatku tercinta, Lina, Nung, Janul, Muth, Erna, Yeni, Ummu dan Ndha terima kasih sudah membantu menghilangkan panik dan memberikan dukungan, kasih sayang serta perhatian kepada penulis.

13. Teman-teman seperjuangan di bangku kuliah Dila, Evin, Ayik, Indah, Syifa, Bunga, Anis, Zia, Thoy, Ayu, Ega, Ria, Sisi, Cici, Rina, Puji, Yusuf, Erdi, Ilham, Arif, Rifan, Angga, Hajroni dan Beni terima kasih untuk dukungan kalian kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulis dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 5 September 2014 Penulis

(9)

iv

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 10

A. Landasan Teoritis ... 10

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa ... 10

a. Pengertian Masalah Matematika ... 10

b. Pengertian Pemecahan Masalah Matematika ... 14

c. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 17

2. Model Pembelajaran Treffinger ... 20

a. Pengertian Model Pembelajaran Treffinger ... 20

b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Treffinger ... 26

c. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Treffinger ... 29

3. Model Pembelajaran Konvensional ... 30

(10)

C. Kerangka Berpikir ... 32

D. Hipotesis Penelitian ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

B. Metode dan Desain Penelitian ... 34

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 35

D. Teknik Pengumpulan Data ... 36

E. Instrumen Penelitian... 36

F. Teknik Analisis Data ... 41

G. Hipotesis Statistik ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Deskripsi Data ... 47

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Eksperimen ... 47

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Kontrol ... 48

3. Persentase Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Menurut Indikator Pemecahan Masalah ... 50

B. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis ... 52

1. Uji Normalitas ... 52

2. Uji Homogenitas ... 53

C. Pengujian Hipotesis ... 54

D. Pembahasan ... 56

E. Keterbatasan Penelitian ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(11)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Langkah Kegiatan Pembelajaran Model Treffinger ... 27

Tabel 3.1. Desain Penelitian Randomized Subject Posttest Only Control Design... 35

Tabel 3.2. Kriteria Koefisien Reliabilitas ... 38

Tabel 3.3. Klasifikasi Interpretasi Taraf Kesukaran... 39

Tabel 3.4. Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda ... 40

Tabel 3.5. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Analisis Instrumen ... 40

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Eksperimen ... 47

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Kontrol ... 48

Tabel 4.3. Statistik Deskriptif Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 49

Tabel 4.4. Persentase Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 51

Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Uji Normalitas ... 53

Tabel 4.6. Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 54

(12)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Grafik Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 50 Gambar 4.2. Persentase Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

(13)

viii

Lampiran 2 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematik Siswa Tahap Prapenelitian ... 74

Lampiran 3 Hasil Tes Kemampuan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Tahap Prapenelitian ... 76

Lampiran 4 RPP Kelas Eksperimen ... 78

Lampiran 5 RPP Kelas Kontrol ... 94

Lampiran 6 Bahan Ajar Siswa Kelas Eksperimen ... 111

Lampiran 7 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa (Sebelum Validasi) ... 146

Lampiran 8 Instrumen Tes Kemampuan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa (Sebelum Validasi) ... 147

Lampiran 9 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik (Sebelum Validasi) ... 150

Lampiran 10 Hasil Uji Validitas Instrumen... 159

Lampiran 11 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 160

Lampiran 12 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen ... 162

Lampiran 13 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen ... 163

Lampiran 14 Perhitungan Uji Validitas Instrumen ... 164

Lampiran 15 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembedadan Tingkat Kesukaran Instrumen ... 166

Lampiran 16 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik ... 167

Lampiran 17 Instrumen Tes Kemampuan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik ... 168

Lampiran 18 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik ... 170

(14)

Lampiran 20 Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik siswa

Kelas Eksperimen... 178

Lampiran 21 Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik siswa Kelas Kontrol ... 180

Lampiran 22 Tabel Distribusi Frekuensi, Perhitungan Kemiringan dan Ketajaman Kelas Eksperimen ... 182

Lampiran 23 Tabel Distribusi Frekuensi, Perhitungan Kemiringan dan Ketajaman Kelas Kontrol ... 187

Lampiran 24 Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 192

Lampiran 25 Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 194

Lampiran 26 Uji Homogenitas ... 196

Lampiran 27 Perhitungan Pengujian Hipotesis ... 198

Lampiran 28 Tabel r Product Moment ... 200

Lampiran 29 Tabel Nilai Kritis Distribusi Chi-Square ... 201

Lampiran 30 Tabel Nilai Kritis Distribusi F... 203

(15)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah banyak merubah aspek kehidupan manusia. Salah satu yang mendasari hal tersebut adalah pendidikan.Melalui pendidikan seseorang memperoleh ilmu yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya untuk kemudian dapat diterapkan kedalam kehidupan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menuntut sumber daya manusia memiliki kompetensi yang tinggi. Dengan pendidikan, manusia dapat memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kompetensi yang ada pada dirinya.

Pendidikan juga memiliki peranan besar dan menjadi hal utama bagi suatu negara. Keberhasilan dalam kemajuan suatu negara tergantung pada kondisi pendidikan di negara tersebut. Semakin berkembang pendidikan di suatu negara, maka semakin maju dan berkembanglah negara tersebut. Setiap negara menyadari bahwa pembangunan di bidang pendidikan sangat perlu menjadi perhatian utama. Salah satunya adalah Indonesia yang merupakan negara berkembang yang sedang membangun.

(16)

yang mengatakan bahwa sebagian besar siswa hanya menerima setiap penjelasan atau informasi dari guru dan siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan pada guru.1 Siswa juga dinilai kurang mampu dalam menghubungkan suatu masalah dengan konsep yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sebagian siswa cenderung menghafal, menyalin atau mengikuti contoh-contoh yang diberikan tanpa tahu maknanya. Hal ini senada dengan Wono Setyabudhi yang mengatakan bahwa pembelajaran matematika di Indonesia memang masih menekankan pada menghafal rumus-rumus dan menghitung.2 Melalui proses pembelajaran seperti ini, kecil kemungkinan kemampuan matematis siswa dapat berkembang.

Salah satu ilmu pengetahuan yang erat kaitannya dengan kemajuan bangsa adalah matematika. Matematika memiliki peran yang sangat penting karena matematika adalah ilmu dasar yang digunakan secara luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam peningkatan kualitas pendidikan, matematika yang merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang pendidikan formal sangat memegang peranan penting. Hal ini dibuktikan dengan melihat bahwa pelajaran matematika diberikan kepada semua tingkat pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah sampai Perguruan Tinggi. Dengan matematika, kita dapat berlatih berpikir secara logis dan dengan matematika ilmu pengetahuan lainnya bisa berkembang dengan cepat.3

Salah satu aspek penting dalam proses pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah. Banyak ahli matematika berpendapat bahwa matematika searti dengan pemecahan masalah yaitu mengerjakan soal cerita, membuat pola, menafsirkan gambar atau bangun, membentuk konstruksi geometri, membuktikan teorema dan lain sebagainnya. Dengan demikian belajar untuk memecahkan

1

Leo Adhar Effendi, Pembelajaran Matematiika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP,

Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol.13, 2012, h.3

2 Ester Lince Napitupulu, “Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun

, Kompas,

Jakarta, 14 Desember 2012

(http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/14/09005434/Prestasi.Sains.dan.Matematika.Indonesia. Menurun)

(17)

masalah merupakan prinsip dasar dalam mempelajari matematika (National Council of Supervisors of Mathematics,1978).4

Pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai dan dikembangkan oleh siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika itu sendiri, yaitu agar siswa memiliki kemampuan:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengalikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat,efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dngan simbol, table, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 5

Pentingnya pemecahan masalah juga dikemukakan oleh Branca, ia mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah jantungnya matematika. Hal ini sejalan dengan NCTM yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut tidak boleh dilepaskan dari pembelajaran matematika.6

Berdasarkan uraian tersebut kemampuan pemacahan masalah penting dikembangkan dan dimiliki oleh siswa. Namun, pada kenyataan menunjukan bahwa kemampuan matematis siswa di Indonesia khususnya siswa SMP masih belum memuaskan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011, sebagaimana dilansir pada website kompas yang mengatakan bahwa

4 Bitman Simanullang dan Clara Ika sari, Pemecahan Masalah Matematika, (Dikti: Bahan Ajar PJJSI PGSD), h. 2, tersedia online : http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata KuliahAwal/PemecahanMasalahMatematika/BAC/unit9_konsep_dasar_pemecahan_masalah_mat ematika_coverbelakang.pdf

5Sri Wardhani,

Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2008), h.8.

(18)

pencapaian prestasi belajar siswa Indonesia di bidang sains dan matematika menurun. Untuk bidang matematika, Indonesia berada di urutan ke-38 dengan skor 386 dari 42 negara dan skor rata-rata yang dipatok adalah 500.Skor ini turun 11 poin dari penilaian tahun 2007.7 Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa prestasi siswa Indonesia dalam bidang matematika masih berada di bawah skor rata-rata internasional.

Dalam TIMSS soal yang digunakan ialah soal-soal matematika yang mengukur tingkat kemampuan siswa dari sekedar mengetahui fakta, prosedur atau konsep hingga menggunakannya untuk memecahkan masalah dari yang sederhana sampai masalah yang memerlukan penalaran tinggi.8 Pada studi TIMSS terungkap bahwa siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan pembuktian, pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematik, menemukan generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan. Siswa Indonesia yang tidak mampu menjawab dengan benar soal yang diberikan kemungkinan karena tidak terbiasa menyelesaikan soal dengan melakukan analisis masalah terlebih dahulu.9 Berdasarkan hasil studi diperoleh pula berbagai temuan tentang perkiraan faktor penyebab kelemahan siswa Indonesia, antara lain sebagai berikut:

1. Mengorganisasi dan menyimpulkan informasi, membuat generalisasi dan memecahkan masalah yang tidak rutin.

2. Memecahkan bermacam-macam rasio dan masalah persentase.

3. Menerapkan pengetahuannya untuk menghubungkan konsep bilangan dan aljabar.

4. Membuat generalisasi model matematika secara aljabar.

5. Mengaplikasikan pengetahuannya pada geometri dalam masalah yang kompleks, dan

6. Menggunakan data dari berbagai sumber untuk memecahkan berbagai masalah. 10

Lebih lanjut peneliti melakukan observasi prapenelitian dengn mmberikan tes untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah matematik siswa di

7 Ester Lince Napitupulu,

op.cit.,

8 Sri Wardani dan Rumiati, Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar

dari PISA dan TIMSS, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2011), h. 22

9

Ibid,. h. 41

(19)

sekolah tempat peneliti melakukan penelitian, yaitu MTsN Tangerang II Pamulang. Berdasarkan hasil observasi pada salah satu kelas VIII yaitu kelas VIII-3, diperoleh persentase skor kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada indikator mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dan ditanyakan sebesar 66,7%, membuat model matematika sebesar 45,71%, memilih dan menerapkan strategi sebesar 43,09% dan indikator menjelaskan hasil dan memeriksa kebenaran hasil sebesar 11,9%. Secara keseluruhan persentase skor kemampuan pemecahan masalah matematik siswa hanya mencapai 42,09%. Berdasarkan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa pada umumnya masih rendah. Padahal salah satu tujuan utama bersekolah ialah meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, tujuannya agar siswa mampu memecahkan persoalan yang dihadapi olehnya baik dalam kegiatan pembelajaran di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari dan memungkinkan siswa untuk menjadi lebih analitis dalam menggambil keputusan dalam kehidupannya.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika tidak lepas dari proses pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan Ruseffendi yang menyatakan bahwa selama ini dalam proses pembelajaran matematika di kelas, siswa pada umumnya mempelajari matematika hanya diberitahu oleh gurunya dan bukan melalui kegiatan eksplorasi.11 Guru pada umumnya mengajar dengan metode ceramah yang membuat siswanya tidak aktif dalam belajar. Melalui proses pembelajaran seperti ini, kecil kemungkinan kemampuan matematis siswa dapat berkembang.

Dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, diperlukan model pembelajaran yang tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi mampu merangsang daya berpikir siswa untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri dalam memecahkan masalah-masalah matematika yang dihadapinya. Dengan model pembelajaran yang diterapkan, diharapkan siswa mampu membangun, mengembangkan bahkan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat

(20)

diharapkan memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah adalah model pembelajaran Treffinger.

Model Treffinger adalah proses pembelajaran yang mencakup dua ranah, yaitu kognitif dan afktif. Model Treffinger terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap pertama Basic Tools, tahap ini meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknik-teknik kreatif. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan kelancaran dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapkan pemikiran kreatif kepada orang lain. Tahap kedua Practice with process, pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools dalam situasi praktis. Tahap ketiga Working with Real Problems, Pada tingkat ini siswa menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools dan practice with process terhadap tantangan dunia nyata.12 Karakteristik yang paling dominan dari model pembelajran Treffinger ini adalah upaya dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif siswa untuk mencari arah-arah penyelesaian yang akan ditempuh siswa untuk memecahkan permasalahan. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan model Treffinger diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas siswa sehingga akhirnya mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, mengarahkan siswa untuk berpikir secara logis tentang hubungan antar konsep dan situasi dalam permasalahan yang diberikan serta menghargai keragaman berpikir yang timbul selama proses pemecahan masalah berlangsung.

Berdasarkan latar belakang tersebut, diharapkan model pembelajaran Treffinger dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul

“Pengaruh Model Pembelajaran Treffinger Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa”.

(21)

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih rendah.

2. Pembelajaran matematika di kelas cenderung pasif karena pembelajaran masih berpusat pada guru.

3. Siswa cenderung kurang mampu menghubungkan suatu masalah dengan konsep yang telah mereka pelajari sebelumnya

4. Pembelajaran yang diterapkan belum cukup efektif untuk dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini maka dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Yang dimaksud dengan model Treffinger dalam penelitian ini adalah pembelajaran kreatif yang tahap-tahapnya meliputi basic tools, practice with process dan working with real problem.

2. Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan yang ditunjukan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika, yang memperhatikan proses menemukan jawaban berdasarkan beberapa tahapan, yaitu: (1) Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dan ditanyakan, (2) Membuat model matematika, (3) Memilih dan menerapkan strategi, dan (4) Menjelaskan hasil dan memeriksa kebenaran hasil.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:

(22)

2. Apakah kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional?

E.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Treffinger.

2. Mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional.

F.

Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi peneliti

a. Sebagai suatu pembelajaran untuk menambah dan memperluas wawasan serta mempraktekkan segala pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan.

b. Menambah pengetahuan tentang model pembelajaran mata pelajaran matematika dalam mempersiapkan diri menjadi seorang pendidik yang professional.

2. Bagi Guru

a. Dapat menambah pengetahuan guru akan pentingnya pemecahan masalah dalam matematika.

(23)

3. Bagi Siswa

a. Dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematik dengan model pembelajaran Treffinger.

(24)

10

A. Landasan Teoritis

Berikut akan dibahas terlebih dahulu beberapa kajian teoritik terkait penelitian ini yakni; kemampuan pemecahan masalah matematik dan model pembelajaran Treffinger. Untuk memahami lebih lanjut mengenai teori-teori tersebut maka akan dijelaskan pada bahasan berikut.

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik a. Pengertian Masalah Matematika

Kata “masalah” mengandung arti yang komprehensif. Oleh karenanya akan terjadi berbagai tanggapan yang berbeda dalam menghadapi masalah tertentu. Misalnya sesuatu akan menjadi masalah bagi anak-anak, tetapi belum tentu hal tersebut menjadi masalah bagi orang dewasa.1 Masalah juga dikatakan bersifat relatif. Artinya masalah bagi seseorang pada suatu saat belum tentu merupakan masalah bagi orang lain pada saat yang bersamaan atau bahkan bagi orang itu sendiri beberapa saat kemudian.2

Problem atau masalah menurut Hayes dalam Erna Suwangsih adalah “suatu kesenjangan antara dimana anda berada sekarang dengan tujuan yang anda inginkan, sedangkan anda tidak tahu proses apa yang akan dikerjakan”.3 Masalah adalah sesuatu yang timbul akibat adanya rantai yang terputus antara keinginan dan cara mencapainya. Keinginan atau tujuan yang ingin dicapai sudah jelas, tetapi cara untuk mencapai tujuan itu belum jelas. Dalam mencapai tujuan yang diinginkan biasanya tersedia

1 Nahrowi Adjie dan Maulana,

Pemecahan Masalah Matematika, Ed. I. Cet. I, (Bandung:

UPI PRESS, 2006), h.3.

2 Nyimas Aisyah, Pendekatan Pemecahan Masalah, (Dikti, Bahan Ajar PJJ SI PGSD), h.3

(25)

berbagai alternatif yang bisa ditempuh.4 Hal ini menunjukan bahwa sesuatu dikatakan masalah jika dalam pencapaiannya belum ditemukan cara yang tepat untuk dapat menyelesaikannya.

Dalam matematika, suatu soal atau pertanyaan akan menjadi masalah jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui orang tersebut.5 Masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang ia sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin.6 Dalam proses belajar matematika, masalah matematika merupakan masalah yang dihubungkan dengan materi belajar atau materi tugas matematika, bukan masalah yang dihubungkan dengan kendala belajar atau hambatan hasil belajar matematika.

Menurut Lenchner dalam Sri Wardani menyatakan bahwa setiap tugas yang diberikan kepada siswa dalam pembelajaran matematika dapat dikelompokan ke dalam dua hal, yaitu sebagai: a) soal biasa/latihan (drill exercise), dan b) masalah (problem) untuk dipecahkan. Menurutnya latihan adalah tugas yang prosedur atau cara penyelesaiannya telah diketahui, seringkali suatu latihan dapat diselesaikan dengan langsung menerapkan satu atau lebih algoritma komputasi. Sedangkan masalah (problem) adalah lebih kompleks daripada latihan karena strategi yang digunakan untuk menyelesaikannya tidak langsung terlihat, dalam menyelesaikan suatu masalah menuntut tingkat kreativitas atau keoriginalitas dari penyelesaian masalah.7

Menurut Holmes dalam Sri Wardani, terdapat dua kelompok masalah dalam pembelajaran matematika yaitu masalah rutin dan masalah

4 Nyimas Aisyah, op.cit., h.3

5 Al. Krismanto dan Agus Dwi Wibawa,

Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Bangun Datar di SMP, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2010), h. 9

6 Ruseffendi, Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua Murid Guru dan SPG, (Bandung: Tarsito, 1980), h. 216

(26)

nonrutin.8 Masalah rutin dapat dipecahkan dengan metode yang sudah ada dan sering disebut sebagai masalah penerjemah karena deskripsi situasi dapat diterjemahkan dari kata-kata kedalam simbol-simbol, sehingga dalam memecahkannya dapat membutuhkan satu atau lebih langkah pemecahan. Sedangkan pada masalah nonrutin membutuhkan lebih dari sekedar penerjemahan masalah menjadi kalimat matematika dan harus merencanakan dengan seksama bagaimana memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu strategi-strategi yang dilakukan seperti menggambar, menebak dan melakukan cek, membuat tabel atau urutan perlu dilakukan dalam memecahkan masalah nonrutin.

Charles R dalam Sri Wardani menyatakan bahwa terdapat beberapa tipe masalah dalam penugasan matematika selain soal latihan biasa (drill exercise) yang telah sering digunakan. Beberapa tipe masalah tersebut yaitu:

1. Simple Translation Problem (Masalah Penerjemah Sederhana)

Merupakan masalah yang dimaksudkan agar memberi pengalaman kepada siswa untuk menerjemahkan situasi dunia nyata kedalam ide-ide matematika. Contoh: “Bilkis mempunyai 20 ayam ras di dalam kandangnya. Sementara itu Ina mempunyai 25 ayam ras di kandangnya. Berapa lebihnya ayam ras yang dipunyai Ina dari yang dipunyai Bilkis?”.

2. Complex Translation Problem (Masalah Penerjemah Kompleks) Masalah ini mirip dengan penerjemahan sederhana, namun di dalamnya menuntut lebih dari satu kali penerjemahan dan operasi hitung yang terlibat lebih dari satu. Contoh: “Suatu produsen lampu sepeda motor mengemas 12 lampu dalam satu pack. Setiap 36 pack dimasukkan dalam satu kardus. Toko Jabar penjual suku cadang sepeda motor memesan 5.184 lampu kepada perusahaan tersebut. Berapa kardus lampu yang akan diterima oleh Toko Jabar?”.

3. Process Problem (Masalah Proses)

(27)

Masalah dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat menggambarkan proses yang terjadi dalam pikirannya. Siswa dilatih untuk mengembangkan strategi umum untuk memahami, merencanakan, dan memecahkan masalah sekaligus mengevaluasi hasil pemecahan masalah. Contoh: “Kelompok penggemar catur yang beranggotakan 15 orang akan mengadakan pertandingan. Jika setiap anggota harus bertanding dengan anggota lain sekali, berapa banyak seluruh pertandingan yang dimainkan?”.

4. Applied Problem (Masalah Penerapan)

Masalah yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa mengeluarkan berbagai keterampilan, proses, konsep, dan fakta untuk memecahkan masalah nyata (kontekstual). Masalah ini akan menyadarkan siswa pada kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: “Berapa banyak kertas yang digunakan di sekolah anda dalam satu tahun?”.

5. Puzzle Problem (Masalah Puzzle)

Masalah yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa mendapatkan pengayaan matematika rekreasi atau kesenangan dalam mempelajari matematika (recreation mathematics). Masalah puzzle tidak harus selalu teka-teki, kadang-kadang dalam bentuk aljabar yang penyelesaiannya bida di luar perkiraan. Contoh: “Gambarlah empat ruas garis melalui Sembilan titik pada gambar berikut tanpa mengangkat alat tulis dan tidak ada ruas garis yang terlewati dua kali!”9

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu soal atau tugas matematika yang dihadapi

(28)

oleh siswa dimana soal tersebut tidak dapat dipecahkan menggunakan prosedur rutin dan tidak dapat dipecahkan secara langsung. Soal dalam matematika dikatakan masalah jika siswa merasa tertantang untuk menyelesaikan soal tersebut.

b. Pengertian Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Hudojo menyatakan pemecahan masalah pada dasarnya adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya.10 Hal tersebut menunjukan bahwa seseorang dalam menghadapi masalah memerlukan proses berpikir untuk mendapatkan pemecahan masalah yang sesuai dengan masalah yang dihadapi.

Pemecahan masalah merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Hal ini juga disampaikan oleh Erman Suherman bahwa pemecahan masalah merupakan bagian kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajarannya maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah atau soal yang bersifat tidak rutin.11

Menurut Bell dalam Djamilah menyatakan dari hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa strategi-strategi pemecahan masalah pada umumnya yang dipelajari dalam pelajaran matematika dapat ditransfer dan diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah lain.12 Hal ini menunjukan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian yang penting yang perlu diajarkan dalam pembelajaran matematika yang dapat

10 Nyimas Aisyah,

op.cit., h.3

11Erman Suherman dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA, Universitas Pendidikan Indonesia, 2003). h. 83.

12 Djamilah Bondan Widjajanti,

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika: Apa dan Bagaimana Mengembangkannya, (Yogyakarta: FMIPA UNY,

(29)

diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah lain yang ada di kehidupan sehari-hari.

Menurut Lenchner, pemecahan masalah matematika adalah sebuah proses menerapkan pengetahuan matematika yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum pernah didapatkan atau belum dikenal.13 Sedangkan Utari Sumarmo mengemukakan bahwa pemecahan masalah matematika mempunyai dua makna. Pertama, sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi atau konsep matematika. Yang kedua, sebagai tujuan atau kemampuan yang harus dicapai.14

Polya mendefinisikan pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak dengan secara dapat dicapai. Polya memaparkan bahwa terdapat empat langkah dalam menyelesaikan masalah, pertama memahami masalah, kedua menyusun rencana, ketiga melaksanakan rencana, dan keempat melihat kembali solusi.15

In order to group conveniently the questions and suggestions of our list, we shall distinguish four phases of the work. first, we have to understand the problem; we have to see clearly what is required. second, we have to see how the various items are connected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make a plan. third, we carry out our plan. fourth, we look back at the completed solution, we review and discuss it.16

Proses yang harus dilakukan para siswa dari keempat tahapan tersebut secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Memahami Masalah

Pada tahap ini, kegiatan pemecahan masalah diarahkan untuk membantu siswa menetapkan apa yang diketahui pada permasalahan dan apa yang ditanyakan. Beberapa pertanyaan perlu dimunculkan

13 Sri Wardani,

op.cit., h.15

14 Utari Sumarmo, “Pembelajaran Matematika”, dalam Rochman Natawidjaja, dkk. (ed),

Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan, (Bandung : UPI Press, 2008), Cet. I, h.683

15 Erman Suherman dkk,

op.cit., h.84

(30)

kepada siswa untuk membantunya dalam memahami masalah ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain:

a) Apakah yang diketahui dari soal ? b) Apakah yang ditanyakan soal ? c) Apa saja informasi yang diperlukan? d) Bagaimana akan menyelesaikan soal?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, diharapkan siswa dapat lebih mudah mengidentifikasikan unsur yang diketahui dan yang ditanyakan soal.

2. Merencanakan penyelesaian

Dalam perencanaan pemecahan masalah, siswa diarahkan untuk dapat mengidentifikasi strategi-strategi pemecahan masalah yanga sesuai untuk menyelesaikan masalah. Dalam mengidentifikasi strategi-strategi pemecahan masalah, hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah apakah strategi tersebut berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Dalam merencanakan pemecahan masalah, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan siswa, antara lain:

a) Membuat tabel, grafik atau diagram

b) Menyederhanakan permasalahan dengan membagi menjadi bagian-bagian

c) Menggunakan rumus

d) Menyelesaikan masalah yang ekuivalen

e) Menggunakan informasi yang diketahui untuk mengembangkan informasi baru.

3. Menyelesaikan Masalah

(31)

keterampilan siswa melakukan perhitungan matematika akan sangat membantu siswa untuk melaksanakan tahap ini.

4. Melakukan Pengecekan Kembali

Langkah memeriksa ulang jawaban yang diperoleh merupakan langkah terakhir dari pendekatan pemecahan masalah matematika. Langkah ini penting dilakukan untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan yang ditanya.17

Seseorang yang sedang menghadapi masalah matematika harus ingat, mengerti, dan dapat menerapkan terhadap hal-hal yang terkait dengan masalah yang sedang ia hadapi. Misalnya, ketika ia sedang melakukan pembelian suatu barang maka ia harus ingat terhadap konsep operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Lebih jauh lagi seseorang yang sedang menghadapi masalah matematika harus dapat menganalisis, mengsintesis, dan mengevaluasi hasil kerjanya sehingga ia yakin benar akan hasil kerja yang ia peroleh.18

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematika merupakan proses yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan suatu soal-soal atau masalah matematika menggunakan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dengan menganalisis informasi dan mengevaluasinya agar siswa yakin dengan jawaban yang telah diperolehnya.

c. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (sanggup, bisa, dapat) melakukan sesuatu. Dengan imbuhan ke-an kata mampu menjadi kemampuan yang berarti kesanggupan, kecakapan, kekuatan untuk melakukan sesuatu.

17 Nyimas Aisyah, op.cit., h.20.

(32)

Kemampuan dalam pemecahan masalah merupakan suatu keterampilan, karena dalam pemecahan masalah melibatkan segala aspek pengetahuan (ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) serta sikap mau menerima tantangan.19 Kemampuan dalam pemecahan masalah adalah sebuah kemampuan tertentu dalam memecahkan masalah (hal-hal yang tidak rutin) dengan cara-cara yang rasional. Seseorang dikatakan mampu memecahkan masalah apabila ia dapat melakukan beberapa hal, antara lain:

1. Memahami dan mengungkapkan sesuatu masalah.

2. Memilih dan memprioritaskan strategi pemecahan yang tepat. 3. Menyelesaikan masalah tersebut secara efektif dan efisien. 20

Selanjutnya, menurut Dodson dan Hollander dalam Herry menjelaskan kemampuan pemecahan masalah yang harus ditumbuhkan oleh siswa dalam pembelajaran matematika adalah:

1. Kemampuan mengerti konsep dan istilah matematika

2. Kemampuan untuk mencatat kesamaan, perbedaan, dan analogi 3. Kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan

memilih prosedur yang benar

4. Kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan 5. Kemampuan untuk menaksir dan menganalisa

6. Kemampuan untuk memvisualisasi dan menginterpretasi kualitas dan ruang

7. Kemampuan untuk memperumum berdasarkan beberapa contoh. 8. Kemampuan untuk berganti metode yang telah diketahui

9. Mempunyai kepercayaan diri yang cukup dan merasa senang terhadap materinya. 21

Menurut Utari, kemampuan pemecahan masalah merupakan suatu jenis kemampuan yang didalamnya meliputi beberapa kemampuan, yakni:

1. Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah. 2. Membuat model matematika dari suatu situasi atau masalah

sehari-hari dan menyelesaikannya.

19 Nahrowi Adjie dan Maulana,

op.cit., h. 14

20 Suhendra, dkk, Materi Pokok Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika, Cet. 2, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h.7.23

21 Herry Pribawanto Suryawan,

Strategi Pemecahan Masalah Matematika, 2011, di akses

(33)

3. Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika atau diluar matematika.

4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.

5. Menerapkan matematika secara bermakna. 22

Sedangkan Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 menjelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan kompetensi strategik. Ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan merumuskan pernyataan kedalam model matematika. Indikator yang menunjukkan pemecahan masalah sebagai berikut:

1. Menunjukkan pemahaman masalah

2. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah.

3. Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk. 4. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara

tepat.

5. Mengembangkan strategi pemecahan masalah.

6. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah.

7. Menyelesaikan masalah yang tidak rutin. 23

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan soal atau masalah matematika menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dengan tahapan-tahapan atau cara yang rasional agar siswa memperoleh jawaban dan yakin dengan jawaban yang telah diperolehnya.

Terdapat beberapa keterampilan yang digunakan dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, antara lain: (1) memahami soal, (2) memilih pendekatan atau strategi pemecahan, (3) menyelesaikan model, (4) menafsirkan solusi.24 Di dalam merencanakan penyelesaian masalah seringkali diperlukan kreativitas. Sejumlah strategi

22 Utari Sumarmo, “Pembelajaran Matematika”, dalam Rochman Natawidjaja, dkk. (ed),

Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan, (Bandung : UPI Press, 2008), Cet. I, h.683

(34)

dapat membantu dalam merumuskan suatu rencana penyelesaian masalah. Strategi tersebut antara lain: membuat tabel, membuat gambar, menduga, mencoba, memperbaiki, mencari pola, menggunakan penalaran, menggunakan variabel, membuat persamaan, menggunakan algoritma, menggunakan sifat-sifat bilangan, menggunakan rumus, menggunakan informasi yang diketahui untuk mengembangkan informasi baru.25

Dalam penelitian ini, pemecahan masalah bukanlah sebagai strategi melainkan sebagai tujuan. Kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kemampuan yang ditunjukkan siswa dalam menyelesaikan masalah berdasarkan tahapan-tahapan indikator pemecahan masalah. Indikator yang digunakan diambil dari indikator yang telah dijabarkan oleh Utari Sumarmo dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Indikator tersebut meliputi :

1. Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dan ditanyakan 2. Membuat model matematika

3. Memilih dan menerapkan strategi

4. Menjelaskan hasil dan memeriksa kebenaran hasil.

5. Model pembelajaran Treffinger

a. Pengertian Model Pembelajaran Treffinger

Model Treffinger merupakan salah satu model yang digunakan untuk mendorong belajar kreatif. Menurut Oon-Seng Tan, Treffinger menggambarkan proses kreatif sebagai rangkaian tahapan dimana masalah yang diselesaikan secara sistematis.26 Treffinger dalam Pomalato mengemukakan bahwa model belajar kreatif yang dikembangkan olehnya merupakan model yang bersifat developmental dan lebih mengutamakan segi proses. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam mencapai tahap pengembangan tertentu adalah perlu dipenuhinya prasyarat pengetahuan

25

Ibid, h. 16

(35)

dan penguasaan materi.27 Jadi, seorang siswa dapat mencapai tahap kemampuan tertentu apabila kemampuan prasyarat mereka sudah dikuasai.

Menurut Treffinger, digagasnya model ini adalah karena perkembangan zaman yang terus berubah dengan cepat dan semakin kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi. Karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan suatu cara agar dapat menyelesaikan suatu permasalahan dan menghasilkan solusi yang paling tepat. Yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memperhatikan fakta-fakta penting yang ada di lingkungan sekitar kemudian memunculkan berbagai ide atau gagasan dan memilih solusi yang tepat untuk kemudian diimplementasikan secara nyata.28

Dengan melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap tingkat dari model ini, Treffinger menunjukan saling hubungan dan ketergantungan antara keduanya untuk mendorong belajar kreatif.29 Disamping proses belajar kreatif digunakan pula proses berpikir divergen (proses berpikir bermacam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif penyelesaian) dan proses berpikir konvergen (proses berpikir yang mencari jawaban tunggal).

Pembelajaran kreatif model Treffinger ini dapat membantu siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah, membantu siswa dalam menguasai konsep-konsep materi yang diajarkan, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukan potensi-potensi kemampuan yang dimilikinya termasuk kemampuan kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah. Dengan kreativitas yang dimiliki siswa berarti siswa mampu menggali potensinya dalam berdaya cipta, menemukan gagasan,

27 Sarson Waliyatimas Pomalato Dj, “Pengaruh Penerapan Model Treffinger Pada Pembelajaran Matematika Dalam Mengembangkan Kemampuan Kreatif dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa”. Disertasi Pascasarjana UPI Bandung, Bandung, 2005, hal. 19, tidak

dipublikasikan.

28 Miftahul Huda, Model-model Pengajaran dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 318.

(36)

serta menemukan pemecahan masalah yang dihadapinya yang melibatkan proses berpikir.

Treffinger menjelaskan terdapat tiga tingkat yang berbeda dari pembelajaran kreatif yang diungkapkan olehnya. “Treffinger proposed a practical model for describing three different levels of creative learning, with the consideration of both cognitive and affective dimentions at each level. the three levels are divergent functions, complex thinking and feeling processes, and involvment in real challenges.”30

Model Treffinger menggambarkan susunan tiga tingkat yang dimulai dengan unsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi-fungsi berpikir kreatif yang lebih majemuk. Setiap tahap dari model ini mencakup segi pengenalan (kognitif) dan segi afektif. Siswa terlibat dalam kegiatan membangun keterampilan pada tahap pertama dan kedua untuk kemudian menangani masalah kehidupan nyata pada tahap ketiga.

Adapun langkah-langkah model Treffinger menurut Utami Munandar adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Basic Tools

Tingkat basic tools meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknik-teknik kreatif. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan kelancaran dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapkan pemikiran kreatif kepada orang lain.

2. Tingkat Practice with Process

Pada tingkat ini siswa diberi kesempatan untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools dalam situasi praktis. Pada tingkat ini, siswa dituntut aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut.

30 Donald J. Treffinger, Scott G. Isaksen, and Roger L. Firestien, Theoritical Perspectives on Creative Learning and Its Facilitation: An Overview, Journal of Creative Behavior, vol. 17

(37)

3. Tingkat Working with Real Problems

Pada tingkat ini siswa menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools dan practice with process terhadap tantangan dunia nyata. Siswa tidak hanya belajar keterampilan berpikir kreatif, tetapi juga bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan mereka. 31

Dalam buku Conny Semiawan terdapat tiga tingkatan dalam pembelajaran model Treffinger, yaitu:

1. Tingkat I : Fungsi Divergen

Pada tingkat ini dinamakan fungsi divergen dengan maksud untuk menekankan keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan. Fungsi divergen meliputi perkembangan dan kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility), keaslian (originality), dan keterincian (elaboration) dalam berpikir. Tingkat I merupakan landasan atau dasar dimana belajar kreatif berkembang. Dengan demikian, tahap ini mencakup sejumlah teknik yang dipandang sebagai dasar belajar kreatif. Tujuan dari tahap pengembangan fungsi-fungsi divergen ini adalah mempersiapkan materi yang akan diajarkan kepada siswa. Teknik-teknik tersebut terdiri atas:

a) Tenik pemanasan, yaitu memberikan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang menimbulkan minat dan merangsang rasa ingin tahu siswa sehingga diperoleh gagasan sebanyak mungkin.

b) Teknik pemikiran dan perasaan, yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan kesempatan timbulnya berbagai macam jawaban, yang merupakan ungkapan pikiran atau perasaan. c) Sumbang saran, yaitu keterbukaan dalam memberikan gagasan,

menerima dan menghasilkan banyak gagasan.

d) Daftar penulisan gagasan, yaitu penulisan gagasan yang dimiliki siswa.

(38)

e) Penyusunan sifat, yaitu suatu teknik yang digunakan untuk menimbulkan banyak gagasan tentang suatu objek atau masalah. f) Hubungan yang dipaksakan, yaitu memaksakan suatu hubungan

antara objek-objek atau situasi yang dimasalahkan dengan unsur-unsur lain agar diperoleh suatu gagasan baru. 32

Teknik-teknik ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya atau jawaban dalam memecahkan masalah.

2. Tingkat II : Proses pemikiran dan perasaan yang majemuk

Tingkat ini mencakup keterbukaan terhadap perasaan-perasaan dan konflik yang majemuk, mengarahkan perhatian kepada masalah, serta pengembangan dalam berkreasi atau mencipta. Pada tingkat ini, siswa akan diajak untuk lebih meluaskan pemikiran mereka dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang lebih majemuk dan menantang. Tujuannya adalah mempersiapkan siswa untuk menjadi peneliti mandiri yang menghadapi masalah dan tantangan-tantangan nyata dengan cara-cara kreatif. Tujuan pada tahap ini adalah untuk memahami konsep serta menambah wawasan dengan menghubungkan materi sebelumnya dengan materi selanjutnya.

Teknik-teknik yang digunakan pada tingkat ini antara lain:

a) Analisis morfologis, yaitu suatu teknik yang bertujuan untuk mengidentifikasi ide-ide baru dengan cara mengkaji secara cermat struktur masalah.

b) Bermain peran, yaitu membantu siswa untuk menangani konflik dan masalah yang timbul dari pengalaman kehidupannya.

c) Synectics, yaitu teknik menggabungkan bersama berbagai unsur atau gagasan yang berbeda dengan menggunakan kiasan untuk memperoleh satu pandangan baru. 33

32Ibid., h.43-49

(39)

3. Tingkat III: Keterlibatan dalam tantangan-tantangan nyata

Pada tingkat ini siswa menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tahap I dan II terhadap tantangan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari. Dalam ranah pengenalan, hal ini berarti keterlibatan siswa dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara mandiri. Belajar kreatif siswa mengarah pada identifikasi masalah-masalah yang berarti, pengajuan pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, dan pengelolaan sumber-sumber yang mengarah pada perkembangan hasil. Pada tahap ini penekanannya terletak pada penggunaan proses berpikir dalam memecahkan masalah secara kreatif dan mandiri. Tujuan dari tahap ini adalah menerapkan konsep tentang materi yang telah diajarkan. 34

Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan di atas dapat disimpulkan, bahwa model Treffinger merupakan salah satu model yang membantu siswa melakukan penyelesaian masalah secara kreatif dan menghargai keberagaman berpikir yang timbul selama proses pembelajaran dan mengerjakan soal. Pembelajaran dilakukan dengan menerapkan teknik-teknik yang terdapat pada setiap tahap sesuai dengan materi pembelajaran yang akan diajarkan.

Pembelajaran matematika dengan menggunakan model Treffinger dilakukan dengan cara mengikuti tahap-tahap yang telah dijelaskan diatas. Setiap tahap pembelajaran tersebut harus diterapkan pada proses pembelajaran dikelas secara utuh dan terintegrasikan.

Dari tahap-tahap model pembelajaran Treffinger yang telah diuraikan, dapat dilihat bahwa strategi dan teknik-teknik yang digunakan dalam model ini dapat membantu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

34 Conny Semiawan, dkk, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah,

(40)

b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Treffinger

Model pembelajaran Treffinger yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pembelajaran dimana siswa yang terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil diberikan masalah terbuka untuk kemudian diberikan kembali persoalan yang lebih kompleks untuk memahami konsep dengan cara mendiskusikannya, setelah siswa memahami konsep materi yang diajarkan kemudian secara individu diberikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dengan menerapkan konsep yang telah ia peroleh sebelumnya.

Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan penerapan model pembelajaran Treffinger adalah sebagai berikut.

1) Guru membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4-5 siswa.

2) Guru membagikan lembar kerja kelompok (LKS), melalui LKS tersebut siswa diberikan masalah terbuka untuk melatih siswa berpikir divergen.

3) Siswa menuliskan ide atau gagasannya terkait masalah terbuka yang diberikan bersama kelompoknya dan menggabungkan hasil pemikirannya tersebut.

4) Setelah selesai mendaftarkan gagasan-gagasan mereka, perwakilan kelompok membacakan hasil yang telah diperoleh.

5) Guru memberikan masalah yang lebih kompleks kepada masing-masing kelompok untuk didiskusikan melalui lembar kerja kelompok. Tujuannya untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai materi yang dipelajari.

6) Setiap siswa bersama kelompoknya berdiskusi. Selama kegiatan diskusi guru memantau dan mengarahkan siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS.

(41)

8) Guru mengecek hasil yang telah diperoleh siswa untuk meluruskan konsep materi yang sedang diajarkan.

9) Siswa diberikan masalah baru yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari agar siswa dapat menerapkan solusi yang telah mereka peroleh sebelumnya.

10)Siswa secara mandiri mencari penyelesaian dari masalah yang diberikan. Siswa bersama kelompoknya mempresentasikan jawaban yang telah ia peroleh.

11)Guru membimbing siswa menyimpulkan cara dan jawaban yang paling benar.

Tabel 2.1

Langkah Kegiatan Pembelajaran Model Treffinger

Langkah Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Pendahuluan

1)Guru menyampaikan atau menginformasikan

kompetensi yang harus dicapai dalam

pembelajarannya.

Siswa mendengarkan penjelasan guru.

2)Guru menjelaskan secara garis besar materi yang akan dipelajari dan membagi siswa dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa.

Siswa mendengarkan penjelasan guru, lalu mengatur tempat duduk sesuai dengan

kelompoknya.

Basic Tool

1) Guru membagikan lembar kerja kelompok (LKS), melalui LKS tersebut siswa diberikan masalah terbuka untuk melatih siswa berpikir divergen.

1) Siswa menjawab kemudian menyampaikan gagasannya dengan cara menuliskan ide atau gagasan masing-masing

siswa bersama

(42)

perwakilan kelompok membacakan hasil yang telah diperoleh.

Practice with process

1) Guru memberikan masalah yang lebih kompleks kepada masing-masing kelompok untuk didiskusikan melalui lembar kerja kelompok. Tujuannya untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai materi yang dipelajari.

1) Setiap siswa

berdiskusi untuk mencari solusi dari masalah yang diberikan.

2) Setiap siswa bersama kelompoknya berdiskusi untuk mencari solusi dari masalah yang diberikan. Selama kegiatan diskusi guru memantau dan mengarahkan siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS. 1) Guru mengecek solusi

yang telah diperoleh siswa untuk meluruskan konsep materi yang sedang diajarkan.

Working with real problems

1) Siswa diberikan masalah baru yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari agar siswa dapat menerapkan solusi yang telah mereka peroleh.

Siswa secara mandiri mencari penyelesaian dari masalah yang diberikan.

Siswa secara kelompok mempresentasikan

jawaban yang telah ia peroleh.

1)Guru membimbing siswa menyimpulkan cara dan jawaban yang paling benar dan tepat.

Siswa bersama dengan guru menyimpulkan jawaban yang tepat.

Penutup

1) Guru bersama dengan siswa membuat

(43)

rumah (PR).

c. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Model Treffinger

Dalam penerapannya, model Treffinger memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan, diantaranya:

Kelebihan :

1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami konsep-konsep dengan cara menyelesaikan suatu permasalahan.

2. Membuat siswa aktif dalam pembelajaran.

3. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa karena disajikan masalah pada awal pembelajaran dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk mencari arah penyelesaiannya sendiri.

4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisis data, membangun hipotesis, dan percobaan untuk memecahkan suatu permasalahan.

5. Membuat siswa dapat menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya ke dalam situasi baru.

Kelemahan :

1. Perbedaan level pemahaman dan kecerdasan siswa dalam menghadapi masalah.

2. Ketidaksiapan siswa untuk menghadapi masalah baru yang dijumpai di lapangan.

3. Model ini mungkin tidak terlalu cocok diterapkan untuk siswa taman kanak-kanak atau kelas-kelas awal sekolah dasar.

4. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mempersiapkan siswa melakukan tahap-tahap di atas. 35

(44)

6. Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang biasa diterapkan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran konvensional yang dimaksud secara umum adalah pembelajaran dengan menggunakan metode yang biasa dilakukan oleh guru yaitu memberi materi melalui ceramah, latihan soal kemudian pemberian tugas. Dalam pembelajaran konvensional, guru memiliki peranan yang sangat penting karena pembelajaran yang berlangsung berpusat pada guru untuk menjelaskan materi dari awal hingga akhir pelajaran. Pembelajaran konvensional yang dilaksanakan di sekolah tempat dilaksanakan penelitian ini adalah pembelajran matematika dengan menggunakan metode ekspositori. Metode ekspositori adalah metode mengajar yang banyak digunakan oleh guru dimana guru lebih banyak bertutur di dalam kelas sedangkan siswa hanya menyimak penjelasan guru.36

Dalam pembelajaran seperti ini komunikasi yang terjadi selama pembelajaran berlangsung hanya satu arah. Hal ini menyebabkan kurangnya interaksi antara guru dengan siswa. Siswa hanya sesekali bertanya mengenai materi yang disampaikan oleh guru. Siswa lebih banyak mendengarkan, mencatat dan menghafal. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran siswa menjadi pasif dan pembelajaran yang berlangsung menjadi kurang efektif dan terkesan monoton. Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, metode ini hanya menekankan kepada siswa menghafal rumus tanpa mengetahui darimana rumus tersebut diperoleh. Hal ini mengakibatkan penguasaan siswa terhadap konsep matematika cenderung bersumber dari hafalan dan bukan pemahaman.

Langkah-langkah pembelajaran dengan metode ekspositori dapat dirinci sebagai berikut:

a) Persiapan, dalam tahap ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran.

(45)

b) Penyajian, dalam tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Guru berusaha semaksimal mungkin agar materi pelajaran dapat dengan mudah dipahami oleh siswa. c) Korelasi, dalam tahap ini guru menghubungkan materi pelajaran dengan

pengalaman siswa untuk memberikan makna terhadap materi pembelajaran.

d) Menyimpulkan, adalah tahapan memahami inti dari materi pembelajaran yang disajikan.

e) Mengaplikasikan, merupakan tahapan untuk kemampuan siswa setelah menyimak penjelasan dari guru. 37

B.

Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan yang mendukung penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Imas Teti Rohaeti (2013) dengan judul “Penerapan Model Treffinger pada Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP”. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, serta siswa memberikan sikap positif terhadap model Treffinger pada pembelajaran matematika.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Retnowati (2012) yang berjudul “Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Disposisi Matematis Menggunakan Model Pembelajaran Treffinger”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan model Treffinger dapat meningkatkan pemahaman konsep dan disposisi matematis siswa. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan persentase indikator-indikator yang diamati, yaitu: 1) kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah meningkat dari (30,43%) menjadi (73,91%), 2) kemampuan siswa memberi

(46)

tanggapan tentang jawaban siswa lain meningkat dari (21,74%) menjadi (52,17%), 3) kemampuan siswa membuat kesimpulan meningkat dari (13,04%) menjadi (43,48%), 4) kepercayaan diri siswa terhadap kemampuan atau keyakinan meningkat dari (26,09%) menjadi (65,22%), 5) kemampuan siswa dalam mengajukan pertanyaan meningkat dari (21,74%) menjadi (56,52%), 6) kemampuan siswa dalam kerjasama atau berbagi pengetahuan meningkat dari (30,43%) menjadi (78,26%).

3. Penelitian yang dilakukan oleh Tia Agnesa (2011) yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Open-Ended”. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran berbasis masalah open-ended lebih baik daripada rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan pembelajaran konvensional.

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa untuk menyelesaikan soal atau masalah menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dengan tahapan-tahapan atau cara yang rasional agar siswa memperoleh jawaban dan yakin dengan jawaban yang telah diperolehnya.

Model Treffinger merupakan salah satu dari sedikit model yang menangani masalah kreativitas secara langsung. Model Treffinger menggambarkan susunan tiga tahap yang dimulai dengan unsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi-fungsi berpikir yang lebih majemuk.

(47)

Practice with Process, pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat basic tools dalam situasi praktis. Siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan melalui diskusi kelompok. Tahap ketiga Working with Real Problems, siswa diberikan soal yang lebih kompleks yang berhubungan dengan masalah sehari-hari agar siswa dapat menerapkan solusi yang telah ia peroleh pada tahap sebelumnya. Tujuan dari tahap ini adalah menerapkan konsep tentang materi yang telah diajarkan. Karakteristik yang paling dominan dari model pembelajran Treffinger ini adalah upaya dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif siswa untuk mencari arah-arah penyelesaian yang akan ditempuh siswa untuk memecahkan permasalahan. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan model Treffinger diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas siswa sehingga akhirnya mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, mengarahkan siswa untuk berpikir secara logis tentang hubungan antar konsep dan situasi dalam permasalahan yang diberikan serta menghargai keragaman berpikir yang timbul selama proses pemecahan masalah berlangsung.

Dari tahapan pembelajaran model Treffinger yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa pembelajaran ini memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematiknya. Dengan demikian pembelajaran dengan menerapkan model Treffinger dalam pembelajaran matematika diduga dapat berpengaruh tehadap

Referensi

Dokumen terkait

Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui

Simpulan tersebut ternyata sesuai dengan hasil penelitian Sarson Waliyatimas DP (2005) yang menyatakan bahwa penerapan model Treffinger dalam pembelajaran di SMP dapat

Siswa dengan kategori KAM tinggi mendapatkan manfaat yang lebih dari model pembelajaran brain-based learning karena rerata skor kemampuan pemecahan masalah siswa pada kategori

Berdasarkan teori model pembelajaran treffinger dan penelitian terdahulu yang relevan, kemampuan berpikir kreatif pembelajaran matematika serta tahap perkembangan siswa

Berdasarkan teori model pembelajaran treffinger dan penelitian terdahulu yang relevan, kemampuan berpikir kreatif pembelajaran matematika serta tahap perkembangan siswa

Penelitian kuasi eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapatkan model pembelajaran Problem Based Instruction

25 untuk dapat menerapkan model pembelajaran Treffinger dalam pembelajaran matematika di sekolah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan

Hasil pengujian perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa (N- Gain) berdasarkan kelompok PAM, peringkat sekolah, dan model pembelajaran