BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etnis Tionghoa di Kota Padang masuk sekitar abad ke-19. Etnis Tionghoa yang ada di Kota Padang merupakan etnis yang berasal dari Cina Selatan. Pada tahun 1840 terjadi perang opium di Cina. Dinasti Qing yang pada saat itu berkuasa mencoba menghentikan perang tersebut. Tetapi, karena Inggris melihat potensi besar pada perang ini, mereka mengirimkan kapal perang. Cina kalah dan ditandatanganilah perjanjian yang membolehkan Inggris berdagang dan menyerahkan Hongkong dalam kekuasaan Ratu Inggris. Banyak masyarakat Cina yang melarikan diri dari keadaan kacau yang melanda negerinya. Mereka menyebar ke daerah Asia Selatan termasuk Asia Tenggara. Inilah teori awal mula Etnis Tionghoa masuk ke Sumatera Barat (Seagrave, 1999:119).
Sejarah berdirinya Klenteng See Hin Kiong mempunyai hubungan dengan hal tersebut. Dahulunya Kota Padang tidak mempunyai klenteng sama sekali.
Pada waktu itu suku Tjiang dan Tjoan Tjioe datang untuk berniaga (dagang) di kota Padang. Kemudian didirikan Klenteng Kwan Im (Kwan Im Teng) pada tahun 1861 dengan persetujuan Raja Ham Hong Taun Sien Yu. Pada awalnya Kwan Im Teng merupakan bangunan dari kayu, atap dari rumbia atau seng. Oleh karena keteledoran pendeta Sae Kong maka terjadilah kebakaran sehingga Klenteng Kwan Im menjadi abu.
Pada masa Lie Goan Hoat menjadi seorang Kapiten bersama dengan Letenan Liem Soen Mo serta Letenan Lie Bian Ek, mereka bermufakat untuk membangun kembali Klenteng Kwan Im yang sampai sekarang bernama See Hin Kiong. Struktur bangunan Klenteng See Hin Kiong yang khas Cina kuno karena pendirinya Lie Goan Hoat menyuruh anaknya Lie Kong Theek berlayar ke Cina untuk mendapatkan Arsitek yang bisa mewujudkan klenteng tersebut. Terdapat batu peringatan di dalam klenteng yang didirikan oleh Kapiten Lie Goan Hoat agar masyarakat dapat mengetahui bagaimana asal usul dari Klenteng See Hien Kiong ini.
Sampai saat ini, Klenteng See Hin Kiong merupakan klenteng yang terbesar di Provinsi Sumatera Barat. Klenteng ini dipergunakan sebagai tempat ibadah bagi etnis Tionghoa kota padang, dan juga sebagai sarana untuk memperingati hari besar etnis Tionghoa seperti Imlek, Cap Go Meh, dan lain sebagainya. Akan tetapi, klenteng ini jarang dijadikan sebagai objek penelitian, biasanya hanya dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata baik bagi pelajar maupun masyarakat umum. Hal inilah yang menambah ketertarikan penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai pemaknaan struktur klenteng tersebut.
Klenteng merupakan istilah dalam Bahasa Indonesia yang khusus untuk menyebut rumah ibadat yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa untuk melaksanakan ibadah sembahyang kepada Tuhan, nabi-nabi, serta arwah-arwah leluhur yang berkaitan dengan ajaran konfusianisme, taoisme, dan buddhisme (Depdiknas, 2000:22).
Di Cina, klenteng dikenal dengan beberapa istilah yaitu bio atau miao, sie atau si, koan atau guan, kiong atau gong. Bio untuk Klenteng Confucian atau Taois, sie untuk Klenteng Biara Buddhis, koan untuk biara Taois, kiong untuk Klenteng Taois (Yoest, 2008:142-143).
Pada hakikatnya, tempat peribadatan digunakan untuk beribadah bagi umat beragama dan sebagai sarana dalam berkomunikasi kepada Tuhannya. Karena dengan sarana inilah manusia mendapat kesempatan untuk lebih dekat kepada Tuhan dan secara tidak langsung segala kebutuhan rohani mereka dapat terpenuhi.
Manusia akan menjadikan tempat peribadatan sebagai tempat yang paling nyaman untuk mencurahkan segala isi hatinya kepada Tuhan. Disamping itu, tempat peribadatan akan menunjukkan kekhusyukan dan kekhidmatan bagi setiap umat beragama yang menggunakannya, karena di tempat ini rasa tenang sebagai bentuk penyerahan diri kepada Tuhannya dapat ditemukan oleh manusia (Sari, 2014:1).
Setiap agama yang diakui di Indonesia memiliki sarana tempat peribadatan yang dilihat secara fisik bangunannya berbeda-beda bentuk serta memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini menunjukkan betapa besar ide dan gagasan manusia dalam menciptakan sebuah karya spiritual. Manusia juga memiliki konsep, bahwasanya dalam menciptakan sebuah karya spiritual yang diwujudkan dalam bentuk tempat peribadatan itu , mendasar dan semata-mata untuk memberikan kesan tertinggi yang ditujukan kepada Tuhan. Salah satu tempat peribadatan yang menunjukkan sebuah perpaduan budaya dan agama adalah klenteng. Tempat peribadatan klenteng sangat khas dengan budaya Cina, disamping itu klenteng menjadi salah satu identitas bangunan suci bagi masyarakat Tionghoa untuk beribadah kepada
Tuhan, Dewa/Dewi, atau arwah para leluhur yang berkaitan dengan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Budha (Sari, 2014:2).
Banyaknya klenteng di Indonesia menarik perhatian Denys Lombard dan Claudine Salmon. Menurut mereka, fungsi klenteng terdiri dari Klenteng Komunal dan Klenteng Privat. Klenteng Komunal adalah klenteng yang terbuka bagi seluruh umat, sedangkan Klenteng Privat adalah klenteng yang terbatas bagi perorangan atau beberapa kelompok sosial tertentu. Contohnya Klenteng Pasar, klenteng organisasi-organisasi mata pencaharian, klenteng untuk penyembahan abu leluhur marga, klenteng yang menyediakan pelayanan ritual kematian dan rumah duka (Suryatenggara, 2011:35).
Menurut pandangan masyarakat umum, klenteng sering disamakan dengan vihara. Namun sebenarnya terdapat beberapa perbedaan penting antara klenteng dan vihara. Klenteng merupakan tempat ibadah bagi aliran Tri Dharma (Budhisme, Taoisme, dan Konfusianisme). Gaya arsitektur klenteng pun mengacu pada Negara asalnya yakni Tiongkok. Sedangkan vihara adalah tempat ibadah khusus bagi penganut agama budha. Gaya arsitektur vihara lebih mengacu kepada Negara India, tetapi ada juga sebagian kecil arsitektur vihara yang memadukannya dengan ciri khas Negara Tiongkok.
Dari segi arsitektur, bangunan klenteng sangat menarik karena memiliki pola penataan ruang, struktur konstruksi, dan ornamentasi yang khas. Arsitektur yang menjadi bagian dari suatu bangunan, juga berfungsi sebagai prasarana upacara keagamaan. Keberadaannya dapat memberikan nuansa bagi
kegiatan-kegiatan tertentu, mengingatkan orang tentang jenis kegiatan-kegiatan; menyatakan kekuasaan, status atau hal-hal pribadi; menampilkan dan mendukung keyakinan-keyakinan tertentu; menyampaikan informasi; membantu menetapkan identitas pribadi atau kelompok dan lain sebagainya. Selain itu, Arsitektur juga dapat memisahkan wilayah, membedakan ruang suci dan duniawi, pria dan wanita, depan dan belakang, pribadi dan umum.
Dewasa kini, banyak ilmu dan norma yang diterapkan untuk membangun sebuah tempat hunian. Salah satu contoh ilmu dari dunia Timur (Cina) yang saat ini sudah banyak diterapkan pada bangunan-bangunan publik, rumah, gedung perkantoran, dan area bisnis yaitu Feng Shui. Penerapam ilmu Feng Shui pada dasarnya untuk mencari sebuah keseimbangan dan keselarasan yang menyangkut segala aspek kehidupan, bahkan itu juga akan berpengaruh terhadap keharmonisan yang terjalin dengan alam sekitar (Sari, 2014:3).
Oleh karena itu, penulis memiliki gagasan mengambil kasus dengan objek yang sudah tentu menerapkan kaidah Feng Shui pada setiap tatanan interior maupun eksteriornya namun jarang dikaji, yaitu berupa tempat peribadatan klenteng. Disinilah peneliti ingin menggali lebih dalam mengenai penerapan kaidah ilmu Feng Shui dalam ruang lingkup struktur bangunan Klenteng See Hin Kiong, klenteng terbesar dan satu-satunya di provinsi Sumatera Barat. Sehingga dengan melakukan penelitian ini informasi yang mendalam mengenai permasalahan yang dikaji dapat diperoleh, dan pada akhirnya nanti memberikan sebuah kontribusi ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat.