BAB I PENDAHULUAN
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan untuk mendapat lebih banyak informasi tentang pantangan-pantangan pada Perayaan Imlek Masyarakat Tionghoa, penyebab adanya pantangan tersebut dan akibat dari pantangan jika dilanggar.
2. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi sebagai referensi mengenai pantangan yang terdapat pada perayaan Imlek dan menambah wawasan tentang kekayaan budaya Masyarakat Tionghoa.
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep merupakan variabel-variabel yang terdapat dalam susunan judul skripsi kemudian dijelaskan satu persatu untuk lebih memahami hal-hal yang terdapat dalam penelitian.
Konsep memiliki makna “Gambaran mental dari suatu objek, proses ataupun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:588).
Menurut Soedjadi (2000), “konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata.”
Dalam penelitian ini penulis akan menguraikan konsep-konsep yang digunakan, yaitu sebagai berikut :
2.1.1 Pantangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pantangan adalah hal (perbuatan) yang terlarang menurut adat ataupun kepercayaan. Dalam pengertian lain pantangan merupakan larangan keras terhadap suatu tindakan berdasarkan kepercayaan bahwa tindakan demikian tidak bisa dilanggar karena dapat menimbulkan hal-hal buruk atau hal-hal yang tidak baik dalam kehidupan.
Hal ini dilakukan karena alasan kesehatan, kebiasaan ataupun keyakinan tertentu.
Bagaimanapun orang memahami pantangan, yang jelas itu merupakan cara orang tua dalam mendidik generasinya yang di dalamnya terkandung sarat akan nilai-nilai budi pekerti,
pemeliharaan lingkungan hidup, serta kesehatan jasmani dan rohani. Dengan mematuhi pantangan, seseorang diharapkan dapat mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup.
2.1.2 Perayaan Imlek
Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan perayaan yang menjadi tradisi dalam masyarakat Tionghoa yang dirayakan setiap tahun. Hal ini sama seperti perayaan Tahun Baru pada tanggal 1 Januari bagi semua orang. Perayaan Tahun Baru Imlek menjadi perayaan yang sangat meriah bagi masyarakat Tionghoa, khususnya di kota Medan.
Perayaan Tahun Baru Imlek dirayakan pertama kali di Tiongkok pada 4699 oleh raja pertama Huang Ti. Kata Imlek (阴历: Im = Bulan, Lek = penanggalan) berasal dari dialek Hokkian atau mandarinya yin li yang berarti kalender bulan. Perayaan Tahun Baru Imlek dirayakan pada tanggal 1 hingga tanggal 15 pada bulan ke-1 penanggalan kalender China yang menggabungkan perhitungan matahari, bulan, 2 energi yin-yang, konstelasi bintang atau astrologi shio, 24 musim, dan 5 unsur. Tahun Baru Imlek disebut juga pesta musim semi karena penanggalan Imlek berkaitan dengan keadaan alam dan bertepatan dengan musim semi dimulai.
Perayaan Tahun Baru Imlek berhubungan dengan kebiasaan yang sudah menjadi tradisi yang sulit untuk dihilangkan. Setiap keluarga masyarakat Tionghoa umumnya memelihara “abu” dalam rumahnya. Abu ini merupakan arwah leluhur yang telah meninggal hasil dari proses kremasi dimana jenazah manusia yang telah meninggal tidak dikubur melainkan dibakar. Hal ini dilakukan sebagai tanda kehormatan pada leluhur. Abu ini dirawat di atas sebuah meja yang disebut meja sembahyang. Sembahyang pada saat seperti ini disebut sembahyang Sam Seng dan Ngo Seng. Sam Seng artinya tiga hewan dan Ngo Seng artinya lima hewan.
Untuk menghormati para leluhur, selain melakukan sembahyang mereka juga melaksanakan tradisi pemotongan hewan. Sebagai tanda hormat pada leluhur, maka setiap tanggal 1 dan tanggal 15 tahun Imlek mereka akan membakar dupa (hio) dan mempersembahkan buah-buahan. Hal ini karena perayaan Tahun Baru Imlek berhubungan dengan kepercayaan. Mereka sangat gembira merayakan Tahun Baru Imlek tersebut karena mereka percaya bahwa dengan melakukan upacara sepanjang perayaan tahun baru ini dapat memperoleh hidup damai, kekal dan sejahtera.
Dalam merayakan Tahun Baru ini masyarakat Tionghoa melaksanakan tradisi yang sudah turun temurun. Tradisi itu antara lain saling mengucapkan selamat dan bermaaf-maafan, rumah dan rumah ibadah dibersihkan, memakai baju baru. Anak kecil hingga orang dewasa yang belum menikah mendapat Ang-Pao, yaitu hadiah uang yang dibungkus dengan amplop merah. Masyarakat yang bekerja di perantauan pulang kampung untuk berkumpul bersama keluarga merayakan Tahun Baru Imlek.
Yang paling menonjol dalam perayaan ini adalah warna merah. Sejak dahulu, para sastrawan Tionghoa melukiskan musim semi sebagai musim serba merah. Warna merah dihubungkan dengan musim semi dan keberuntungan. Begitu pula warna merah dijadikan primadona perayaan imlek yang berlangsung limabelas hari. Hiasan di dalam rumah, pakaian, aksesoris semuanya bernuansa merah. Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa warna merah membawa keselamatan, perlindungan, rejeki dan kebahagiaan.
Perayaan Tahun Baru Imlek juga merupakan kesempatan tersendiri bagi masyarakat Tionghoa untuk mengungkapkan pelbagai makna. Berbagai jenis makanan dibuat khusus untuk mengungkapkan ciri dan makna Imlek yaitu makanan yang terbuat dari beras (lambang kemakmuran), buah kurma (tanda kelimpahan), kacang-kwaci (simbol kelahiran), semangka merah (keberuntungan), ikan (berlebih), jeruk (kemewahan), sup manis dan sebagainya.
Perayaan Imlek, yang menekankan dengan keberuntungan dan pertanda baik sangat sensitif
dengan kebersihan. Beberapa hari menjelang Imlek, masyarakat Tionghoa harus menghias dan membersihkan rumah serta tempat beribadah.
Pada tanggal 14 malam dan tanggal 15, dirayakan pesta Goan Siao. Pesta ini di Indonesia lebih dikenal dengan nama Cap Go Meh. Goan Siao sebutan lain dari Goan Meh, yang berarti Malam Goan. Pada malam ke 15 yang merupakan malam pertama bulan purnama tahun yang baru semua orang bersukaria. Lampion beraneka bentuk dan warnanya, yang berisikan sebatang lilin atau bahan penerang lainnya merupakan anasir khusus dalam perayaan ini. Dalam perayaan Cap Go Meh tidak ada upacara yang khusus. Keluarga mengatur meja sembahyang di halaman depan rumah untuk melakukan sembahyang “Sam Kai” berarti tiga dunia / alam yaitu sembahyang kepada Langit, Bumi dan Manusia.
Sembahyang ini ialah sembahyang untuk membayar kaul (janji yang sudah diniatkan dan harus ditepati).
2.1.3 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koenjaraningrat, 2002:146).
Di Sumatera Utara orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa. Hal ini karena menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa Hokkien bukan Bahasa Mandarin. Akan tetapi kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda.
Mayoritas Masyarakat Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang akan tetapi ada juga pekerjaan lain seperti guru, karyawan, petani dan lain sebagainya. Meskipun jumlah
Masyarakat Tionghoa ini lebih sedikit dari golongan penduduk pribumi lainnya, akan tetapi kehadiran Masyarakat Tionghoa akan mudah ditandai. Hal ini dapat dilihat dari tempat tinggal sekaligus tempat mereka membuka usaha, yaitu hampir di seluruh pusat-pusat perbelanjaan dan sepanjang jalan di inti kota.
Sejalan dengan keadaan di Negeri China sendiri, maka Masyarakat Tionghoa yang ada di Medan juga terdiri dari bermacam suku. Akan tetapi dalam keadaan sehari-hari Masyarakat Tionghoa dari bermacam suku tidak menunjukkan dan tidak membandingkan suku mereka masing-masing. Sehingga yang terlihat hanyalah satu kesatuan masyarakat yang berbudaya dalam satu kelompok etnik yang bukan diorganisasikan dalam satu ikatan yang menjadi struktur organisasi sebagaimana lazimnya, kecuali kelompok-kelompok sosial di dalam hal keagamaan.
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya..
Tahun Baru Imlek juga dirayakan oleh Masyarakat Tionghoa kota Medan. Dengan pesta ini dirayakan hidupnya kembali dari alam semesta, sesudah berada dalam keadaan mati selama musim dingin yang gelap dan suram itu. Tahun baru Imlek ini di Indonesia oleh sebagian orang dirayakan. Pada hari itu dilakukan Sembahyang Tahun Baru di kuil atau dimuka meja abu. Sembahyang tahun baru ini harus diselenggarakan dengan sebersih-bersihnya. Bukan saja bersih lahir, melainkan juga bersih batin.
2.2 Landasan Teori
Untuk mendukung pembahasaan dalam penelitian ini, penulis mengutip teori sebagai acuan dalam menganalisis data yang diperoleh. Adapun teori yang dipaparkan dalam penelitian ini yaitu untuk membahas pantangan-pantangan yang terdapat dalam perayaan Imlek. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori kebudayaaan.
Spradley (1980) menyatakan bahwa budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh
seseorang dan digunakan untuk menginterpertasikan pengalaman yang menghasilkan perilaku.
Perilaku selalu didasarkan pada makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Apa yang dilakukan dan mengapa orang melakukan berbagai hal dalam kehidupannya selalu didasarkan pada definisi menurut pendapatnya sendiri yang dipengaruhi secara kuat oleh latar belakang budayanya yang khusus.
Hal ini berhubungan dengan yang dikatakan oleh Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.
Teori kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan praktis, memperlancar pembangunan masyarakat, membangun manusia yang beradab melalui pengajaran-pengajaran nilai-nilai budaya, pengkajian dan pembelajaran seperti naskah karya sastra, dan sebagainya.
Sejalan dengan pandangan Edward B.Tylor, pantangan-pantangan pada perayaan Tahun Baru Imlek merupakan suatu budaya atau tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur mereka kepada seluruh masyarakat Tionghoa dan tidak boleh dilanggar. Tradisi ini sudah
dijalankan oleh masyarakat Tionghoa sejak dahulu dan mereka juga tidak pernah melupakan nilai-nilai budaya yang telah diajarkan oleh leluhur mereka.
Hal yang penting adalah bagaimana generasi muda melanjutkan tradisi atau budaya yang telah diwariskan ini dapat dijalankan dengan baik tanpa merusak atau mengubah budaya yang telah ada. Dengan demikian dapat membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi dan menanamkan nilai-nilai budaya, moral, kepercayaan dan lain sebagainya dilingkungan masyarakat Tionghoa.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab, buku, buku primbon (KBBI, 2003:912). Dalam penelitian ini, yang dimaksud tinjauan pustaka adalah hasil meninjau terhadap pandangan, pendapat setelah menyelidiki atau mempelajari pokok masalah yang diteliti oleh penulis dan penulis terdahulu yang dilakukan secara tematik maupun keilmuan, baik berupa skripsi sarjana, jurnal dan makalah. Pustaka yang penulis maksudkan di dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku atau kitab yang berkaitan pokok masalah yang penulis teliti, yaitu mencakup: pantangan pada perayaan Imlek, Masyarakat dan kebudayaan Tionghoa. Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang berhubungan dengan pantangan pada perayaan Imlek, antara lain sebagai berikut:
1. 李国江(2013)dalam jurnalnya yang berjudul “春节与禁忌信仰(The Spring Festival and the taboo belief)”. Di dalam jurnalnya dikatakan bahwa perayaan tahun baru Imlek yang disebut juga dengan pesta musim semi selalu dirayakan tiap tahunnya. Perayaan ini menjadi perayaan yang sangat meriah bagi masyarakat China.
Dalam perayaan ini terdapat pantangan yang menganut kepercayaan atau disebut dengan tabu. Hal ini sangat penting dilaksanakan serta dilestarikan oleh masyarakat
muda supaya dapat menjaga kehidupan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Jurnal ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji pantangan apa saja yang terdapat dalam perayaan Imlek serta akibat yang terjadi dalam kehidupan jika pantangan tersebut dilanggar.
2. 冯小丽(2013)dalam jurnalnya yang berjudul “ 浅论传统节日—春节里的禁忌冯 (On the traditional festival - the Spring Festival taboo Feng) “. Di dalam jurnalnya dikatakan dalam perayaan Imlek ada terdapat pantangan atau hal tabu yang tidak boleh dilanggar baik dari makanan ataupun hal lainnya dan itu harus ditaati oleh semua masyarakat karena ini merupakan sudah ajaran turun temurun yang diwariskan oleh leluhur supaya memperoleh kehidupan yang baik, tentram, rezeki berlimpah.
Jurnal ini juga menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji lebih dalam lagi mengenai pantangan yang terdapat dalam perayaan Imlek.
3. Yoan Silviana (2007) menulis sebuah skripsi yang bejudul “Fungsi Dan Makna Penyambutan Imlek Pada Masyarakat Tionghoa Di Pematang Siantar”. Di dalam penelitiannya dikatakan bahwa masyarakat Tionghoa pada zaman dahulu sampai sekarang masih melestarikan budaya Tionghoa dengan melaksanakan tradisi dalam perayaan Imlek walaupun muda mudi masyarakat Tionghoa zaman sekarang hanya menjalankan tradisi orang tua tanpa mengetahui fungsi dan makna dari perayaan Imlek tersebut. Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji tradisi apa saja yang dilaksanakan dalam perayaan Tahun Baru Imlek masyarakat Tionghoa.
4. Devi Alvionita Alindra (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Komparatif Struktur Upacara Perayaan Tahun Baru Imlek Pada Masyarakat Cina Di RRC Dengan Etnis Cina Di Kota Pematang Siantar”, yang menjelaskan perayaan Tahun Baru Cina di Indonesia dan di RRC hampir sama yaitu memiliki kegiatan merayakan tahun baru,
memberikan sejumlah uang di dalam angpao berwarna merah, menggantung lampion, menyalakan petasan, pertunjukan barongsai, dan sebagainya. Dalam penelitian ini dimulai dengan sejarah perayaan Tahun Baru Cina tersebut kemudian memperkenalkan kebiasaan Tahun Baru Cina dan budayanya. Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka bagi penulis dalam mengkaji perbedaan perayaan Imlek di RRC dan perayaan Imlek di Indonesia khususnya dalam hal pantangan yang terdapat pada perayaan Imlek.
5. Sandra Sintauli (2005) dalam skripsinya yang berjudul “Bahasa Nonverbal Sebagai Makna Warna Dalam Etnis Tionghoa Pada Perayaan Imlek Di Kecamatan Medan Petisah”. Di dalam skripsinya dikatakan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan bentuk dan makna warna dalam etnis Tionghoa khususnya pada perayaan Imlek di kecamatan Medan Petisah. Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji warna apa saja yang digunakan dalam perayaan Tahun Baru Imlek.
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam metode penelitian pada dasarnya peneliti mengungkapkan sejumlah cara yang disusun secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga mampu menjawab secara ilmiah perumusaan masalah yang telah ditetapkan (Hamidi, 2010:54).
3.1 Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Nazir (1988: 63) metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Sedangkan Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.
Pendekatan dalam penelitian ini yaitu kualitatif. Prosedur penelitian yang menghasilkan penelitian data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang, perilaku yang dapat diamati sehingga menemukan kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat manusia. Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan hasil observasi yang dilakukan di Vihara Gunung Timur Medan dan di Jln. Bawang Perumnas Simalingkar. Selain itu juga hasil wawancara dari informan kunci dan nonkunci.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Jln. Bawang Perumnas Simalingkar dan di Vihara Gunung Timur, yaitu beralamat di Jln. Hang Tuah, Hamdan No. 16 Medan.
3.3 Data dan Sumber Data
Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi setiap penulils untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada perayaan Tahun Baru Imlek masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut:
Sumber Data Primer : A Po
Profesi : Pengurus Vihara Gunung Timur
Sumber Data Primer : Kwek Bun Profesi : Wiraswasta
Sumber Data Primer : Huang Chu Thong
Profesi : Anggota kepengurusan di Vihara Gunung Timur
Sumber Data Primer : Florencia Profesi : Mahasiswa
Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas terhadap permasalahan yang diajukan dalam penelitian. Data yang diperoleh informan kunci inilah yang menjadi bahan kajian utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci.
Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut : Sumber Data Sekunder : Buku yang berjudul Imlek dan Alkitab Halaman : 198 hlm
Penerbit : PT. Bethlehem Publisher
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah berupa suatu pernyataan (statement) tentang sifat, keadaan, kegiatan tertentu dan sejenisnya. Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian (Gulo, 2002 : 110).
Dalam suatu penelitian, langkah pengumpulan data merupakan satu tahap yang sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melakukan beberapa tahapan. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
3.4.1 Observasi
Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Penelitian ini berdasar kepada penelitian lapangan, yaitu penelitian yang memfokuskan perhatian dalam pengumpulan data dari sumber-sumber lapangan. Penelitian lapangan yang penulis lakukan berupa penelitian sebagai pengamatan yang terlibat. Peneliti langsung mengamati objek penelitian di lapangan seperti
apa yang terjadi. Pada saat penulis melakukan observasi lapangan Masyarakat Tionghoa sedang melakukan kegiatan untuk menyambut perayaan Imlek seperti membersihkan rumah dan rumah ibadat, memasang lampion, menyiapkan segala keperluan untuk sembahyang dan juga menjauhkan semua benda-benda yang tidak boleh digunakan dalam menyambut Tahung Baru Imlek.
3.4.2 Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab secara langsung antara peneliti dan narasumber (informan). Wawancara terbagi atas wawancara terstruktur dan tidak terstruktur.
1. Wawancara terstruktur artinya wawancara yang dilakukan sesuai dengan pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu oleh penulis.
2. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas, yaitu peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang akan diajukan secara spesifik, dan hanya memuat poin-poin penting masalah yang ingin digali dari
responden.
Dalam wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur peneliti menggunakan alat bantu berupa alat perekam suara, kamera dan material lain yang dapat membantu
kelancaran wawancara.
3.5 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir,1988: 111).
Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data-data dan teori-teori yang berasal dari buku-buku referensi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian. Buku-buku tersebut antara lain buku Imlek dan Alkitab (Markus Tan, 2004), Pengantar Ilmu Antropologi (Koentjaningrat, 1990), Metode Penelitian Kualitatif (Hamidi, 2010), Cerita Tentang Pantangan Marga Silima di Desa Juhar Kecamatan Juhar Kabupaten Karo (Sugihana Sembiring, 2008), Mitologi China Dan Kisah Alkitab (J.S.Kwek, 2001), Memahami Budaya Tionghoa (Stafanus Akim, 2002). Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet.
3.6 Teknik Analisis Data
Pada prinsipnya analisis data merupakan sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh peneliti ketika proses pengumpulan data atau informasi berlangsung, sampai pada penarikan kesimpulan berupa konsep atau hubungan antar konsep (Hamidi, 2010:97).
Pada penelitian ini, penulis meneliti pantangan-pantangan pada perayaan Imlek berdasarkan data hasil wawancara dengan informan, pengamatan dan penelitian pustaka.
Langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Peneliti mengumpulkan berbagai sumber yang berhubungan dengan pantangan pada perayaan Imlek seperti buku, artikel, jurnal dan lain sebagainya.
2. Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan membacanya terlebih dahulu kemudian mengklasifikasikan data tersebut untuk dijadikan bahan penelitian.
3. Peneliti melakukan observasi lapangan ke tempat penelitian. Observasi ini dilakukan mengamati keadaan di lapangan saja.
4. Peneliti melakukan wawancara degan informan-informan yang mengetahui tentang masalah yang sedang diteliti.
5. Setelah data telah diperoleh penulis kemudian penulis menganalisis data tersebut dengan menggunakan teori Kebudayaan.
6. Terakhir, merangkum informasi ataupun data yang telah didapat selanjutnya data-data
6. Terakhir, merangkum informasi ataupun data yang telah didapat selanjutnya data-data