• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau acuan untuk penelitian khususnya bagi mahasiswa/i Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan di paparkan mengenai tinajuan pustaka yaitu tentang penelitian penelitian sebelumnya, konsep, dan landasan teori. Pertama-tama penulis memaparkan tentang konsep yg berkaitan dengan judul penelitian kemudian tentang landasan teori yang di gunakan penulis sebagai landasan peneliti dalam meneliti,dan terakir memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya.

2.1 Tinjauan pustaka

Menurut Ainiyah (2014) dalam skripsi yang berjudul “Kajian Psikologi Sosial Novel Elang Karya Kirana Kejora”. Bercerita tentang kisah cinta seorang perempuan yang menaruh pada pada dua orang pria yang bernama Elang Timur dan Elang Laut. Selain mengenai cinta juga menceritakan tentang pentingnya seorang ayah bagi kehidupan anak. Dalam novel tersebut terdapat interaksi sosial mengenai kehidupan antarmanusia, kebutuhan manusia, pengolahan pikiran manusia dan ketertarikan antarmanusia. Aspek psikologi sosial yang ada dalam novel sangat menarik untuk dibahas dan juga bermanfaat untuk para kaum muda dalam menetukan baik buruknya seseorang untuk dijadikan sebagai pendamping hidup.

Menurut Efendi (2016 ) dalam skripsi yang berjudul “Aspek Psikologi Sosial Dalam Novel Orb Karya Galang Lufiyanto”. Skripsi ini membahas hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Religiusitas merupakan suatu nilai yang ada dIbalik

pikiran dan tindakan dalam menjalankan religi. Maksud dari hubungan manusia dengan manusia nerupakan hubungan yang perlu dibina, hubungan yang baik itu dapat terwujud dari persahabatan yang kokoh dan tolong menolong.

Hubungan manusia dengan diri sendiri hal ini bertujuan agar setiap manusia memiliki kesadaran untuk melakukan perbuatan yang terpuji yang ia lakukan. Perbuatan yang dimaksud diantaranya adalah sabar dan rendah hati, sabar adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kemampuan dalam mengendalikan gejolak diri. Hubungan manusia dengan Tuhan salah satunya adalah taat dan selalu bersyukur, taat melaksanakan perintahnya dan mejauhi larangannya.

Jason (2014 ) dalam Skripsi yang berjudul Materialism in George Eliot’s novel “Silas Marner”. Di dalam skripsi ini terdapat analisis materialistis yang terdapat dalam novel Silas Marner yang ditulis oleh George Eliot. Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan tentang kesuksesan material yang membuat manusia menjadi berubah ke sisi negatif sehingga memudarnya rasa kemanusiaan yang diakibatkan oleh materialistis di dalam novel tersebut. Di mana manusia tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya. Kontribusi dari penelitian ini terhadap penulis yaitu dapat mengetahui pengaruh materialisme terhadap kehidupan manusia.

Jian (2019) dalam jurnal berjudul " Prinsip-Prinsip Dasar Marxisme”.

Marxisme memainkan peran penting dalam pembangunan komunitas untuk menangani masalah etnis. Bagi Marxisme, implikasinya yang melekat, materialisme historis, dan pembangunan manusia memberikan prinsip-prinsip dasar, dan arahan masa depan untuk memberikan pengembangan manusia

mengusulkan solusi untuk arah masa depannya khususnya untuk masyarakat China. Manfaat penelitian bagi penulis yaitu dapat memahami konsep Marx tentang materialisme.

2.2 Konsep

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang berada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Selain itu, konsep dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka meghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam eksistensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Pada bagian ini penulis akan memaparkan konsep yang digunakan dalam penelitian tentang Analisis Materialisme Dalam Film “For Love Or Money” Kajian Marxisme.

2.2.1 Tokoh dan Penokohan

Menurut Aminuddin (2011:79) tokoh adalah pelaku yang mengembang suatu peristiwa dalam suatu cerita, sehingga suatu peristiwa dapat terjalin dengan baik. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama film itu?” atau “Ada berapa orang jumlah tokoh film itu?” dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk

pada sikap dan sifat para tokoh sebagaimana yang ditafsirkan para pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seoran tokoh. Tokoh cerita sebagaimana dikemukakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013:247) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Walaupun tokoh dalam cerita hanya merupakan tokoh rekaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar, sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri atas darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia harus bertindak dan bersikap sesuai tuntutan cerita, dengan watak yang disandangnya. Jika pada suatu cerita ada tokoh yang bertindak secara lain dari citranya yang digambarkan sebelumnya, hal tersebut akan lebih baik tidak terjadi begitu saja dan harus bisa dipertanggung jawabkan. Menurut Nurgiyantoro (2013:258-272) tokoh dibedakan menjadi beberapa jenis. Antara lain sebagai berikut.

1) Tokoh utama yaitu tokoh yang diutamakan dalam cerita.

2) Tokoh tambahan yaitu tokoh yang dalam kehadiranya kurang mendapatkan perhatian.

3) Tokoh antagonis adalah tokoh yang memiliki sifat yang jahat dan sering menjadi sumber permasalahan.

4) Tokoh protagonis adalah tokoh yang sering dikagumi dan memiliki sifat heroik.

Seringkali, lewat tingkah laku tokoh, seorang pembaca dapat menebak

bagaimana karakter atau wataknya. Seperti seorang laki-laki yang senang menyendiri dan sering minum minuman keras. Secara tidak langsung, pembaca akan tahu bagaimana karakter laki-laki tersebut melalui kepribadian dan keseharian tokoh yang digambarkan dalam cerita.

Peran pengarang memang luar biasa dalam pengenalan dan penciptaan tokoh. Seperti yang diungkapkan Wellek dan Warren (2013:83) bahwa sastrawan terutama pengarang itu adalah pelamun yang diterima masyarakat.

Pengarang tidak pernah mengubah kepribadiannya, dan yang diubah adalah publikasi lamunanya. Hadirnya tokoh dalam sebuah cerita bukan tanpa pertimbangan. Pengarang selalu menyesuaian dengan keadaan sekitar tokoh dan bagaimana budaya yang melingkupi tokoh. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:247) menegaskan bahwa dalam penggunaan istilah karakter atau penokohan sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris mengarah pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang di miliki tokoh tersebut.

Penokohan adalah penghadiran tokoh dalam sebuah Film dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang penonton untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya. Adanya karakterisasi tersebut, penonton bisa menjadi penentu, apakah yang dilakukan tokoh dalam cerita.

tersebut baik atau buruk. Tak ubahnya sebuah lakon, karakterisasi atau penokohan.

a. Alur

Penyebutan ‘alur’, secara modern, juga sering disebut sebagai plot atau

jalan cerita, kemudian dalam teori terbaru lebih dikenal dengan adanya istilah struktur naratif. Alur dalam sebuah film merupakan unsur kunci yang kehadirannya membawa dampak besar dalam sebuah film. Alur menjadi penentu baik dan tidaknya film yang dibuat oleh sutradara. Di dalam alur terdapat berbagai proses dan konflik yang tidak pernah lepas dari kehidupan tokoh-tokonya (Nurgiyantoro, 2013:165).

Secara tidak langsung, pembaca selalu memilih cerita yang menarik. Kata

‘menarik’ tersebut tertuju pada konsep cerita dan isi cerita yang sesuai kondisi zamannya. Kemenarikan tersebut dapat diartikan secara khusus, yaitu bagaimana konflik yang terjadi dalam cerita serta apa yang menjadi permasalahan dalam cerita tersebut. Alur adalah siklus yang melingkupi asumsi-asumsi tersebut.

Menurut Loban dkk. (dalam Aminuddin, 2011:85-86) setiap cerita memiliki alur yang tidak sepenuhnya sama. Tidak menutup kemungkinan adanya cerita fiksi yang mengandung tahapan alur yang berbeda. Model tahapan cerita yang lain dapat dijelaskan ketika pengarang mengawali cerita dengan dengan berangkat dari suatu paparan peristiwa yang menegangkan dan menyita perhatian pembaca karena mengandung tanda-tanda. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:167) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, yang dihubungkan oleh hubungan sebab akibat, sehingga dalam sebuah cerita, setiap urutan peristiwa yang muncul selalu disebabkan dan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Relasi antara peristiwa yang dikisahkan dalam cerita haruslah memiliki hubungan sebab akibat, sehingga tidak berurutan secara kronologis saja. Ketika penampilan peristiwa demi peristiwa tarsebut hanya berdasar pada urutan waktu

saja, maka peristiwa tersebut belum bisa disebut sebagai sebuah lur atau plot.

Agar menjadi sebuah alur yang baik, peristiwa tersebut harus diolah dan disiasati secara kreatif sehingga dari hasil pengolahan tersebut menjadi sesuatu yang indah dan menarik.

b. Latar/Setting

Tahap awal karya fiksi, pada umumnya berisi tentang penyituasian, penyesuaian, dan pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan.

Misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana, tempat, mungkin juga hubungan waktu. Tahap awal suatu cerita fiksi umumnya berupa pengenalan tokoh, tempat dan waktu. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti jika pengenalan hanya dilakukan di awal cerita. Pengenalan bisa juga hadir di berbagai tahap lain sesuai alur cerita. Hadirnya latar dalam sebuah cerita membawa kesan realitis kepada pembaca, sehingga pembaca menjadi terbawa suasana dan seolah-olah cerita tersebut benar terjadi. Sehingga, pembaca dipermudah untuk menciptakan daya imajinasinya (Nurgiyantoro, 2013:303).

Latar atau setting memberikan pijakkan yang jelas dalam sebuah cerita.

Adanya latar tersebut, menjadi saksi setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita.

Latar juga bisa diartikan sebagai gambaran kapan cerita tersebut dibuat, sehingga ada latar menjadi salah satu cara pembagian periodisasi sastra. Seperti yang dijelaskan Natia (2008:07) bahwa periodisasi sastra di Indonesia dapat dilihat dari sifat, latar karya dibuat, dan bentuknya. Hal itu berarti kehadiran latar dapat dijadikan pijakan waktu suatu karya sastra.

Menonton sebuah film, sama halnya seperti membawa diri masuk pada peristiwa yang ada dalam cerita. Penonton akan bertemu dengan lokasi tertentu

seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan dan lainnya sesuai tempat kejadian cerita. Latar tersebut secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu yang dpat dilihat dan dirasakan kehadirannya, maka disebutlah latar tersebut sebagai latar fisik. Penunjukkan latar fisik dalam teks fiksi dapat dilakukan denganberbagai cara tergantung kreativitas pengarang. Selain itu terdapat pula latar yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat setempat, maka latar yang seperti itu disebut dengan latar spiritual. Sesuai jenis dan unsurnya, menurut Nurgiyantoro (2013:314-322) secara umum latar terbagi menjadi tiga unsur pokok yaitu, latar tempat, waktu dan sosial-budaya.

2.2.2 Film

Nugroho (1995:77) menyatakan bahwa film adalah penemuan komunal dari penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll) dan bertumbuh seiring pencapaian-pencapaian selanjutnya, seperti perekaman suara stereo, dll. Disisi lain, film juga menuntut syarat-syarat teknologi hingga fisika, seperti tuntutan dari proses laboraturium. Film sebagai media komunikasi massa akan berkaitan dengan fenomena produksi, cara, dan efek dalam berbagai dimensinya. Oleh sebab itu, film sering disebut sebagai media cangkokan dari unsur-unsur seni-seni lainnya seperti drama, teater, puisi, tari, hingga novel, sekaligus juga akrab dengan aktivitas imajinatif dan proses simbolis, yaitu kegiatan manusia menciptakan makna yang menunjuk pada realitas yang lain. Dan terakhir, film paling sering dihubungkan dengan kajian berbagai disiplin ilmu, seperti psikologi, sosiologi, dll).

2.2.2.1 Unsur-unsur Pembangun Fiksi

Film, dibentuk oleh dua unsur pembentuk yakni: unsur naratif, dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain membentuk sebuah film. Masing-masing unsur tidak akan dapat membentuk sebuah film jika berdiri sendiri-sendiri. Bisa dikatakan bahwa unsur naratif adalah bahan atau materi yang akan diolah, sedangkan unsur sinematik adalah cara dan gaya untuk mengolahnya. (Pratista, 2008:hal 10).

2.2.2.1.1 Unsur Naratif

Pengertian naratif adalah suatu rangkaian peeristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu (Pratista, 2008: hal 33) dalam sebuah film cerita, sebuah kejadian pasti disebabkan oleh kejadian sebelumnya misalnya sebuah shot A menggambarkan James Bond menembak dan shot B menggambarkan musuh jatuh terkena tembakan. Shot B terjadi karena shot A, penonton akan mudah memahami karena adanya hubungan kausalitas antara shot A dan shot B. Segala tindakan pelaku cerita tersebut akan memotivasi peristiwa berikutnya, hal ini akan membentuk sebuah pola pengembangan naratif yang dibagi menjadi tiga:

pendahuluan, pertengahan, penutupan. Pola tersebut biasanya disajikan secara linear. Hubungan kausalitas tersebut membuat naratif tidak bisa lepas dari batasan ruang (latar cerita) dan waktu (urutan, durasi, frekuensi).

Salah satu bagian dari naratif adaah plot, plot adalah rangkaian peristiwa yang di sajikan secara audio maupun visual dalam film. Plot dalam film digunakan untuk memanipulasi sebuah cerita sehingga sutradara bisa menyajikan

dan mengarahkan alur cerita sesuai yang ia inginkan. Hal ini sekaligus digunakan untuk mempermudah sineas jika film diangkat berdasarkan novel, tanpa meninggalkan keterikatan ruang dan waktu sehingga film bisa dinikmati penonton (Pratista, 2008: hal. 34). Naratif mempunyai beberapa elemen pokok yang membantu berjalanya sebuah alur cerita, elemen-elemen tersebut adalah : Pelaku cerita: adalah motivator utama yang menjalankan alur cerita, pelaku cerita terdiri dari tokoh protagonis (utama/jagoan) dan antagonis (pendukung/musuh, rival).

Permasalahan konflik bisa diartikan sebagai penghalang tokoh protagonis untuk mencapai tujuannya, permasalahan bisa muncul dari tokoh protagonis maupun antagonis. Tujuan yang ingin dicapai pelaku cerita, bisa berupa fisik seperti mengalahkan musuh atau berupa non fisik seperti kebahagiaan dan sebagainya ( Pratista, 2008: hal 44).

2.2.2.1.2 Unsur Sinematik

Jika naratif adalah pembentuk cerita, maka unsur sinematik adalah semua aspek teknis dalam sebuah film. Dengan kata lain jika naratif adalah nyawa sebuah film, maka unsur sinematik adalah tubuh fisiknya. Namun bukan berarti sinematik kalah penting dari naratif, karena unsur sinematik inilah yang membuat sebuah cerita menjadi sebuah cerita menjadi sebuah karya audio visual berupa film (Pratista, 2008:hal 2) unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Terdiri dari: (a) Mise en scene yang memiliki empat elemen pokok setting atau latar, tata cahaya, kostum, dan make up, (b) Sinematografi, (c) editing, yaitu transisi sebuah gambar (shot) ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala dalam film yang mampu kita tangkap melalui pendengaran.

Peran sinematik dalam penelitian ini adalah untuk memberi koridor yang lebih spesifik kepada karaker-karakter Bond Girls dalam bentuk mise-en-scene.

Unsur sinematik meliputi:

A. Mise-en-scene: Adalah segala hal yang terletak didepan kamera yang akan diambil gambarnya dalam proses produksi film, berasal dari bahasa perancis yang memiliki arti “putting in the scene”. Hampir seluruh gambar yang kitalihat dalam film adalah bagian dari unsur mise-en-scene. Mise-en-scene memiliki empat aspek utama yakni setting atau latar, kostum dan make-up (tata rias meliputi wajah dan efek khusus) lighting atau tata cahaya, serta pemain dan pergerakannya.

B. Sinematografi: Unsur sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni, kamera dan film, framing, durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya.

Framing adalah hubungan kamera dengan objek yang akan diambil. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah obyek diamil gambarnya oleh kamera.

C. Editing: Terdiri dari dua pengertian; editing produksi: proses pemilihan gambar serta penyambungan gambar yang telah diambil, editing paska produksi: teknik- teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shot.

D. Suara: Seluruh suara yang keluar dari gambar (film) yakni dialog, musik, dan efek suara. (Pratista, 2008. Hal: 1-2).

2.2.3 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu lintas disiplin (interdisipliner) antara sosiologi dan ilmu sastra. Komunikasi antara individu merupakan aktivitas yang unik sebab membutuhkan saling keterpahaman, dengan perubahan zaman yang semakin menglobal memungkinkan terjadinya interaksi antar individu.

Makin disadari bahwa kehidupan sosial manusia tidak hanya dibangun oleh serangkaian aksi dan interaksi yang sifatnya fiksi dan beavioristik, tapi dibangun oleh sistem dan praktek-praktek penandaan atau simbolik, (Saraswati, 2003: 1).

Menurut Wolff , sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin tanpa bentuk, terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general, yang masing- masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan antarseni/kesusastraan dan masyarakat, (Faruk, 2015:4).

2.2.4 Psikologi Sosial

Menurut Gordon Allport (1985) bahwa psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, baik secara nyata atau aktual, dalam bayangan atau imajinasi, dan dalam kehadiran yang tidak langsung (implied) Menurut Dewey & Hubber (1916) psikologi sosial adalah studi tentang manusia individual, ketika berinteraksi, biasanya secara simbolis dengan lingkungannya, yaitu dengan lambang yang digunakan manusia untuk saling berinteraksi, misalnya: kata-kata, huruf, rambu-rambu, lalu lintas, papan nama, dan lain-lain.

Menurut Show & Costanzo (1970) psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku individual sebagai fungsi stimulus- stimulus sosial. Defenisi ini tidak menekankan stimulus eksternal maupun proses internal, melainkan mementingkan hubungan timbal balik antara keduanya.

Stimulus diberi makna tertentu oleh manusia dan selanjutnya manusia bereaksi sesuai dengan makna yang diberikannya itu.

Menurut Baron & Byrne (2006) psikologi sosial adalah bidang ilmu yang mencari pemahaman tetnang asal mula dan penyebab terjadinya pikiran serta perilaku individu dalam situasi-situasi sosial. Defenisi ini menekankan pada pentingnya pemahaman terhadap asal mula dan penyebab terjadinya perilaku dan pikiran.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori Matrealisme (Marxisme)

Marxisme, atau Sosialisme Ilmiah, adalah sebutan untuk seperangkat gagasan yang pertama dirumuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895). Secara keseluruhan, gagasan-gagasan ini menyediakan dasar teoritis yang sudah lengkap dijabarkan untuk mencapai bentuk masyarakat yang lebih agung - sosialisme

.

Sebelum menjelaskan tentang konsep materialisme historis Marx, kiranya perlu bagi penulis untuk menjelaskan terlebih dahulu prinsip dasar pandangan materialisme historis, yakni keadaan dan kesadaran. Marx menyatakan bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, melainkan

sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.

Keadaan sosial manusia, menurut Marx, adalah produksinya atau pekerjaannya.

Manusia ditentukan baik oleh apa yang mereka produksi maupun bagaimana mereka berproduksi.

Pandangan inilah yang kemudian disebut materialis karena sejarah dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material. Jadi, Marx menggunakan istilah Marxisme bukan sebagai kepercayaan bahwa hakikat seluruh realitas adalah materi, tetapi menunjuk pada faktor yang menentukan sejarah, yaitu keadaan material manusia (cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup) bukan pikiran manusia.

Selain itu, Marx juga mengambil filsafat dialektikanya GWF Hegel untuk mengembangkan konsepnya mengenai materialisme historis. Dialektika Hegel ini menyatakan bahwa sesuatu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungannya, yang semuanya terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran (tesis-antitesis-sintesis). Apapun merupakan kesatuan dari apa yang berlawanan, hasil dari proses dialektis yang melalui negasi atau penyangkalan.

Dalam menjelaskan karakteristik penyangkalan dialektis ini, Hegel menggunakan istilah Jerman aufheben yang mempunyai tiga arti:

menyangkal/membatalkan, menyimpan dan mengangkat. Dengan demikian, Hegel telah mengenalkan sebuah filsafat yang telah mempengaruhi pemikiran Marx bahwa sesuatu pada dasarnya mengandung unsur kebalikan/negasinya (opposite).

Negasi dianggap sebagai penghancuran dari yang lama, sebagai hasil dari perkembangan sendiri yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradiksi internal.

Jadi, segala sesuatu bergerak dari taraf yang rendah ke taraf yang lebih tinggi, atau dari keadaan yang masih sederhana kea rah yang lebih kompleks. Inilah yang

kemudian mendorong Marx untuk mengembangkan filsafat materialisme dialektis.

Konsep materialisme dialektis ini, yang menyatakan bahwa setiap materi menghasilkan negasi di dalam entitasnya, merupakan aspek utama yang mempengaruhi Marx dalam menganalisa masyarakat, mulai dari permulaan zaman (primeval period) hingga masyarakat dimana Marx berada, sehingga teori ini disebut Materialisme Historis. Karena materi, oleh Marx, diartikan sebagai keadaan ekonomi, maka teori Marx juga sering disebut ‘analisa ekonomis terhadap sejarah’ (the economic interpretation of history). Marx beranggapan bahwa perkembangan dialektis awalnya terjadi pada struktur bawah (basis) masyarakat, yang nantinya menggerakkan struktur atas-nya (supra-struktur). Basis masyarakat bersifat ekonomis dan tersusun atas dua aspek, yaitu cara berproduksi (teknik dan alat-alat) dan relasi ekonomi (sistem kepemilikan, pertukaran dan distribusi barang). Sementara itu, supra-struktur, yang berdiri diatas basis ekonomi, terdiri atas kebudayaan, hukum, ilmu pengetahuan, kesenian, agama, dan ideologi.

Berdasarkan hukum dialektika, masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat kapitalis seperti dimana Marx berada. Gerak dialektis ini, yang disebabkan oleh kontradiksi dari dua kelas utama dalam masyarakat, dimulai dari komune primitif, dimana mereka masih tidak mengenal kelas dan kepemilikan pribadi, menjadi sebuah masyarakat-kelas yang mulai mengenal milik pribadi dan pembagian kerja, sehingga mengenal pula pembagian kelas-kelas sosial. Dalam

Berdasarkan hukum dialektika, masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat kapitalis seperti dimana Marx berada. Gerak dialektis ini, yang disebabkan oleh kontradiksi dari dua kelas utama dalam masyarakat, dimulai dari komune primitif, dimana mereka masih tidak mengenal kelas dan kepemilikan pribadi, menjadi sebuah masyarakat-kelas yang mulai mengenal milik pribadi dan pembagian kerja, sehingga mengenal pula pembagian kelas-kelas sosial. Dalam

Dokumen terkait