• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Konsep

2.2.1 Tokoh dan Penokohan

Menurut Aminuddin (2011:79) tokoh adalah pelaku yang mengembang suatu peristiwa dalam suatu cerita, sehingga suatu peristiwa dapat terjalin dengan baik. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama film itu?” atau “Ada berapa orang jumlah tokoh film itu?” dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk

pada sikap dan sifat para tokoh sebagaimana yang ditafsirkan para pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seoran tokoh. Tokoh cerita sebagaimana dikemukakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013:247) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Walaupun tokoh dalam cerita hanya merupakan tokoh rekaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar, sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri atas darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia harus bertindak dan bersikap sesuai tuntutan cerita, dengan watak yang disandangnya. Jika pada suatu cerita ada tokoh yang bertindak secara lain dari citranya yang digambarkan sebelumnya, hal tersebut akan lebih baik tidak terjadi begitu saja dan harus bisa dipertanggung jawabkan. Menurut Nurgiyantoro (2013:258-272) tokoh dibedakan menjadi beberapa jenis. Antara lain sebagai berikut.

1) Tokoh utama yaitu tokoh yang diutamakan dalam cerita.

2) Tokoh tambahan yaitu tokoh yang dalam kehadiranya kurang mendapatkan perhatian.

3) Tokoh antagonis adalah tokoh yang memiliki sifat yang jahat dan sering menjadi sumber permasalahan.

4) Tokoh protagonis adalah tokoh yang sering dikagumi dan memiliki sifat heroik.

Seringkali, lewat tingkah laku tokoh, seorang pembaca dapat menebak

bagaimana karakter atau wataknya. Seperti seorang laki-laki yang senang menyendiri dan sering minum minuman keras. Secara tidak langsung, pembaca akan tahu bagaimana karakter laki-laki tersebut melalui kepribadian dan keseharian tokoh yang digambarkan dalam cerita.

Peran pengarang memang luar biasa dalam pengenalan dan penciptaan tokoh. Seperti yang diungkapkan Wellek dan Warren (2013:83) bahwa sastrawan terutama pengarang itu adalah pelamun yang diterima masyarakat.

Pengarang tidak pernah mengubah kepribadiannya, dan yang diubah adalah publikasi lamunanya. Hadirnya tokoh dalam sebuah cerita bukan tanpa pertimbangan. Pengarang selalu menyesuaian dengan keadaan sekitar tokoh dan bagaimana budaya yang melingkupi tokoh. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:247) menegaskan bahwa dalam penggunaan istilah karakter atau penokohan sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris mengarah pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang di miliki tokoh tersebut.

Penokohan adalah penghadiran tokoh dalam sebuah Film dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang penonton untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya. Adanya karakterisasi tersebut, penonton bisa menjadi penentu, apakah yang dilakukan tokoh dalam cerita.

tersebut baik atau buruk. Tak ubahnya sebuah lakon, karakterisasi atau penokohan.

a. Alur

Penyebutan ‘alur’, secara modern, juga sering disebut sebagai plot atau

jalan cerita, kemudian dalam teori terbaru lebih dikenal dengan adanya istilah struktur naratif. Alur dalam sebuah film merupakan unsur kunci yang kehadirannya membawa dampak besar dalam sebuah film. Alur menjadi penentu baik dan tidaknya film yang dibuat oleh sutradara. Di dalam alur terdapat berbagai proses dan konflik yang tidak pernah lepas dari kehidupan tokoh-tokonya (Nurgiyantoro, 2013:165).

Secara tidak langsung, pembaca selalu memilih cerita yang menarik. Kata

‘menarik’ tersebut tertuju pada konsep cerita dan isi cerita yang sesuai kondisi zamannya. Kemenarikan tersebut dapat diartikan secara khusus, yaitu bagaimana konflik yang terjadi dalam cerita serta apa yang menjadi permasalahan dalam cerita tersebut. Alur adalah siklus yang melingkupi asumsi-asumsi tersebut.

Menurut Loban dkk. (dalam Aminuddin, 2011:85-86) setiap cerita memiliki alur yang tidak sepenuhnya sama. Tidak menutup kemungkinan adanya cerita fiksi yang mengandung tahapan alur yang berbeda. Model tahapan cerita yang lain dapat dijelaskan ketika pengarang mengawali cerita dengan dengan berangkat dari suatu paparan peristiwa yang menegangkan dan menyita perhatian pembaca karena mengandung tanda-tanda. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:167) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, yang dihubungkan oleh hubungan sebab akibat, sehingga dalam sebuah cerita, setiap urutan peristiwa yang muncul selalu disebabkan dan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Relasi antara peristiwa yang dikisahkan dalam cerita haruslah memiliki hubungan sebab akibat, sehingga tidak berurutan secara kronologis saja. Ketika penampilan peristiwa demi peristiwa tarsebut hanya berdasar pada urutan waktu

saja, maka peristiwa tersebut belum bisa disebut sebagai sebuah lur atau plot.

Agar menjadi sebuah alur yang baik, peristiwa tersebut harus diolah dan disiasati secara kreatif sehingga dari hasil pengolahan tersebut menjadi sesuatu yang indah dan menarik.

b. Latar/Setting

Tahap awal karya fiksi, pada umumnya berisi tentang penyituasian, penyesuaian, dan pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan.

Misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana, tempat, mungkin juga hubungan waktu. Tahap awal suatu cerita fiksi umumnya berupa pengenalan tokoh, tempat dan waktu. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti jika pengenalan hanya dilakukan di awal cerita. Pengenalan bisa juga hadir di berbagai tahap lain sesuai alur cerita. Hadirnya latar dalam sebuah cerita membawa kesan realitis kepada pembaca, sehingga pembaca menjadi terbawa suasana dan seolah-olah cerita tersebut benar terjadi. Sehingga, pembaca dipermudah untuk menciptakan daya imajinasinya (Nurgiyantoro, 2013:303).

Latar atau setting memberikan pijakkan yang jelas dalam sebuah cerita.

Adanya latar tersebut, menjadi saksi setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita.

Latar juga bisa diartikan sebagai gambaran kapan cerita tersebut dibuat, sehingga ada latar menjadi salah satu cara pembagian periodisasi sastra. Seperti yang dijelaskan Natia (2008:07) bahwa periodisasi sastra di Indonesia dapat dilihat dari sifat, latar karya dibuat, dan bentuknya. Hal itu berarti kehadiran latar dapat dijadikan pijakan waktu suatu karya sastra.

Menonton sebuah film, sama halnya seperti membawa diri masuk pada peristiwa yang ada dalam cerita. Penonton akan bertemu dengan lokasi tertentu

seperti nama kota, desa, jalan, hotel, penginapan dan lainnya sesuai tempat kejadian cerita. Latar tersebut secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu yang dpat dilihat dan dirasakan kehadirannya, maka disebutlah latar tersebut sebagai latar fisik. Penunjukkan latar fisik dalam teks fiksi dapat dilakukan denganberbagai cara tergantung kreativitas pengarang. Selain itu terdapat pula latar yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat setempat, maka latar yang seperti itu disebut dengan latar spiritual. Sesuai jenis dan unsurnya, menurut Nurgiyantoro (2013:314-322) secara umum latar terbagi menjadi tiga unsur pokok yaitu, latar tempat, waktu dan sosial-budaya.

Dokumen terkait