• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adik-adikku Budi, Melda, Safri dan Daniel Yang telah mendukung selama in

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam penyelesaian tesis ini telah banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si, selaku pembimbing tesis yang telah memberikan banyak masukan, arahan dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini. 3. Bapak Dr. Nur Azam yang bersedia menjadi penguji pada ujian tesis.

4. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan.

5. Pimpinan Bapepam-LK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Para Dosen, Staf dan Karyawan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) yang telah membantu penulis selama studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL).

7. Ibunda, Bapak & Ibunda mertua dan adik-adik terkasih Budi, Melda, Safri, Daniel di Medan dan di Freeport Timika atas dukungan moril maupun materiil serta senantiasa mendoakan keberhasilan penulis.

8. Istri tercinta Julia F. Sinuraya, MSi atas dukungan, doa dan bantuannya dalam pengolahan data tesis ini, serta anak-anakku tersayang Michael Febrian dan Juan Dicky yang menjadi sumber semangat dan penghibur penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2005 atas segala bantuan, supportnya dan kebersamaannya kepada penulis selama pendidikan.

10. Teman-teman di Bapepam-LK atas perhatian dan dukungannya kepada penulis. 11. Semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam

penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari, tesis ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Mei 2007 Penulis

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 30 Maret 1969 dari ayah (Alm) U. Sukatendel, SH dan ibu L. Sinuraya. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Julia F Sinuraya pada tahun 1997, penulis mendapatkan dua putra yang bernama Michael Febrian (9 tahun) dan Juan Dicky Augustinus (5 tahun).

Penulis menyelesaikan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas di kota Medan. Kemudian pada tahun 1987 melanjutkan pendidikan Sarjana pada Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas Padang dan lulus pada tahun 1992.

Pada tahun 1992 sampai dengan 1996 penulis bekerja di perusahaan baja PT Gunung Garuda, Cibitung. Sejak tahun 1996 hingga sekarang bekerja di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi di Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, konsentrasi di Manajemen Keuangan dan lulus pada Januari 2007. Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.

@ Hak cipta milik Ferdinan Sukatendel, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya

Latar Belakang

Pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.25 tahun 1999 juncto No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, merupakan babak baru dalam sistem pemerintahan, dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan yang terpusat (sentralistik) menjadi sistem pemerintahan yang bersifat otonomi daerah (desentralistik). Sistem pemerintahan desentralistik memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengurus sendiri bidang pemerintahan, keuangan dan pembangunan di daerahnya.

Perekonomian Indonesia saat ini masih belum pulih dari krisis yang berdampak melemahnya daya beli masyarakat, terpuruknya sektor riil, meningkatnya jumlah pengangguran dan anggaran pemerintah mengalami defisit. Salah satu penyebab krisis adalah akibat dari perekonomian yang dibangun tanpa adanya keterkaitan antar sektor dan wilayah serta koordinasi antar lembaga terkait. Selain itu anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan belum mendukung sektor-sektor yang menjadi prioritas.

Anggaran pemerintah daerah merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan dan pembangunan suatu perekonomian daerah. Setiap daerah mempunyai keterbatasan sumberdaya dan sumber pendapatan yang terbatas dalam melaksanakan pembangunan. Dengan demikian perlu kejelian dari pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggarannya yang terbatas tersebut untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan di daerahnya.

Alokasi anggaran pembangunan yang dilakukan secara tepat akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan perekonomian, karena pengalokasian anggaran kepada sektor-sektor unggulan (leading sector) akan memberikan dampak kepada sektor-sektor lainnya (multiplier effect). Sektor unggulan mempunyai keterkaitan dengan sektor lainnya baik kedepan (foward linkage) maupun keterkaitan kebelakang (backward linkage), sehingga dapat menciptakan total output yang besar didalam perekonomian wilayah. Sektor unggulan sebagai motor

pengggerak sektor lainnya perlu mendapatkan perhatian dan fokus dari pemerintah karena akan memberikan dampak kepada sektor-sektor perekonomian lainnya secara simultan, disamping itu bisa dihindari terjadinya pengalokasian anggaran yang tidak efektif dan efisien. Perencanaan penganggaran yang tepat terhadap sektor unggulan akan menentukan tercapainya target pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan.

Sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik merupakan elemen penting untuk mewujudkan good governance. Pengelolaan keuangan daerah yang tepat, efisien, efektif dan bertanggung jawab membutuhkan adanya transparasi dalam proses penyusunan anggaran dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi yang ada. Sehingga mempengaruhi sistem penganggaran yang ada di berbagai daerah untuk lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta. Wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor dibagi dalam 3 (tiga) wilayah pembangunan yaitu Wilayah Barat, Tengah dan Timur. Jika diamati sekilas terlihat bahwa secara fisik pembangunan wilayah Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta (Wilayah Tengah dan Timur) lebih maju dibanding wilayah Kabupaten Bogor yang jauh dari Kota Jakarta (Wilayah Barat). Sedangkan jika dilihat dari sisi perekonomian, terlihat bahwa kontribusi PDRB sektor industri dan perdagangan jauh lebih dominan dibandingkan sektor pertanian. Demikian juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Bogor masih sangat tergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat.

Selama ini sudah banyak peneliti yang meneliti tentang kondisi wilayah dan sumber daya di Kabupaten Bogor, namun hingga saat ini belum ada penelitian mengenai alokasi anggaran belanja Kabupaten Bogor yang dikaitkan dengan sumber daya dan pembangunan wilayah di Kabupaten Bogor.

Berangkat dari berbagai hal di atas, maka tesis ini mencoba menganalisis alokasi belanja pembangunan daerah setelah berlakunya otonomi daerah dan hubungannya dengan sektor unggulan sebagai upaya mengoptimalkan kinerja pembangunan Kabupaten Bogor .

Tabel 1 Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor atas harga berlaku dan konstan tahun 2001 – 2004

HARGA BERLAKU HARGA KONSTAN TAHUN 2000 SEKTOR

2001 2002 2003 2004* 2001 2002 2003 2004*

1. Sektor Primer

a. Pertanian

b. Pertambangan & Penggalian

8.88 6.62 5.92 6.91 6.23 13.22 8.27 -6.94 2.86 (0.09) 0.02 (1.61) (1.88) 8.22 0.42 (13.26) 2. Sektor Sekunder a. Industri Pengolahan

b. Listrik, Gas dan Air

c. Bangunan 9.57 9.67 9.80 12.24 12.75 12.72 12.87 13.52 15.20 14.66 15.05 15.20 4.15 4.12 4.46 4.98 4.86 5.22 5.36 5.11 5.81 6.28 5.92 6.68 3. Sektor Tersier

a. Perdagangan, Hotel & Restauran

b. Angkutan dan Komunikasi

c. Keuangan, Persewaan & Jasa

Perusahaan d. Jasa-jasa 9.89 9.64 9.34 9.44 11.02 13.23 12.48 12.58 14.21 14.44 12.54 11.93 13.77 14.53 13.16 13.05 3.49 5.10 3.86 5.04 4.38 5.62 5.22 5.01 5.00 6.46 5.68 5.49 5.83 7.34 6.08 6.34 PDRB 9.51 11.55 12.69 13.65 3.94 4.43 4.87 5.51

Ket: *Angka Sementara, BPS Provinsi Jawa Barat tahun 2005.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, jika dilihat dari harga konstan tahun 2000 secara sektoral rata-rata sektor ekonomi pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan yang cukup baik kecuali untuk sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami pertumbuhan minus 13.26%. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2001 hampir seluruh sektor ekonomi yang mengalami percepatan kecuali sektor pertambangan dan penggalian.

Tabel 2 Kontribusi sektor dalam perekonomian Kabupaten Bogor tahun 2001-2004

Tahun Kode Sektor SEKTOR 2001 2002 2003 2004 (1) (2) (3) (4) (5) (6) I PRIMER 9.33 8.88 8.47 7.85 1 Pertanian 7.64 7.25 6.84 6.51

2 Pertambangan dan Penggalian 1.70 1.63 1.63 1.34

II SEKUNDER 66.49 66.49 67.13 67.76

3 Industri Pengolahan 59.52 59.89 59.99 60.52

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 3.76 3.80 3.83 3.88

5 Bangunan 3.21 3.24 3.31 3.36

III TERSIER 24.17 24.19 24.40 24.39

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 15.39 15.32 15.52 15.54

7 Angkutan dan Komunikasi 2.66 2.70 2.74 2.76

8

Keuangan, Persewaan&Jasa Perusahaan 1.75 1.76 1.76 1.75

9 Jasa-jasa 4.38 4.41 4.38 4.34

PDRB 100 100 100 100

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa struktur perekonomian Kabupaten Bogor tahun 2004 merupakan struktur yang didominasi oleh sektor industri pengolahan 60,52% kemudian perdagangan, hotel dan restoran 15,54% dan sektor pertanian 6,51%. Ketiga sektor tersebut di atas mempunyai pangsa ± 83% dari total PDRB Kabupaten Bogor pada tahun 2004.

Menurut kelompok sektor, maka kelompok sektor sekunder merupakan sektor yang paling besar kontribusinya, yaitu sebesar 67,13 persen pada tahun 2003 meningkat menjadi 67,76 persen pada tahun 2004, kedua kelompok sektor tersier, yaitu sebesar 24,40 persen pada tahun 24,40 persen pada tahun 2003 menurun menjadi 24,39 persen pada tahun 2004 dan ketiga kelompok sektor primer, yaitu sebesar 8,47 persen pada tahun 2003 menurun menjadi 7,85 persen pada tahun 2004. Pada tahun 2004 telah terjadi penurunan peranan sektor primer dan peningkatan peranan sektor tersier dan sekunder di Kabupaten Bogor.

Tabel 3 Jumlah dan Persentase pekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Bogor tahun 2004

Lapangan Usaha Utama Jumlah % 1. Perdagangan 2. Industri 3. Pertanian 4. Konstruksi 5. Komunikasi 6. Jasa

7. Pertambangan & Galian 8. Listrik, Gas & Air Minum 9. Keuangan 10. Lainn-lainnya 320.228 290.410 261.880 84.238 117.776 188.182 9.726 5.354 12.252 0 24,82 22,25 20,30 6,65 9,12 14,58 0,75 0,41 0,95 0 Jumlah 1.290.046 100,00

Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka 2004.

Dari Tabel 3 terlihat sebagian besar penduduk Kabupaten Bogor bekerja di enam sektor utama. Sektor terbesar yang menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan kemudian diikuti secara berurutan yakni sektor industri, pertanian, jasa, komunikasi dan terakhir sektor konstruksi. Tetapi dilihat dari segi PDRB Kabupaten Bogor pada tahun 2004 yang bersumber dari sektor perdagangan dan pertanian hanya menyumbang masing-masing sebesar 15,54% dan 6,51% persen terhadap perekonomian Kabupaten Bogor.

Tabel 4 Sumber-sumber pendapatan daerah Kabupaten Bogor tahun 2003 – 2005 (dalam jutaan)

No Obyek Pendapatan Pendapatan

2003 % 2004 % 2005 %

1 Sisa Lebih Tahun Lalu - - -

2 PAD 142.756 17.15 155.818 16.88 194.224 18.61 3 Dana Perimbangan 681.102 81.85 747.099 80.91 835.872 80.90 4 Penerimaan Lainnya 8.190 1.00 20.392 2.21 13.548 0.49

Jumlah 832.049 100 923.309 100 1.043.646 100 Sumber: Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor tahun 2006.

Semenjak berlakunya otonomi daerah, sumber pendapatan Kabupaten Bogor sebagian besar masih berasal dari dana pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan. Jika dilihat dari jumlah dana yang diberikan, maka dari tahun ke tahun dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat meningkat dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005. Namun jika dilihat dari persentase yang diterima maka jumlah yang diterima menurun. Pada tahun 2003 total alokasi dana perimbangan yang diterima Kabupaten Bogor sebesar 81,85%, tahun 2004 sebesar 80,91%, dan tahun 2005 sebesar 80,09%. Penurunan jumlah dana dari segi persentase diakibatkan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tahun 2003 sebesar 17,15% meningkat menjadi 16,88% tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 18,61% pada tahun 2005. Sedang pendapatan lainnya berfluktuatif dari tahun 2003 hingga tahun 2005.

Dari sisi belanja Kabupaten Bogor sebagaimana ditunjukkan Tabel 5 di bawah ini, terlihat bahwa anggaran belanja rutin masih sangat mendominasi pengeluaran anggaran belanja dibandingkan dengan anggaran belanja untuk pelayanan publik antara lain seperti pendidikan dan kesehatan. Adapun nilai untuk belanja rutin meningkat setiap tahun, namun dari segi persentase mengalami penurunan dari tahun 2003 sebesar 60,12% meningkat sedikit tahun 2004 menjadi 60,23% dan menurun menjadi 55,37% pada tahun 2005. Sedangkan belanja pelayanan publik meningkat dari tahun 2003 hingga 2005 baik dari segi jumlah maupun persentase yakni sebesar 16,90% tahun 2003, meningkat menjadi 21,96% tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 31,60% pada tahun 2005. Namun anggaran pembangunan belanja daerah Kabupaten Bogor mengalami defisit dari tahun 2003 hingga 2005.

Tabel 5 Anggaran belanja Kabupaten Bogor tahun 2003 – 2005 (dalam jutaan)

Tahun

No Belanja 2003 2004 2005

1 Aparatur Daerah 559.349 628.391 639.276

2 Pelayanan Publik 154.697 229.183 364.825

3 Bagi Hasil & Bantuan Keuangan 135.242 149.736 135.370 4 Tak Tersangka 65.792 35.932 15.000 Jumlah Belanja 915.081 1.043.243 1.154.473 Jumlah Pendapatan 832.049 923.309 1.043.646 Surplus/(Defisit) (83.032) (119.934) (110.827) Sumber: Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor tahun 2006.

Berdasarkan Tabel 5 di atas, terlihat bahwa anggaran belanja rutin masih sangat mendominasi pengeluaran anggaran belanja dibandingkan dengan anggaran belanja untuk pelayanan publik antara lain seperti pendidikan dan kesehatan. Adapun nilai untuk belanja rutin meningkat setiap tahun, namun dari segi persentase mengalami penurunan dari tahun 2003 sebesar 60,12% meningkat sedikit tahun 2004 menjadi 60,23% dan menurun menjadi 55,37% pada tahun 2005. Sedangkan belanja pelayanan publik meningkat dari tahun 2003 hingga 2005 baik dari segi jumlah maupun persentase yakni sebesar 16,90% tahun 2003, meningkat menjadi 21,96% tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 31,60% pada tahun 2005. Namun anggaran pembangunan belanja daerah Kabupaten Bogor mengalami defisit dari tahun 2003 hingga 2005.

Dengan anggaran yang defisit pemerintah daerah dituntut untuk dapat menggunakan secara jeli dalam mengalokasikan anggarannya yang terbatas tersebut untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan di daerahnya. Alokasi anggaran pembangunan yang dilakukan secara tepat akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan perekonomian.

Perumusan Masalah

Pembangunan hendaknya tidak hanya mementingkan aspek pertumbuhan semata tetapi harus diikuti aspek pemerataan, penciptaan dan perolehan kesempatan

kerja serta tidak terganggunya ekosistem, karena pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan sering menciptakan dampak kesenjangan baik di sektor ekonomi maupun spasial antar wilayah serta selalu diikuti kesenjangan pendapatan antar golongan masyarakat.

Menurut Anwar dan Hadi (1996) perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi tekanannya lebih kepada upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang biasanya dilihat dari tolak ukur peningkatan angka Produk Domestic Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh rakyat di wilayah tersebut dalam periode satu tahun. Sehingga perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan yang diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik itu investasi pemerintah maupun swasta.

Hirschman dalam Todaro (1989), menyatakan bahwa untuk negara (daerah) yang berkembang, pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak (imbalanced growth) namun dilakukan dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan memberi implikasi ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) terhadap sektor-sektor lainnya. Untuk menentukan prioritas pembangunan berdasarkan sektor unggulan menurut Nazara (1997), metode yang bisa digunakan adalah analisis keterkaitan antar sektor. Sektor dengan keterkaitan paling tinggi berarti memiliki potensi menghasilkan output produksi yang tinggi pula.

Tingginya konsentrasi pusat-pusat pertumbuhan di sekitar wilayah tertentu di Kabupaten Bogor, menimbulkan dampak positif dan negatif bagi pembangunan wilayah. Kurangnya kesadaran spasial antar wilayah mengakibatkan dampak pembangunan yang terkonsentrasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar bagi wilayah-wilayah lainnya, yang secara tidak langsung turut memberikan sumbangan bagi kemajuan bagi wilayah telah maju. Pada akhirnya hubungan fungsional yang terjadi antarwilayah bukannya saling memperkuat namun akan

saling melemahkan. Terkait dengan sektor-sektor unggulan di Kabupaten Bogor, perlu dilakukan indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan tersebut di Kabupaten Bogor. Dengan mengetahui lokasi-lokasi sektor unggulan, diharapkan arahan pengembangan sektor unggulan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, dapat lebih terfokus tanpa mengabaikan struktur perekonomian di kabupaten tersebut selama ini. Selain itu, kesenjangan wilayah yang terjadi selama ini dapat semakin dikurangi.

Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan ini memberikan konsekuensi logis kepada perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Prinsip di dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Sejalan dengan berlakunya UU No 17/2004 tentang Keuangan Negara yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2005, maka anggaran yang disusun harus mengacu kepada anggaran yang berbasis kinerja. Dengan anggaran berbasis kinerja, diharapkan semua pengeluaran anggaran dapat memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi masyarakat dan dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Yang menjadi persoalan di dalam pengalokasian anggaran selain tidak berimbangnya alokasi antara belanja rutin dan pembangunan adalah ketidaktepatan di dalam mengalokasikan anggaran itu sendiri terhadap sektor-sektor yang seharusnya mendapatkan prioritas. Ketidaktepatan di dalam alokasi anggaran akan menyebabkan inefisiensi dan kemubaziran, sehingga tujuan pembangunan yang diharapkan tidak tercapai. Kebijakan pemerintah yang tepat dalam pengalokasian anggaran yang lebih menitikberatkan kepada belanja pembangunan atau investasi akan menciptakan nilai tambah di dalam perekonomian wilayah.

Masalah ekonomi bagi masyarakat bukan hanya soal kelancaran alokasi tetapi juga soal distribusi, maka setiap bentuk dan arah alokasi belanja pemerintah tentu punya nilai tersendiri. Jika alokasi anggaran lebih banyak untuk anggaran belanja

rutin birokrasi dan belanja para pejabat publik, maka aspek keadilannya menjadi kecil. Jika alokasi APBD untuk belanja pembangunan atau belanja investasi lebih besar, maka kepentingan publik lebih banyak yang terlayani.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dan ditemukan jawabannya, yaitu :

1. Sektor-sektor apa saja yang dapat diidentifikasikan sebagai sektor unggulan di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana potensi dan rencana pengembangan sektor unggulan di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dukungan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor unggulan di Kabupaten Bogor.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah seperti telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis sektor-sektor unggulan dalam perekonomian di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis potensi dan rencana pengembangan sektor unggulan di Kabupaten Bogor.

3. Identifikasi alokasi anggaran pembangunan untuk mendukung sektor unggulan di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Memberikan suatu gambaran tentang kondisi dan peran sektor-sektor perekonomian dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Bogor dan faktor-faktor pendukungnya serta sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan di dalam membangun keterkaitan antar sektor dalam kerangka pengembangan wilayah serta pengalokasian anggaran pemerintah daerah Kabupaten Bogor.

Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah di dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, serta penulisan diharapkan dapat lebih terfokus. Pembatasan permasalahan dilakukan pada beberapa hal sebagai berikut : 1. Dalam kaitan antara alokasi anggaran dengan sektor unggulan di Kabupaten

Bogor, maka pembahasan hanya melihat keterkaitan antara pola alokasi anggaran dengan sektor unggulan.

2. Untuk menentukan sektor unggulan, penelitian difokuskan pada aspek ekonomi namun tidak mengabaikan aspek sumberdaya yang ada. Dalam hal ini pembahasan aspek sumberdaya dilakukan secara deskriptif untuk mendukung pembahasan pada aspek ekonomi.

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah

Secara yuridis menurut Undang-Undang No 24/1992 tentang Penataan ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget 1977 dalam Rustiadi et al. 2005a) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Wilayah homogen (uniform/ homogenous region); 2. Wilayah nodal (nodal region);

3. Wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah.

Menurut Tacoli (1998) bahwa konsep pembangunan dalam beberapa dekade terakhir ditujukan pada peubahan hubungan antara sektor pertanian dengan industri. Kebijakan pertumbuhan ekonomi mengikuti satu atau dua pendekatan, yaitu pertama investasi di sektor pertanian berpengaruh pada penyediaan kebutuhan sektor industri dan perkotaan, sedangkan pendekatan kedua berpendapat bahwa pertumbuhan industri dan perkotaan memerlukan sektor pertanian yang lebih modern.

Strategi pembangunan dengan pusat pertumbuhan didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan dimulai pada beberapa sektor yang dinamis dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas (Stohr 1981 dalam Mercado 2002). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (kesetimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai, dan akan turun ke kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan- perusahaan besar.

Mercado (2002) menyatakan bahwa kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Friedman (1976) menyebutkan bahwa antara pusat dengan hinterlandnya mempunyai hubungan yang minimal sehingga apabila pembangunan berjalan maka biasanya hanya terjadi pada satu sisi dimana hinterland selalu terbelakang, tereksploitasi dan tidak dapat berkembang karena hinterland hanya penunjang perkembangan pusat.

Secara simplistik, konsep pengembangan wilayah sendiri terbagi dua dan saling berseberangan. Dominasi pertama menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat (production centered development) dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus melalui beberapa sektor unggulan yang kemudian akan menjalar kepada sektor-sektor lainnya dan

Dokumen terkait