• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara yuridis menurut Undang-Undang No 24/1992 tentang Penataan ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget 1977 dalam Rustiadi et al. 2005a) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Wilayah homogen (uniform/ homogenous region); 2. Wilayah nodal (nodal region);

3. Wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah.

Menurut Tacoli (1998) bahwa konsep pembangunan dalam beberapa dekade terakhir ditujukan pada peubahan hubungan antara sektor pertanian dengan industri. Kebijakan pertumbuhan ekonomi mengikuti satu atau dua pendekatan, yaitu pertama investasi di sektor pertanian berpengaruh pada penyediaan kebutuhan sektor industri dan perkotaan, sedangkan pendekatan kedua berpendapat bahwa pertumbuhan industri dan perkotaan memerlukan sektor pertanian yang lebih modern.

Strategi pembangunan dengan pusat pertumbuhan didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan dimulai pada beberapa sektor yang dinamis dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas (Stohr 1981 dalam Mercado 2002). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (kesetimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai, dan akan turun ke kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan- perusahaan besar.

Mercado (2002) menyatakan bahwa kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Friedman (1976) menyebutkan bahwa antara pusat dengan hinterlandnya mempunyai hubungan yang minimal sehingga apabila pembangunan berjalan maka biasanya hanya terjadi pada satu sisi dimana hinterland selalu terbelakang, tereksploitasi dan tidak dapat berkembang karena hinterland hanya penunjang perkembangan pusat.

Secara simplistik, konsep pengembangan wilayah sendiri terbagi dua dan saling berseberangan. Dominasi pertama menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat (production centered development) dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus melalui beberapa sektor unggulan yang kemudian akan menjalar kepada sektor-sektor lainnya dan perekonomian secara keseluruhan. Dominasi kedua menekankan pembangunan desentralistik atau pembangunan yang berpusat kepada masyarakat (people centered development).

Menurut Zen (1999) pengembangan wilayah adalah usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia, dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat.

Perencanaan dan Keuangan Daerah

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), sistem perencanaan pembangunan di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi empat tahap perencanaan pembangunan, dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, perencanaan yang disusun lebih bersifat politis dengan mengemukakan berbagai kebijakan umum pembangunan sebagai suatu produk kebijakan nasional.

2. Tahap perencanaan program pembangunan, perencanaan pembangunan yang sudah disusun lebih khusus dan mencerminkan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk program-program pemerintah,

3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, perencanaan pembangunan lebih terfokus pada sektor-sektor pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi teknis

4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, perencanaan pembangunan sudah lebih teknis dan operasional sampai pada tahapan detail pelaksanaannya. Tahapan ini sudah dipolakan dalam bentuk tahunan.

Perencanaan pembangunan selalu memerlukan skala prioritas, karena (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda kepada pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karateristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar tidak merata dan bersifat spesifik, sehingga beberapa sektor cenderung terpusat dan terkait dengan sumberdaya alam, sumber buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial (adat istiadat) yang ada. Dengan demikian tujuan pembangunan wilayah itu adalah: (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan sosial (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability) ekosistem (Anwar 2000 dalam Dermoredjo 2001).

Pengalaman bangsa Indonesia menunjukkan bahwa perencanaan yang sentralistik dengan harapan adanya trickle down effect ke arah hinterland ternyata tidak terjadi; sebaliknya yang terjadi adalah net-effect-nya malah menimbulkan masive backwash effect (Lipton, 1997 dalam Anwar dan Rustiadi, 2000). Ditingkat

pelaksanaan program pembangunan banyak kegagalan karena terjadi misleading policy yang menyesatkan. Sehingga dampaknya menjadi semakin jauh dari tujuan pembangunan yang diinginkan, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Munculnya isu pemerintahan yang good governance dimana peningkatannya relatif lambat, sehingga telah terjadi pergeseran dari bentuk sentralisasi ke arah desentralisasi. Dengan arah pembangunan yang terdesentralisasi mengakibatkan tumbuhnya keinginan yang mengharuskan terjadinya transfer kekuasaan dalam bidang fiskal dari pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal sangat berperan dalam pengumpulan pendapatan dan pengeluarannya sebagai alat untuk mengarahkan peningkatan kegiatan ekonomi.

Selama proses desentralisasi diperkirakan akan terjadi secara simultan hal-hal yang menyangkut kejadian-kejadian ekonomi yang memerlukan perhatian seperti dalam memberikan kewenangan perpajakan lokal dari pemerintah pusat dan memberi kesempatan untuk mewujudkan kekuasaan meminjam (borrowing power) oleh daerah dan di lain pihak masih diperlukan untuk menjamin stabilitas makro ekonomi pada tingkat nasional. Fenomena-fenomena yang terjadi secara simultan ini mempunyai aspek-aspek positif maupun negatif. Oleh karenanya pendekatan yang memusatkan kepada aplikasi dan pengaturan fiskal yang tepat dan mekanisme yang lebih tepat pula untuk mencapai potensi manfaat dari desentralisasi fiskal, sementara berusaha untuk meminimumkan kemungkinan terjadi dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.

Menurut Anwar (2001), semua keputusan kebijakan yang menyangkut desentralisasi fiskal harus berhubungan dengan empat isu secara simultan, yaitu: (1) efisiensi ekonomi, (2) ketidakmerataan antar wilayah-wilayah, (3) ketidakstabilan makro ekonomi akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal, dan (4) kompetisi regional.

Efisiensi ekonomi yang didefinisikan sebagai peningkatan nilai dalam ukuran uang dari pengeluaran pemerintah untuk diterima oleh pembayar pajak, sedangkan nilai outputnya menjadi bertambah besar dari pemanfaatan sejumlah sumberdaya tertentu. Kedua aspek dari efisiensi ekonomi tersebut dikenal sebagai “consumer efficiency” dan “producer efficiency”. Dalam definisi yang terakhir ini peningkatan output dapat berarti juga dalam memperbaiki kualitas dari output. Perbaikan atau

peningkatan efisiensi pada gilirannya tergantung dari perancangan yang baik dari enam faktor yaitu: (1) penentuan belanja pengeluaran, (2) penentuan sumber-sumber pendapatan, (3) transfer fiskal, (4) manajemen fiskal dan penentuan anggaran, (5) struktur hukum dan (6) lembaga serta peran masyarakat.

Perkembangan otonomi daerah bukan berarti harus memisahkan antara konsep-konsep pembangunan daerah dengan pusat melainkan tetap harus berjalan seiring dan harmonis. Perbedaannya adalah, dengan berlakunya otonomi daerah, pembangunan yang dulunya cenderung lebih sentralistik dan menempatkan daerah sebagai bawahan pusat telah berubah dengan lebih menempatkan daerah sebagai patner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.

Sebelum UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional berlaku, perencanaan pembangunan selama ini mengacu kepada GBHN yang ditetapkan oleh MPR dan dilaksanakan oleh presiden selaku mandataris. Bagi daerah perencanaan yang akan dilaksanakan tersebut dijabarkan lebih lanjut di dalam Pola Dasar (POLDAS) yang mengacu kepada GBHN yang telah ditetapkan. Selanjutnya POLDAS akan dirinci lebih lanjut di dalam Propeda yang mempunyai dimensi waktu lima tahun dan Renstra yang berlaku selama 1 tahun. Pelaksanaan operasional lebih lanjut dirinci di dalam APBD yang ditetapkan tiap-tiap tahun oleh gubernur/bupati/walikota atas persetujuan DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Berubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang salah satunya adalah pemilihan presiden secara langsung, membawa konsekuensi tidak adanya lagi mandaris MPR sehingga secara otomatis GBHN juga tidak ada lagi. Program yang akan dilaksanakan oleh presiden terpilih adalah visi, misi, dan strategi yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan umum. Namun, hal ini bukan berarti sistem perencanaan pembangunan secara nasional tidak diperlukan lagi. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan nasional maka ditetapkan UU No 25/2004.

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah harus mampu mengatur dengan hati-hati masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Karena APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.

Dengan desentralisasi fiskal pemerintah daerah harus didukung oleh dengan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat.

Lewis (2001), menyatakan bahwa hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber penerimaan terbesar dalam pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin sehingga anggaran pembangunan menjadi kecil.

Konsep-konsep pembangunan dalam era otonomi daerah tetap harus berjalan seiring dan harmonis antara daerah dan pusat. Dengan berlakunya otonomi daerah, maka pemerintah daerah ditempatkan sebagai patner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.

Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan di Indonesia, membawa konsekuensi tidak ada lagi GBHN. Program yang akan dilaksanakan oleh presiden terpilih adalah visi, misi, dan strategi yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan umum. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan nasional maka ditetapkan UU No 25/2004.

Dalam undang-undang ini, perencanaan pembangunan dibagi dalam tiga dimensi waktu, yaitu jangka panjang 25 tahun, jangka menengah 5 tahun, dan rencana pembangunan tahunan. Oleh karena itu, dalam penyampaian visi, misi, dan strategi pemilihan presiden berikutnya harus mengacu kepada perencanaan pembangunan 25 tahun mendatang sehingga terjadi kesinambungan antarpimpinan. Hal ini juga berlaku di dalam pemilihan kepada daerah, karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) mengacu kepada RPJP Nasional.

RPJP NASIONAL RPJM NASIONAL Pedoman RKP RENSTRA KL RENJA KL Dijabarkan Pedoman Diacu Pedoman RJA-KL Pedoman RAPBN Pedoman RINCIAN APBN APBN RPJP DAERAH RPJM DAERAH Pedoman RKP DAERAH Dijabarkan RAPBD Pedoman APBD RENSTRA KL RENJA KL Pedoman Pedoman RJA-KL Pedoman RINCIAN APBN Diacu Diacu Diperhatikan PE M E R IN T A H PU SA T P E M E R INT AH DA E R A H Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 Tahun Rencana Pembangunan Tahunan 1 Tahun UU 25 TAHUN 2004 - SPPN UU 17 TAHUN 2004 - KN

Sumber : UU 17 Tahun 2004 dan 25 Tahun 2004.

Gambar 1 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBD dan APBD sesuai UU 17/2004.

Sumber Pendapatan Daerah

Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati/walikota dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun 2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah.

Pajak Daerah

Retribusi Daerah

Pengelolaan Daerah Yg Dipisahkan

Lain-Lain PAD Yang Sah D a na B a gi H as il D a na A lo k as i U m u m D a na A lok a s i K h us u s Pemerintah

Pemerintah Daerah Lain Lembaga Keuangan Bank

Lembaga Keuangan Bukan Bank Masyarakat H ib ah Y an g B er a s al D a ri P em er int ah an As in g D a n a D a ru ra t Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dana Perimbangan Pinjaman Daerah

Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah

SUMBER SUMBER PENDANAAN DAERAH

PBB BPHTB PPh Psl 25, Psl 29, Psl 21 Kehutanan Pertambangan Umum Perikanan Pertambangan Minyak Bumi

Pertambangan Gas Bumi Pertambangan Panas Bumi

Digunakan Untuk Mendanai Kegiatan Khusus di Luar DAU

Sumber : Dimodifikasi dari Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 2 Sumber-sumber pendanaan daerah.

Dari empat komponen sumber pendanaan bagi pemerintah daerah tersebut sumber pendanaan yang berasal dari dana perimbangan masih merupakan komponen yang paling besar dibandingkan dengan sumber-sumber pendanaan yang lainnya. Hal ini bisa diartikan bahwa masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat di dalam memperoleh dana bagi pelaksanaan pembangunan.

a. Dana Bagi Hasil

Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.

b. Dana Alokasi Umum

Tujuan dari Dana Alokasi Umum adalah untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah. Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif lebih besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang besar. c. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).

Prioritas Pembangunan Sektoral

Perencanaan pembangunan wilayah dari sudut pandang aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pertumbuhan yang selanjutnya diikuti oleh kegiatan investasi pembangunan baik investasi

pemerintah maupun swasta. Untuk itu perlu ditetapkan suatu sektor unggulan yang diharapkan dapat menggerakan sektor-sektor lainnya.

Dalam analisis input-output menurut Arief (1993), kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor unggulan adalah sektor-sektor yang :

a. mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya b. menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan

permintaan akhir yang relatif tinggi pula

c. mampu menghasilkan penerimaan devisa yang relatif tinggi d. mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang relatif tinggi

Rustiadi et al.(2005a) menyatakan bahwa syarat suatu sektor layak dijadikan sebagai unggulan di dalam perekonomian daerah ialah memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pencapaian tujuan pembangunan perekonomian daerah serta mempunyai keterkaitan dengan sektor- sektor lainnya baik ke depan dan ke belakang yang besar.

Sedangkan menurut Saefulhakim (2004) skala prioritas di dalam pembangunan diperlukan atas pemahaman bahwa (1) setiap sektor mempunyai sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karateristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan, sosial yang ada.

Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam konsep pengembangan wilayah diharapkan dapat mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan sehingga dapat meminimalisasikan inkompatibilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang, dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap kearah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumberdaya (Anwar dan Hadi 1996).

Sumberdaya Dasar

Sumberdaya dasar adalah sumberdaya yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah yang ada dan

ditemukenali serta yang bersumber di dalam wilayah otoritas yang bersangkutan. Sumberdaya dasar merupakan anasir penting dalam pelaksanaan pengembangan wilayah. Sumberdaya dasar dimaksud adalah sumberdaya alam yang terkait dengan potensi fisik wilayah, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Kiat manajemen/pengelolaan yang berimbang dan berkelanjutan merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam peningkatan produktivitasnya. Keberhasilan pengelolaan dengan berpijak pada kaidah kelestarian lingkungan dan berkelanjutan akan dapat menjamin terhadap meningkatnya masukan daerah.

Manusia adalah kunci keberhasilan pembangunan. Sumberdaya manusia merupakan kunci sukses dalam setiap pelaksanaan pembangunan baik dalam skala kecil, menengah maupun sedang. Dalam rangka peningkatan keberhasilan pelaksanaan pembangunan tersebut maka diperlukan kualitas sumberdaya manusia yang berkualitas di tingkat regional untuk masa-masa sekarang dan yang akan datang perlu dilakukan dan perlu memperoleh/mendapatkan perhatian yang serius dalam penanganannya sehingga potensinya dapat dimanfaatkan secara baik dan benar. Permbangunan regional bukanlah membangun fisik daerah semata-mata, melainkan inti pembangunan daerah adalah membangun sumberdaya manusia (Christanto 2002).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

The United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan terakhir (the ultimate end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan (IPM Kabupaten Bogor tahun 2005).

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia berlangsung melalui dua macam jalur. Jalur pertama, melalui kebijaksanaan dan pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah pengeluaran

pemerintah untuk sub sektor sosial yang merupakan prioritas seperti pendidikan dan kesehatan dasar. Jalur kedua, adalah melalui kegiatan pengeluaran rumah tangga. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah besar dan komposisi pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar seperti pemenuhan nutrisi anggotanya, untuk biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, serta untuk kegiatan lain serupa.

Dalam tatanan desentralisasi atau otonomi daerah, tercapainya peningkatan taraf kesejahteraan rakyat sangat ditentukan oleh peningkatan kualitas dari manusianya. Pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia yang ada di daerah tidak bisa dilakukan dengan baik apabila tidak didukung oleh data-data atau indikator-indikator pembangunan

Dewasa ini untuk mengukur tingkat pencapaian upaya pembangunan manusia, UNDP mengembangkan suatu indeks komposit yang memasukan unsur keberhasilan pembangunan ekonomi dan keberhasilan sosial yang selanjutnya disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan angka rata-rata indeks dari tiga komponen IPM yaitu indeks kesehatan (angka harapan hidup), indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), serta indeks kemampuan daya beli (PPP).

Kabupaten Bogor dengan sumber daya alam yang cukup kaya berusaha untuk menempatkan penduduk sebagai tujuan sebenarnya dari seluruh kegiatan pembangunan. Maka pembangunan manusia di Kabupaten Bogor memandang semua program kegiatan pembangunan harus dipusatkan pada upaya-upaya pemberdayaan untuk meningkatkan kemajuan (achievement), kapabilitas (capability), kebebasan (freedom) manusia sesuai dengan arah reformasi. Untuk itu indikator komposit IPM dijadikan sebagai salah satu alat untuk melihat, merencanakan dan menganalisis pembangunan manusia di Kabupaten Bogor. UNDP mengelompokkan IPM dengan kategori sebagai berikut (Todaro, 2000):

Kategori tinggi : IPM lebih dari 80

IPM menengah atas : IPM antara 66,00 – 79,99 IPM menengah bawah: IPM antara 50,00 – 65,99 IPM bawah : IPM kurang dari 50,00 Metode Penghitungan IPM

Keterangan:

X1 : Harapan Hidup

X2 : Pendidikan

X3 : Daya Beli

Metode Penghitungan Indeks Xi,j

Indeks Xi,j = (Xij – Xi–min) / (Xi–max – Xi–min)

Xi,j : indikator ke-i dari daerah ke-j

Xi–min : nilai minimum dari Xi

Xi–max : nilai maksimum dari Xi

Tabel 6 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM

Sumber: IPM Kabupaten Bogor tahun 2005.

Analisis Input-Output

Pendekatan analisis Input-Output merupakan kerangka komprehensif untuk menganalisis wilayah. Pendekatan ini mampu menggambarkan beragam sifat hubungan di antara sektor-sektor industri dan di antara sektor-sektor industri dengan komponen ekonomi lainnya (Isard, 1972). Penerapan kerangka Input-Output dalam perekonomian dikembangkan oleh Wasilly Leontief pada tahun 1930-an. Model Input-Output merupakan salah satu peralatan analisis yang banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, geografi, regional science and engineering (Young, 2002).

Berbagai manfaat atau kegunaan analisis Input-Output menurut Tarigan (2004b), antara lain :

1. Menggambarkan keterkaitan antar sektor sehingga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah.

Komponen IPM Satuan Nilai Maksimal

Nilai Minimal

Keterangan

Angka Harapan Hidup Tahun 85 25 Standar UNDP

Angka Melek Huruf % 100 0 Standar UNDP

Rata-rata Lama Sekolah Tahun 15 0 Standar UNDP

Daya Beli Rp pada PPP 737.720 360.000 Modifikasi

2. Dapat digunakan untuk mengetahui daya menarik (backward linkage) dan daya mendorong (forward linkage) dari setiap sektor sehingga mudah menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagai sektor strategis dalam perencanaan

Dokumen terkait