• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kajian Teori

1. Age Appropriateness (patut menurut usia)

Konsep DAP yang dikembangkan melalui baragam kegiatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak menyebabkan anak memiliki pengalaman yang kongkrit serta menyenangkan saat terjadinya proses belajar, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran (awareness) pada anak (Cak Heppy, 2011). Konsep DAP (developmentally Appropriate practice) didasarkan pada pengetahuan tentang bagaimana anak berkembang dan belajar (Yus, 2011: 50).

informasi yang memungkinkan seorang memperoleh pngetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya.

2) Tahapan perkembangan kognitif

Jean Piaget dalam Mohammad Asrori (2009: 49-51) membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan, yaitu:

(a) Tahap Sensori-Motoris

Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini anak berada dalam suatu masa pertumbuhan yang ditandai oleh kecenderungan-kecenderungan sensori-motoris yang amat jelas. Menurut Piaget, pada tahap ini interaksi anak dengan lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan melalui prasaan dan otot-ototnya.

(b) Tahap Praoperasional

Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi, sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif, dalam arti semua

perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh pemikiran tapi oleh unsur perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari orang-orang bermakna, dan lingkungan sekitarnya.

(c) Tahap Operasional Konkrit

Tahap ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkrit dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya.

Menurut piaget, pada tahap ini interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya, sudah semakin berkembang dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat mengamati, menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih obyektif. Pada tahap ini juga, anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena mereka sudah menguji coba suatu permasalahan.

(d) Tahap Operasional Formal

Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun keatas.

Pada masa ini anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga

telah berkembang, sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.

Menurut piaget, pada tahap ini interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa.

b. Perkembangan Bahasa

1. Pengertian Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan, yang merupakan anugerah dari Allah SWT, yang dengannya manusi dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya (Yusuf, 2011: 118).

Bahasa merupakan sarana yang efektif untuk menjalin komunikasi sosial. Tanpa bahasa, komunikasi tidak dapat dilakukan dengan baik dan interaksi sosial pun tidak akan pernah terjadi. Karena tanpa bahasa, siapapun tidak akan dapat mengekspresikan diri untuk menyampaikan kepada orang lain. Menurut Crow dan Crow dalam Bahri (2008: 46) Bahasa adalah alat ekspresi bagi manusia. Via bahasalah

manusia dapat mengorganisasikan bentuk-bentuk ekspresinya dalam kehidupan sosial di masyarakat.

Perkembangan bahasa merupakan kemampuan khas manusia yang paling kompleks dan mengagumkan. Pada umumnya berkembang pada individu dengan kecepatan luar biasa pada awal kanak-kanak. Cepatnya perkembangan bahasa pada masa kanak-kanak, karena dalam waktu yang sedemikian pendek sudah menguasai sedemikian banyak kosa kata, ucapan maupun cara mengucapkannya.

Para ahli psikologi perkembangan dalam Asrori (2009: 141) mendefinisikan perkembangan bahasa sebagai kemampuan individu dalam menguasai kosa kata, ucapan, gramatikal, dan etika pengucapannya dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan perkembangan umur kronologisnya.

Sedangkan menurut Sunarto dan Hartono dalam Bahri (2008:

48) perkembangan bahasa anak ialah meningkatnya kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik secara lisan, tertulis maupun dengan tanda-tanda atau isyarat. Tentu saja mampu menguasai alat komunikasi di sini diartikan sebagai upaya seseorang untuk dapat memahami dan dipahami orang lain.

2. Tahapan Perkembangan Bahasa

Perkembangan keterampilan berbahasa pada individu menurut Berk dalam Asrori (2009: 142-143) dapat dibagi dalam empat komponen, yaitu:

(1) Fonologi (phonologi)

Fonologi berkenaan dengan bagaimana individu memahami dan mengahasilkan bunyi pembicaraan bahasa.

(2) Semantik (semantics)

Semantik merujuk kepada makna kata atau cara yang mendasari konsep-konsep yang diekspresikan dalam kata-kata atau kombinasi kata.

(3) Tata Bahasa (Grammar)

Tata bahasa merujuk kepada penguasaan kosa kata yang kemudian memodifikasikannya ke dalam cara-cara yang bermakna. Pengetahuan tentang tata bahasa meliputi dua aspek utama yaitu: sintak (syntax) adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana kata-kata disusun ke dalam kalimat yang dapat dipahami. Dan morfologi (morphology) adalah aplikasi gramatikal yang meliputi jumlah, tenses, kasus, pribadi, gender, kalimat aktif, kalimat pasif, dan berbagai makna lain dalam bahasa.

(4) Pragmatik (pragmatics)

Pragmatik merujuk kepada sisi komunikatif dari bahasa yang berkenaan dengan bagaimana menggunakan bahasa dengan baik ketika berkomunikasi dengan orang lain.

Pragmatik juga mencakup di dalamnya pengetahuan sosiolinguistik, yaitu bagaimana suatu bahasa harus diucapkan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Agar dapat berkomunikasi dengan berhasil, maka seseorang harus memahami dan menerapkan cara-cara interaksi dan komunikasi yang dapat diterima oleh masyarakat tertentu.

3. Tugas-tugas perkembangan bahasa

Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya (Yusuf, 2011: 119). Keempat tugas-tugas itu adalah sebagai berikut:

(1) Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain.

(2) Pengembangan perbendaharaan kata. Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo

yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.

(3) Penyusunan kata-kata menjadi kalimat. Kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture untuk melengkapi cara berpikirnya.

(4) Ucapan. Kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (terutama orang tuanya).

4. Tipe Perkembangan bahasa

Ada dua tipe perkembangan bahasa anak (Yusuf, 2011: 120), yaitu sebagai berikut:

(1) Egocentric Speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog). Berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3 tahun.

(2) Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Berfungsi untuk mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).

Perkembangan ini dibagi kedalam lima bentuk:

(a) Adapted information, disini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari (b) Critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap

ucapan atau tingkah laku orang lain

(c) Command (perintah), request (permintaan), dan threat (ancaman)

(d) Questions (pertanyaan) (e) Answers (jawaban).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Aliran nativisme berpandangan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa seseorang ditentukan oleh faktor-faktor bawaan sejak lahir yang diturunkan oleh orang tuanya (Asrori, 2009: 146). Sementara aliran empirisme atau behaviorisme justru berpandangan sebaliknya, bahwa perkembangan kemampuan berbahsa seseorang itu tidak ditentukan oleh bawaan sejak lahir melainkan ditentukan oleh proses belajar dari lingkungan sekitarnya. Adapun aliran lain cenderung lebih moderat yakni aliran konvergensi yang mengajukan pandangan merupakan kolaborasi dari faktor bawaan dan pengaruh lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa (Asrori, 2009: 147-148), adalah:

(1) Kognisi, tinggi rendahnya kognisi individu akan mempengaruhi cepat lambatnya perkembangan bahasa individu tersebut.

(2) Pola komunikasi dalam keluarga, dalam satu keluarga yang pola komunikasinya banyak arah atau interaksinya relatif demokratis akan mempercepat perkembangan bahsa anggota keluarganya ketimbang yang menerapkan pola komunikasi dan interaksi sebaliknya.

(3) Jumlah anak atau anggota keluarga, suatu keluarga yang memiliki anak dalam jumlah yang banyak akan lebih mempercepat perkembangan bahasa anak, karena di dalamnya akan terjadi komunikasi yang bervariasi dari pada keluarga yang hanya memiliki anak tunggal dan tidak ada anggota keluarga lainnya selain keluarga inti.

(4) Posisi urutan kelahiran, posisi anak yang urutan kelahirannya di tengah akan lebih cepat perkembangan bahasanya ketimbang anak sulung atau anak bungsu karena anak telah memiliki arah komunikasi ke atas maupun kebawah.

(5) Kewibahasaan (billingualism), anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menggunakan bahasa lebih dari satu akan lebih bagus dan lebih cepat perkembangan bahasanya ketimbang hanya menggunakan satu bahasa

saja karena anak terbiasa menggunakan bahasa secara bervariasi.

c. Perkembangan Seni 1) Pengertian

Seni adalah kegiatan manusia dalam mengekspresikan pengalaman hidup dan kesadaran artistiknya yang melibatkan kemampuan intuisi, kepekaan indriawi dan rasa, kemampuan intelektual, kreativitas serta keterampilan teknik untuk menciptakan karya yang memiliki fungsi personal atau sosial dengan menggunakan berbagai media (Pekerti, 2014:1.8). dalam konteks fungsi individual seni, ada karakteristik yang membedakan antara seni untuk anak-anak dengan seni untuk orang dewasa karena karakter fisik maupun mentalnya berbeda. seni bagi anak-anak merupakan kegiatan bermain, berekspresi dan kreatif yang menyenangkan.

Estetika adalah suatu kemampuan jiwa yang dipergunakan untuk menentukan suatu dengan ukuran bagus/

tidak bagus atau indah/ tidak indah. Kemampuan ini juga merupakan kemampuan kodrat. Perkembangannya juga ditentukan oleh faktor endogen dan faktor eksogen (Soejanto, 2005: 80-81).

Sangat penting untuk memperlihatkan keindahan pada anak dan membantu mereka mengembangkan penghargaan pada seni murni. Bagi sebagian anak, ekspresi seni merupakan cara yang paling alami untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pemikiran sambil menantang imajinasi mereka dan mengembangkan kemampuan merenung dan memecahkan masalah dengan kreatif (Miller, 2008: 11).

2) Tahap-tahap Perkembangan Seni Rupa Anak

Tahap-tahap perkembangan seni rupa anak (Sobandi:

7-13), antara lain:

(a) Tahap Scribbling sampai 4 tahun

Perkembangan seni rupa anak dilihat dari karakteristik gambar, penyajian ruang dan penyajian gambaran orang pada karya gambar anak secara garis besar adalah: Tahap scribbling dimulai dengan gambar yang tidak beraturan, kemudian sejalan dengan pengendalian motorik menjadi scribbling yang terkontrol, dan akhirnya menjadi scribbling yang mempunyai makna bagi dirinya sendiri.

(b) Tahap Preschematic atau prabagan 4-7 tahun

Dimulai dengan menggambar suatu objek. Karakteristik gambarnya terdiri dari bangun geometri, bersifat relatif dan subjektif bermakna pribadi. Penyajian ruang; objek mengapung, kertas kadang berputar, proporsi antar objek

belum ada. Penyajian gambar orang; kepala dan kaki menjadi objek pengembangan, tangan mulai dilengkapi.

(c) Tahap Schematic (Pencapaian konsep bentuk) 7-9 tahun Karakteristik pengembangan konsep dengan pengulangan perubahan dipengaruhi pengetahuan aktif tentang lingkungan, menggambar konsep dari ciri-ciri bukan persepsi, goresan tegas, langsung, pipih. Penyajian ruang; mendirikan objek tegak pada garis dasar, pengaturan objek dalam dua dimensi, gambar menyebar ke seluruh bidang. Gambar orang; pengulangan bagan, badan terlukis secara geometris, lengan dan kaki mulai diisi dengan penempatan benar dan proporsi dipengaruhi emosi.

(d) Tahap Realis (9-12 tahun)

Pada tahap ini karakteristik gambar secara lebih baik telah siap untuk lebih rinci, ia memiliki kesadaran diri terhadap gambar-gambarnya, lebih siap untuk menampilkan fisik lingkungan, karakteristik lingkungan lebih menonjol dibanding kealamiahannya, belum memahami bangun dan bayangannya. Penyajian ruang;

mendasarkan pada garis sehingga gambar nyata tapi masih tumpang tindih, mulai menghubungkan antar dua benda, mengetahui awan sebagai garis horison, berusaha

menunjukkan hal yang tersembunyi melalui ukuran benda-benda. Penyajian gambar manusia bagian-bagian tubuh mulai terpisah, figur lebih jelas.

(a) Sasaran perkembangan rasa keindahan

1) Mencermati garis, warna, bentuk dan tekstur melalui kegiatan seni.

2) Melakukan percobaan dengan beraneka macam alat dan bahan

3) Mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui seni 4) Mengembangkan kesadaran dan penghargaan budaya

seni

5) Menyanyikan lagu dan mendengarkan musik 6) Memberi reaksi pada musik dengan gerakan tubuh 7) Mencermati beraneka macam instrumen irama dan

melodi

8) Menampilkan cerita

9) Menggunakan gerakan tubuh untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran

10) Menggunakan boneka untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran

d. Perkembangan Emosional a) Pengertian

Emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus. Respos demikian terjadi baik terhadap perangsang-perangsang eksternal maupun internal. Daniel Goleman memaknai emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang meluap-luap. Emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Asrori, 2009:82).

Aspek emosional dari suatu perilaku pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variabel), perbahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila mengalami emosi ( the organismic variabel), dan pola sambutan ekspresi atas terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable) (Abin, 2009: 114-115).

b) Pengelompokan emosi

Emosi dapat dikelompokkan kedalam dua bagian (Yusuf, 2011: 117), yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).

(1) Emosi Sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh. Seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar.

(2) Emosi Psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Diantaranya yaitu:

(a) Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk: (1) rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah (2) rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran (3) rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus dipecahkan.

(b) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti (a) rasa solidaritas (b) persaudaraan (c) simpati (d) kasih sayang, dan sebagainya.

(c) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral).

Contohnya: (a) rasa tanggung jawab (responsibility) (b) rasa bersalah apabila melanggar norma (c) rasa tentram dalam menaati norma.

(d) Perasaan keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.

(e) Perasaan Ketuhaan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.

c) Bentuk-bentuk emosi

Daniel Goleman dalam Asrori (2009: 83) mengidentifikasikan sejumlah kelompok emosi, yaitu:

(1) Amarah, didalamnya meliputi beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan kebencian patologis.

(2) Kesedihan, didalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa dan depresi.

(3) Rasa takut, didalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, panik dan pobia.

Takut adalah perasaan yang sangat mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal itu (Rahman, 2004: 174).

(4) Kenikmatan, didalamnya meliputi bahagia, gembira, ringan puas, riang, senang, terhibut, bangga, kenikmatan inderawi, takjub, terpesona, puas, rasa terpenuhi, girang, senang sekali, dan mania.

(5) Cinta, didalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran dan kasih sayang.

(6) Terkejut, didalamnya meliputi terkesiap, takjub dan terpana.

(7) Jengkel, didalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan mau muntah.

(8) Malu, didalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal, hina, aib dan hati hancur lebur.

e. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama (Yusuf, 2011: 122).

Menurut Plato dalam Abin (2009: 105), secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Namun untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan-lingkungan manusia lain. Perkembangan sosial dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan yang berkesinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi makhluk sosial yang dewasa.

f. Perkembangan Spiritual 1) Pengertian

Kata spiritualitas berasal dari bahasa inggris yaitu

“spirituality”, kata dasarnya “Spirit” yang berarti: “roh, jiwa, semangat”. Kata spirit sendiri berasal dari bahsa latin

“spiritus” yang berarti: “luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualitis yang berarti “of the spirit” (kerohanian).

Ingersoll dalam Desmita (2011: 264) mengartikan spiritualitas sebagai wujud dari karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar. Belakangan, definisi tentang spiritualitas meliputi komunikasi dengan Tuhan dan upaya seseorang untuk bersatu dengan Tuhan. Tillich menulis bahwa spiritualitas merupakan persoalan pokok manusia dan pemberi makna substansi dari kebudayaan. Witmer

mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri sendiri.

Bollinger dalam Desmita (2011: 265) menggambarkan spiritual sebagai kebutuhan terdalam dari diri seorang yang apabila terpenuhi individu akan menemukan identitas dan makna hidup yang penuh arti. Booth (1992) menjelaskan spiritualitas adalah suatu sikap hidup yang memberi penekanan pada energi, pilihan kreatif dan kekuatan penuh bagi kehidupan serta menekankan pada upaya penyatuan diri pada suatu kekuatan yang lebih besar dari individual, suatu cocreatorship dengan Tuhan.

2) Tahap Perkembangan Spiritual

Tahapan perkembangan penghayatan keagamaan (Abin, 2009: 108-110), antara lain:

a) Masa kanak-kanak ditandai oleh:

(1) Sikap keagamaan reseptif meskipun banyak bertanya;

(2) Pandangan ke-Tuhanan yang anthropormorph (dipersonifikasikan);

(3) Penghayatan secara rohaniah masih supeficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan;

(4) Hal ketuhanan difahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat egocentric (memandang segala sesuatu dari sudut darinya).

b) Masa anak sekolah ditandai dengan:

(1) Sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian;

(2) Pandangan dan paham ke-Tuhanan diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya;

(3) Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.

c) Masa remaja dibagi kedalam dua sub tahapan yaitu:

(1) Masa remaja awal, ditandai dengan:

(a) Sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.

(b) Pandangan dalam hal ke-Tuhan-nya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.

(c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.

(2) Remaja akhir, ditandai dengan:

(a) Sikap kembali, pada umumnya kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa.

(b) Pandangan dalam hal ke-Tuhan-an dipahamkan dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.

(c) Penghayatan rohaninya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagi doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, dari yang baik (soleh) dan yang tidak. Ia juga memahami

bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi.

2. Individual Appropriateness (patut menurut anak sebagai