• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kajian Teori

2. Individual Appropriateness (patut menurut anak sebagai individu)

bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi.

2. Individual Appropriateness (patut menurut anak sebagai

dengan individu digunakan istilah “nafs” (bentuk jamaknya nufus), yang sering diartikan sebagai “pribadi atau diri, totalitas manusia, apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku.

a. Kepribadian anak 1) Pengertian Kepribadian

J. Feist dan G.J. Feist dalam Ghufron & Rini (2014:

130) mendifinisikan kepribadian seseorang dinilai dari keefektifan yang memungkinkan seseorang sanggup memperoleh reaksi positif dari berbagai orang dalam bermacam-macam keadaan. John honigmann mengatakan bahwa kepribadian menunjukkan perbuatan-perbuatan (aksi), pikiran, perasaan yang khusus bagi seseorang.

Sedangkan Jung mendefinisikan kepribadian melalui istilah Psyche. Psyche merupakn totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Menurut Jung, jiwa manusia terdiri dari dua alam, yakni alam sadar dan alam tak sadar. Keduanya saling mengisi serta berhubungan secara kompensatoris. Funfsi dari hubungan tersebut untuk penyesuaian diri, yang mana alam sadar berfungsi untuk penyesuaian terhadap dunia luar, sedangkan alam tak sadar untuk penyesuaian dengan dunia dalam.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian

(a) Fisik. Faktor fisik yang dipandang mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah postur tubuh (langsing, gemuk, pendek atau tinggi), kecantikan (cantik atau tidak cantik), kesehatan (sehat atau sakit-sakitan), keutuhan tubuh (utuh atau cacat), dan keberfungsian organ tubuh.

(b) Intelegensi. Tingkat intelegensi individu dapat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Individu yang intelegensinya tinggi atau normal biasa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara wajar, sedangkan yang rendah biasanya sering mengalami hambatan atau kendala dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

(c) Keluarga. Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesar-besarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, dalam arti orang tua memberikan curahan kasih sayang, perhatian serta bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif. Adapun anak yang dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orang tua bersikap keras terhadap anak atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama dalam

keluarga, maka perkembangan kepribadiannya cenderung akan mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjustment).

(d) Teman sebaya (peer group). Setelah masuk sekolah, anak mulai bergaul dengan teman sebayanya dan menjadi anggota dari kelompoknya. Pada saat inilah dia mulai mengalihkan perhatiaannya untuk mengembangkan sifat-sifat atau perilaku yang cocok atau dikagumi oleh teman-temannya, walaupun mungkin tidak sesuai dengan harapa orang tuanya. Melalui hubungan interpersonal dengan teman sebaya, anak belajar menilai dirinya sendiri dan kedudukannya dalam kelompok.

(e) Kebudayaan. Setiap kelompok masyarakat (bangsa, ras, atau suku bangsa) memiliki tradisi, adat atau kebudayaan yang khas. Tradisi atau kebudayaan suatu masyarakat memberikan pengaruh terhadap kepribadian setiap anggotanya. Baik yang menyangkut cara berfikir, bersikap atau cara berperilaku.

3) Tipe kepribadian

Pada dasarnya banyak teori telah dikembangkan dalam mengenal kepribadian. Dari sekian banyak teori yang telah banyak memberi kontribusi dalam perkembangan ilmu psikologi, terdapat teori yang mengemukakan adanya lima

bentuk tipe kepribadian yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa yang dikenal dengan big five personality (Ghufron &

Rini, 2014: 133). Dalam teori tersebut terdapat lima bentuk kepribadian yang mendasari perilaku individu. Berikut penjelasannya:

(a) Neuroticism

Disebut juga dengan istilah negative emotionality. Tipe kepribadian ini bersifat kontradiktif dari hal yang menyangkut kestabilan emosi dan identik dengan segala bentuk emosi yang negatif, seperti munculnya perasaan cemas, sedih, tegang, dan gugup.

(b) Extrovert

Menurut McCrae dan Costa tipe kepribadian ini merupakan dimensi yang menyangkut hubungannya dengan perilaku suatu individu khususnya dalam hal kemampuan mereka menjalin hubungan dengan dunia luarnya.

(c) Agreeableness

Tipe kepribadian ini menurut Timothy, mengidentifikasikannya dengan perilaku proposial yang mana termasuk di dalamnya adalah perilaku yang selalu berorientasi pada altruisme, rendah hati, dan kesabaran.

(d) Conscientiousness

Tipe kepribadian ini mengidentifikasi sejauh mana individu memiliki sikap yang hati-hati dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang termanifestasikan dalam sikap dan perilaku mereka.

(e) Openness to experience

Tipe ini mengidentifikasi seberapa besar suatu individu memiliki ketertarikan terhadap bidang-bidang tertentu secara luas dan mendalam. Individu yang memiliki minat lebih terhadap suatu hal tertentu melebihi individu lainnya merupakan identifikasi bahwa individu tersebut memiliki level yang tinggi dalam tipe ini, begitupun sebaliknya.

b. Gaya belajar

Gaya belajar (learning style) adalah suatu karakteristik kognitif, afektif dan prilaku psikomotorik sebagai indikator yang bertindak relatif stabil untuk pembelajar merasa saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar. Gaya belajar merupakan cara yang lebih kita sukai dalam melakukan kegiatan berfikir, memproses dan mengerti suatu informasi. Gaya belajar adalah ciri khas yang dimiliki oleh setiap orang dalam memberikan respon terhadap pembelajaran yang diterimanya.

Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara

belajar individu dapat dikelompokkan kedalam tiga gaya belajar (Asrori, 2009: 221), yaitu:

1) Gaya belajar visual

Gaya Belajar Visual (Visual learners) menitikberatkan pada ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham Gaya belajar seperti ini mengandalkan penglihatan atau melihat dulu buktinya untuk kemudian bisa mempercayainya. Gaya belajar visual mengakses citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Warna, hubungan ruang, potret mental dan gambar menonjol dalam modalitas ini.

Menurut De Porter dan Hernacki dalam Enung (2006:

37-38), Individu yang memiliki gaya belajar visual ditandai dengan ciri-ciri perilaku belajar sebagai berikut:

(a) Rapi dan teratur

(b) Berbicara dengan cepat

(c) Mampu membuat jangka pendek dengan baik (d) Teliti dan rinci

(e) Mementingkan penampilan

(f) lebih mudah mengingat apa yang dilihat dari pada apa yang didengar

(g) mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual

(h) memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik

(i) biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika sedang belajar

(j) sulit menerima intruksi verbal sehingga seringkali minta intruksi secara tertulis

(k) merupakan pembaca yang cepat dan tekun (l) lebih suka membaca daripada dibacakan

(m) dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, cenderung bersikap waspada dan membutuhkan penjelasan secara menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan

(n) jika sedang berbicara di telpon, ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara

(o) sering lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain (p) sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat”iya”

atau “tidak”

(q) lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/

berceramah

(r) lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) dari pada musik

(s) seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan dalam kata-kata.

2) gaya belajar auditori

Gaya belajar Auditori (Auditory Learners) mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya.

Menurut Deporter dan Hernacki dalam Asrori (2009:

222-223), Individu yang memiliki gaya belajar auditori ditandai dengan ciri-ciri perilaku belajar sebagai berikut:

(a) jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras

(b) lebih senang mendengarkan daripada membaca (c) sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja (d) mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik

(e) dapat mengulangi atau menirukan nada, irama, dan warna suara

(f) mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam menceritakannya

(g) berbicara dalam irama yang terpola dengan baik (h) berbicara dengan sangat fasih

(i) lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya

(j) lebih mudah belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa yang dilihat

(k) senang berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar

(l) mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang berhubungan dengan visualisasi

(m) lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras dari pada menuliskannya

(n) lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humot/ komik

3) gaya belajar kinestetik

Gaya belajar Kinestetik (Kinesthetic Learners) mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya.

Menurut Deporter dan Hernacki dalam Enung (2006:

39-40), Individu yang memiliki gaya belajar kinestetik ditandai dengan ciri-ciri perilaku belajar sebagai berikut:

(a) berbicara dengan perlahan (b) menanggapi perhatian fisik

(c) menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka

(d) berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain (e) banyak gerak fisik

(f) memiliki perkembangan otot yang baik

(g) belajar melalui praktek langsung atau manipulasi

(h) menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung

(i) menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca sedang membaca

(j) banyak menggunakan bahasa tubuh (nonverbal)

(k) tidak dapat duduk diam disuatu tempat untuk waktu yang lama

(l) sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ketempat tersebut

(m) menggunakan kata-kata yang mengandung aksi (n) pada umumnya tulisannya kurang bagus

(o) menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik)

(p) ingin melakukan segala sesuatu.

c. Latar Belakang Keluarga

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pribadi anak. Anak belajar, tumbuh, dan berkembang dari pengalaman yang diperolehnya melalui kehidupan keluarga, untuk sampai pada penemuan bagaimana ia menempatkan dirinya kedalam keseluruhan kehidupan tempat ia berada (Conny, 2009: 63).

Pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Keluarga mempunyai peranan penting, karena dipandang sebagi sumber pertama dalam proses sosialisasi, transmitter budaya atau mediator sosial budaya anak, dan sebagai instansi atau lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi perkembangan kepribadiaanya dan penembangan ras manusia (Yusuf dan Juntika, 2010: 177-179).

Adapun pengaruh keluarga terhadap perkembangan anak, yaitu :

1) Keberfungsian keluarga

Ada keluarga yang dapat menerapkan fungsinya (fungsional-normal), dan ada juga keluarga yang mengalami keretakan atau ketidakharmonisan (disfungsional-tidak normal). Keluarga yang tidak mampu melaksanakan fungsinya, maka keluarga tersebut berarti telah mengalami stagnasi (kemandekan) atau disfungsi. Yang pada gilirannya akan merusak stabilitas keluarga tersebut (khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak) atau merupakan faktor penentu berkembangnya kepribadian anak yang tidak sehat.

2) Pola hubungan orang tua/ anak

Terdapat beberapa pola hubungan antara orang tua dan anak, atau sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak, yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap anak.

Pola-pola tersebut adalah:

(a) Overprotection (terlalu melindungi)

Orang tua melakukan kontak yang berlebihan pada anak, pemberian bantuan yang terus-menerus pada anak walaupun anak sudah mampun merawat dirinya sendiri, memecahkan masalah anak, dan mengawasi kegiatan anak secara berlebihan.

(b) Permissiveness

Orang tua memberikan kebebasan untuk berpikir atau berusaha, memberikan gagasan, atau pendapat, toleran dan memahami kelemahan anak serta cenderung lebih suka memberi yang diminta anak dari pada menerima.

(c) Rejection

Orang tua bersikap masa bodoh, bersikap kaku, kurang memperdulikan kesejahteraan anak, dan menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak.

(d) Acceptance

Orang tua memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak, menegmbangkan hubungan yang

hangat dengan anak, mendorong anak untuk menyatakan perasaanya dan pendapatnya, dan berkomunikasi dengan anak secara terbuka, dan mau mendengarkan masalahnya.

(e) Domination

Orang tua mendominasi anak.

(f) Submission

Orang tua senantiasa memmberikan sesuatu yang diminta anak, dan membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah.

(g) Punitiveness over dicipline

Orang tua mudah memberikan hukuman dan menanamkan kedisplinan anak secara keras.

3) Sosial ekonomi keluarga

Pikunas mengemukakan pendapat becker, deutsch kohn, dan sheldon tentang kaitan antara kelas sosial dengan cara orang tua dalam mengelola anak yaitu sebagai berikut:

(1) Kelas bawah (lower class), lebih menggunakan hukuman fisik dan anak cenderung lebih agresif, independent, dan lebih awal dalam pengalaman seksualnya.

(2) Kelas menengah (middle class), cenderung lebih memberikan pengawasan dan perhatian sebagai orang tua, menerapkan kontrol yang lebih halus, mempunyai ambisi

untuk meraih status yang lebih tinggi dan menekan anak untuk mengejar statusnya.

(3) Kelas atas (upper class), cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya, cenderung memiliki rasa percaya diri, dan bersikap memanipulasi aspek realitas.

3. Appropriateness for the cultural and social context of the child