• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Kajian Teori

3. Appropriateness for the cultural and social context of the child a) Latar Belakang Sosial

untuk meraih status yang lebih tinggi dan menekan anak untuk mengejar statusnya.

(3) Kelas atas (upper class), cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya, cenderung memiliki rasa percaya diri, dan bersikap memanipulasi aspek realitas.

3. Appropriateness for the cultural and social context of the child

kecakapan-kecakapan yang dimiliki individu, sebagian besar diperoleh melalui hubungannya dengan lingkungan (Syaodih, 2005:46).

b) Latar Belakang Budaya

Koentjaraningrat dalam Hidayah (2009: 56), mengemuka-kanbahwa kebudayaan berasal dari kata Sanksekerta yaitu Badhayah bentuk jamak dari kata Budhi yang berarti budi atau akal.

Kebudayaan paling sedikit memiliki 3 wujud yaitu:

(1) wujud dari ide-ide, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya,

(2) wujud dari aktivitas, kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat,

(3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

(Hidayah, 2009: 56)

Manusia adalah makhluk yang berbudaya dan membudaya (Syaodih, 2005: 48). Latar belakang budaya suatu bangsa sedikit banyak juga mempengaruhi perkembangan seseorang (Desmita, 2011: 31). Menurut Kluckhohn dalam Yusuf dan Juntika (2008:

30), kebudayaan meregulasi (mengatur) kehidupan kita dari mulai lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak disadari.

Kebudayaan suatu masyarakat memberikan pengaruh terhadap setiap warganya, baik yang menyangkut cara berpikir (cara memandang sesuatu), cara bersikap atau cara berperilaku. Kendler

dalam Hidayah (2009: 57), mengemukakan bahwa kebudayaan tidak hanya meliputi kesenian tetapi juga mencakup kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Lingkungan budaya, merupakan lingkungan yang berkenaan dengan segala hasil kreasi manusia, baik hasil kreasi yang kongkrit ataupun abstrak, berupa benda, ilmu pengetahuan, teknologi ataupun aturan-aturan, lembaga-lembaga serta adat kebiasaan, dll (Syaodih, 2005: 48).

Bagi manusia, kebudayaan adalah hasil ciptanya yang sudah diusahakan untuk memudahkan dan memajukan kehidupnnya (Soejanto, 2005: 83). Peserta didik juga berbeda dipandang dari segi latar belakang budaya dan etnis. Motivasi untuk belajar berbeda antara budaya yang satu dengan yang lain, layaknya peserta didik tertarik dan menilai pencapaiannya dalam suatu pendidikan (Mulyono, 2011: 145).

c. Prinsip dasar perkembangan berdasarkan Developmentally Appropriate Practice

Prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak berdasarkan Developmentally Appropriate Practice (Yus, 2011: 50-60), yaitu:

1) Wilayah perkembangan anak- fisik, moral, emosional, kognitif dan dimensi lainnya saling berkaitan erat. Perkembangan dalam satu wilayah mempengaruhi dan dipengaruhi oleh wilayah lainnya

2) Perkembangan terjadi dalam urutan yang relatif teratur, dan kemampuan, keterampilan, serta pengetahuan berikut terbentuk atas kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya.

3) Perkembangan berlangsung dalam kecepatan yang berbeda antara anak satu dan yang lain maupun antara wilayah perkembangan satu dengan yang lain pada individu anak yang sama.

4) Pengalaman yang telah diperoleh anak memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan anak berikutnya.

5) Perkembangan berproses pada arah yang dapat diprediksi menuju ke arah kompleksitas, pengorganisasian dan internalisasi yang lebih luas.

6) Perkembangan dan pembelajaran berlangsung dalam dan dipengaruhi oleh berbagai konteks sosial dan budaya dan anak belajar melalui interaksi dengan teman sebaya dan orang dewasa serta semua yang ada lingkungannnya.

7) Anak adalah pembelajar yang aktif, yang belajar dengan menunjukkan secara langsung pengalaman fisik dan sosial berkenaan dengan aspek-aspek budaya yang diperlihatkan melalui pengetahuan dalam rangka membangun pemahaman mereka tentang dunia sekitar mereka.

8) Perkembangan dan belajar adalah hasil dari interaksi kematangan biologis dan lingkungan, juga meliputi aspek fisik dan kehidupan sosial anak.

9) Bermain adalah wahana penting bagi perkembangan sosial, emosional, kognitif, dan aspek perkembangan lainnya maupun bagi refleksi dan deteksi ketercapaian perkembngan anak.

10) Perkembangan anak akan lebih meningkat, jika anak diberi kesempatan untuk melatih keterampilan yang baru dan meningkatkan keterampilan baru melalui tantangan diatas zona kemampuan perkembangannya.

11) Anak memiliki keragaman cara untuk belajar dan mencari tahu serta memiliki berbagai cara untuk menunjukkan dan menyajikan apa yang diketahuinya.

12) Anak akan lebih mudah belajar jika kebutuhan fisik dan psikisnya dipenuhi, anak merasa aman dan nyaman, motivasi belajar anak muncul bila kegiatan sesuai dengan minat dan mendorong keingintahuaannya.

d. Tahap-tahap pembelajaran DAP (Developmentally Appropriate Practice)

Adapun tahap-tahap pembelajaran DAP (Developmentally Appropriate Practice) yaitu :

1) Menciptakan lingkungan belajar yang dapat membuat anak asyik dalam pengalaman belajar, yaitu dengan melibatkan aspek fisiologi

anak. Misalnya dengan game (kegiatan yang menyenangkan) akan melibatkan seluruh aspek fisik, emosi, sosial dan kognitif anak secara bersamaan (simultan)

2) Menciptakan kurikulum yang dapat menimbulkan minat anak dan kontekstual, sehingga anak menangkap makna atau dari apa yang dipelajarinya.

3) Menciptakan suasana belajar yang bebas tekanan dan ancaman, tetapi tetap menantang bagi anak untuk mencari tahu lebih banyak.

4) Memberikan mata pelajaran dengan melibatkan pengalaman konkrit, terutama dalam pemecahan masalah, karena proses belajar paling efektif bukan dengan ceramah tetapi dengan memberikan pengalaman nyata (http://akmal-mr.blogspot.com).

e. Pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) dengan Prinsip DAP (Developmentally Appropriate Practice)

Al-Syaibany mengemukakan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai sesuatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat. Muhammad fadhil al-Jamaly mendefenisikan pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan

terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurnah, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan maupun perbuatanya. Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil). Ahmad Tafsir mendefenisikan pendidikan islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2005 : 45). Jadi, Pendidikan Agama Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) agar dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologis atau gaya pandang umat islam selama hidup di dunia.

Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam, keterampilan mempraktekkannya, dan meningkatkan pengamalan ajaran Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu menjadi seorang Muslim dengan intensitas keberagamaan yang penuh kesungguhan dan didasari oleh keimanan yang kuat.

Upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut tidaklah terwujud secara tiba-tiba. Upaya itu harus melalui proses pendidikan dan kehidupan, khususnya pendidikan agama dan kehidupan beragama.

Proses itu berlangsung seumur hidup, di lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Salah satu masalah yang dihadapi oleh

dunia pendidikan agama Islam saat ini, adalah bagaimana cara penyampaian materi pelajaran agama tersebut kepada peserta didik sehingga memperoleh hasil semaksimal mungkin.

Apabila kita perhatikan dalam proses perkembangan Pendidikan Agama Islam, salah satu kendala yang paling menonjol dalam pelaksanaan pendidikan agama ialah masalah prinsip pembelajarannya.

Prinsip merupakan bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari semua komponen pendidikan lainnya, seperti tujuan, materi, evaluasi, situasi dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Pendidikan Agama diperlukan suatu pengetahuan tentang prinsip pembelajarannya, dengan tujuan agar setiap pendidik agama dapat menyajikan/ menyampaikan materi pelajaran agama dengan mudah dan sesuai dengan keadaan peserta didik. Sehingga materi yang disampaikan dapat dipahami peserta dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip bahwa Guru harus mampu menciptakan suatu situasi yang dapat memudahkan tercapainya tujuan pendidikan. Menciptakan situasi berarti memberikan motivasi agar dapat menarik minat siswa terhadap pendidikan agama yang disampaikan oleh guru. Karena yang harus mencapai tujuan itu siswa, maka ia harus berminat untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk menarik minat itulah seorang guru harus menguasai dan menerapkan berbagai strategi/ metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Pendidikan Agama Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmani juga harus berlangsung secara bertahap oleh karena suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan dan pertumbuhan dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhannya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip pembelajaran DAP (Developmentally Appropriate Practice).

Dengan Prinsip DAP (Developmentally Appropriate Practice), pembelajaran PAI tidak akan lagi menjadi pembelajaran yang terkesan monoton. Dimana dengan menggunakan prinsip DAP, pendidik tidak akan mengabaikan 3 aspek keunuikan perkembangan peserta didiknya yaitu dari segi umur, dari segi peserta didik sebagai individu, dan dari segi sosial budayanya.

Melalui 3 aspek tersebut, maka pendidik/ guru dalam menyampaikan materi agama haruslah melibatkan semua aspek perkembangannya. Guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang membuat peserta didik terlibat aktif, salah satunya yaitu melalui game (permainan). Jadi penyampaian materi agama islam yang selama ini terkesan monoton yaitu dengan hanya mengandalkan metode ceramah, akan berubah menjadi mata pelajaran yang menarik dan diminati oleh peserta didik. Dan Guru juga harus memanfaatkan berbagai media pembelajaran dalam menyampaikan materi agama

kepada peserta didik yang menyesuaikan dengan gaya belajarnya sehingga akan memudahkan peserta didik dalam menyerap makna dari materi yang disampaikan. Misalnya dengan powerpoint interaktif.

Melalui media tersebut siswa akan lebih memperhatikan apa yang disampaikan/ dijelaskan oleh guru. Serta guru harus mampu mengarahkan peserta didik untuk tidak mendiskriminasi peserta didik yang lain/ teman yang berbeda agama dengan dirinya dan menjunjung tinggi toleransi keberagamaan.