BAB II GAMBARAN UMUM UGAMO MALIM
2.3 Pola Ajaran Kepercayaan Ugamo Malim
2.3.1 Ajaran Tentang Ketuhanan
Salah satu unsur dalam struktur agama ialah kepercayaan kepada Tuhan atau kuasa Supranatural. Kepercayaan ini merupakan dasar dalam suatu bangunan agama termaksud dalam setiap melakukan ritual agama. Mengingat Ugamo Malim adalah sebuah “kepercayaan”, maka sangatlah penting diuraikan disini tentang system kepercayaan yang mencakup dari semua aspek-aspeknya.
43
Selain kepercayaan kepada partohap harajaon malim di banua ginjang dan partohap harajaon malim di banua tonga, Parmalim juga kepercayaan kepada ruh-ruh yang tugasnya adalah sebagai pembantu Debata dalam urusan tertentu. Ruh-ruh yang dimaksudkan adalah
42
Undang-undang No.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakan Pasal 2 dan 7.
43Op Cit.,
Habonaron. Para habonaron ini secara operasional bertugas untuk mengamati semua kelakuan manusia sekaligus memberikan nasihat melalui “gerak hati” seseorang manusia. Apabila manusia melakukan pekerjaan yang tergolong melanggar peraturan, maka
habonaron ini akan memberikan peringatan (pissang-pissang) kepada manusia melalui pendampingnya yang disebut ulubalang.44
1. Kepercayaan Kepada Si Pemilik Kerajaan Malim di langit (Surga) (Partohap Harajaon MalimBanua Ginjang).
Apabila kita menyebut kerajaan malim di banua Ginjang, yang dimaksudkan adalah kerajaan yang ada hubungannya dengan dimensi keagamaan. Menurut Ugamo Malim, sumber wujudnya sesuatu agama dapat dipastikan berasal dari si pemilik Kerajaan Malim yang berkedudukan di Banua Ginjang. Agama apa pun yang ada dipermukaan bumi ini semua berasal dari Partohap Harajaon Malim. Oleh karena itu, Ugamo Malim adalah agama yang khusus diturunkan kepada suku bangsa Batak yang dipercayai bersumber dari Debata Mulajadi Nabolon. Agama ini diserahkan melalui para Malim Debata (utusan atau Nabi) yang berdiam di banua Tonga (bumi). Dari sanalah semua asal ajaran itu ada yang kemudian oleh Malim Debata disampaikan kepada umat manusia di banua tonga (bumi).
Menurut kepercayaan Ugamo Malim, sebelum manusia diciptakan melalui tangan Siboru Deakparujar sesungguhnya kerajaan Malim itu sudah lebih dulu ada di banua ginjang. Kemudian Debata menciptakan dewa-dewa lainnya dan mengangkat mereka sebagai pembantunya sekaligus mengikutsertakan mereka dalam barisan si pemilik kerajaan malim di
banua ginjang. Adapun nama-nama dewa yang dimaksud adalah Debata Natolu (Batraguru,
44Ibid
Sorisohaliapan, dan Balabulan), Siboru Deakparujar, Nagapadohaniaji dan Siboru Saningnaga.
Perlu dikemukankan bahwa asas untuk memercayai semua “Si pemilik kerajaan
malim di banua ginjang” ini bukanlah bersumber dari sebuah kitab suci, melainkan merujuk kepada bunyi tonggo-tonggo (doa-doa) yang disusun oleh Raja Nasiakbagi. Dengan kata lain, melalui doa-doa itulah para penganut Ugamo Malim mengimani dan sekaligus menjadikannya sebagi refrensi dalam meaksanakan berbagai ritual.45
Ibrahim Gultom mengatakan bahwa bentuk teologi Ugamo Malim ini boleh dikategorikan sebagai monoteisme campuran.46
2. Kepercayaan Kepada Si Pemilik Kerajaan Malim (Partohap Harajaon Malim di Banua Tonga).
Disamping memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu Debata Mulajadi Nabolon, agama ini juga mengajar adanya kepercayaan kepada kuasa superanatural lainnya yaitu sejenis dewa-dewa. Tapi dewa-dewa ini bukanlah disebut dewa yang maha tinggi atau dewa yang sama drajatnya dengan Debata Mulajadi Nabolon. Mereka adalah ciptaan Debata yang fungsinya hanya sebagai pembantu- nya semata dan bukan sebagai penentu dalam alam semesta. Dalam kepercayaan Ugamo Malim dewa-dewa tersebut wajib dihormati dan disembah melalui upacara agama.
Istilah harajaon (kerajaan) dalam Ugamo Malim berbeda dengan pemahaman umum yang berarti “kerajaan atau negara”. Dalam Ugamo Malim, Harajaon bukanlah bermakna politik melainkan lebih bermakna keagamaan. Sehubungan dengan ini, apabila kita menyebut “raja” dalam konteks Ugamo Malim, maka yang dimaksud bukanlah raja dalam arti
45
Ibid, hal. 125.
46Ibid
sesungguhnya yaitu seorang pemimpin negara, akan tetapi “raja” atau pemimpin yang tugasnya sebagai pembawa agama. Jika dilihat dari segi tugas dan peranannya, raja seperti ini lazim disebut priestking.47
Sebagai perwujuan rasa hormat kepada para Malim Debata, nama mereka wajib dipanggil dalam setiap upacara ibadat dengan maksud itulah ruh-ruh mereka ikut turut hadir
Oleh karena itu, raja dalam Ugamo Malim memiliki makna yang sangat tinggi dan sakral.
Dalam Ugamo Malim ada empat orang tercatat sebagai MalimDebata yang sengaja di utus Debata khusus kepaa manusia suku Batak, yaitu Raja Uti, Simaribulubosi, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Keempat raja ini diyakini merupakan perpanjangan tangan Debata untuk menyampakan ajaran keagamaan kepada manusia suku Batak dengan maksud supaya mereka berketuhanan (mardebatahon) dan beramal ibadat (marmalimon). Oleh karena itu merekalah yang diangkat untuk menyampaikan ajaran agama kepada suku Batak, maka mereka pulalah yang disebut sebagai partohap harajaon malim di banua tonga
(bumi). Dengan demikian kerajan malim dapat diartikan kekuasaan dalam hal membina dan mengelola sebuah agama khusus di tanah Batak.
Azas untuk mempercayai semua pesuruh Debata ini tidaklah seperti pada agama- agama lain yang bersumber pada kitab sucinya masing-masing, melainkna bersumber dari bunyi doa-doa. Di dalam doa-doa (tonggo-tongggo) itulah secara tegas dinyatakan keberadaan, fungsi dan tugas mereka sebagai utusan Debata atau Anak Debata. Oleh karena itu, kedudukan doa-doa dalam Ugamo Malim bukan hanya sekedar doa yang bermakna permohonan, tetapi lebih dari itu Ia merupakan rujukan atau azas dalam mempercayai semua
partohap harajaon malim baik yang di banua ginjang maupun di banua tonga .
47
dalam upacara. Di dalam upacara itulah mereka dipuja dengan cara mempersembahkan sejumlah sesaji (pelean). Kehadiran Malim Debata pada upacara diangap sebagai perantara dalam menampung segala bentuk permohonan yang dituangkan dalam bentuk doa-doa.