• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ritual Ugamo Malim

Dalam dokumen Parmalim Di Kota Medan (1963-2006) (Halaman 67-72)

GAMBARAN UMUM UGAMO MALIM

2.5 Ritual Ugamo Malim

Ugamo Malim adalah sebuah agama yang memiliki beberapa upacara agama (ritual) yang dijakan sebagai jalan untuk ”bertemu” dengan Debata Mulajadi Nabolon. Jika ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, upacara agama itu dapat digolongkan kepada dua bagian besar, yaitu upacara yang terjadwal dan yang tidak terjadwal. Golongan yang pertama adalah

upacara yang terdiri dari upacara mingguan seperti upacara yang dilaksanakan pada setiap tahun (annual cycle) yang rujukannya berdasarkan pada kalender Batak, misalnya upacara agama mangan napaet (makan yang pahit), sipaha sada (hari kelahiran Simaribulubosi) dan

sipaha lima (persembahan sesaji besar atau sacrificial ritual).

Golongan yang kedua adalah upacara yang bukan musiman (tidak terjadwal) melainkan upacara yang berdasarkan pada fase yang dilalui sepanjang hidup manusia yang dianggap sebagi masa yang genting atau krisis (life crisis). Upacara seperti ini ada karena datangnya suatu masa atau atau peristiwa tertentu bagi seseorang manusia dalam kehidupannya. Upacara yang dimaksud iyalah, upacara kelahiran (martutuaek), perkawinan (mamasumasu) dan upacara kematian (pasahat tondi). Di samping itu, ada juga upacara khusus yang sifat dan latar belakanganya berbeda dengan upacara lainnya, yaitu upacara pensucian (manganggir) dan mardebata (menyembah Debata). Upacara mananggir terjadi disebabkan adanya perpindahan agama, sedangkan mardebata terjadi lebih karena adanya nazar seseorang atau karena ada kasus berat sehingga perlu mendapat keampunan dosa dari Debata.

Bagi Ugamo malim, persembahan pelean (sesaji) dan pelafalan doa-doa ( tonggo-tonggo) adalah hal yang wajib dalam setiap upacara agama. Selain itu, ada juga upacara agama yang mengharuskan adanya persembahan tari-tarian (tor-tor) yang diiringi dengan gendang (gondang) tradisional Batak. Semua ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam upacara Ugamo Malim.

Gondang wajib dibunyikan pada waktu upacara agama berlangsung, terutama pada upacara sipaha sada, sipaha lima dan mardebata. Membunyikan gendang dalam upacara

perantara sekaligus suara hati seseorang selama upacara itu berlangsung. Artinya melalui gendang itulah niat dan hajat para peserta upacara tersampaikan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Sedangkan tor-tor termaksud bagian penting dalam agama terutama upacara yang mengunakan persembahan Gondang. Tor-tor itu sendiri dalam adalam upacara agama sama dengan gondang yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan niat dan suara hati masing-masing peserta kepada Debata Mulajadi Nabolon.

Berikut ini akan dijelaskan satu persatu keseluruhan upacara agama yang dimaksud sekaligus mengetengahkan dasar hukum dan proses pelaksanaannya masing-masing. Namun penjelasan berikut ini tidaklah menurut pengolongan seperti yang disebutkan di atas melainkan menurut urutan yang baku dalam Ugamo Malim.

a. Upacara Mararisabtu adalah salah satu upacara agama (ibadah) yang terpenting dalam Ugamo Malim ibadat ini wajib dilaksanakan sekali dalam sepekan yaitu hari Sabtu. Penetapan hari Sabtu sebagai hari peribadatan berasal dari sejarah dimana tepat pada hari ketujuh (sabtu), Siboru Deakparujar mengunakan hari itu sebagai hari beristirahat atau sebuah hari tanpa aktivitas.

b. Upacara Martutuaek dalam ajaran Ugamo Malim adalah “menyambut kehadiran

tondi”. Ruh (tondi) yang ada pada manusia berasal dan Debata dan pada suatu masa nanti ruh itu akan kembali kepada-Nya. Berdasarkan kepada ajaran itu, Ugamo Malim

manganut paham bahwa dalam setiap penyambutan seorang anak yang baru lahir sepatutnyalah berangkat dari segi tondi-nya dan bukan semata-mata jasmaninya Upacara ini dilakukan pada anak yang telah berusia sebulan (30 hari) dan orang tua wajib melaksanakan upacara martutuaek.

c. Upacara pasahat tondi adalah suatu upacara Ugamo Malim yang bermaksut menampaikan atau menyerahkan ruh seseorang manusia yang sudah meninggal dunia kepada Debata Mulajadi Nabolon sekaligus memohon kepada-Nya agar orang yang yang bersangkuan dapat diampunidosanya dan ditempatkan Debata di sisi-Nya serta memohon keampunan dosa keluarga yang ditinggalkan.

d. Upacara Mardebata adalah salah ritual penyembahan kepada Debata dengan perantaraan sesaji (pelean) yang bersih yang diantarkan melalui bunyi-bunyian gendang selengkapnya (gondang sabagunan) sebagaimana telah diisbatkan dalam

Ugamo Malim. Pada hakikatnya hukum mardebata tidakalah wajib, melainkan hanya semacam tambahan ibadat berdasarkan niat yang muncul dari seseorang Parmalim. Namun boleh saja hukum mardebata ini meningkat menjadi wajib apabila seseorang melakukan kasus yang dapat dikategorikan melanggar patik dan hukum yang berat. Meski mardebata merupakan hajatan keluarga, namun diharuskan juga dihadiri oleh anggota Parmalim cabang lain. Dengan kata lain amalan ibadat ini bisa menjadi perbadatan bersama yang nilai ibadatnya bukan untuk suhut (tuan rumah) saja, tetapi kepada semua peserta yang terlibat dalam upacara itu.

e. Upacara Mangan Na Paet dalam Ugamo Malim adalah suatu aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap warga Parmalim pada akhir tahun. Kewajiban melaksanakan ibadat ini adalah sebagai wujud pengakuan bahwa setiap manusia tidak luput dari segala perbuatan dosa sejak awal tahun hingga akhir tahun. Untuk menghapus “dosa tahunan” diwajibkan bagi Parmalim untuk melaksanakan ibadat

Mangan na Paet sebagi wadah penyampain keampunan dosa kepada Debata. Upacara ini berupa upacara dengan mengkomsumsi sayuran yang berasa pahit. Upacara

Managan na Paet dilakukan sebanyak dua tahap yakni Mangan na Paet parjol

(pertama) dan Mangan na Paet Paduahon (kedua). Upacara mangan napaet ini ditutup dengan upacara mangan na tonggi. Mangan na Paet Parjolo dilakukan pada awal bulan sepahasapuludua (bulan ke duabelas) kemudian disusul dengan Mangan na Paet Paduahon setelah tigapuluh hari kemudian. Mangan na Paet paduahon dan

Mangan na Tonggi dilakukan pada hari yang sama namun dengan waktu yang berbeda jika Mangan na Paet Paduahon dilakukan jam 09.00 wib makan Mangan Natonggi dilakukan pada jam 13.00 upacara ini dilakukan baik di Bale Pasogit Partonggoan maupun di Bale Parsattian di tingkat cabang. Namun idealnya upacara ini sebisa mungkin dilakukan di Bale Pasogit Partonggoan.

f. Upacara Sipaha Sada adalah salah satu aturan dalam Ugamo Malim. Upacara ni khusus untuk memperingati ari hatutubu (hari kelahiran) Tuhan Simaribulubosi yang jatuh pada ari suma (hari kedua) dan ari anggara (hari ketiga) bulan sipaha sada. Upacara siapaha sada dilakukan di Bale Pasogit Partonggoan, Hutatinggi dengan diiringi musik tradisional yaitu hasapi (kecapi) dan alat musik lainnya.

g. Upacara Sipaha Lima merupakan upacara yang paling besar, upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Debata Mulajadi Nabolon atas nikmat yang diberikan. Upacara Ini dilakukan selama tiga hari berturut yang dmulai pada tanggal 12

(boraspatinitangkup) hingga tanggal 14 (samisapurasa) bulan lima dan dipusatkan di Bale Pasogit Partonggoan. Berbeda dengan upacara sipaha sada, hampir semua aktivitas upacara sipaha lima ini dipusatkan di halaman Bale Pasogit Partonggoan dan juga prosesi upacara dipimpin langsung oleh ihutan.

h. Upacara Mamasusmasu merupakan upacara pemberkatan perkawinan yang tidak boleh diabaikan oleh penganut Parmalim jika hendak melangkah ke jenjang pernikahan. Upacara mamasusmasu ini biasanya dipimpin langsung oleh Ihutan atau boleh juga diwakilkan kepada ulupunguan (ketua cabang) setempat.

i. Upacara Manganggir adalah upacara yang dapat disamakan dengan salah satu

sacrament baptis dalam agama Kristen meski mungkin konteks pengunaanya berbeda dibandingkan dengan Ugamo Malim. Dalam konteks Ugamo Malim manganggir

adalah suatu upacara pensucian diri seseorang agar suci dari segala jenis dosa, kekotoran akibat makan haram (ramun) dan kekotoran jasmani. Upacara ini tidak termaksud dalam kategori ibadat utama, namun upacara ini tetap sebagai upacara yang harus dilakukan apabila seseorang terkena atau melanggar hukum yang ada dalam Ugamo Malim. Ada dua hal yang melatarbelakangi perlunya seseorang disucikan melalui upacara manganggir. Pertama, karena dengan kesadaran sendiri hendak berpindah agama dari agama lain ke Ugamo Malim. Kedua, karena disebabkan murtad (meningalkan Ugamo Malim), tetapi kemudian kembali memeluk

Ugamao Malim. Pensucian lewat upacara manganggir dipimpin langsung oleh ihutan

ataupun boleh juga yang mewakilinya.

Dalam dokumen Parmalim Di Kota Medan (1963-2006) (Halaman 67-72)