KEBERADAAN PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
4.3 Pengaruh Keberadaan Parmalim Terhadap Masyarakat Medan
100
proses dan ujian terhadap “hamalimon” yang dimalkan oleh Parmalim.101
Berdasarkan pengamatan penulis, secara umum Parmalim telah memiliki tingkat interaksi yang cukup baik dengan masyarakat sekitarnya. Interaksi yang terjadi dapat terlihat
Berikut akan dipaparkan dampak keberadaan Parmalim bagi masyarakat Kota Medan.
Penduduk Kota Medan terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya yang berbeda. Salah satu dari suku bangsa tersebut adalah suku bangsa Batak Toba yang menganut
UgamoMalim. Berdasarkan tempat tinggalnya di kota Medan, tidak ada tempat tinggal yang di dalamnya terdapat mayoritas penganut Ugamo Malim. Kecamatan Denai, tepatnya di Kelurahan Binjai yang merupakan tempat berkumpul (parpunguan) awal Parmalim di Medan, tidak semua penganut Ugamo Malim bermukim di sini melainkan secara menyebar hampir di 21 Kecamatan di Kota Medan. Sehingga tidak satupun permukiman yang diidentikkan dengan penganut Ugamo Malim.
Jumlah Parmalim yang tidak banyak yakni sekitar 0,009% pada tahun 2000 bukanlah penghalang bagi mereka untuk menyebar dalam menentukan tempat bermukimnya. Di tempat pemukiman tertentu yang hanya terdapat satu dan dua keluarga Parmalim, tetap dapat melakukan aktifitas sosialnya dengan baik terhadap penduduk disekitar tempat tinggalnya. Keadaan penduduk di Kota Medan sangatlah majemuk, terdapat berbagai suku bangsa seperti: Batak, Jawa, Minang, Melayu dan suku bangsa lainnya, yang saling berinteraksi dalam kehidupan sosial. Keadaan Parmalim dalam lingkungan yang demikian mengakibatkan mereka tidak hanya berinteraksi dengan sesama Parmalim saja, juga harus berinteraksi dengan masyarakat lainnya.
101
adanya perkawinan campuran antara Parmalim dengan suku bangsa lain yang telah menganut agama modern.102
Sebagai kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan keagamaan Parmalim juga berusaha untuk tetap mempererat hubungan sosial diantara sesama mereka. Hubungan sosial akan dapat terwujud apabila sesama penganut UgamoMalim saling mengenal dan melakukan interaksi. Dalam perayaan upacara keagamaan adalah merupakan suatu hal yang bersifat tradisi bagi mereka untuk bersalaman dan menyebut marga masing-masing yang dilanjutkan
Perkawinan dengan suku bangsa lain yang tentunya berbeda agama dengan
Parmalim, bukanlah suatu larangan. Akan tetapi mereka selalu berharap apabila seorang
Parmalim tetap mempertahankan Ugamo Malim. Namun hal demikian bukanlah suatu paksaan melainkan hanya berupa himbauan terhadap Naposo bulung (muda-mudi) Parmalim, sebaliknya apabila seorang Parmalim menikah dengan yang bukan penganut Ugamo Malim
serta mengikuti agama lain tersebut, tetap diharapkan untuk menjalankan ajaran hamalimon
dalam diri keluarganya.
Selain perkawinan sebagai strategi adaptasi yang dilakukan mereka juga menyesuaikan diri dengan penggunaan bahasa Indonesia yang sangat dikuasai dalam segala usia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari adanya hubungan saling ketergantungan antara mereka dalam lingkungan sosial masyarakat Kota Medan. Dari pengakuan informan akibat dari adanya pergaulan dengan suku bangsa lain seperti Jawa, Minang, Karo dan lain-lain. Mereka dapat mengetahui bahasa daerah dari suku tersebut sehingga sangat memudahkan dalam melakuakn interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
102
kemudian dengan martarombo (menarik garis keturunan) terhadap orang yang belum dikenal dalam punguan Ugamo Malim.
Proses saling mengenali bagi mereka melalui martarombo menjadikan hubungan yang lebih dekat berdasarkan “partuturon” (hubungan kekeluargaan). Dengan mengetahui hubungan kekeluargaan maka akan dimengerti pula bagaimana cara pemanggilan yang sopan dan perlakuan sesuai dengan kedudukan seseorang dalam hubungan pertuturan. Hubungan sosial diantara sesama Parmalim juga dapat terlihat apabila ada suatu acara keagamaan
Parmalim khususnya naposobulung (muda-mudi) akan secara bersama-sama marhobas
(bergotong royong) baik dalam persiapan acara hingga acara tersebut selesai. Penganut
UgamoMalim akan saling melayani tanpa memandang status sosial diantara sesama mereka dalam sebuah punguan (pertemuan).
Dalam hal kelengkapan administrasi di kota Medan Parmalim masih tetap mengalami suatu bentuk diskriminasi seperti dalam pengurusan dokumen kependudukan (KTP). Perubahan rezim pemerintah tidak membawa dampak yang signifikan terhadap status kependudukan Parmalim di Kota Medan. Berbeda halnya dengan Parmalim yang berada di Hutatinggi Laguboti sebagian dari mereka masih dapat mencantumkan Ugamo Malim pada kolom agama di KTP. Sementara di Medan sewaktu peraturan lama pada kolom agama di KTP penganut kepercayaan seperti Parmalim, cukup dikosongkan atau ditandai dengan tanda “-”. Tanda tersebut seringkali dimaknai secara ekstrim oleh penganut agama lain bahwa penganut kepercayaan tersebut adalah orang yang tidak beragama dan tidak ber-Tuhan. Tapi peraturan ini tidak selalu berlaku tetap, pencantuman “Parmalim” sebagi agama yang dianut
sangat tegantung pada konsistensi pejabat pemerintahan di tingkat kecamatan dan komunikasi personal Parmalim dengan pejabat tersebut.103
Parmalim di Kota Medan dengan jumlah kurang lebih 320 jiwa. Di Kecamatan Medan Denai terdapat 41 orang tua tetapi hanya 7 laki-laki dan 8 perempuan saja yang memilih kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jumlah tersebut berdasarkan data jumlah penduduk menurut agama yang dianut pada Kecamatan Medan Denai. Selain 15 orang, Parmalim lainnya memilih untuk dikosongkan dengan memberi tanda “-” pada kolom agama pada KTP. Sebagian lagi diantara mereka memilih mencantumkan agama lain yaitu agama Kristen pada kolom agama di KTP yang mereka miliki.
Agama mereka tidak dicantumkan di KTP berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Pasal 61 Ayat 02, tentang administrasi kependudukan yang berbunyi;
“Bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.
UU No. 23 Tahun 2006 tidak memberi dampak yang singnifikan terhadap status keagamaan
parmalim, namun ada sejumlah kemajuan yakni aliran kepercayaan dapat mengisi kolom agama dengan “kepercayaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” atau biasanya di isi dengan kata “kepercayaan”.
104
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri jika dibandingkan dengan suku bangsa lainnya adalah bahwa Parmalim sebagai suku bangsa Batak Toba memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya doktrin falsafah yang tidak membolehkan orang Batak menjadi babu (hatoban) tetapi tetap menjadi seseorang raja dalam arti yang luas.
103
Wawancara dengan Bapak Rinsan Simajuntak, Tanggal 11 Oktober 2012. 104
Data tersebut didapat dari sensus penduduk Kecamatan Medan Denai dan Komunikasi langsung kepada Bapak Lambok Manurung Tanggal 4 Desember 2012.
Dengan semakin berkembangnya tuntutan zaman, Parmalim menghadapinya dengan strategi pengembangan keagamaan melalui menerima perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan kualitas sumber daya mansuia disebut dengan
parbinotoan naimbaru. Hal inilah yang menjadikan Parmalim untuk tetap mengikuti pendidikan terlihat dari semakin banyaknya muda-mudi yang sarjana dan bahkan telah banyak menamatkan kesarjanaannya. Berdasarkan data Buku bolon, bahwa rata-rata
Parmalim yang berkeluarga di Kota Medan dari 141 orang (terdiri dari suami-istri) terdapat 31 orang tamatan setingkat Sarjana, 82 orang lulusan setingkat SLTA, 20 orang setingkat SLTP, dan 20 Orang lulusan SD. Pengakuan atas pendidikan yang mereka peroleh adalah menjadi sebuah modal bagi pemenuhan kebutuhan hidup dalam bidang ekonomi di Kota Medan.
Dengan demikian sudah banyak penganut UgamoMalim yang bekerja pada instansi pemerintahan yang berprofesi sebagai PNS maupun sebagai guru dan lembaga swasta. Dalam bidang pemenuhan kebutuhan hidupnya dari segi ekonomi adalah dengan mencantumkan salah satu agama lain yang diakui oleh negara pada kolom agama dalam KTP. Mereka beralasan bahwa dengan demikianlah mereka akan lebih mudah diterima dalam pekerjaan tertentu. Pemilihan salah satu agama pada kolom agama KTP hanyalah merupakan sebatas simbol dalam pencarian pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal demikian tidaklah berpengaruh bagi penganut Ugamo Malim untuk tetap menjalankan ajaran agama
hamalimon (ajaran UgamoMalim) dalam keseharian hidupnya.
Sementara bagi penganut Ugamo Malim yang berprofesi sebagai wiraswasta, agama yang mereka anut tidak berpengaruh terhadap usaha / pekerjaan yang dijalani. Parmalim
tempat mereka tinggal. Misalnya seperti pengalaman Bapak Rinsan Simajuntak yang berprofesi sebagai tukang jahit pakaian, keberadaanya sebagai seorang Parmalim cukup dikenal dalam lingkungan tempat dia tinggal. Hal demikian tidak berpengaruh terhadap pelanggan yang datang untuk menjahitkan pakaianya.
Dalam aktifitas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Parmalim sama seperti penganut agama lainya yang ada di kota Medan dimana mereka kebanyakan memenuhi kebutuhan keseharian rumah tangganya berupa kebutuhan lauk-pauk dari pasar (Medan: Pajak) yang berada di wilayah tempat tinggalnya seperti Pasar Simpang Limun karena jaraknya yang cukup dekat dengan jarak kurang lebih 300 Meter dari Gang Seksama No. 215 Kelurahan Binjai.
Adapun yang membedakan Parmalim dengan masyarakat disekitarnya adalah sesuai dengan ajaran Ugamo Malim mereka tetap mempunyai pantangan (naramun) dalam mengkonsumsi makanan tertentu seperti daging babi, makan darah dan makan yang berbau busuk. Untuk itu penganut UgamoMalim selalu selektif dalam memilih makanan yang akan dibeli untuk dibawa kerumah sebagai makanan yang akan di konsumsi bersama angggota keluarga lainya. Selain itu di setiap rumah parmalim sebelum memasuki rumah parmalim
kita akan menemukan serangkaian pertanda berupa seikat buah sangar105 di pintu masuk, pengunaan sangar di pintu rumah bermaksud untuk melindungi rumah dari hal-hal buruk.106
Sebagaimana halnya suku-suku bangsa lainnya yang memiliki adat istiadat sebagai hasil budi luhur pendahulunya, maka demikian juga dengan Parmalim memiliki adat kebiasaan yang dijadikan sebagai rujukan berprilaku dalam kehidupan masyarakatnya. Adat
105
Sangar adalah sejenis rumput yang tinggi mirip rumput pimping. 106
ini pada awalnya merupakan suatu kebiasaan yang dihayati dan diamalkan pada generasi yang terdahulu dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya hingga pada masa sekarang. Sejak jaman dahulu hingga pada generasi sekarang, adat adalah bagian dari kehidupan. Hampir tidak ada perilaku sosial yang tidak berhubungan dengan adat, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pergaulan, perkawinan, memasuki rumah dan lain sebagainya.
Pemahaman masyarakat secara umum terhadap adat hanyalah semata-mata hasil karya budi luhur generasi terdahulu yang akan secara turun-temurun dipelajari dan diwariskan terhadap generasi berikutnya. Berbeda dengan pemahaman Parmalim yang meyakini bahwa adat bukanlah sekadar budaya leluhur mereka yang diturunalihkan secara turun menurun, melainkan keberadaan nilai adat Batak Toba dipercayai beasal dari Tuhan
Debata Mulajadi Nabolon melalui seorang yang dipilih-Nya. Orang yang terpilih ini menerima konsep dasar adat dari Debata, lalu kemudian konsep dasar adat itu disingahon
(diisbatkan) atau dikemas menjadi butir-butir adat dan patik (peraturan) yang kemudian dinamakan menjadi hukum. 107
Penganut Ugamo Malim berpandangan bahwa “adat do habonaron, habonaron do adat” yang mengandung makna, adat adalah sumber hukum dan sumber hukum itulah adat. Bagi Parmalim adat tidak dapat dilepaskan dengan haporseaon (kepercayaan) kepada
Debata Mulajadi Nabolon. Menyatunya adat dengan Ugamo Malim akan semakin menjunjung tinggi nilai adat. Dalam upacara perkawinan misalnya, adat tetap dijalankan bersamaan dengan unsur-unsur keagamaan dalam persembahan terhadap Debata Mulajadi Nabolon. Dalam kehidupan bermasyarakat Parmalim di Kota Medan, mereka tetap memiliki
107
toleransi yang tinggi terhadap penganut agama lain. Hal demikian dapat terlihat ketika seorang Parmalim mengadakan pesta adat misalnya acara pernikahan. Mereka tetap mengundang masyarakat disekitar tempat tinggal mereka tanpa membedakan suku dan agamanya. Sebaliknya apabila penganut agama Malim mendapat undangan dari suku dan agama di luar Parmalim, mereka tetap sedapat mungkin mengikutinya.
Terhadap penganut agama Kristen dan Katolik sebagai sebuah agama yang paling banyak dianut masyarakat Batak, Parmalim diperlakukan secara khusus sebagai undangan dengan tidak memberikan makanan yang diharamkan (naramun) yaitu berupa daging babi dan daging yang dimasak bersamaan dengan darahnya. Adanya larangan untuk memakan makanan tersebut dapat dimengerti setiap masyarakat yang melakukan pesta adat.
4.5 Faktor Penyebab Parmalim Tetap Bertahan di Tengah-tengah Masyarakat Kota