PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
NAMA : JULIANTO SILAEN NIM : 070706004
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembaran Pengesahan Pembimbing Skripsi
PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
Nama : JULIANTO SILAEN NIM : 060706013
Diketahui Oleh : Pembimbing
Dra. Peninna Simajuntak, MS. NIP. 1961022698602001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
Dikerjakan oleh:
Nama : JULIANTO SILAEN NIM : 070706004
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing
Dra. Peninna Simajuntak, MS. Tanggal 6 Januari 2013 NIP. 1961022698602001
Ketua Departemen Sejarah
Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal 6 Januari 2013
NIP : 196409221989031001
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu
syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan
Pada :
Tanggal : 17 Februari 2013
Hari : Kamis
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan
Dr. Syahron Lubis, M. A
Nip :195110131976031001
Panitia Ujian :
No Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno M.Hum ……….
2. Dra. Nurhabsyah, M.Si. ……….
3. Dra. Pennina Simanjuntak M.S. ………..
4. Dra. Nina Karina ………..
LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN
Disetujui Oleh :
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
Departemen Sejarah
Ketua Departemen,
PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
NAMA : JULIANTO SILAEN
NIM : 070706004
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembaran Pengesahan Pembimbing Skripsi
PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
Nama : JULIANTO SILAEN
NIM : 060706013
Diketahui Oleh :
Pembimbing
Dra. Peninna Simajuntak, MS. NIP. 1961022698602001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006)
Dikerjakan oleh:
Nama : JULIANTO SILAEN
NIM : 070706004
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing
Dra. Peninna Simajuntak, MS. Tanggal 6 Januari 2013
NIP. 1961022698602001
Ketua Departemen Sejarah
Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal 6 Januari 2013
NIP : 196409221989031001
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu
syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan
Pada :
Tanggal : 17 Februari 2013
Hari : Kamis
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan
Dr. Syahron Lubis, M. A
Nip :195110131976031001
Panitia Ujian :
No Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno M.Hum ……….
2. Dra. Nurhabsyah, M.Si. ……….
3. Dra. Pennina Simanjuntak M.S. ………..
4. Dra. Nina Karina ………..
LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN
Disetujui Oleh :
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
Departemen Sejarah
Ketua Departemen,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kita. Skripsi ini merupakan merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan program sarjana. Skripsi ini telah dipertahankan dalam sidang skripsi di
hadapan para penguji Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S).
Skripsi ini berjudul, PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006), pengkajian
tentang Parmalim Di Kota Medan dilaksanakan selama lebih kurang enam bulan di daerah
Kota Medan, khususnya Bale Parsaktian Parmalim Kota Medan di Jalan Air Bersih Ujung
Lk. IV Kel. Binjai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan. Disamping itu, penulis juga
mengunjungi rumah-rumah anggota punguan Parmalim di Kota Medan untuk
bersilahturahmi sekaligus mengumpulkan data-data secara kualitatif khususnya mengamati
kehidupan penganut Parmalim dan juga untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang
diperlukan dalam penulisan ini.
Skripsi ini disususn terdiri dari V bab, fokus utama yang dipaparkan adalah sejarah
migrasi dan perkembangan Parmalim di Kota Medan. Parmalim sebagai kelompok penganut
aliran kepercayaan sangat dekat dengan stigma keterbelakangan. Namun berbeda dengan
Parmalim, Parmalim merupakan kelompok penganut aliran kepercayaan yang mampu
mentraformasikan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman tanpa harus merubah adat dan
keyakinanya. Parmalim dengan motto parbinotoan naimbaru, goluon naimbaru dan tondi na
marsihothot adalah falsafah yang memotifasi Parmalim untuk terus bertranformasi agar tidak
telah membawa banyak anak-anak Parmalim yang berpendidikan setara dengan kelompok
penganut agama resmi. Kemajuan dalam bidang pendidikan serta motivasi untuk menemukan
ngolu naimbaru (kehidupan baru) mendorong Parmalim untuk bermigrasi ke kota-kota di
Indonesia salah satunya Kota Medan. Migrasi Parmalim terus mengalir ke Kota Medan,
sehingga sampai tahun 2006 sebagai batasan tahun penelitian ini jumlah Parmalim di Kota
Medan telah mencapai 301 jiwa.
Parmalim di Kota Medan menjadi sebuah kelompok yang unik dan sangat menarik
sejak kehadiranya di Kota Medan tahun 1963, hal ini dikarenakan indentitasnya sebagai
Orang Batak. Di Kota Medan Parmalim menampilkan sisi lain dari kebudayaan Batak Toba
dimana selama ini di kenal sebagai kelompok penganut agama Kristen. Memiliki kesamaan
dan perbedaan dengan kelompok penganut agama Kristen dan Islam tentu adalah suatu
masalah dan peluang bagi Parmalim. Indentitas Batak serta sejumlah faktor migrasi dan
mendorong berkembangnya Parmalim di Kota Medan.
Dalam tatanan administratif pemerintahan republik Indonesia Parmalim hanya diakui
sebagai kelompok Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sejak
dikeluarkanya Pepres No.1/PNPS/1965. Pengelompokan Parmalim sebagai aliran
kepercayaan menghasilkan sejumlah peraturan yang diskriminatif bagi penganut Parmalim
dalam tata adminitratif pemerintahan. Parmalim tidak dapat mecantumkan kepercayaannya
pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). KTP Parmalim biasanya di kosongkan
atau di isi dengan tanda (-). Pengunaan tanda (-) sering di artikan oleh orang lain secara
ekstrim sebagai kelompok atheis atau pengikut komunis sehingga Parimalim dalam
Pada bab-bab awal skripsi ini, akan dipaparkan bentuk dan sejarah Ugamo Malim
yang merupakan ajaran yang dianut oleh Parmalim. Dalam bab awal juga akan dipaparkan
sejarah Parmalim. Penyajian bentuk dan sejarah Parmalim dimaksudkan untuk
mengantarkan pembaca pada topic kajian penulisan skripsi ini yakni bagaimana sejarah
perkembangan Parmalim di Kota Medan. Sedangkan pada bab akhir, penulis berusaha
menyimpulkan apa yang yang menyebabkan Parmalim bermigrasi ke Kota Medan serta
bagaimana Parmalim mampu mengembangkan diri di Kota Medan sehingga kepercayaan
Parmalim mampu bertahan dengan berbagai tantangan dan diskriminasi di tengah-tengah
masyarakat Kota Medan.
Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna sebagai
konsekwensi dari kelemahan dan keterbatasan yang ada pada penulis. Masih diperlukan
pengkajian lebih lanjut dan mendalam agar sejarah Parmalim Kota Medan dapat dihimpun
secara komprehensif. Kepada para pembaca, penulis mengaharapkan masukan berupa kritik
dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca,
khususnya bagi penulis sendiri.
Medan, 6 Januari 2013
Penulis,
JULIANTO SILAEN
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tahun Yang Maha Esa yang telah
memberikan karunia kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan
tenaga, pikiran, serta bimbingan yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini,
kepada yang terhormat:
1. Kepada kedua orang tua penulis Bapak St. Boy Sandi Silaen dan Ibunda Rosinta Siagian,
yang telah merawat, membesarkan, mendidik, dan selalu menyayangi penulis dengan
penuh cinta terimakasih atas segalanya, not ever drop your tears because of me, forever
love you mom and dad. Kakak tersayang (Herti Silaen dan Benny Silaen), adik-adik
tercinta (Nora Rentina Silaen, Sulastri Silaen, Abet Nego Silaen), keponakan yang lucu
Fajar Siagian dan Alvian Siagian, serta Kedua Lae penulis dan seluruh keluarga Besar
Silaen yang terhimpun dalam Dalihan Na Tolu yang selalu memberikan motivasi dan
semangat.
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A,
Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yuddi Adrian
Muliadi, M.A, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, maka penulis dapat menyelesaikan studi.
3. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu
penulis baik selama kuliah maupun pada saat mengerjakan penulisan skripsi ini. Juga
kepada Ibu Dra. Nurhabsyah, Msi, sebagai Sekretaris Departemen Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya USU.
4. Terkhusus untuk Bapak Drs. Samsul Tarigan sebagai dosen Penasehat Akademik penulis
yang telah sangat sabar dan tanpa henti-hentinya memberi wejangan dan nasehat bagi
penulis walaupun penulis belum bisa menjadi anak didik yang baik.
5. Terimakasih banyak juga penulis hanturkan kepada Ibu Dra. Peninna Simajuntak, MS
selaku Pembimbing skripsi penulis, trimakasih atas segala arahan dan bantuannya dalam
penulisan skripsi ini. Masukan dan bimbingan Ibu sangat penting dalam menuntun
penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Terimakasih banyak penulis haturkan kepada seluruh Bapak/Ibu dosen penulis
khususnya di Departemen Sejarah, semoga ilmu yang diberikan dapat penulis amalkan,
juga kepada bang Amperawira selaku Tata Usaha Departemen Sejarah (terimakasih atas
arahannya bang).
7. Kepada Ruas Parmalim Punguan Kota Medan yang dalam penelitian ini sangat banyak
jasanya, saya ucapkan banyak terimakasih. Tanpa pertolongan dan keterbukaan tangan
kalian menerima saya tentu penulisan skripsi ini tidak akan mungkin bisa tercapai.
Untuk itu penulis mengucapkan secara khusus ucapan terima kasih kepada Amang
Ihutan R.M Naipospos, Ulu Punguan Amang R. Simajuntak, Amang Lambok Manurung
dan seluruh ruas yang telah bersedia berdiskusi dan membagi pengalamannya kepada
saya selama melakukan penelitian di Punguan Parmalim Kota Medan.
8. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Sejarah USU Stambuk 2007, Aka, Siti, Mohan, Togi,
Intan, Astina, Krisman, Andika, Asima, Okta, Oli, Sulis, Okki, Iwan, Budi, Azmi,
Hendrik, dan Antonius serta abang-abang senior dan juga adik-adik junior.
9. Keluarga Besar Menwa Yon-A USU, yang selalu mewarnai dinamika kampus saat
penulis kuliah di Universitas Sumatera Utara sehingga mendapat banyak pelajaran dan
menambah kedewasaan untuk penulis dalam bersosialisasi.
10. Terimakasih juga saya hanturkan kepada seluruh rekan-rekan sepermainan Juita, Natalia,
Santi, Bang, Edison, Martinus, Oriyani, Sugi, Hermanto, Jandri, Bitner, dan yang
lainnya yang mungkin tidak dapat saya sebutkan nama kalian satu persatu dalam tulisan
ini.
Dengan rasa suka cita penulis mohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu
diberkati dalam melakukan pekerjaan maupun aktivitas sehari-hari. Sekali lagi penulis
ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
skripsi ini.
Medan, Januari 2013
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL ... ix
ABSTRAK ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
1.4 Tinjauan Pustaka ... 9
1.5 Metode Penelitian ... 13
BAB II GAMBARAN UMUM UGAMO MALIM ... 17
2.1 Pengertian Ugamo Malim ... 17
2.2 Sejarah Kepercayan Parmalim dan Perkembangannya ... 19
2.3 Pola Ajaran Kepercayaan Ugamo Malim ... 33
2.3.1 Ajaran Tentang Ketuhanan ... 33
2.3.2 Ajaran Tentang Alam Semesta ... 37
3.3.3 Ajaran Kemanusiaan ... 38
2.3.5 Konsep Dosa Menurut Ugamo Malim ... 42
2.4 Sumber Hukum Ugamo Malim ... 43
2.4.1 Tona, Poda, Patik, dan Uhum ... 44
2.5 Ritual Ugamo Malim ... 46
2.6 Struktur Organisasi Ugamo Malim ... 51
2.7 Sumber Keuangan ... 56
BAB III MIGRASI PARMALIM KE KOTA MEDAN ... 58
3.1 Mikrokosmos Etnis dan Religius di Kota Medan ... 58
3.2 Proses Migrasi Parmalim Ke Kota Medan ... 67
3.3 Faktor-faktor Migrasi Parmalim Ke Kota Medan ... 72
3.3.1 Faktor Pendorong Dari Daerah Asal ... 72
3.3.2 Faktor Penarik Dari Daerah Tujuan ... 82
3.4 Migran Parmalim di Kota Medan ... 85
BAB IV KEBERADAAN PARMALIM DI KOTA MEDAN (1963-2006) ... 95
4.1 Sejarah Punguan Parasian Parmalim Kota Medan ... 95
4.2 Aktivitas Keagamaan Parmalim di Kota Medan ... …98
4.3 Pengaruh Keberadaan Parmalim Terhadap Masyarakat Medan ... .100
4.4 Faktor Penyebab Parmalim Tetap Bertahan di Tengah-tengah Masyarakat Kota Medan ... 108
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN... 116
5.1 Kesimpulan ... 116
5.2 Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA ... xi
DAFTAR ISTILAH ... xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan Komposisi Penduduk Kota Medan berdasarkan tahun dalam
persen (%) ... 61
Tabel 2. Persentase Penduduk Kota Medan Menurut Agama Tahun 2000 ... 62
Tabel 3. Data Curah Hujan dari beberapa tepat di Tapanuli Utara ... 74
Tabel 4. Konsentrasi tempat tinggal Parmalim Punguan Medan berdasarkan
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif untuk menggambarkan dan menganalisis sejarah PARMALIM DI KOTA MEDAN TAHUN 1963-2006. Kajian ini secara khusus membahas tentang sejarah migrasi dan perkembagan Parmalim di Kota Medan. Parmalim sebagai salah satu aliran kepercayaan yang ada di Indonesia yang sudah mulai tergerus oleh zaman. Kemuduran Parmalim didalangi oleh sejumlah faktor sejarah dan politik. Parmalim dalam tata kenegaraan Indonesia hanya diakui sebagai kelompok aliran kepercayaan. Konsekwensi pengelompokkan Parmalim sebagai aliran kepercayaan menciptakan sejumlah distorsi dalam kehidupan Parmalim di Kota Medan. Parmalim sering di identikkan dengan kerbelakangan, namun seiring bertambahnya waktu penganut aliran kepercayaan ini telah berubah dan menyamai perkembangan penganut agama modern di Indonesia.
Perkembangan Parmalim dalam dunia pendidikan membawa Parmalim untuk mencari penghidupan baru dengan jalan bermigrasi. Medan adalah salah satu kota tujuan migrasi Parmalim. Migrasi Parmalim sudah sejak lama ke Medan, namun mengidentifikasi mereka dapat dimulai sejak terbentuknya Punguan Parmalim Kota Medan tahun 1963. Di Kota Medan Parmalim harus menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berkembang di Kota Medan. Dengan ajaran hamalimon yang menjadi dogma dalam ajaran Ugamo Malim
mampu membawa Parmalim bertahan di Kota Medan. Karakter sebagai Orang Batak dan memiliki pantangan yang sama dengan Orang Islam adalah dua hal yang sangat membantu
Parmalim, dalam bersosialisasi di Kota Medan. Parmalim dengan kepercayaanya memberikan warna baru tentang budaya Batak Toba di Kota Medan, dimana umumnya Orang Batak Toba identik dengan agama Kristen sebagai agama yang dianut.
Metode yang digunakan dalam meneliti Parmalim di Kota Medan (1963-2006) adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian tentang
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif untuk menggambarkan dan menganalisis sejarah PARMALIM DI KOTA MEDAN TAHUN 1963-2006. Kajian ini secara khusus membahas tentang sejarah migrasi dan perkembagan Parmalim di Kota Medan. Parmalim sebagai salah satu aliran kepercayaan yang ada di Indonesia yang sudah mulai tergerus oleh zaman. Kemuduran Parmalim didalangi oleh sejumlah faktor sejarah dan politik. Parmalim dalam tata kenegaraan Indonesia hanya diakui sebagai kelompok aliran kepercayaan. Konsekwensi pengelompokkan Parmalim sebagai aliran kepercayaan menciptakan sejumlah distorsi dalam kehidupan Parmalim di Kota Medan. Parmalim sering di identikkan dengan kerbelakangan, namun seiring bertambahnya waktu penganut aliran kepercayaan ini telah berubah dan menyamai perkembangan penganut agama modern di Indonesia.
Perkembangan Parmalim dalam dunia pendidikan membawa Parmalim untuk mencari penghidupan baru dengan jalan bermigrasi. Medan adalah salah satu kota tujuan migrasi Parmalim. Migrasi Parmalim sudah sejak lama ke Medan, namun mengidentifikasi mereka dapat dimulai sejak terbentuknya Punguan Parmalim Kota Medan tahun 1963. Di Kota Medan Parmalim harus menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berkembang di Kota Medan. Dengan ajaran hamalimon yang menjadi dogma dalam ajaran Ugamo Malim
mampu membawa Parmalim bertahan di Kota Medan. Karakter sebagai Orang Batak dan memiliki pantangan yang sama dengan Orang Islam adalah dua hal yang sangat membantu
Parmalim, dalam bersosialisasi di Kota Medan. Parmalim dengan kepercayaanya memberikan warna baru tentang budaya Batak Toba di Kota Medan, dimana umumnya Orang Batak Toba identik dengan agama Kristen sebagai agama yang dianut.
Metode yang digunakan dalam meneliti Parmalim di Kota Medan (1963-2006) adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian tentang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat majemuk sejak awal
berdirinya. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang
jelas baik berupa bahasa, adat istiadat, bentuk fisik, agama, dan lain-lain. Setiap suku bangsa
yang mempunyai cara hidup dan budaya yang berlaku dalam masyarakat suku bangsa
masing-masing, sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara suku
bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainya. Perbedaan yang ada diantara kebudayaan
suku bangsa di Indonesia pada hakekatnya adalah perbedaan yang disebabkan oleh sejarah
perkembangan kebudayaan masing-masing.1
Perbedaan tersebut ada dan dapat kita saksikan sekaligus dalam kehidupan
masyarakat kota. Beragamnya kebudayaan yang bertumpuk di kota karena keadaan
masyarakat kota yang relatif heterogen dibanding dengan masyarakat pedesaan yang secara
umum bersifat homogen.2
Suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat perkotaan yang sejak puluhan tahun
yang lalu adalah semakin membengkaknya laju migrasi ke kota. Hal ini erat hubunganya Heterogenitas sebuah kota adalah hal yang lazim terjadi pada
setiap kota-kota di dunia.
1
Weinata Sairin (Ed.), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-Butir
Pemikiran, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2006. Hal. 55.
2
Penduduk kota terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama, kota menjadi tempat pertemuan dari berbagai kultur masyarakat karena perannya yang sentral sebagai pusat ekonomi suatu wilayah. Semakin maju sebuah kota maka akan semakin beragam kultur dan ras di dalamnya. Beny Octofryana Marpaung, Dkk., Fenomena Terbentuknya Kampung Kota Oleh Masyarakat Pendatang Spontan, Medan: Suryaputra Panca Mandiri, 2009, hal. 12-15.
dengan persepsi yang muncul di tengah masyarakat yang menyatakan bahwa kota adalah
tempat yang menjanjikan untuk kehidupan lebih baik dan kota adalah pusat dari segala
kemajuan, sehingga kota menjadi tumpuan bagi orang-orang yang menginginkan kemajuan.
Medan sebagai kota besar di Indonesia yang juga menjadi kota tujuan para perantau dari
berbagai daerah. Peran Kota Medan sebagai kota tujuan migrasi menyebabkan komposisi
penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda, para migrant masuk
bersamaan dengan pola budaya yang dibawanya masing-masing dari daerah asalnya.
Keanekaan pola budaya inilah yang menjadikan Medan sebagai kota yang dihuni oleh
masyarakat yang majemuk.3
Perkembangan industri perkebunan Sumatera Timur khususnya Medan sejak awal
1880-an menjadi daya tarik bagi para pendatang (Migrant) untuk mengubah kehidupan
ekonomi yang lebih baik.4 Migrasi para migrant dengan berbagai latar belakang selain
menerima pengaruh dari daerah lain dan juga menerima bentuk modernisasi kehidupan Kota
Medan. Para migrant tersebut berusaha mempertahankan adat-istiadatnya sebagai sesuatu
yang vital dalam gelombang urbanisasi,5 sehingga Kota Medan kalau dilihat dari fakta
sosialnya tidak satu kelompok suku bangsapun yang merupakan kelompok mayoritas dalam
jumlah, ataupun menduduki posisi dominan yang dapat berfungsi sebagai wadah pembauran
atau malting poin.6
3
Ibid
4
Najif Chatib, Para Pendatang Di Kota-Kota Sumatera Timur, Medan: Fakultas Sastra USU, 1955,
hal. 4-8.
5
Harry Waluyo (Ed.), Perkawinan adat Batak di Kota Besar, Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993, hal. 23.
6
Edward M Bruner, Kerabat dan Bukan Kerabat dan Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Terj. T.O.
Diantara migrant yang melakukan migrasi ke Medan, salah satunya adalah suku
bangsa Batak Toba. Migrasi Batak Toba terbesar terjadi pada tahun 1930 dan diawal
kemerdekaan Indonesia 1950.7 Namun migrasi Batak Toba ke Sumatera Timur telah
berlangsung jauh sebelum abad ke XIX.8
Ugamo Malim merupakan salah satu aliran kepercayaan yang dianut oleh suku
bangsa Batak Toba. Penyebarannya berasal dari Kabupaten Toba Samosir tepatnya di Desa
Huta Tinggi Kecamatan Laguboti, saat ini dipimpin oleh Ihutan Raja Marnangkok
Naipospos. Dasar kepercayaan Ugamo Malim yaitu melakukan titah-titah yang dipercayai
berasal dari Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai pencipta manusia,
langit dan bumi, segala isi alam semesta serta roh nenek moyang orang Batak Toba.
Orang Batak Toba bermingrasi ke Sumatera Timur
baik secara berkelompok maupun perorangan, mereka membawa turut serta kebudayaannya
ke tempat yang dituju. Sebagian dari suku bangsa Batak Toba itu sendiri masih menganut
agama suku yang disebut Ugamo Malim atau Parmalim.
Parmalim sebenarnya adalah suatu identitas pribadi sementara kelembagaanya
disebut dengan Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas
pribadi lebih populer dari “Ugamo Malim”sebagai identitas lembaganya.
9
Dalam Buku Sitor Situmorang, masuknya agama Kristen dan kolonialisasi Belanda di
akhir abad ke-19 menjadi ancaman bagi keberlangsungan kerajaan yang dipimpin oleh
7
Migrasi awal ini adalah lebih dikarenakan arus perdagangan, pada priode ini orang Batak toba yang disebut Batak Pardembanan, yaitu orang Batak yang berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Sumatera Timur, Orang Batak memelayukan dirinya dengan masuk agama Islam syarat menjalankan budaya Melayu. Lihat Johan
Hasselgren, Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba Di Medan (1912-1965),
Medan: Bina Media Perintis, 2008, hal. 143, 387-389.
8
Migrasi Batak dalam periode ini berlangsung secara estapet, migrasi periode ini lebih karena
paksaan dengan perbudakan (Hatoban dan Taban-taban) dalam istilah Batak Toba). Lihat W.B. Sijabat, Ahu
Sisingamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hal. 87-92.
9
Sisingamangaraja XII.10 Tekanan Kolonial Belanda menciptakan Perang Batak sejak
tahun1976-1907 antara Orang Batak menentang Kolonial Belanda, dibawah pimpinan
Sisingamangaraja XII.11
Gerakan Parmalim di pelopori oleh Guru Somalaing Pardede, inti gerakannya adalah
menolak kolonialis Belanda dan kristenisasi di Tapanuli Utara.
Kerasnya cengkraman kekuasaan kolonial Belanda di Tanah Batak
mengakibatkan muncul gerakan mesianis Parmalim yang berpusat pada Sisingamangaraja
XII.
12
Gerakan mesianis ini
menyebabkan Parmalim dilarang di Tapanuli sejak tahun 1918.13
10
Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, 2004. hal. 380 dan 411.
11 Op cit
, Dalam tahap awal perkembangan pekabaran Injil oleh Zending di Tapanuli tidak mengalami gangguan yang berarti berkat diplomasi yang dilakukan oleh I.L. Nomensen, bahkan Nomensen menjalin komunikasi yang baik dengan Bakkara sejak Sisingamangaraja XI. Komunikasi ini berlanjut sampai pada Sisingamangaraja XII sebelum Belanda campur tangan dan memperluas kekuasaanya ke daerah Barus, Dairi
dan Silindung yang merupakan daerah Bius Kerajaan Sisingamangaraja. Sisingamangaraja XII menentang
penjajahan yang dilakukan Belanda, terlebih karena Ia telah mendengar pembantain terhadap orang-orang Aceh, gerakan Paderi di Padang dan Tapanuli Selatan. Penjajahan Belanda selalu disertai dengan kerja rodi-belasting
(kerja rodi-pajak) yang sangat ditentang oleh Sisingamangaraja XII. Dengan menyatakan perang (Pulas)
terhadap Belanda (Sibottar Mata) tahun 1876. Serangan terhadap Belanda pecah di Bahal Batu (sekarang
daerah Sipoholon, Tarutung) tanggal 17 Februari 1878 dan berakhir 30 tahun kemudian di Pearaja tanggal 17 Juni 1907 dengan gugurnya Sisingamangaraja XII dan pasukannya beserta ketiga anaknya. W.B. Sijabat, 1982, hal. 158-150, 286-304.
12
Mohammad Said menggambarkan gerakan Parmalim dengan Imam Mahdi yaitu keyakinan akan
kembalinya Sisingamangaraja memerintah tanah Batak, sedangkan Hirosue mengambarkan Parmalim dengan
Analisis Mileniarisme Michael Adas, Lihat Mohammad Said (1974) dan Masashi Hirosue (2005).
13Op Cit
. Sitor Situmorang, 2004, hal. 439-446.
Gerakan Parmalim yang
berkembang pada masa 1907-1942 sebanyak empat mazhab namun yang bertahan dan tetap
berkelanjutan adalah Parmalim dari sekte Nasiakbagi. Sekte Nasiakbagi kemudian di pimpin
oleh Raja Mulia Naipospos dari Bius Laguboti. Ugamo Malim yang dipimpin oleh Raja
Mulia Naipospos lebih memfokuskan aktivitasnya pada pengembangan Ugamo Malim,
Parmalim tampil sebagai agama murni yang secara damai menyebarkan ajaran Ugamo
Malim sehingga mendapat persetujuan dari Residen Tapanuli Controleur van Toba tahun
Dalam konteks Indonesia Merdeka Parmalim tidak diakui sebagai sebuah agama,
Parmalim di kelompokkan ke dalam aliran Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan Pepres No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969. Pepres
No.5/1969 hanya mengakui lima agama resmi yang banyak dianut bangsa Indonesia tetapi
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di beri ruang untuk berkembang.
Perubahan rezim tidak semerta-merta merubah cara pandang pemerintah terhadap
Parmalim, bahkan pemerintah melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978, nomor II/MPR/1983
dan Nomor II/MPR/1988 berusaha mengekang Parmalim sesuai dengan tujuan di bentuknya
Tap MPR Nomor IV/MPR/1978 dimana ayat berbunyi sebagai berikut; “kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.
Turunan kebijakan dari Pepres No.1/PNPS/1965 dan Tap MPR Nomor
IV/MPR/1978, memiliki dampak yang merugikan warga Parmalim dalam kehidupan
bernegara. Parmalim tidak dapat mencantumkan agamanya pada Kartu Tanda Penduduk
(KTP), kolom agama di kosongkan atau di beritanda “ - “. Status agama dalam KTP tersebut
sering di artikan oleh orang lain di luar Parmalim sebagai kelompok atheis atau komunis.
Kebijakan ini sangat diskriminatif bagi penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha
Esa yakni Parmalim, terutama bagi Parmalim yang merantau keluar Tapanuli seperti ke Kota
Medan. Parmalim banyak yang mengosongkan kolom agama atau memilih salah satu agama
resmi. Akibatnya Parmalim mengalami hambatan dalam melanjutkan pendidikan dan
swasta maupun pegawai negeri sipil serta hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.14
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis akan mengkaji mengenai perkembangan
Parmalim pada masyarakat Batak di Kota Medan dengan judul “Parmalim di Kota Medan
(1963-2006)”. Adapun alasan pemilihan judul tersebut dalam penelitian ini adalah ingin
memaparkan migrasi dan perkembangan Parmalim serta bagaimana startegi Parmalim untuk
menghadapi diskriminasi struktural dan stigma di tengah kalangan masyarakat Kota Medan..
Kota Medan merupakan kota yang heterogen dimana dihuni oleh penduduk dengan
suku-suku dan kepercayaan mayoritas seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buhda dan
Konghucu. Kondisi ini tentu berbeda dengan tempat asal mereka di Tapanuli yang mayoritas
Batak dan beragama Kristen tetapi memiliki adat dan kebiasaan yang sama dengan
Parmalim.
Selain diskriminasi dalam administrasi kependudukan Parmalim dalam kehidupan sehari-hari
masih dianggap sebagai penganut “sipelebegu” oleh kelompok tertentu. Kurangnya
keseriusan pemerintah untuk membina aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
terutama dalam sosialisasi aliran kepercayaan di tengah-tengah masyarakat menyebabkan
hanya sebahagian kecil dari masyarakat yang mengetahui keberadaan Parmalim.
15
Penulis membuat batasan waktu pada tahun 1963-2000 dalam penelitian ini karena
berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Rinsan Simajuntak, Punguan
Parmalim Kota Medan di rintis sejak tahun 1963 dengan Ulu punguan pertama Bapak
Marnaek Butar-butar. Selain itu juga terbentuknya Punguan Kota Medan menjadi wadah bagi
migrant Parmalim yang tinggal di Kota Medan baik sebagai pekerja atau karena melanjutkan
14
Wawancara dengan Bapak Rinsan Simajuntak, 6 Juni 2012.
15
Elvi T. Simarmata, Parmalim di Kecamatan Porsea (1956-1981), Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra
pendidikan tinggi. Keberadaan Punguan Parmalim Kota Medan juga sangat penting perannya
untuk mempertahankan keberlangsungan Ugamo Malim di kalangan Parmalim di Kota
Medan. Perantau Parmalim yang datang ke Kota Medan sebelum adanya punguan ini banyak
yang beralih kepada kepercayaan lain dan meninggalkan agama Ibu-nya baik karena
pernikahan atau karena keinginan sendiri. Studi ini diakhiri pada tahun 2006 karena
sepanjang tahun 1995-2006 telah dilakukan usaha-usaha pendirian Bale Parsattian (nama
tempat ibadah Parmalim) sebagai tempat ibadah Parmalim, dimana sebelumnya ibadah
hanya dilakukan dirumah salah satu jemaat. Pendirian Bale Parsattian (Rumah Ibadah) ini
mengalami hambatan dari dalam Parmalim sehingga pembangunannya terhenti di tahun
2000. Ditahun 2005 usaha pendirian Bale Parsattian dimulai kembali namun mendapat
penolakan dari pihak warga sekitar Bale Parsaktian dan permasalahan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dari Pemko Medan sehingga pembangunan terhenti kembali. Selain karena
pembangunan bale parsattian munculnnya UU No 23 tahun 2006 tentang Undang-Undang
Administrasi Kependudukan, telah diberikan kesempatan untuk dicatatkan sebagai warga
negara Republik Indonesia melalui kantor catatan sipil, namun mereka tidak diberi
pengakuan sebagai agama.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam tulisan ilmiah selayaknya diupayakan sebuah pemaparan yang lebih mendetail
dan sistematis supaya hal-hal yang akan dibahas dapat dilihat dengan jelas. Jadi salah
satunya, langkah untuk menguraikan permasalahan dengan mengidentifikasikan secara
Perumusan masalah selain untuk mensistematiskan pembahasan juga akan bermanfaat
bagi terarahnya sebuah penelitian yang lebih objektif. Untuk itu rumusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini nantinya adalah sebagai:
1. Bagaimana bentuk aliran kepercayaan UgamoMalim?
2. Bagaimana latar belakang kedatangan Parmalim ke Kota Medan?
3. Bagaimana perkembangan Parmalim di Kota Medan sejak tahun 1963-2006?
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah :
1. Menjelaskan ajaran aliran kepercayaan UgamoMalim.
2. Untuk menjelaskan latar belakang migrasi Parmalim ke Kota Medan.
3. Menjelaskan perkembangan panganut Ugamo Malim (Parmalim) di Kota Medan.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memberi informasi bagi peneliti dan para pembaca mengenai latar belakang
perkembangan Ugamo Malim dan juga melengkapi penelitian sebelumnya yang
mengkaji tentang Parmalim.
2. Melalui tulisan ini diharapkan pembaca akan mengetahui keberadaan Parmalim di
Kota Medan.
3. Tulisan ini akan memperkaya inventarisasi kebudayaan bangsa, serta turut
membantu pemerintah dalam usaha membina aliran kepercayaan Terhadap Tuhan
1.4 Tinjauan Pustaka
Penulisan karya ilmiah merupakan sebuah rangkaian yang saling berkaitan dengan
mengunakan refrensi yang berhubungan. Agar pemaparan sebuah karya ilmiah lebih objektif,
maka selayaknyalah mengunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan topik yang dibahas
baik berupa buku-buku yang mendukung paparan secara teoritis maupun paparan fakta-fakta.
Maka penulis mengunakan beberapa buku paduan dasar dalam penelitian ini.
Ibrahim Gultom, dalam ”Agama Malim Di Tanah Batak ” (2010). Mengatakan
bahwa Ugamo Malim adalah orang-orang yang menuruti ajaran Malim atau kehidupan malim
(suci) yang diwujudkan dengan pengumpulan ramuan benda-benda Pelean (sesaji)
berdasarkan pada ajaran Debata Mula Jadi Na Bolon. Sedangkan Parmalim adalah orang
yang menuruti ajaran malim atau berkehidupan malim. Dalam bukunya Ibrahin Gultom
memaparkan UgamoMalim dari sudut antropologi agama dengan fokus utamanya mengenai
kosmologi, sistem kepercayaan, ritual, ajaran dan sumber hukum Ugamo Malim. Parmalim
yang dibahas pada buku ini hanya berpusat di Huta Tinggi Laguboti dan hanya sedikit
menyinggung migrant Parmalim di luar daerah Tapanuli. Walaupun tidak banyak
menyinggung tantang migrant Parmalim buku ini sangat penting bagi penulis sebagai buku
acuan karena memaparkan kosmologi Batak dan Ugamo Malim di Tapanuli yang tidak
berbeda dengan Kota Medan, sehingga buku ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penulisan ini.
Sitor Situmorang dalam ”Toba Na Sae; Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad
XII-XX” (2004). Mengatakan bahwa Parmalim adalah orang yang mengerjakan/menganut
kesucian. Buku ini mengambarkan adat dan lembaga sosial politik yang diikat dalam marga
kerajaan di Tanah Batak. Dengan kata lain lembaga bius menciptakan Kerajaan
Sisingamangaraja sebagai wujud evolusi dari lembaga Parbaringin (Pendeta). Selain
memaparkan tentang bius buku ini menjadi sangat penting, karena menjelaskan bagaimana
transformasi pusat kepercayaan Batak dari Pusuk Buhit ke Bakkara yang merupakan
kediaman Sisingamangaraja dan kemudian munculnya aliran Parmalim di Tapanuli yang
berpusat pada Sisingamangaraja XII.
Buku ketiga yang menjadi buku acuan penulis adalah buku Johan Hasselgren ”Batak
Toba di Medan; Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan” (2008). Buku
ini mengkaji bagaimana sejarah komunitas Batak Toba di Kota Medan dari 1912 sampai
1965. Pembahasan utamanya tentang bagaimana identitas etno-religius Batak Toba
berkembang di Kota Medan, di tengah-tengah arus etnititas, religius, sosial dan politik Batak
Toba di Kota Medan. Dalam buku ini juga dibahas migrasi Orang Batak ke Kota Medan,
menurut Hasselgren bahwa migrasi Batak Toba dalam tahun sebelum 1950-an dilakukan oleh
orang-orang Batak yang berpendidikan Barat, hal ini disebabkan oleh penyebaran pendidikan
modren yang dibawa oleh RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) terhadap orang Batak
Toba. Migrasi setelah 1950-an sangat dominan dipengaruhi oleh bekas pegawai pemerintah
kolonial Belanda yang tetap menjalankan pemerintahan setelah kemerdekaan Indonesia,
mereka menjadi keluarga tempat menumpang sementara bagi migrant Batak Toba yang
datang ke Kota Medan mengantikan posisi misionaris dan gereja. Dengan pokok bahasan
tersebut tentu sangat membantu penulis untuk mendapatkan gambaran migrasi dan
perkembangan populasi Orang Batak di Kota Medan. Kelemahan buku ini dalam penelitian
hanya berpusat pada agama Kristen sehingga belum membantu penulis dalam memahami
kehidupan dan perkembangan Parmalim di Kota Medan.
Buku lain yang memiliki hampir fungsi yang hampir sama yaitu berupa biografi
Sisingamangaraja tetapi didalam buku tersebut juga dibahas secara khusus Parmalim. Buku
Prof. DR. W.B. Sijabat ”Ahu Sisingamangaraja” (1982) dan Buku Mohammad Said ”Dari
Pengalaman2 Terlepas Dalam Tjatetan Seorang Tokoh Sisingamangaraja XII” (1961).
Menurut W.R Sijabat Parmalim adalah aliran yang didirikan oleh Sisingamangaraja selaku
kelanjutan dari kehidupan yang terdahulu banyak diatur oleh Parbaringin . Sedangkan
menurut Mohammad Said Parmalim kurang lebih memiliki memiliki arti yang sama yaitu
Parmalim merupakan gerakan yang melanjutkan perjuangan Sisingamanagaraja XII.
Pandangan Muhammad Said dalam buku ini tampak bahwa Parmalim adalah gerakan anti
kolonial tidak menyentuh sampai kepada Parmalim sebagai aliran kepercayaan.
Disamping buku-buku yang di paparkan diatas tentu masih ada buku-buku lain seperti
theologi, sosiologi, dan antropologi yang menunjang dan memberikan informasi tentang
Parmalim. Dalam tinjauan pustaka memang tidak dimiliki suatu buku acuan yang berkaitan
dengan tinjauan historis tentang perkembangan Parmalim di Kota Medan. Namun
berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan terdapat sebuah buku yang mengkaji
Parmalim Kota Medan dari sudut antropologi yaitu skripsi Benny Rafael Pardosi, Parmalim:
Studi Deskriftif Mengenai Strategi Adaftasi Penganut Agama Malim di Kota Medan (2010),
berdasarkan penelitiannya Benny Raffael memaparkan bahwa Parmalim di Kota Medan
dapat bertahan karena pola adaptasi yang terbuka kepada masyarakat tempat mereka
“Penganut agama Malim sudah terbuka terhadap masyarakat tempat dia bermukim. Strategi adaptasi yang mereka lakukan melalui kegiatan keagamaan, hubungan sosial, kegiatan ekonomi, dan budaya (adat) dan lain-lain. Dari adaptasi keagamaan dapat dilihat masih tetap dipertahankan dan di jalanakannya upacara keagamaan, hubungan sosial yang baik, terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan aktifitas adat yang masih tetap dilaksanakan di kota Medan. Hal demikian dilakukan penganut agama Malim sebagai strategi adaptasi untuk tetap mempertahankan eksistensi agama Malim di tengah masyarakat kota Medan yang majemuk.”16
Skripsi ini tentunya sangat penting bagi peneliti untuk memahami perkembangan
Ugamo Malim di Kota Medan. Namun skripsi ini fokus penelitianya hanya pada adaptasi
penganut UgamoMalim di Kota Medan yang menurut penelitinya berperan dalam
keberlangsungan Ugamo Malim ditengah-tengah agama dan suku lain di Kota Medan,
khususnya di Kecamatan Medan Denai. Parmalim Kota Medan dalam penelitian yang akan
peneliti lakukan adalah berupa studi historis tentang perkembangan agama Malim dalam
rentang waktu tahun 1963-2006. Sehingga penelitian yang dilakukan peneliti berbeda dari
penelitian yang lakukan Benny Raffael yang mengkaji adaptasi penganut UgamoMalim di
Kota Medan, walaupun tidak menampik kemungkinan peneliti juga akan mengunakan skripsi
tersebut sebagai refrensi maupun sebagai pembanding atas temuan studi lapangan yang
ditemukan peneliti. Dengan demikian, penulisan ini walaupun mengunakan disiplin
ilmu-ilmu sosial lain, tetapi tetap sebagai kajian sejarah.
16
Benny Rafael Pardosi, Parmalim: Studi Deskriftif Mengenai Strategi Adaftasi Penganut Agama
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian yang ilmiah, pemakain metode sejarah sangatlah penting. Pada
umumnya yang disebut dangan metode sejarah adalah cara, petunjuk pelaksana, proses,
prosedur atau teknik sistematis dalam penelitian untuk mendapatkan objek penelitian.17
1. Heuristic, yakni kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau;
Sejumlah sistematika yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu
penelitian di dalam merekonstruksi kejadian pada masa lalu. Dimana metode sejarah adalah
proses menguji dan menganalisa masa lampau.
Penulisan sejarah deskriftif haruslah melalui tahapan demi tahapan. Dalam metode
sejarah ada empat tahap dalam penelitian sejarah menurut Louis Gootschalk yaitu :
2. Kritik, yakni menyelidiki apakah jejak itu sejati, baik bentuk maupun isinya;
3. Interpretasi, yakni menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang
diperoleh;
4. Historiografi, yakni menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk Tulisan
sejarah.18
Sesuai dengan metode tersebut, maka langkah proses dari penelitian ini adalah:
1. Heuristik
Heuristik adalah pengumpulan data atau sumber-sumber yang ditemui mengenai
ajaran Ugamo Malim dan Parmalim yang akan ditulis peneliti. Sumber-sumber ini nantinya
dikumpulkan guna mendapatkan data-data yang relevan sesuai dengan topik yang diteliti
17
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal. 11.
18
yaitu perkembangan Parmalim di Kota Medan. Pengumpulan sumber-sumber sejarah
dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan.
Penulis dalam penelitian ini mengunakan metode wawancara tidak terstruktur dan
wawancara berstruktur yaitu dengan mempersiapan suatu pedoman wawancara (intervieu
guide) dalam bentuk pertanyaan terbuka, dimana pertanyaan disusun sedemikian rupa
sehingga informan tidak merasa terbatas dalam memberikan jawaban. Informan dalam
wawancara dibagi dalam dua kategori pertama informan kunci yaitu orang yang memiliki
pengetahuan dan pemahaman luas tentang keberadaan Parmalim yang telah diakui penganut
Ugamo Malim di Medan. Dalam hal ini Informan kunci yaitu, Ihutan, Ulu Punguan,
Sekretaris, Bendahara baik yang masih menjabat maupun tidak pada susunan pengurus
Punguan Parmalim Medan saat ini. Informan yang kedua adalah informan biasa yaitu
orang-orang yang dapat memberikan informasi untuk melengkapi data yang sudah ada. Informan
biasa yang dimaksud adalah orang-orang yang mengetahui dan terlibat dalam kegiatan
Ugamo Malim dan warga disekitar tempat tinggal Parmalim. Wawancara dengan informan
biasa dilakukan dengan wawancara terstruktur yaitu dengan membagikan satu set daftar
wawancara yang disusun secara sistematis untuk memudahkan peneliti menarik kesimpulan
dari hasil wawancara, sample tidak diambil secara keseluruhan karena kendala-kendala di
lapangan.
Untuk melengkapi sumber-sumber selanjutnya yaitu studi pustaka dilakukan dengan
cara membaca buku-buku, majalah, dokumen atau refrensi yang ada hubungannya dengan
Parmalim yang dikaji. Sumber pustaka didapat dari dokumen-dokumen yang dikeluarkan
oleh Parmalim Punguan Kota Medan dan Bale Pasogit Partonggoan (BPP) atau sumber
digabungkan dan kemudian dijabarkan secara sistematis hingga didapat wujud dalam bentuk
penulisan. Studi lapangan yang dilakukan adalah dengan melakukan observasi langsung
yakni dengan mengikuti ibadah mingguan mararisabtu, mengikuti diskusi-diskusi Parmalim,
dan aktivitas marguru di Bale Parpitaan Parmalim Kota Medan untuk melihat langsung
hal-hal yang berkaitan dengan maksud dan tujuan penelitian.
2. Kritik Sumber
Pada tahap kritik sumber, setelah sumber-sumber yang terkumpul pada kegiatan
heuristic kemudian disaring dan diseleksi. Data yang terkumpul tersebut baik merupakan data
hasil wawancara maupun data tulisan/pustaka akan disaring dan diseleksi guna mengetahui
asli atau tidaknya sumber tersebut. Kritik sumber ini terbagi dua, yakni kritik ekstern yakni
meliputi berbagai sumber yang penulis kumpulkan baik berupa dokumen atau sumber
pustaka dimana aspek fisiknya tersebut diuji dengan memperhatikan aspek dominan yang
mempengaruhi kondisi dokument itu sehingga mendapat sumber yang autentik. Selanjutnya
kritik intern adalah berupa pengujian atas keaslian isi data yang kita peroleh, apakah data
tersebut dapat dipercaya berdasarkan komposisi dan legalitas data yang dipercaya
(credible).19
3. Interpretasi
Setelah diperoleh data yang valid dan akurat, maka tahap selanjutnya adalah
menginterpretasikan atau menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang
diperoleh. Pada tahap ini sangat diperlukan kecermatan dan sikap menghindari subyektifitas
terhadap fakta pada perkembangan Parmalim di Kota Medan.
19
4. Historigrafi
Historigrafi atau penulisan sejarah adalah tahap akhir metode penelitian sejarah. Pada
tahap ini, studi ini berusaha untuk memahami historic realite (sejarah sebagaimana yang
dikisahkan), sehingga mampu dikisahkan dan disajikan masalah ”Parmalim di Kota Medan
(1963-2006)” secara kronologis pada masyarakat Kota Medan.
GAMBARAN UMUM UGAMO MALIM
2.1 Pengertian Ugamo Malim
Ugamo Malim sebagai sebuah agama yang dikelompokkan oleh Negara Republik
Indonesia sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan nomor
Inventarisasi: 1.136/F3/N.1.1/1980. Ugamo Malim sebagai aliran kepercayaan dalam
penelitian sebelumnya cenderung menyebutnya sebagai Parmalim20
Mengunakan kata Parmalim dalam Bab ini dinilai terlalu sempit, sehingga kurang
mengambarkan konstruksi dan kosmologi Ugamo Malim yang di dalamnya juga meliputi
penganutnya yaitu Parmalim. Selain itu penegasan nama Ugamo Malim juga menegaskan
bahwa Parmalim dalam lingkup kajian ini adalah Parmalim yang terhimpun dalam
organisasi Ugamo Malim Huta Tinggi. Ugamo Malim sebagai nama aliran kepercayaan telah
digunakan oleh Orang Batak sejak kelahiran Ugamo Malim di tengah-tengah masyarakat
Batak oleh penganutnya, namun Parmalim sebagai identitas pribadi penganutnya lebih
populer dari pada kata “Ugamo Malim”. Penegasan nama aliran kepercayan Ugamo Malim
, secara harfiah par-
adalah awalan kata yang berarti “penganut atau orang yang menganut ajaran” sedangkan
malim dalam bahasa Batak adalah suci atau bersih rohani tidak bernoda dan bermoral tinggi,
maka Parmalim adalah pengikut ajaran malim yang suci dan bermoral tinggi.
20
Ada banyak pendapat para peneliti sebelumnya tentang pengertian Parmalim, Mohammad Said
mengartikan Parmalim sebagai gerakan perlawanan Orang Batak terhadap kolonial dengan memuja
Sisingamangaraja sebagai sosok Imam Mahdi. W.B Sijabat berpendapat bahwa Parmalim adalah aliran yang
didirikan oleh Sisingamangaraja selaku kelanjutan dari kehidupan yang terdahulu banyak diatur oleh
Parbaringin dengan kata lain bahwa Parmalim merupakan kelanjutan agama Batak kuno. Sedangkan menurut
Sitor Situmorang Parmalim kelanjutan dari agama Batak lama yang mendapat pengaruh dari ajaran kristen. Op
dalam bentuk tertulis baru dimulai sejak 29 Maret 1987 pada Anggaran Dasar Organisasi
Ugamo Malim Bab II Pasal 1 ayat 2.
Ugamo Malim berasal dari dua kata yaitu “Ugamo” dan “Malim”. Secara harfiah
istilah Ugamo bermakna pulungan, atau ambu-ambuan Pelean (kumpulan atau ramuan dari
bermacam-macam benda yang dijadikan sebagai Pelean atau sesaji). Ramuan atau Pulungan
benda-benda yang dijadikan sebagai sesaji itu kemudian disebut Ugamo atau agama.
Sementara kata Malim bermakna ias (bersih) atau pita (suci). Dengan demikian secara
etimologis dalam bahasa Batak pengertian Ugamo Malim adalah sekumpulan atau sejumlah
pulungan atau ramuan benda-benda pelean yang bersih lagi suci. Sedangkan menurut istilah
Ugamo Malim, ugamo atau agama adalah jalan perjumpaan antara manusia dengan Debata
melalui sesaji yang bersih lagi suci (dibagas pardomuan ni hajolmaon tu Debata marhite
pelean na ias). Orang yang masuk dalam Ugamo Malim disebut Parugamo Malim (pengikut
Ugamo Malim) atau biasa disingkat dengan kata Parmalim. Parmalim berarti orang yang
menuruti ajaran malim atau berkehidupan malim yang diwujudkan dengan pengumpulan
ramuan-ramuan benda-benda pelean (sesaji) berdasarkan pada ajaran Debata Mulajadi
Nabolon.21
Untuk menghindari kesalah pahaman, perlu dijelaskan bahwa istilah malim
mempunyai makna yang luas yang jika dihubungkan dengan kata yang lain. Secara harfiah
kata malim adalah suci, tetapi dalam konteks yang lain boleh saja kata malim menjadi
berubah makna. Misalnya dalam istilah Harajaon Malim, akan bermakna “kerajaan yang
berhubungan dengan ajaran malim” sedangkan pengunaan kata “malim ni Debata” akan
bermakna utusan atau Nabi Debata. Demikian juga dengan kata “hamalimon” akan
21Op Cit.
bermakna pengalaman keagamaan malim (kesalehan). Oleh sebab itu kata malim boleh
dierjemahkan menurut konteksnya yang bermakna bersih, suci, beriman, beramal, bertakwa,
utusan dan termaksud nama Ugamo Malim itu sendiri.
2.2 Sejarah Kepercayaan Parmalim dan Perkembangannya
Raja Sisingamangaraja XII menggantikan ayahnya Raja Sisingamangaraja XI ketika
beliau meninggal tahun 1875. Berapa sarjana Barat antara lain Karl Helbig dan Pedersen
mengatakan bahwa Sisingamangaraja XII sekitar 1870 mendirikan Ugamo Malim dengan
tujuan menjaga agar unsur-unsur agama Batak kuno terbina dalam menghadapi agama
Kristen, dan penjajah Belanda.22
Tetapi Raja Mulia Naipospos-lah yang mendapatkan perintah secara langsung dari
Sisingamangaraja XII untuk meneruskan ajaran Parmalim dan langsung sebagai
pemimpinnya. Sedangkan Guru Somalaing Pardede adalah seorang datu (dukun) yang
terkenal dan menjadi salah seorang panglima dan penasehat Sisingamangaraja XII.
Orang yang berperan besar dalam perkembangan Ugamo
Malim ialah Guru Somalaing Pardede dari Desa Janji Maria-Balige dan Raja Mulia
Naipospos dari Desa Huta Tinggi-Laguboti.
23
Ada dua versi tentang siapa yang menyebarkan ajaran Ugamo Malim. Menurut
golongan yang pertama beberapa ratus tahun sebelum Agama Islam dan Kristen datang ke
tanah Tapanuli. Sebelum Ugamo Malim resmi dilembagakan kepercayaan dan ajaran
keagamaan Batak sesungguhnya sudah mulai ada, menurut kepercayaan Ugamo Malim
22
Log Cit.W. B. Sijabat, 1982, hal. 326.
23
ajaran keagamaan dibawa oleh suruhan atau utusan Debata Mula Jadi Nabolon. Suruhan
tersebut membawa ajaran keagamaan itu dinamakan Malim Debata.
Ada empat orang yang tercatat sebagai Malim yang di utus Debata khususnya kepada
suku bangsa Batak, yaitu Raja Uti, Simaribulubosi dan Sisingamangaraja, dan Raja
Nasiakbagi. Semua mereka yang tercatat sebagi Malim Debata itu disebut sebagai orang
yang memiliki harajaon malim (kerajaan malim) di banua tonga (bumi) ini. Kerajaan Malim
yang mereka pegang itu di yakini dalam Ugamo Malim berasal dari Debata Mulajadi
Nabolon.
Raja Uti sebagai Malim yang pertama adalah seorang pemimpin umat kharismatis
dan disegani di zamannya, Raja Uti yang lahir di daerah Tapanuli Tengah dekat Barus. Dia
tampil di tengah-tengah suku Batak ketika masyarakatnya pada masa itu dalam keadaan caos
yang ditandai dengan kekacauan diantara sesama suku Batak. Disamping itu suku Batak
sedang mengalami gocangan kepercayaan kepada Debata Mulajadi Nabolon dengan
mengubah kepercayaan kepada Sipelebegu (penyembah ruh-ruh) atau boleh juga di sebut
beraliran animisme. Raja Uti muncul sebagai Malim Debata dengan tujuan menyelamatkan
manusia dari kesesatan dan mengembalikan kepercayaan untuk menyembah kepada Debata
Mulajadi Nabolon. Raja Uti yang pertama membentuk ajaran “marsuhi ni appang na opat”
(ampang yang bersegi empat ) yang terdiri dari tona, poda, patik, dan uhum yang diyakini
ajaran itu telah ada di banua ginjang sebelum diturunkan ke bumi ini.
Beberapa lama setelah setelah Raja Uti, Debata mengutus Tuhan Simarimbulubosi24
24
Kedatanganya adalah untuk memantapkan keimanan suku bangsa Batak agar dapat
berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Akan tetapi, setelah Simaribulubosi
meninggalkan umatnya pergi menghadap natorasna (bapaknya) di banua gijang, kekacauan
sosial muncul kembali yang sama dasyatnya dengan yang terjadi sebelum Raja Uti didaulat
sebagai Malim Debata. Inti penyebabnya adalah karena semakin jauh dari Debata dan
berbuat kekacauan sehingga itu kemudian dikenang sebagai masa lumlam (jahiliah).
Kemudian Debata mengutus Malim-nya yang ketiga yaitu Sisingamagaraja sekitar tahun (±
450 M) untuk membina suku bangsa Batak melalui kuasa yang dimilikinya dengan maksud
agar umatnya tetap berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon.
Kehadiran Sisingamangaraja beberapa tahun setelah Simaribulubosi, tugasnya adalah
mengisbatkan adat, patik, dan uhum (hukum) bagi suku bangsa Batak sebagai panduan
hidup dalam bermasyarakat.25
1. Raja Manghuntal menjadi Sisingamangaraja I
Perlu dicatat bahwa secara fisik yang bernama
Sisingamangaraja berjumlah dua belas orang sehingga untuk menyebutnya dinamakan
Sisingamagaraja I hingga XII. Adapun nama-nama keturunan Sisingamangaraja yang
menjadi raja (utusan Debata) adalah :
2. Raja Tinaruan menjadi Sisingamangaraja II
3. Raja Itubungna menjadi Sisingamangaraja III
4. Raja Sorimangaraja menjadi Sisingamangaraja IV
untuk membunuhnya. Simaribulubosi selamat karena menggunkan rambut besinya untuk naik dari dasar jurang dan juga karena memiliki ilmu kebal. Karena sikap para saudaranya, ia memutuskan untuk meninggalkan kampung dan menjadi seorang pengembara. Dalam pengembaraanya, ia mengalamai banyak petualangan gaib
seperti memenangkan taruhan begu, menaikkan pohon magis ke dunia atas (banua ginjang) dan juga turun ke
dunia bawah (banua toru). lihat Johannes Paulus Saragih, Gerakan Mesianis Di Toba; Suatu Tinjauan Sosio
Politis Religious, majalah Ilmiah mahasiswa 2009, hal. 8.
25Op Cit.
5. Parlongos menjadi Sisingamangaraja V
6. Panghulbuk menjadi Sisingamangaraja VI
7. Ompu Tuan Lombut Menjadi Sisingamangaraja VII
8. Ompu Sotaronggal menjadi Sisingamangaraja VIII
9. Ompu Sohalopon menjadi Sisingamangaraja IX
10.Ompu Tuan Nabolon menjadi Sisingamangaraja X
11.Ompu Sohaluaon menjadi Sisingamangaraja XI
12.Ompu Pulo Batu menjadi Sisingamangaraja XII
Pada masa Sisingamangaraja XII, penjajahan Belanda mulai memasuki tanah
Tapanuli. Peperangan berlangsung selama 30 tahun yang disebut Perang Batak. Dalam suatu
penyerbuan ke tempat persembuyiannya di Pearaja pada tanggal 17 Juli 1907,
Sisingamangaraja ditembak mati oleh Hamisi seorang pasukan Masose Belanda yang
dipimpin oleh Christoffel. Pihak Belanda mengumunkan bahwa Sisingamangaraja XII telah
gugur pada 21 Juli 1907. Akan tetapi, menurut kepercayaan Parmalim Sisingamangaraja itu
bukan mati, karena tidak beberapa lama setelah peristiwa itu, dengan tiba-tiba muncul yang
bernama Nasiakbagi (yang menderita) yang tersebar di seluruh Tanah Tapanuli.
Tampilnya sosok misterius Raja Nasiakbagi tentu membawa kesan yang
mengembirakan bagi masyarakat Batak pada umumnya dan semakin mempertebal keyakinan
bahwa raja mereka Sisingamangaraja tidak benar mati. Namun kehadiran sosok yang
bernama Raja Nasiakbagi tidak begitu banyak orang yang mengenalnya, kecuali hanya
murid-muridnya. Raja Nasiakbagi hanya memfokuskan diri kepada pembinaan rohani
umatnya yaitu mengajarkan hamalimon (keagamaan). Pada suatu ketika, Raja Nasiakbagi
hamu” (malimlah kalian). Maksudnya, “sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam
keagamaan”. Dengan adanya pengarahan ini, makanya sejak saat itu pula ajaran yang
dibawanya resmi dan populer di sebut “ugamo malim”.
Setelah Nasiakbagi pergi meninggalkan umatnya, Ugamo Malim diwariskan kepada
salah seorang murid setianya yaitu Raja Mulia Naipospos. Dia diserahi tugas
mempertahankan dan melanjutkan penyiaran Ugamo Malim untuk masa selanjutnya.
Penyerahan mandat itu merujuk kepada pidatonya yang terakhir sekali yang didengar oleh
semua murid-muridnya. Di dalam pidato itu Raja Nasiakbagi berkata bahwa “siapa-siapa
yang patuh dan taat kepada Raja Mulia, maka samalah artinya kepatuhannya itu kepada
saya”. Sejak itu Raja Mulia Naipospos yang bertindak sebagai penyambung ajaran Raja
Nasiakbagi dalam mengembangkan Ugamo Malim.26
Menurut versi lain pada abad ke-19 terjadi perubahan drastis dalam masyarakat Batak
Toba. Isolasi yang berjalan beberapa abad mulai tersingkap dengan masuknya kebudayaan
Barat. Perubahan yang dibawa oleh Islam kurang memberi warna pada masyarakat Batak.
Sebelum kebudayaan Barat menyentuh budaya Batak Toba, Islam telah lebih dulu sampai
dikawasan ini, walaupun tahun masuknya tidak dapat dipastikan, seperti hanya masuknya
Islam ke Indonesia.27
26Ibid
Ibrahim Gultom, hal. 170.
27Op Cit.
Masuknya kristenoisasi dan Kolonialis Belanda ke tanah Tapanuli, menciptakan sejumlah distorsi dalam kehipan Orang Batak, misionaris RMG bekerja sama dengan penjajah belanda untuk menaklukkan tanah batak. Kristenisasi di tanah Batak berjalan dengan baik dengan subsidi dari pemerintah Belanda dan komunitas RMG Eropa,. Misionaris menarik raja-raja Huta untuk menjadi Kristen. Raja Huta yang menjadi Kristen mendapat jabatan di organisasi gereja dan jabatan struktural dalam pemerintahan administrative Belanda. Sejak 1886 pemerintah Hindia Belanda mengangkat sebanyak 170 raja ihutan namun sejak tahun 1916 birokrasi tersebut dinilai terlalu gemuk sehingga dilakukan optimalisasi. Banyak orang Batak Toba yang sudah Kristen dan menjabat Raja Ihutan tersingkir dari struktur tersebut, hal inilah menurut Massahi Hirause yang
Pada bulan syawal 1233 H/1819 Masehi, Tuanku Rao (Panglima tertinggi tentara
Padri untuk Tapanuli) dapat menaklukkan Sisingamangaraja X di Bakkara. Pada waktu
Tuanku Rao dalam perjalanan menuju Bakkara (pusat kerajaan Sisingamangaraja), beliau
menjumpai adanya masyarakat yang sudah beragama Islam, seperti di Pahae Jae. Pengunut
Islam yang dijumpai itu berbeda Mazhab dengan beliau. Tuanku Rao menganut mahzab
Hambali dan mereka menganut mazhab Syi’ah.28
Zending Katolik mengirim dua orang pendeta, Henry Lyman dan Samuel Munson
yang sudah ahli bahasa Batak pada Tahun 1834, untuk menasranikan masyarakat Batak
Toba. Munson adalah lulusan Bowdoin College pada tahun 1829 dan Lyman adalah lulusan
Amliherst pada tahun 1829.
JPG Westhff dalam dalam risalahnya yang berjudul “Padri” menghubungkan
kepentingan ajaran Kristen dalam terpeliharanya jajahan Belanda di Indonesia. Sebagimana
dalam tulisannya “ada pendapat saya untuk memiliki tetap djajahan-djajahan kita untuk
sebagian besar adalah tergantung pada peng-kristenan dari rakyat sebagian besar belum
beragama atau yang sudah masuk Islam”.
29
Pada tahun 1890, Emelio Mondigliani seorang berkebangsan Itali sampai ke Tapanuli
tepatnya di huta (desa) Sirambe didaratan tinggi selatan Balige-Laguboti. Ia adalah seorang Mereka pernah berteman disekolah Anderver Theological
Seminary dan tamat pada tahun 1832, mereka juga pernah menetap di Sibolga. Ajaran yang
mereka bawa tidak dapat diterima oleh Batak Toba dan memberi reaksi yang hebat serta
membunuh kedua misionaris itu.
28
Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pangharapan, 1967, hal. 234.
29
Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Greja-gereja Btak di Sumatera
ahli hukum tetapi juga seorang botanis dan zoologis serta tertarik dalam bidang penelitian
benda-benda kebudayaan dan meminati ilmu-ilmu bumi di negeri-negeri jauh.30
Saat berkunjung ke Bakkara Mondigliani memperkenalkan dirinya sebagai utusan
Raja Rum. Mondigliani membicarakan tentang rajanya di Italia, Raja Roma. Orang Bakkara
mengartikan Raja Rum atau Raja Rom yaitu sebutan untuk Raja Stabol (Istambul) atau Raja
Turki. Dalam Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Batak (1878-1907) Raja Rom dari Turki
di hormati sebagai sekutu dalam perlawanan terhadap Belanda maupun oleh Orang Batak.
Berita yang bersiar tentang Mondigliani yang disebut-sebut sebagai Raja Stambul
terdengangar oleh Guru Somalaing Pardede dan mereka bertemu pada tahun 1890, dalam
perjalanan kedaerah Sigoal menuju Bandar Pulo di daerah Asahan
31
Sesudah Guru Somalaing terpisah dengan Sisingamangaraja XII tahun 1886 dan
berpisah dengan Mondigliani pada bulan April 1891, dengan inisiatif sendiri membentuk
suatu gerakan “parmalim” didaerah Tapanuli. Guru Somalaing mulai bergerak menyebarkan
ajaran Parmalim dengan ajaran barunya ke segala penjuru di daerah Toba.
. Mondigliani
memandang Guru Somalaing lebih sebagai sahabat yang akrab. Sehingga dalam pergaulan
sehari-hari dengan Mondigliani inilah Guru Somalaing mendapat ajaran agama Katolik.
32
30
Op Cit. Sitor Situmorang, 2004, hal. 312.
31
Emilio Modigliani melakukan perjalanan rahasianya ke hulu sungai Asahan untuk mencari sumber air sungai Asahan yang mana hal itu masih menjadi teka-teki bagi para peneliti Barat pada zamannya, secara kebetulan Ia bertemu dengan Guru Somalaing Pardede seorang tokoh panglima Perang Batak pada tahun 1878, posisi Guru Somalaing sebagai tokoh yang dihormati sangat menguntungkan Mandigliani untuk melakukan perjalanan ke hulu Sungai Asahan. Ibid Sitor Situmorang, hal. 335.
32
Log Cit. Massahi Hirause, dalam ETNIVISI, 2005, hal. 115.
Ajaran Guru
Somalaing bersifat sinkretis dengan memadukan kepercayaan Batak lama dengan trimurti
Guru Somalaing disambut dan mendapat banyak pengikut terutama di daerah Toba,
Humbang, Uluan, Samosir dan Asahan. Salah satu sebab utama keberhasilan memperoleh
banyak pengikut adalah karena posisinya sebagai mantan Datu (dukun) Sisingamangaraja
XII serta ketegasannya mengusir Belanda. Guru Somalaing sebagai pendiri Parmalim
ditangkap tahun 1896 oleh kontrolir P.A.L.E van Djik lalu dibuang ke Kalimantan.33
Meskipun pemerintah Belanda sudah berjalan dan Gereja Batak Kristen Protestan secara de
facto sudah berdiri, Belanda masih cemas terhadap gerakan Parmalim. De Boer, seorang
kontrolir Belanda di Balige pada tahun 1914 melaporkan, bahwa gerakan Parmalim masih
bertahan dan tetap berkiblat pada Sisingamangaraja dan menjalankan penyesuain dalam cara
bergerak.34
1. Sekte Parmalim yang merupakan sekte utama yang didirikan oleh Guru Somalaing
Pardede.
Parmalim menjadi legal sebagai agama murni yang dilindungi oleh hukum
Kolonial secara formal pada tahun 1922.
Timbul Parmalim menurut sejarah dipengaruhi oleh beberapa unsur, termasud adat,
Islam, Kristen, dan kepercayaan Batak kuno. Dari peleburan keempat unsur ini timbullah
kepercayaan baru yang diangap sebagi kepercayaan tersendiri yang diberi nama Parmalim.
Kemudian dalam perkembangannya Parmalim terpecah menjadi 4 sekte utama, yaitu:
2. Sekte Nasiakbagi yaitu sekte yang didirikan oleh Raja Nasiakbagi (yang menderita),
3. Sekte Parsitekka yang didirikan dan dipimpin oleh Sitengka, dan
4. Sekte Sisingamangaraja.
5. Sekte Parhudamdam yakni sekte yang didirikan oleh Jaman Pohan.
33
Log Cit. Muhammad Said, 1961, hal. 59.
34 Ibid