• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parmalim (Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Parmalim (Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim Di Kota Medan)"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim di Kota Medan)

PARMALIM

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh:

Benny Rafael Pardosi

060905031

Departemen Antropologi Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi Ini Disetujui Untuk Diperbanyak Dan Dipertahankan

Oleh:

Nama : Benny Rafael Pardosi Nim : 060905031

Departemen : Antropologi Judul : PARMALIM

(Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi

Penganut Agama Malim Di Kota Medan)

Medan, Agustus 2010

Pembimbing Skripsi An Ketua Departemen Sekretaris,

Drs. Irfan, M.Si Drs. Irfan, M.Si

NIP: 196411041991031002 NIP: 196411041991031002

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alah Bapa, Putra dan Roh Kudus yang bertahtah dalam kerajaan sorga. Atas segala berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Starategi Adaptasi Penganut Agama Malim di Kota Medan” dalam mempertahankan eksistensi ajaran agama Malim. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-1, bidang Antropologi Sosial di Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Pertama-tama penulis mempersembahkan skripsi ini secara spesial dan teristimewa, sebagai tanda bakti serta ucapan terimakasih yang tiada terhingga kepada ayah dan ibu tercinta Hotly Pardosi dan Delika Pasaribu atas rasa sayang dan cinta, dukungan dan doa yang tiada hentinya diberikan kepada penulis hingga akhirnya penulis bisa mengakhiri skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Ketiga adek penulis Reni Agus Pardosi, Erwita Pardosi dan Sri Sariyanti Pardosi yang menjadi tempat peneliti berkeluh kesah dan menumpahkan segala perasaan peneliti, terimakasih untuk motivasi dan kasih sayang kalian buat aku, kita harus bisa menjadi anak yang sukses membanggakan buat papa dan mama…Ok!!

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih dan pengghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang terlibat dan turut serta membantu penulis untuk mengembangkan diri , terutama kepada:

(4)

2. Bapaka Drs. Zulkifly Lubis, M.A. sebagai ketua Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga penulisan skripsi.

3. Bapak Drs. Irfan, Msi sebagai Pembimbing Utama, yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan telah memberikan bekal ilmu yangsangat berharga bagi penulis.

4. Bapak Drs. Agustrisno, MSP sebagai Ketua Penguji, yang telah memberikan masukan guna perbaikan hasil penelitian ini

5. Ibu Dra. Rytha Tambunan, M.Si sebagai Penguji Kedua, yang telah memberikan masukan guna perbaikan hasil penelitian ini.

6. Seluruh Dosen FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi yang telah banyak meneteskan ilmunya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Departemen Antropologi FISIP USU 7. Seluruh Staf di FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi,

sepesialku untuk kak Nur dan kak Sofi yang sudah membantu penulis dalam mengurus kelancaran administrasi selama dalam perkuliahan.

(5)

9. Rekan-rekan kerabatku mahasiswa Antropologi FISIP USU dari berbagai sangkatan terutama untuk angkatan 2006: Alfian, Luksan, Fadly, Hendra, Badai, Umar, Nanta, Deni, Wilfrid, Riky, Aros, Nuel, Noprianto, Charles, Kevin, Eni, Melda, Ruli, Danur, Mardiana, Rere, Mimi, Lisma, Geby, Hema, Desy, Fika, Yani, Santa, Helena, Ayu, Ingrid, Erika. Terimakasih sudah menjadi kerabat seperjuangan bagiku.

10.Keluarga besar Op. Benny Pardosi dan Op. Lafrida, tulang Nukdin Pasaribu (yang selalu isiin pulsa buat aku) Pastor Luis Uran (yang selalu memotivasi aku) Forman Pane (sahabatku ke lapangan penelitian), anak-anak MENWA USU, teman kost 21. Terimakasih atas motivasi dan semangat yang selalu kalian berikan buat aku.

11.Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulis selama penulisan skripsi ini. Kepada semuanya penulis mengucapkan terimakasih.

Kiranya Bapa Sorgawi Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan semua pihak kepada penulis. Penulis menyadari tulisan ini jauh dari kesempurnaan, terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis sangat berterimakasih apabila ada kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dalam penyempurnaan tulisan ini.

Medan,………2010

Penulis

(6)

1. Sampel dan Populasi………...….16

DAFTAR ISI I. Halaman Persembahan...i

II. Kata Pengantar………...……….…...ii

III. Daftar Isi………..………...iv

IV. Abstrak………...…...viii

BAB. 1. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………7

C. Lokasi Penelitian………..7

D. Tujuan Penelitian………..8

E. Manfaat Penelitian………...8

F. Kajian Pustaka……….…….9

G. Metode Penelitian……….…..…16

2. Tipe dan Pendekatan Penelitian………..…...17

3. Teknik Pengumpulan Data……….……17

4. Penentuan Informan………...……….18

5. Teknis Analisis Data………...…….19

BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN……….………..20

2.1. Gambaran Umum Kota Medan.……….………20

2.2. Kota Medan Secara Geografis………...….…..20

2.3. Kota Medan Secara Demografis………...…22

2.4. Kota Medan Secara Kultural………..24

2.5. Kota Medan Secara Sosial……….……....24

(7)

2.7. Potensi Wilayah………..………..26

2.7.1. Data Umum………...……..26

2.7.2. Pelayanan Umum………...……27

2.7.3. Pendidikan………..……28

2.8. Kelurahan Binjai………..………29

2.8.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan…………...………29

2.8.2. Potensi Sumber Daya Manusia……….31

2.8.3. Mata Pencaharian Pokok………..………33

2.8.4. Berdasarkan Etnis………..………34

2.8.5. Berdasarkan Agama………..……36

BAB. III. KEBERADAAN PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN………...40

3.1. Peresmian Agama Malim………...……….41

3.2. Kondisi Kota Medan Sebelum Kedatangan Penganut Agama Malim...………...….……45

3.3. Sejarah Migrasi Penganut Agama Malim ke Kota Medan…..………47

3.3.1. Motifasi Meninggalkan Kampung Halaman……...………50

3.4. Ajaran dan Sumber Hukum Agama Malim………..…………53

3.4.1 Tujuan Agana Malim………..………53

3.4.2. Konsep Kesucian Diri Menurut Agama Malim…….……54

3.4.3. Konsep Dosa Menurut Agama Malim………..………57

3.4.4. Pustaha Habonaran………...……….59

3.4.5. Tona, Poda, Patik, dan Uhum………...……….61

(8)

3.5.1. Struktur Organisasi………...……70

3.5.2. Pengankatan Pimpinan Pusat dan Cabang...72

4.5.3. Keanggotaan Penganut Agama Malim………..…….75

BAB. IV. STRATEGI ADAPTASI PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN………...……...…77

4.1. Pola Kehidupan Penganut Agama Malim di Medan…………..……77

4.1.1. Hungan Dengan Kampung Halaman………...……83

4.1.2. Peranan Sosialisasi Keluarga Dalam Mempertahankan Agama Malim………...…….87

4.2. Jabu Parsantian (Rumah Ibadah)...……..……91

4.3. Aktifitas Dalam Keagamaan………...……96

4.3.1. Upacara Mararisabtu (Ibadat Mingguan pada Hari Sabtu)………...……..97

4.3.2. Upacara Martutuaek (Kelahiran Anak)………...……99

4.3.3. Upacara Pasahat Tondi (Kematian)……….……..102

4.3.4. Upacara Mardebata (Sembah Debata)………..…….103

4.3.5. Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit)…...…104

4.3.6. Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan)…..…106

4.3.7. Upacara Manganggir (Pensucian Diri)……….….108

4.3.8. Pelean dalam Upacara Agama………....…109

4.3.9. Tortor dalam Upacara Agama………....………110

4.4. Dalam Bidang Sosial………..……111

4.5. Dalam Bidang Ekonomi………115

(9)

BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN………...…….119

KESIMPULAN……….……119

SARAN………..………121

Daftar Pustaka………..…...122

Lampiran:

Interview Guide

Daftar informan

Daftar Istilah

Bagan: Struktur Pemerintahan Kelurahan Binjai Kecamatan

(10)

ABSTRAK

Pardosi, Benny Rafael 2010, Judul: Parmalim (Studi Deskriptif tentang

Strategi Adaptaasi Penganut Agama Malim di Kota Medan). Skripsi ini terdiri

dari: 5 bab, 121 halaman, 10 tabel, 7 gambar, 2 daftar pustaka, 8 lampiran.

Penelitian ini mengkaji tentang “Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim

di Kota Medan” yang berlokasi di Simpang Limun, Kelurahan Binjai, Kecamatan

Medan Denai, Kotamadya Medan. Kajian ini membahas permasalahan tentang strategi adaptasi penganut agama Malim di kota Medan khusunya di daerah Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Adaptasi penganut agama Malim terhadap masyarakat setempat yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat dalam mempertahankan eksistensi agama Malim.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan secara mendalam tentang proses strategi adaptasi baik di dalam kelompok penganut agama Malim dan terhadap masyarakat setempat di luar komunitas penganut agama Malim yang dilakuakan Parmalim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan, khusunya di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Strategi adaptasi yang dilakukan dikaji dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat strategi adaptasi penganut agama Malim dan aspek-aspek yang mempengaruhi mereka untuk melakukan migrasi ke kota Medan.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dan wawancara kepada informan. Observasi dilengkapi denga kamera foto. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview). Instrumen yang digunakan, selain peneliti juga dibantu pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan. Analisa data dilakuakn dari awal hingga penelitian berlangsung yang diurutkan dan dilakukan dengan cara on

going analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi adaptasi penganut agama

Malim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan tergolong

ke dalam adaptasi autoplastis. Adaptasi penganut agama Malim sudah terbuka terhadap masyarakat tempat dia bermukim. Strategi adaptasi yang mereka lakukan melalui kegiatan keagamaan, hubungan sosial, kegiatan ekonomi, dan budaya (adat) dan lain-lain. Dari adaptasi keagamaan dapat dilihat masih tetap dipertahankan / dijalanaknnya upacara keagamaan, hubungan sosial yang baik, terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan aktifitas adat yang masih tetap dilaksanakan di kota Medan. Hal demikian dilakukan penganut agama Malim sebagai strategi adaptasi untuk tetap mempertahankan eksistensi agama Malim di tengah masyarakat kota Medan yang majemuk.

(11)

ABSTRAK

Pardosi, Benny Rafael 2010, Judul: Parmalim (Studi Deskriptif tentang

Strategi Adaptaasi Penganut Agama Malim di Kota Medan). Skripsi ini terdiri

dari: 5 bab, 121 halaman, 10 tabel, 7 gambar, 2 daftar pustaka, 8 lampiran.

Penelitian ini mengkaji tentang “Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim

di Kota Medan” yang berlokasi di Simpang Limun, Kelurahan Binjai, Kecamatan

Medan Denai, Kotamadya Medan. Kajian ini membahas permasalahan tentang strategi adaptasi penganut agama Malim di kota Medan khusunya di daerah Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Adaptasi penganut agama Malim terhadap masyarakat setempat yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat dalam mempertahankan eksistensi agama Malim.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan secara mendalam tentang proses strategi adaptasi baik di dalam kelompok penganut agama Malim dan terhadap masyarakat setempat di luar komunitas penganut agama Malim yang dilakuakan Parmalim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan, khusunya di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Strategi adaptasi yang dilakukan dikaji dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat strategi adaptasi penganut agama Malim dan aspek-aspek yang mempengaruhi mereka untuk melakukan migrasi ke kota Medan.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dan wawancara kepada informan. Observasi dilengkapi denga kamera foto. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview). Instrumen yang digunakan, selain peneliti juga dibantu pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan. Analisa data dilakuakn dari awal hingga penelitian berlangsung yang diurutkan dan dilakukan dengan cara on

going analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi adaptasi penganut agama

Malim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan tergolong

ke dalam adaptasi autoplastis. Adaptasi penganut agama Malim sudah terbuka terhadap masyarakat tempat dia bermukim. Strategi adaptasi yang mereka lakukan melalui kegiatan keagamaan, hubungan sosial, kegiatan ekonomi, dan budaya (adat) dan lain-lain. Dari adaptasi keagamaan dapat dilihat masih tetap dipertahankan / dijalanaknnya upacara keagamaan, hubungan sosial yang baik, terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan aktifitas adat yang masih tetap dilaksanakan di kota Medan. Hal demikian dilakukan penganut agama Malim sebagai strategi adaptasi untuk tetap mempertahankan eksistensi agama Malim di tengah masyarakat kota Medan yang majemuk.

(12)

BAB. 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat majemuk. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang jelas dan dapat membedakan diantara mereka (masyarakat Indonesia) suatu suku bangsa sebagai salah satu unsur kemajemukan Indonesia, tersebar dan mendiami seluruh kepulauan nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 380 suku bangsa dan kurang lebih 200 bahasa daerah. Keseluruhan kelompok suku bangsa ini bercorak

Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat

dicerai-beraikan, masing-masing suku bangsa terwujud sebagai satuan masyarakat dan kebudayaan yang masing-masing berdiri sendiri dan disatukan oleh kekuatan nasional suatu bangsa (Suparlan 1982:227).

(13)

keadaan masyarakat kota yang relatif heterogen dibanding dengan masyarakat pedesaan yang secara umum bersifat homogen.

Menurut (Bangun 1987:19) salah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi daerah perkotaan yang ada di Indonesia ialah hubungan antara suku bangsa yang berdiam secara bersama-sama dalam suatu kota. Masalah ini sebenarnya merupaka masalah sosial yang sangat berhubungan erat dengan aspek kehidupan lainya dari masyarakat.

Suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat perkotaan yang sejak puluhan tahun yang lalu adalah semakin membengkaknya laju migrasi ke kota. Hal ini erat hubunganya dengan pendapat yang muncul di tengah masyarakat yang menyatakan bahwa kota adalah tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik, dan kota adalah pusat dari segala kemajuan sehingga kota menjadi tumpuan bagi orang-orang yang menginginkan kemajuan.

Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia yang juga menjadi kota tujuan para perantau dari berbagai daerah sehingga komposisi penduduk kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda bersamaan dengan pola budaya yang dibawanya masing-masing dari daerah asal. Keanekaan pola budaya inilah yang menjadikan Medan sebagai kota yang dimukimi oleh masyarakat yang majemuk

(14)

pendatang terbesar yaitu: Jawa 29,41%, Batak Toba: 14,11%, Cina: 12,84%, Mandailing: 11,91% dan Minangkabau: 10,93% sedangkan persentase kelompok suku bangsa pendatang lainya, seperti: Karo, Aceh dan Sunda masing-masing kurang dari 4% dan Simalungun, Dairi, Nias masing-masing kurang dari 1% saja.

Para pendatang tersebut selain menerima pengaruh dari daerah lain dan menerima bentuk modernisasi kehidupan kota, mereka juga berusaha mempertahankan adat-istiadatnya sebagai sesuatu yang vital dalam gelombang urbanisasi (Situmorang 1983:83) sehingga kota Medan kalau dilihat dari fakta sosialnya tidak satu kelompok suku bangsapun yang merupakan kelompok mayoritas dalam jumlah, ataupun menduduki posisi dominan yang dapat berfungsi sebagai wadah pembauran atau malting poin (Bruner 1980:169).

Diantara suku bangsa yang melakukan migrasi ke Medan, salah satunya adalah suku bangsa Batak Toba, sebagian dari suku bangsa Batak Toba itu sendiri masih menganut Ugamo Malim atau Parmalim. Kata Parmalim berasal dari bahasa Batak Toba yang terdiri dari dua kata yaitu: par- yang berarti pengikut dan kata

malim mempunyai arti suci. Dengan demikian Parmalim dapat diartikan sebagai

pengikut ajaran kesucian (hamalimon) pada masyarakat Batak Toba.

Parmalim sebenarnya adalah suatu identitas pribadi sementara kelembagaanya disebut dengan Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan,

Parmalim sebagai identitas pribadi lebih populer dari “Ugamo Malim”sebagai

identitas lembaganya. (kutipan dari

(15)

oleh Raja Marnangkok Naipospos. Prmalim menyebut agamanya dengan sebutan

Ugomo Malim yang merupakan agama asli suku bangsa Batak Toba, dan

merupakan kelanjutan agama lama (Situmorang 1993:230) Dasar kepercayaan agama ini adalah melakukan titah-titah yang dipercayai berasal dari Debata

Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai pencipta manusia, langit dan

bumi, segala isi alam semesta serta roh nenek moyang orang Batak Toba. Segala perintah dan ajaran Debata Mulajadi Nabolon disampaikan melalui Raja Nasiak Bagi yaitu: Sisingamangaraja XII yang disebut juga sebagai Nabi Parmalim.

Sisingamangaraja XII adalah salah satu wujud roh yang diyakini kesaktianya,

karena dialah yang “maningahon adat dohot uhum” (menyampaikan adat dan hukum) kepada keturunanya.

Saat ini di kota Medan panganut agama Malim jumlahnya relatif kecil., sekitar 600 orang. Mereka terus berjuang agar eksistensinya tidak hilang. Selama 65 tahun lamanya Indonesia merdeka dan sudah selama itu pula UUD menjamin kebebasan beragama, namun sampai sekarang Parmalim belum bisa menikmati kemerdekaan berkeyakinan.

(kutipan da tersingkir)

(16)

Menurut Irfan Simatupang dalam skripsinya yang berjudul: Kepercayaan

Orang Barus Terhadap Jenis Kematian yang Dijaga, menyatakan bahwa terdapat

1.298 jiwa penganut agama Malim yang berada di kecamatan Barus dan mempunyai tempat ibadah yang disebut dengan Parsantian (tidak termasuk dalam daerah penelitian Usman Pelly) . Masing-masing Parsantian terdapat di desa Ladang Tengah, desa Lobu Tua dan desa Potar (Simatupang, 1990.41). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa jumlah penganut agama Malim saat itu sekitar 6.298 jiwa dari ke-enam daerah penelitian.

Dalam buku Situmorang agama Malim didirikan oleh seorang tokoh sipiritual yaitu Guru Somalaing Pardede pada tahun 1890-an yang merupakan penasehat dan pembantu utama Sisingamangaraja XII dalam masa perlawanan penjajahan Belanda. Saat itu kepercayaan ini telah menjadikan Sisingamangaraja

XII sebagai tokoh sentral karena dianggap sebagai titisan Mulajadi Nabolon

(Situmorang 2004: 65-72).

Datang dan menetapnya suatu suku bangsa dengan membawa serta adat-istiadat, agama dan prinsip hidup yang berbeda, dapat mendatangkan masalah yang rasial atau kecemburuan yang semakin lama semakin nyata. Hal demikian bisa terjadi apabila suku pendatang tersebut memiliki keengganan untuk berbaur dengan penduduk setempat yang didatanginya.

(17)

sosial budaya yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan dengan corak kehidupan masyarakat setempat.

Berbeda halnya dengan Konghuchu yang dikenal sebagai agama etnis Tionghoa, salah satu agama “pendatang” di bumi nusantara, begitu mudah mendapat pengakuan sebagai agama di masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid dengan keputusan presiden (kepres) No. 6/2000, dan kini etnis Tionghoa bahkan dapat merayakan Imlek secara bebas dan terbuka. (kutipan dari

Saat ini Parmalim sebagai salah satu dari agama asli nusantara, justru termarginalisasi hanya diakui berdasarkan UU No 23 tahun 2006 tentang Undang-Undang Administrasi Kependudukan, telah diberikan kesempatan untuk dicatatkan sebagai warga negara Republik Indonesia melalui kantor catatan sipil, namun mereka tidak diberi pengakuan sebagai agama.

Berdasarkan latar belakang di atas dan pengamatan peneliti terhadap

Parmalim sebagai kelompok minoritas bagi penduduk kota Medan yang bersifat

heterogen, sudah didatangi oleh berbagai kelompok suku bangsa, serta saling mempengaruhi melalui interaksi antar suku bangsa yag berbeda. Sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim di Medan Dalam penelitian ini yang diutamakan adalah strategi adaptasi suku bangsa

(18)

penduduk setempat, karena bagaimanapun juga dengan adanya suku bangsa dengan latar belakang budaya yang berbeda dalam suatu daerah yang bersifat heterogen pasti akan terjadi percampuran atau pembauran dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka permasalahan yang diajukan adalah Stategi Adaptasi Penganut Agama Malim di kota Medan. Permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1 Bagaimana latar belakang kedatangan penganut agama Malim di kota Medan.

2 Bagaimana keberadaan penganut agama Malim di kota Medan

3 Bagaimana Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan.

4 Bagaimana aktifitas agama, sosial, budaya dan ekonomi penganut agama

Malim di kota Medan.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukanya penelitian adalah di kota Medan karena Medan sangat kompleks dengan berbagai macam organisasi etnis dan pluralisme budaya. Lebih tepatnya peneliti memfokuskan penelitian di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Alasan pemilihan tempat ini karena banyaknya terdapat penganut agama

Malim dan merupakan tempat berkumpul bersama muda-mudi Parmalim serta

(19)

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilakukanya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang kedatangan penganut agama Malim di kota Medan.

2. Untuk mengetahui keberadaan penganut agama Malim di kota Medan. 3. Untuk mengetahui Strategi Adaptasi Penganut Ugamo Malim dalam

mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan

4. Untuk mengetahui usaha dan aktifitas yang dilakukan penganut agama

Malim untuk mempertahankan Parmalim sebagai identitas pribadi di kota

Medan.

5. Untuk menjelaskan keberadaan penganut agama Malim sebagai penganut agama tradisional Batak Toba di kota Medan.

E. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan di atas, maka diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Memberi pengetahuan bagi peneliti dan pembaca tentang penganut agama

Malim.

2. Sebagai penambah wawasan pengetahuan tentang strategi adaptasi penganut Ugamo Malim di kota Medan.

(20)

4. Memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam membuat berbagai kebijakan yang terkait dengan penganut agama Malim. 5. Menambah wawasan berfikir generasi muda mengenai kebudayaan dan

agama suku bangsa Batak Toba yang menganut agama Malim.

F. Kajian Pustaka

Secara umum disebagian kota besar di Indonesia pertumbuhan penduduknya lebih banyak disebabkan migrasi dari pada pertumbuhan penduduk secara alami (kelahiran) kota menjadi salah satu contoh yang tepat untuk melihat berbagai kelompok suku bangsa, yang kemudian membentuk suatu pranata baru yang menjadi dasar hubungan sosial yang mereka lakukan, (Bruner 1980:161) hal ini dimungkinkan karena para kelompok suku bangsa pendatang saling brinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Menurut (Soemardjan 1981:20) bahwa kebudayaan suatu masyarakat pada pokoknya berfungsi menghubungkan manusia dengan alam sekitarnya dan dengan masyarakat di mana manusia itu menjadi warganya.

Penduduk kota Medan terdiri atas berbagai suku bangsa dengan pola budaya yang berbeda, salah satu dari berbagai suku bangsa tersebut adalah

Parmalim. Gerak migrasi yang dilakuka oleh Parmalim tentu memiliki latar

belakang yang mendorong mereka bersedia keluar dari daerahnya bersamaan dengan kesiapan untuk bertahan hidup di kota Medan yang sejak akhir abad ke-19 telah menjadi kota moderen dan mengalami banyak perubahan.

(21)

melakukan perpindahan, suku bangsa pendatang akan turut membawa adat-istiadat, norma, agama dan berbagai bentuk organisasi sosial ke dalam lingkungan sosial budaya setempat. Budaya setempat ini bisa merupakan sesuatu yang baru bagi suku bangsa pendatang. Ditempat tujuan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari daerah asal akan mengalami perubahan termasuk orientasi terhadap kampung halaman. (Naim, 1984:73)

Menurut (Koenjaraningrat 1986:248) migrasi menyebabkan paham-paham kelompok manusia dan kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu dalam kelompok dihubungkan dengan unsur kebudayaan lain. Lebih lanjut (Cohen 1985:2) menyatakan apabila kelompok suku bangsa memasuki daerah yang masih baru baginya, dimana kebudayaan itu terpisah secara fisik dengan kebudayaan asalnya akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan sosial-budaya dan secara fisik di tempat yang baru didatanginya.

Menurut (Suharsono 1977:48) di dalam kebudayaan itu manusia memeliki seperangkat pengetahuan yang dipakai untuk memahami serta menginterpretasikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Manusia juga mempunyai pengetahuan kebudayaan yang dipakai sehubungan dalam menghadapi kebudayaan suku bangsa asal setempat. Pengetahuan itu tentunya sangat banyak mendukung terhadap proses adaptasi.

(22)

sebagai hasil interaksi antara nature (internal) dan nurture (external) yang melahirkan potensi diri masing-masing individu berupa sikap,tingkah laku dan budaya dan lain-lain yang lebih berpengaruh terhadap dirinya, melalui tiga proses strategi adaptasi yaitu: Pertama, mengubah sikap dan perilaku diri sendiri / dipengaruhi agar sesuai dengan lingkungannya disebut Alloplastis. Ke dua, mengadakan perubahan pada diri sendiri dan pada lingkungan yang dalam kemampuan dan kekuatannya. (geneplastis) saling mempengaruhi. Ke tiga dengan mengubah lingkungan sosial sesuai dengan yang diharapkan / mempengaruhi lingkungan, sepanjang hal tersebut memungkinkan (Autoplastis) (Ebner dan Ebner 1987:28).

Proses adaptasi suatu suku bangsa sehingga dapat diterima oleh lingkungan yang baru, akan memakan waktu yang cukup lama sehingga dapat hidup dengan serasi dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Adaptasi adalah suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar manusia agar tetap dapat melangkahkan kehidupan dalam lingkungan tempat hidupnya. Syarat-syarat dasar tersebut meliputi syarat dasar alamiah (biologis), syarat dasar kejiwaan dan syarat dasar sosial (Parsudi Suparlan 1980:6)

Bagi suku bangsa pendatang pola budaya kelompok yang dimasukinya bukanlah suatu tempat yang sudah biasa baginya sehingga sangat diperlukan suatu pemahaman lebih lanjut melalui proses adaptasi terhadap daerah yang baru baginya. Karena daerah yang didatangi penuh dengan situasi-situasi problematik yang angat sulit dikuasainya.

(23)

Untuk dapat bertahan maka kelompok pendatang segera berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat setempat yang telah memiliki budaya masing-masing. (Soejono 1990:67) menyatakan: “interaksi adalah kunci dari semua

kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan ada kehidupan

bersama”. Sehingga perantau harus menyesuaikan diri kepada budaya masyarakat

daerah rantau dan kepada masyarakat budaya penerima yang dijumpainya.

Penyesuaiaan diri perantau melalui penyesuaian budaya yang telah dibawanya dari daerah asal dengan budaya daerah yang dijumpainya cenderung mengarah kepada bentuk asimilasi budaya yang mungkin saja berlangsung tanpa batas Akan tetapi interaksi tidak saja cukup untuk kelompok masyarakat pendatang bertahan dan beradaptasi, oleh sebab itu strategi adaptasi lain tentu digunakan kaum pendatang untuk segera berbaur dengan masyarakat setempat, seperti perkawinan campur yang kemungkinan dilakukan oleh Parmalim dengan penduduk setempat. (Soerjono 1982) perkawinan merupakan salah satu bentuk proses asimilasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pendatang agar segera dapat diterima.

Dalam menjalankan ajaranya, salah satu buku yang dimliki Ugamo Malim yaitu Pustaha Batak, dimana pustaha ini berarti segala patik, poda , tona dan

uhum, tetapi pustaha ini tidak bisa dimiliki oleh seluruh umat Parmalim, hanya

orang-orang tertentu yang boleh memiliki pustaha ini yang dianggap bisa memahami isi dari pustaha tersebut. Sehingga inti dari ajaran Ugamo Malim adalah: “Tona Marisi Poda, Poda Mardasarhon Patik” artinya: “ Pesan Berisi Nasihat, Nasihat Berdasarkan Hukum atau Aturan” segala patik dalam agama

(24)

parpunguan Mararisabtu selalu diucapkan sehingga seluruh umat Parmalim sudah menghafalnya dan tinggal pelaksanaan di dalam kehidupan sehari-hari (dikutip dari skripsi Tety Irawati Nadapdap 2009).

Menurut hasil penelitian (Irfan, 1990:56) di desa Uratan sebagai salah satu desa dari kecamatan Barus yang jumlah penduduknya sekitar 1.068 jiwa termasuk

Parmalim pada tahun 1988. di desa Uratan tersebut tidak ada penduduk yang

mengaku sebagai penganut Ugamo Malim dan tidak ada penduduk yang pergi ke

Parsantian (tempat peribadatan Ugamo Malim) untuk beribadat. Namun ketika

diadakan sensus penduduk, mereka menyebut sebagai pemeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Karena walaupun mereka telah keluar dari kelompok gereja, mereka bisa masuk kembali setelah lebih kurang satu tahun kemudian setelah mereka mengaku telah bertobat. Derkirakan di desa ini banyak penduduk yang tidak menganut salah satu agama dari ke lima agama yang diakui berdasarkan Undang Undang. Hal ini diakui karena di desa tersebut masih banyak penduduk yang menggunakan Upacara Margondang (biasanya ilakukan oleh penganut

Ugamo Malim) untuk memanggil atau memuja leluhur mereka. Upacara

Margondang tidak diijinkan oleh Huria (gereja) jadi jika ada diantara penduduk

yang margondang secara otomatis mereka keluar dari Huria (anggota gereja).

(25)

permukaaan, mereka berbahasa Melayu, menanggalkan marganya, serta mengaku diri sebagai orang Melayu (Pelly 1998:53).

Di kota Medan, agama berperan penting dalam mengekspresikan identitas mereka sebagai kelompok masyarakat. Hal ini dilakuka untuk pengkususan diri mereka dengan masyarakat lainya. Akan tetapi di kota Medan tidak ada komunitas yang diidentikkan dengan agama maupun dengan kampung halaman mereka, seperti kampung Keling yang saat ini telah berganti nama menjdi kampung Madras. Kebanyakan para perantau mendirikan asosiasi etnik dan kedaerahan di kota, sering dengan memakai nama desa di kampung halaman masing-masing, tujuan utamanya adalah sebagai penyangga antara perantau baru yang masih kebingungan dengan lingkungan kota yang tidak bersahabat.

Di Medan begitu banyak asosiasi yang bersifat kedaerahan maupun agama yang didirikan oleh etnis pendatang (Pelly 1998:42) sebagai wahana untuk mengekspresikan identitas suku bangsa mereka. Asosiasi ini dibentuk untuk menjaga dan mempertahankan budaya yang mereka miliki walau telah berbaur dengan budaya masyarakat setempat..

Bruner dalam (Koentjaranigrat 1990:6) menyatakan bahwa: “Di daerah

pedesaan sikap patuh pada adat-istiadat dijaga sangat ketat, namun di kota sikap

tersebut sangat berkurang”. Dalam kasus suku bangsa Batak Toba di Medan,

(26)

dominan, seperti halnya kota Medan, suku bangsa Batak Toba mengorientasikan diri kepada kebudayaanya sendiri dan mengintensipkan adat-istiadat tradisionalnya.

(Soemardjan 1988) menjelaskan bahwa mausia dalam melakukan migrasi mempunyai beberapa alasan tertentu yang pada dasarnya tidak akan terlepas dari alasan eknomi. Alasan ekonomi dapat dikategorikan sebagai alasan utama manusia dalam melakukan suatu migrasi, untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari daerah asalnya.

Hubungan budaya para imigran dan adaptasi terhadap penduduk setempat akan mempengaruhi bagaimana masyarakat pendatang berkembang dan dapat berperan dalam kemajuan kota tempat tinggalnya. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa masyarakat pendatang menyadari bahwa penduduk setempat tidak begitu saja megijinkan masyarakat pendatang ikut menikmati sumber daya dan berperan serta dalam pemerinntahanya (Pelly 1998:3) sebab biasanya masyarakat pendatang tidak begitu saja melepaskan hubunganya dengan daerah asal, tetapi hubungan tersebut akan terus terjalin, sehingga jiwa naionalisme mereka terkadang diragukan.

Ditempat yang baru suku bangsa pendatang di dalam proses adaptasi akan sampai kepada tiga pilihan: pertama adalah, apakah pola-pola sosial budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya akan dipertahankan, dan yang kedua adalah apakah pendatang baru itu akan mengadaptasikan dirinya dengan pola-pola sosial budaya setempat dan ke tiga apakah pendatang akan merubah pola-pola sosial budaya yang dibawanya di daerah tujuan migrasi.

(27)

untuk memperoleh keseimbangan yang positif dengan kondisi pemikiran yang baru (Pelly 1983:107) Hal strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

usaha-usaha dari manusia yang sudah direncanakanya untuk memecahkan

masalah-masalah yang dihadapi di lingkungan agar mereka tetap bisa mempertahankan

agamanya, dalam hal ini pengaut Ugamo Malim di kota Medan.

G. Metode Penelitian

1. Populkasi dan Sampel

Polulasi dari penelitian ini adalah penganut agama Malim / Parmalim, yang tinggal di daerah kota Medan. Mengingat kemampuan peneliti yang terbatas baik dana maupun waktu, penulis akan mengambil sampel pada sebuah kelurahan yaitu kelurahan Binjai terdapat di kecamatan Medan Denai.

Kriteria pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pengamatan peneliti masih terdapatnya penganut agama Malim yang masih tetap mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan. Hai ini dapat terlihat dengan adanya aktifitas keagamaan (parpunguan) yang masih tetap dijalankan pada setiap hari Sabtu (mararisabtu) dan upacara keagamaan lainya.

(28)

2. Tipe dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memaparkan gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dengan mengkaji strategi adaptasi yang diterapkan oleh suku bangsa Batak Toba yang menganut Ugamo Malim atau Parmalim di kota Medan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian, berupa data primer dan data sekunder. Data apapun yang hendak dikumpulkan dalam suatu penelitian, akan diperoleh melalui metode-metode tertentu, pada sumber-sumber tertentu dan dengan menggunakan alat atau instrumen tertentu, yang dipilih berdasarkan pada berbagai faktor tertentu jenis data dan ciri informasi yang didapat maka metode yang digunakan tidak selalu sama untuk setiap informa, (Faisal 1989:51) jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Untuk mendapat data tersebut peneliti menggunakan teknik pengumpul data melalui:

a. Field research (penelitia lapangan) untuk data primer

Yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan di lapangan dalam hal ini pengumpulan data yang ada di kota Medan yang berpusat di Kelurahan Binjai-Kecamata Medan Denai.

Adapun teknik pengumpulan datanya dengan cara:

(29)

Yaitu peneliti turun langsung kelapangan melakukan pengamatan terhadap bagaimana strategi adaptasi penganut Ugama Malim untuk mempertahankan eksistensi agamanya, bagaimana menjalankan ibadah keagamanya, bagaimana kehidupan sosial-budaya dan ekonomi Parmalim di kota Medan.

Wawancara mendalam

Bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dari proses tanya-jawab langsung. Untuk melengkapi wawancara ini maka digunakan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya disebut dengan pedoman wawancara (intervieu guide)

b. Library research (telaah kepustakaan) untuk data sekunder

Yaitu cara memperoleh data yang di peroleh melalui studi keputakaan. Dalam penelitian ini kajian pustaka dilakukan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis, asas-asas, konsepsi, jurnal, tulisan dan catatan lainya yang berhubungan dengan topik penelitian.

4. Penentuan Informan

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak Toba yang menganut Ugamo Malim atau Parmalim dan masyarakat yang dapat memberikan informasi terkait dengan masalah yang diketahui. Peneliti membagi dua tipe informan yaitu informan kunci dan informan biasa.

1. informan kunci

(30)

2. informan biasa

Merupakan orang-orang yang dapat memberikan informasi yang terkait dengan masalah yang diteliti untuk melengkapi data yang sudah ada. Informan biasa dimaksud adalah orang-orang yang terlibat dan mengetahui tentang kegiatan

Ugamo Malim.

5. Teknis Analisis Data

Setelah penelitian lapangan selesai dikerjakan, keseluruhan data yang di pilih dikumpulkan terlebih dahulu untuk diperiksa kembali, untuk mengetahui apakah semua data yang diperlukan sudah memadai dan telah lengkap dan jelas. Setiap informasi yang didapat, direkam dalam bentuk catatan lapangan, baik itu data utama berupa hasil wawancara maupun dari data penunjang lainya. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan analisa data dan interpretasi data dengan mengacu pada data tinjauan pustaka.

(31)

BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1. Gambaran Umum Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang asa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional asional.

2.2. Kota Medan Secara Geografis

(32)

administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefisitan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan

administrative ini, kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan

secara sosial - ekonomis akibat penanaman modal (investasi).

(33)

Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor - impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat kota Medan saat ini.

2.3. Kota Medan Secara Demografis

(34)

perubahan social ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

(35)

2.4. Kota Medan Secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai–nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.

Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.

2.5. Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .

(36)

dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat .

2.6. Kecamatan Medan Denai

Kecamatan Medan Denai terletak di wilayah Tenggara Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Kota dan Kecamatan Medan Area. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Amplas. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tembung. Dengan luas wilayah kecamatan Medan Denai 11,19 KM²

(37)

2.7. Potensi Wilayah

2.7.2. Data Umum

Kecamatan Medan Denai sebagai sebuah kecamatan bagian dari kota Medan dengan luas wilayah 9.827 km2. Dengan luas wilayah yang demikian kecamatan Medan Denai dihuni 144.768 jiwa penduduk pada tahun 2008. Jumlah penduduk yang demikian terbagi dalam enam kelurahan dan 82 lingkungan. Salah satunya adalah kelurahan Binjai dengan luas wilayah 414 Ha terbagi dalam 13 lingkungan dengan total jumlah penduduk 47.344 jiwa. Masing-masing lingkungan dalam kecamatan Medan Denai dihubungkan dengan jalan aspal sepanjang 93.95 Km. Data umum kecamatan Medan Denai dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.7.1 : Data Umum Kecamatan Medan Denai

No Data Umum Keterangan

1 Luas 9.827 km²

2 Jumlah Kelurahan 6 kelurahan 3 Jumlah Penduduk 144.768 jiwa 4 Panjang Jalan Aspal 93,95 km 5 Jumlah Lingkungan 82 Lingkungan

Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.7.2. Pelayanan Umum

(38)

tersebut merupakan suatu keharusan bagi masyarakat. Di mana semakin banyaknya pelayanan umum yang diberikan pemerintah kepada warganya menunjukkan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang maju dan tergolong makmur penduduknya.

Adapun berbagai pelayanan yang diberikan adalah berupa air bersih. Jika dilihat dari persentasenya adalah sebesar 66,19% yang dapat digunakan penduduk untuk keperluan minum, cuci, mandi dan sebagainya.

Untuk keperluan listrik pemerintah memberikan pelayanan sebesar 91,50%. Pelayanan listrik yang demikian maksimal sangat membantu penduduk dalam melakukan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan penggunaan barang-barang elektronik. Untuk mempermudah masyarakat dalam melakukan hubungan jarak jauh pemerintah menyediakan telepon umum dengan penyediaan keperluan sebesar 33,50%.

(39)

Tabel 2.7.2 : Pelayanan Umum Kecamatan Medan Denai

No Jenis Pelayanan Keterangan

1 Air Bersih 66,29%

2 Listrik 91,50%

3 Telepon 33,50%

4 Gas 24,60%

5 Lapangan Olahraga 10 persil 6 Rumah Ibadah 133 unit

7 Rumah Sakit 1 unit

8 Puskesmas 4 unit

Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.7.4. Pendidikan

(40)

Tabel 2.7.3 : Sarana Pendidikan Kecamatan Medan Denai

No Jenis Pendidikan Keterangan

1 SD / Sederajat 44 unit 2 SLTP / Sederajat 15 unit 3 SMU / Sederajat 16 unit

4 Akademi 3 unit

5 Universitas -

Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.8. Kelurahan Binjai

2.8.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan

(41)

Tabel 2.8.1 : Luas Wilayah Menurut Penggunaan

No Penggunaan Luas

1 Luas Pemukiman 300 Ha 2 Luas Persawahan 0,20 Ha 3 Luas Kuburan 0,07 Ha 4 Luas Pekarangan 0,60 Ha 5 Luas Taman 0,05 Ha 6 Luas Daerah perkantoran 0,30 Ha 7 Luas Prasarana umum lainnya 0,02 Ha

Total luas wilayah 414 Ha

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

(42)

2.8.5. Potensi Sumber Daya Manusia

Pada tabel berikut ini dapat diketahui bahwa keluraham Binjai Kecamatan Medan Denai merupakan penduduk yang sangat sadar akan pentingnya pendidikan dengan terdapatnya jumlah tamatan SMA / sederajat sebanyak 3984 orang laki-laki dan 4244 orang perempuan. Selain penduduk tamatan SMA tedapat juga penduduk yang sudah menempug perguruan tinggi dengan jumlah penduduk yangsudah memperoleh gelas S-1 / sederajat sebnyak 866 orang laki-laki dan 622 orang perempuan. Terdapat juga penduduk yang sudah memperoleh gelar S-2 / sederajat, jumlah laki-laki sebanyak 145 orang dan 131 orang perempuan dan tamatan S-3 / sederajat, laki-laki sebanyak 22 orang dan 13 orang perempuan.

Berdasarkan data yang diperoleh tersebut umlah penduduk tamatan SMA / sederajat berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki , dengan selisih perbandingan sebanyak 260 orang perempuan. Sementara hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan data yang terlihat di atas jumlah penduduk laki-laki yang melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi lebih banyak dari jumlah perempuan.

Tabel 2.8.2 : Potensi Sumber Daya Manusia

No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan

(43)

5 Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah 430 Orang 702 Orang 6 Usia 18-56 tahun pernah SD tetapi tidak tamat 907 Orang 710 Orang 7 Tamat SD / sederajat 2030 Orang 2064 Orang 8 Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTA 1747 Orang 1809 Orang 9 Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 1073 Orang 1356 Orang 10 Tamat SMP / sederajat 1747 Orang 1809 Orang 11 Tamat SMA / sederajat 3984 Orang 4244 Orang 12 Tamat D-I / sederajat 318 Orang 192 Orang 13 Tamat D-II / sederajat 105 Orang 101 Orang 14 Tamat D-III / sederajat 181 Orang 202 Orang 15 Tamat S-1 / sederajat 866 Orang 662 Orang 16 Tamat S-2 / sederajat 145 Orang 131 Orang 17 Tamat S-3 / sederajat 22 Orang 13 Orang

18 Tamat SLB A 3 Orang 4 Orang

19 Tamat SLB B 1 Orang 1 Orang

20 Tamat SLB C 1 Orang 1 Orang

J u m l a h 17686 Orang 18461 Orang

J u m l a h T o t a l 36147 Orang

(44)

2.8.6. Mata Pencaharian Pokok

Berdasarkan data pada tabel dibawah ini jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan masyarakat adalah karyawan perusahaan swasta dengan rincian laki-laki sebanyak 1353 orang dan perempuan sebanyak 756 orang, diikuti dengan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil 625 orang laki-laki dan perempuan 442 orang dan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pengusaha kecil dan menengah sebanyak 598 orang laki-laki dan 292 orang perempuan. Dengan melihat uraian data penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian pokok dapat diperoleh gambaran bahwa penduduk kelurahan Binjai kecamatan Medan Denai adalah penduduk yang sudah tersepeialisasi berdasarkan keahlian masing-masing yang diperoleh dalam memperoleh jenis pekerjaan yang diminati

Tabel 2.8.3 : Mata Pencaharian Pokok

(45)

16 Pengacara 3 Orang -

17 Notaris 1 Orang 1 Orang

18 Dukun Kampung Terlatih 2 Orang 3 Orang 19 Jasa Pengobatan Alternatif 7 Orang 6 Orang 20 Dosen Swasta 34 Orang 23 Orang

21 Arsitektur 3 Orang -

22 Senima/Artis 3 Orang -

23 Karyawan Perusahaan Swasta 1353 Orang 756 Orang 24 Karyawan Perusahaan Pemerintah 214 Orang 86 Orang

25 Pendeta 4 Orang - Orang

26 Buruh Kasar 46 Orang 14 Orang 27 Wiraswasta 302 Orang 1471 Orang 28 Jasa dan lain-lain 728 Orang 618 Orang

J u m l a h T o t a l P e n d u d u k 8 5 1 0 O r a n g

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

2.8.7. Berdasarkan Etnis

Bedasarkan pada tabel pengelompokan penduduk menurut etnis dapat dilihat data yang menunjukkan jumlah penduduk terbanyak adalah etnis Batak, yang berjumlah laki-laki sebanyak 9657 orang dan perempuan sebanyak 10616 orang. Dan etnis terbanyak peringkat kedua adalah etnis jawa sebanyak 5028 orang laki-laki dan permpuan 5282 orang. Dari data dapat pula dilihat hampir setiap jumlah perbandingan penduduk berdasarkan jenis kelamin, dimana jumlah penduduk perempuan cenderung lebih banyak dari jumlah perempuan.

(46)

maka sangatlah tepat mengkaji strategi adaptasi penganut agama Malim dalam mempertahankan eksistensi agama yang mereka miliki yaitu agama Malim khususnya di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai dan di kota Medan secara umum.

Tabel 2.8.4 : Penduduk Berdasarkan Etnis

No Etnis Laki-laki Perempuan

1 Aceh 405 Orang 472 Orang 2 Batak 9657 Orang 10616 Orang 3 Nias 509 Orang 502 Orang 4 Melayu 1487 Orang 1636 Orang 5 Minang 4778 Orang 5601 Orang 6 Betawi 58 Orang 67 Orang 7 Sunda 175 Orang 243 Orang 8 Jawa 5028 Orang 5284 Orang 9 Madura 31 Orang 42 Orang

10 Bali 3 Orang 3 Orang

11 Banjar 329 Orang 337 Orang 12 Bugis 11 Orang 17 Orang 13 Makasar 14 Orang 21 Orang 14 Ambon 2 Orang 2 Orang 15 Flores 4 Orang 7 Orang

16 Cina 2 Orang 3 Orang

(47)

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

2.8.5. Berdasarkan Agama

Sebagai negara yang besar Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat yang majemuk. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang jelas dan dapat membedakan diantara mereka (masyarakat Indonesia) salah satu dari kemajemukan yang dimiliki Bangsa Indonesia adalah kemajemukan dibidang agama.

Di Indonesia ada lima agama yang diakui oleh negara yaitu: agama Islam sebagai agama yang terbanyak penganutnya, agama Kristen, agama Katolik, agama Hindu, dan agama Budha, serta ditambah dengan agama Konghuchu yang belakangan ini diakui dan diahkan keberadaanya di Indonesia sebagai agama.

Keenam agama tesebut adalah agama “pendatang” di bumi nusantara Indonesia selain dari agama pendatang trersebut, Bangsa Indonesia sudah sejak dulu kala telah mempunyai agama tradisional yang lahir dari ibu pertiwi bangsa Indonesia salah satrunya adalah agama Malim yang dimiliki oleh suku bangsa Batak Toba yang berpusat di kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasamosir. Agama

Malim tersebut masih tetap dipertahankan oleh pengikutnya yang disebut Parmalim

secara turun-temurun hingga saat ini.

(48)

Demiklian juga dengan agama Malim sebagai agama yang minoritas tetap bisa berdampingan dengan agama mayoritas dan telah diakui keberadaanya oleh negara.

Kondisi diatas juga terlihat di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai, dimana perbedaan dalam hal beragama bukanlah sebagai alat untuk membeda-bedakan warganya melainkan dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya budaya bangsa.

Tabel 2.8.5 : Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Laki-laki Perempuan

1 Islam 14031 Orang 14621 Orang 2 Kristen 6452 Orang 7825 Orang 3 Katolik 856 Orang 954 Orang

4 Hindu 26 Orang 37 Orang

5 Budha - -

6 Konghuchu - -

7 Kepercayaan Kepada Tuhan YME 4 Orang 4 Orang 8 Ajaran Kepercayaan lainnya 3 Orang 4 Orang

J u m l a h 21372 Orang 23445 Orang

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

(49)

agama Konghuchu tidak mempunyai penganut walaupun agama ini merupakan agama resmi yang keberadaanya telah diakui oleh negara.

Akan tetapi selain dari adanya ke enam agama tersebut di kelurahan Binjai terdapat juga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan jumlah penganut laki-laki 4 orang dan perempuan 4 orang dengan total penganut 8 orang. Dan terdapat juga Aliran Kepercayaan Lainya dengan jumlah penganut laki-laki 3 orang dan perempuan 4 orang dengan total jumlah penganut 7 orang.

Ahmad Efendi seorang staff kelurahan menyatakan bahwa: jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemeluk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Aliran Kepercayaan yang berjumlah 15 orang adalah penganut agama Malim. Lebih lanjut Ahmad Efendi menjelaskan perbedaan pilihan yang dilakukan oleh penganut agama Malim terhadap dua jenis kepercayaan tersebut adalah atas keinginan mereka untuk dicantumkan status keagamaan yang dianut pada kolom agama KTP. Berdasarkan informasi yang di peroleh peneliti dai pihak kelurahan bahwa agama tradisional yang ada di kelurahan Binjai kecamatan Medan Denai hanyalah agama Malim.

Adapun alasan pemilihan penganut agama Malim untuk memilih mencantumkan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esapada kolom agama KTP, menurut Supano seorang staff kelurahan Binjai yang menangani kepengurusan KTP menyatakan:

(50)

Lebih lanjut Supano menjelaskan:

(51)

BAB. III. KEBERADAAN PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA

MEDAN

Keberadaan penganut agama Malim, tentu tidak dapat dipisahkan dari ajaran dan sumber hukum yang dijalankan di kota Medan. Menurut ulupunguan

Parmalim sekota Medan (amang Simanjuntak) jumlah Parmalim saat ini kurang

lebih 40 kk jika diasumsikan 1 kk terdiri dari 4 orang maka jumlah Parmalim sekota Medan sebanyak 160 jiwa. Menurut penganut agama Malim ajaran agama

Malim tersebut berasal dari Debata Mulajadi Nabolon dan sebagian lagi berasal

dari para Malim Debata. Semua ajaran agama yang diperoleh dibagi menjadi empat jenis yaitu: tona (pesan), poda (sabda), patik (peraturan) dan uhum (hukum). Sebagian ajaran itu tercantum dalam pustaha habanaron yaitu semacam kitab suci atau kumpulan peraturan-peraturan yang isinya mengatur hubungan antara manusia dengan Debata dan hubungan manusia dengan sesamanya.

Sejak zaman dahulu istilah ugamo atau agama telah dikenal dalam bahasa Batak. Istilah tersebut bukanlah yang baru muncul di kalangan orang Batak. Menurut istilah agama Malim, ugamo atau agama adalah jalan perjumpaan antara manusia dengan Debata melalui sesaji yang bersih dan suci (dalam perdomuan ni

hajolmaon tu Debata marhite pelean na ias) orang yang masuk dalam agama

Malim disebut parugamo Malim (pengikut ugamo Malim) yang sering disingkat

dengan parmalim (penganut agama Malim). Dengan demikian Parmalim berarti orang-orang yang menuruti ajaran Malim atau kehidupan Malim yang diwujudkan dengan pengumpulan ramuan benda-benda pelean (sesaji) berdasarkan pada ajaran

(52)

3.1. Peresmian Agama Malim

Beberapa ratus tahun sebelum agama Islam dan Kristen datang ke Tanah Batak dan sebelum agama Malim resmi ada, kepercayaan dan ajaran keagamaan

Malim, dibawa oleh suruhan atau utusan Debata Mulajadi Nabolon. Suruhan

Debata yang membawa ajaran keagaman itu dinamakan malim Debata.

Ada empat orang yang tercatat sebagai malim yang diutus Debata khusus kepada suku bangsa Batak, yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, da Raja Nasiakbagi. Empat orang Malim. Debata ini diyakini sebagai manusia terpilih dari tengah-tengah suku bangsa Batak. Mereka diutus untuk membawa berita keagamaan kepada suku bangsa Batak secara bertahap selama kurun waktu lebih kurang 400 tahun (Gultom, 2010:92).

Akan tetapi pada masa Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja, ajaran keagamaan itu belum dibungkus dalam sebutan nama agama. Atau lain perkataan bahwa ajaran itu belum resmi menjadi sebuah agama. Ia hanya sebuah bentuk kepercayaan yang di dalamnya ada amalan-amalan (ritual) sebagai sarana tali penghubung antara manusia dengan Debata dan supranatural lainnya. Semua mereka yang tercatat sebagai Malim Debata itu disebut sebagai orang yang memiliki harajaon malim (kerajaan malim) di Banua Tonga (bumi) ini. Kerajaan

malim yang mereka pegang itu diyakini dalam agama Malim berasal dari Debata

Mulajadi Nabolon.

(53)

Di samping itu suku Batak ketika itu mengalami guncangan kepercayaan kepada

Debata Mulajadi Nabolon dengan mengubah kepercayaannya kepada sipalebegu

(menyembah ruh-ruh) atau boleh juga disebut berpaham animisme. Di kala itulah dia muncul sebagai Malim Debata dengan tujuan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan mengembalkan kepercayaan untuk menyembah kepada Debata

Mulajadi Nabolon. Dialah yang pertema membentuk ajran “marsuhi ni ampang na

opat” (ampang yang bersegi empat atau SUSANO) yang terdiri dari tona, poda,

patik, dan uhum yang diyakini ajaran itu telah ada di Banua Ginjang sebelum

diturunkan ke bumi ini. Pendek kata, kehadiran dari Raja Uti di tengah-tengah masyarakat Batak membawa misi untuk mengembalikan suku bangsa Batak supaya berketuhanan sekaligus memberikan pedoman hidp kepada masyarakat Batak.

(54)

Sisingamangaraja untuk membina suku bangsa Batak melalui kuasa yang dimilikinya dengan maksud agar umatnya tetap berketuhanan kepada Debata

Mulajadi Nabalon.

Kehadiran Sisingamangaraja beberapa puluh tahun setelah Simarimbulubosi, tugasnya adalah mengisbatkan adat, patik, dan uhum (hukum) bagi bangsa Batak sebagai panduan hidup dalam bermasyarakat. Perlu dicatat bahw secara fisik yang bernama Sisingamangaraja berjumlah dua belas orang sehingga untuk penyebutannya dinamakan Sisingamangaraja I hingga XII. Akan tetapi menurut kepercayaan agama Malim bahwa ruh Sisingamangaraja itu hanya satu, karena ruh ada pada diri mereka adalah titisan atau pancaran ruh dari Debata

Mulajadi Nabolon.

Pada masa Sisingamangaraja XII, penjajah Belanda mulai datang di Tanah Batak. Peperangan berlangsung selama 30 tahun yang disebut dengan perang Batak. Dalam suatu penyerbuan ke tempat persembunyiannya. Sisingamangaraja XII ditembak mati oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Christoffel. Pihak Belanda mengumumkan bahwa Sisingamangaraja XII telah gugur pada 21 Juni 1907. Akan tetapi, menurut kepercayaan agama Malim Sisingamangaraja XII itu bukanlah mati, karena beberapa lama setelah peristiwa penembakan itu, tiba-tiba muncul yang bernama Raja Nasiakbagi yang tersebar di seluruh tanah Batak. Belakangan dipercayai bahwa yang bernama Raja Nasiakbagi itulah sebenarnya Sisingamangaraja yang diyakini sudah berubah nama.

(55)

kehadiran sosok yang bernama Raja Nasiakbagi tidak begitu banyak orang yang mengenalnya, kecuali hanya murid-muridnya. Dia tidak lagi memegang pucuk kekuasaaan kerajaan, melainkan hanya memfokuskan diri kepada pembinaan rohani umatnya yaitu mengajarkan hamalimon (keagamaan). Pada suatu ketika, Raja Nasiakbagi memberikan arahan kepada murid-muridnya. Dalam pertemuan itu dia berkata: “malim ma hamu” (malimlah kalian). Maksudnya, “Sucilah kamu

atau senantiasalah suci dalam keagamaan”. Dengan adanya pengarahan ini, maka

sejak itu pulalah ajaran yang dibawanya resmi dan populer disebut agama Malim. Momen pendeklarasian agama ini sesungguhnya bukan saja bermaksud untuk memantapkan keimanan para pengikutnya, tetapi sekaligus menunjukkan kepada dunia luar terutama kepada agama pendatang bahwa kepercayaan dan ajaran yang diwariskan nenek moyang mereka masih tetap eksis. Seperti dimaklumi pada masa itu, kegiatan kristenisasi sudah semakin gencar dan meluas di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa itu ada kekhawatiran bagi pengikut agama Malim bahwa kehadiran agama Kristen di tanah Batak suatu ketika akan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup agama Malim pada masa yang akan datang.

(56)

sebagai penyambung lidah Raja Nasiakbagi dalam mengembangkan agama Malim. Sebelum Raja Mulia Naipospos wafat beliau telah mewariskan tugasnya kepada putranya dan demikian seterusnya berlangsung kepada keturunanya sampai sekarang. Saat ini pimpinan Parmalim adalah Raja Marnangkok Naipospos yang di patuhi dan dihormati oleh seluruh penganut agama Malim (Gultom, 2010:95).

3.2. Kondisi Kota Medan Sebelum Kedatangan Penganut Agama Malim

Sejarah perkembangan kota Medan tidak dapat dipisahkan dari perkebunan-perkebunan di sumatera timur pada abad ke -19. pada masa itu, Said Abdullah Bilsagih, yang menjadi ipar dari Sultan Mahmud Perkasa Alamsyah mengajak beberapa pedagang tembakau di Jawa untuk menanam tembakau di tanah Deli, sehingga beberapa pedagang tembakau dari tanah Jawa seperti: Jacobus Nienhuys, Van Der Falk dan Elliot datang kekuala Deli pada tanggal 7 Juli 1863 untuk melakukan ekspedisi dengan menggunakan kapal JOSEPHINE dari Firma Van

Leeuwen en Mainz dan Coperation. Pembiayaan ekpedisi ini ditanggung oleh suatu

asosiasi di Roterdam yang dipimpin oleh P. Van Den Arend yang tujuan utamanya

pada waktu itu adalah untuk menyelidiki adanya kemungkinan serta prospek lain mengenai penanaman tembakau di Deli, sebagai tindak lanjut atas informasi dari Abdullah Bilsagih (Sinar, 1991:42)

(57)

lalu pada tahun 1867 konsesi tanah menjadi 99 tahhun. Maka dimulailah babakan baru sejarah moderen kota Medan seiring dengan kemajua perkebunan tembakau (Pelzer, 1985:85)

Sebelumnya Medan hanyalah sebuah hutan yang ditemukan oleh Guru Patimpus yang dalam bukti sejarah tercatat pada tanggal 1 Juli 1590. dimana yang disebut dengan Medan adalah wilayah yang dialiri oleh dua sungai, yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura (Meuraxa, 1975:45)

Sejak pemberian konsesi tanah secara luas oleh sultan Deli Mahmud Perkasa Alamsyah kepada Jacobus Nienhuys mempercepat pertumbuhan kota Medan di Sumatera bagian timur yang kemudian disebut dengan Parijs Van

Sumatera, sebab tiap sudut kota dapat merasakan suasana kota paris dengan

arsitektur bangunan dan tata ruang kotanya. Hal ini mendorong mengalirnya pendatang-pendatang dari berbagai bagian daerah di Indonesia (Pemko Medan, 1999:2)

Cepatnya pertumbuhan penduduk berakibat dari dibukanya pekebunan-perkebunan, kemudian Medan diluaskan wilayah batas kotanya dengan memasukkan tanah perkebunan atas ijin sultan Deli. Pada tahun 1886, Medan secara resmi diberikan status kota Praja (negara rijraad) oleh pemerintah pusat Berbagai perusahaan perkebunan telah mendirikan kantor di kota, dan usaha-usaha mulai berkembang, misalnya perdagangan, transportasi juga mulai berkembang, (Pelly, 1998:77)

(58)

Medan berkembang dengan sangat cepat Belanda memberikan status pemerintahan otonom untuk kota Medan pada april 1909. walikota pertama ditunju7k sembilan tahun kemudian pada 1 April 1918 (Meuraxa, 1975:90) sejak saat itu perkembangan kota Medan berrada di tamgan pemerintah kota Praja yang membangun jalan-jalan baru, bangunan gedung, jembatan rumah sakit, pipa air minum, klinik dan listrik. Untuk menampung perluasan kota, Sultan Makmun Al Rasyid memindahkan sebagian tanahnya yang luas menjadi tanah kota pada tahun 1918. semua perkembangan ini dilakukan un+tuk membuat Medan menjadi ibukota yang setimpal bagi sumatera Timur yang bakal menjadi ibukota Sumatera Utara (langenberg, 1977:45).

Oleh sebab itu sejak akhir abad ke -19 sampai abad 20 kota medan sangat banyak didatangi oleh kelompok pendatang termasuk Penganut agama Malim yang mencoba mengadu nasip di kota Medan. Dengan melihat perkembangan kota Medan yang sangat pesat dan sangat menjanjikan perubahan hidup masyarakat desa menjadi daya tarik tersendiri untuk kelompok pendatang.

3.3. Sejarah Migrasi Penganut Agama Malim ke Kota Medan

Gambar

Tabel 2.7.1 : Data Umum Kecamatan Medan Denai
Tabel 2.7.2 : Pelayanan Umum Kecamatan Medan Denai
Tabel 2.7.3 : Sarana Pendidikan Kecamatan Medan Denai
Tabel 2.8.1 : Luas Wilayah Menurut Penggunaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

En el documento añadido al caso, redactado por del Burgo, daba buena cuenta de la actividad que Loyola Cía había desarrollado durante los años republicanos: « Este joven,

Abstrak : Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) adalah penelitian yang dilakukan di kelas dengan tujuan memperbaiki atau meningkatkan mutu

Hasil analisa statistik menggunakan Spearman rank diperoleh p-value sebesar 0,011 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara motivasi

FTP ( File Transfer Protocol ) adalah sebuah protocol internet yang berjalan di dalam lapisan aplikasi yang merupakan standar untuk pentransferan berkas (file) computer

Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemeintah daerah, sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan dan pembeian pelayanan kepada masyarakat maka

Sebagai bagian dari membangun hubungan, pelaku melakukan penyesuaian perilaku dan gaya berkomunikasi sehingga membuat korban nyaman berbicara dengan pelaku. Selain

Kembali pada relevansi rokok dan kemiskinan, berdasar deskripsi dan argumentasi yang sudah dijelaskan sebelumnya serta berdasar fakta yang ada adalah para pecandu rokok sebagian

Peran Satuan Lalu Lintas Wilayah Jakarta Timur adalah melakukan pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifi kasi pengemudi dan kendaraan, menegakkan hukum