• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ajaran tentang Pandemi dalam Agama Buddha serta Relevansinya

Dalam dokumen Daya Juang Perempuan Lintas Iman (Halaman 34-41)

Dalam keyakinan umat Buddha, sepanjang kehidupan manusia pasti tidak dapat dilepaskan dari proses kehidupan seperti penyakit, baik yang menular maupun tidak. Agama Buddha mengajarkan tentang empat kebenaran mulia (Cattāri Ariyasaccāni) sebagai ajaran utama agar manusia mengerti bahwa di dalam kehidupan ini banyak hal yang dianggap dapat memuaskan namun tidak jarang justru mendatangkan perasaan menderita (dukkhā).

Dukkhā sesungguhnya adalah kondisi yang serba tidak

memuaskan (unsatisfactoriness), namun banyak diterjemahkan sebagai penderitaan. Banyak umat Buddha sendiri yang belum

memahami dukkhā secara tepat. Oleh karena itu interpretasi yang tepat mengenai dukkhā sangat dibutuhkan, khususnya di tengah pandemi ini. Tujuannya agar umat Buddha memahami bahwa hidup ini tidak serta-merta sebagai penderitaan saja. Pandemi COVID-19 tidak boleh serta-merta ini diterjemahkan sebagai penderitaan. Umat Buddha diharapkan mengerti bahwa dukkhā adalah pemantik ajaran supaya umat harus berjuang menuju pembebasan dari dukkhā yaitu dengan melaksanakan jalan mulia berunsur delapan. Dalam konteks pandemi ini, umat Buddha harus mencari jalan keluar agar terbebas dari pandemi.

Cara agar dapat memahami dukkhā adalah dengan mengetahui sebab-sebab yang dapat menyebabkan adanya perasaan menderita tersebut (dukkhasamudaya), mengetahui dengan benar tentang keadaan yang terbebas dari perasaan menderita (dukkhanirodha) dan mengetahui cara mencapai keadaan yang terbebas dari perasaan menderita ini (dukkhanirodhagāminī patipadā). Begitu pula tentang cara keluar dari pandemi ini, kita semua harus dapat memahami dengan benar apa itu COVID-19, tahu sebab-sebab penyebaran COVID-19, tahu kondisi yang bagaimana yang bisa terbebas dari pandemi itu dan tahu cara mencapai kondisi yang terbebas dari pandemi tersebut.

Ada 8 keadaan yang dapat menyebabkan adanya perasaan menderita (dukkhā) yang disampaikan dalam kutipan Bahasa Pāli sebagai berikut ‘’jātipi dukkhā, jarāpi dukkhā, byādhipi dukkho,

maraṇampi dukkhaṃ, appiyehi sampayogo dukkho, piyehi vippayogo dukkho, yampicchaṃna labhati tampi dukkhaṃ — saṃkhittena pañcupādānakkhandhā dukkha’’ (kelahiran, usia tua, penyakit,

kematian, berkumpul dengan yang dibenci, berpisah dengan yang dicinta, tidak tercapai cita-cita dan perpaduan dari unsur-unsur yang

tidak kekal - Saṃyutta Nikāya 56). Penyakit atau byādhi adalah salah satu di antara 8 keadaan yang menyebabkan perasaan menderita.

Dalam pandangan ajaran Buddha penyakit salah satunya disebabkan oleh akibat dari perbuatan buruk (akusala kamma) di masa lalu. Banyak yang salah memahami bahwa karma (Sanskerta) atau kamma (Pāli) adalah nasib, takdir yang selalu menentukan kehidupan kita sekarang. Akibatnya ketika seseorang menerima akibat perbuatan masa lalu, maka pilihannya hanya pasrah karena tidak mungkin merubah takdirnya. Banyak orang lupa tentang poin penting mengapa Buddha mengajarkan hukum karma. Poin pentingnya adalah bagaimana mengubah dari kondisi dukkhā menjadi bebas dari dukkhā. Apakah saat mengalami suatu penyakit, termasuk pandemi COVID-19 maka umat Buddha harus menerima dan pasrah begitu saja sebagai akibat dari perbuatan (kamma

vipaka) masa lampau? Tentu saja pandangan demikian kurang

tepat sebab bertumbuhnya akibat karma masa lalu dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan tidak hanya satu faktor saja yaitu kamma masa lampu. Kamma masa lampau adalah salah satu kondisi di antara banyak kondisi. Dalam konteks pandemi, maka pandemi tidak lantas bisa dianggap sebagai suatu hasil kamma masa lampau saja. Justru pandemi ini harus dipandang sebagai suatu fenomena yang membutuhkan semangat (wiriya) dan kebijaksanaan (paññā) dalam mengatasinya.

Wabah COVID-19 ini juga mengingatkan kita bahwa kehidupan di dunia ini adalah sebuah rangkaian saṃsāra (lingkaran

penderitaan). Saṃsāra bukan berarti sengsara, artinya menderita

terus-menerus. Namun merupakan kondisi yang terus berubah silih berganti: susah, senang, sehat, sakit, untung, rugi, dipuji, dicela, kaya, miskin, nyaman, terancam dan sebagainya sebagai

konsekuensi logis lingkaran kehidupan. Ketakutan kita akan sakit, tua, mati, ditinggalkan yang kita sayangi, berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah bentuk nyata dari lingkaran saṃsāra. Kita

ingin (dan telah sering merasakan) sehat, bahagia, sukses namun hal itu tidak bisa terus-menerus ajeg dirasakan. Berbagai kondisi baik menyenangkan atau tidak menyenangkan selalu datang silih berganti. Kondisi-kondisi ini tidak serta merta menyebabkan penderitaan. Hal yang menyebabkan penderitaan adalah penolakan dari efek yang ditimbulkan dari perubahan kondisi-kondisi ini. Fenomena nyata tentang tidak tetapnya kehidupan ini mengingatkan pada salah satu ajaran di dalam Mahāparinibbāna Sutta tentang “Vayadhammā

saṅkhārā, appamādena sampādethā” (segala sesuatu yang muncul

karena kondisi adalah tidak kekal adanya, maka berjuanglah dengan penuh kewaspadaan). Segala sesuatu yang muncul karena kondisi ini akan mengalami perubahan, baik secara cepat maupun lambat. Pandemi COVID-19 ini juga merupakan suatu kondisi yang akan mengalami perubahan. Hal yang perlu dicatat bersama, perubahannya jangan sampai ke penambahan angka positif tetapi ke perubahan penurunan angka positif.

Menyadari bahwa kehidupan kita banyak ancaman penderitaan sudah sepantasnya kita merawat dan menjaga kehidupan ini dengan kewaspadaan dan kesadaran diri. Bukan hanya COVID-19 dan wabah lainnya namun banyak ancaman seperti penyakit jantung, diabetes, pneumonia, kanker, bencana alam, kelaparan, konflik dan sebagainya. Ancaman ini tidak pilih-pilih agama, suku, ras dan bangsa. Tidak pula memilih apakah lelaki atau perempuan, anak anak atau dewasa, orang kaya atau miskin. Semua manusia dari latar belakang apa pun berpotensi terkena ancaman ini.

Buddha menyatakan bahwa ‘’Cetanāhaṃ, bhikkhave, kammaṃ

vadāmi. Cetayitvā kammaṃ karoti – kāyena vācāya manasā: para bhikkhu, kehendaklah yang saya sebut sebagai perbuatan. Setelah

muncul kehendak, akan muncul perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran’’ [A. N. III, 415]. Berdasarkan ajaran ini, kehendak dan pikiran manusia juga harus dijaga dengan baik. Pikiran dan kehendak dari semua perbuatan hendaknya dilandasi cinta kasih dan kasih saying. Dalam pandangan agama Buddha ada ungkapan yang menjadi nilai dasar ajaran Buddha yakni loko patthambika mettā (cinta kasih menyelamatkan dunia). Cinta kasih berarti pikiran baik untuk mengharapkan dan menghadirkan kebahagiaan pada semua makhluk. Hakikatnya bahwa semua makhluk tidak ingin hidup menderita dan selalu berupaya memperoleh kebahagiaan oleh karenanya tidak pantaslah untuk membuat penderitaan bagi makhluk lainnya. Hal yang segarusnya dilakukan adalah senantiasa mengupayakan secara nyata kebahagiaan bagi semua makhluk.

Dapatkah kita belajar dari cerita penanganan pandemi di

masa lalu?

Sejauh pengamatan dalam teks Tipitaka (Kitab Suci Agama Buddha), kita tergambar sedikit tentang adanya suatu wabah di Kota Vesali di India, pada abad ke-6 S.M. Di dalam khotbah Ratana Sutta (Khuddaka Nikāya buku Sutanipāta – di dalam Tipitaka) dicatat bahwa pada zaman Sang Buddha pernah terjadi wabah penyakit di Kota Vesali. Dalam kitab tersebut diceritakan tentang wabah penyakit diawali dengan bencana kelaparan yang menyebabkan banyak orang meninggal, mayat-mayat tidak terurus menimbulkan pencemaran tanah, udara dan air sehingga mengundang penyakit dan setan-setan jahat muncul yang menyebabkan makin mencekamnya kota Vesali. Sang Buddha setelah mengetahui adanya wabah tersebut

dengan penuh kasih sayang pergi dari Kota Rajagaha ke Kota Vesali dengan mengajak serta 100 bhikkhu untuk menyelesaikan wabah penyakit ini. Sesampai di Vesali, Buddha dan para bhikkhu segera melihat keadaan dan juga membacakan lantunan ajaran (sutta) yang disebut Ratana Sutta untuk membuat atmosfer kota menjadi baik dan kondusif bagi kesehatan warga Vesali. Pada saat itu kemudian turunlah hujan sangat lebat di Vesali bahkan sampai membawa mayat-mayat yang bergelimpangan di Vesali itu hanyut ke sungai. Udara, air dan tanah mulai bersih dan penyakit berangsur-angsur mulai hilang. Sang Buddha meminta muridnya Yang Ariya Ananda untuk memercikkan air seraya mengulang perenungan dan penghormatan kepada Tiratana. Akhirnya Kota Vesali terbebas dari wabah penyakit.

Sekilas, cerita ini tidak banyak memberikan pesan moral dan pesan sosial bagi penanganan pandemi COVID-19 yang sedang terjadi saat ini. Walaupun demikian, ada banyak nilai positif di dalam Ratana Sutta dan penanganan pandemi di Vesali, misalnya: penjagaan kebersihan dan kekuatan pikiran baik adalah hal yang sangat menentukan kekuatan masyarakat di dalam pandemi. Dua ajaran ini juga harus dapat ditegakkan umat Buddha di dalam menghadapi pandemi saat ini. Kebersihan diri dan lingkungan dengan cara memenuhi protokol kesehatan adalah hal utama yang harus dikerjakan, dimana pun dan kapan pun. Hal ini ditopang dengan penguatan pikiran untuk selalu berpikir positif agar mampu membuat sel-sel tubuh juga ikut menjadi positif dan akirnya meningkatkan imunitas tubuh.

Ajaran lain dalam agama Buddha yang bisa diambil dalam rangka penanganan pandemi dan suatu penyakit dapat dilihat di Kitagiri Sutta2 yang menceritakan tentang pola makan dan

kesehatan. Di dalam ajaran (sutta) ini dikisahkan bahwa suatu ketika Sang Bhagavā sedang berkelana di wilayah negara bagian Kasi bersama kelompok besar Saṅgha Bhikkhu. Kemudian Buddha menyampaikan ajaran: “Saya berpantang makan di malam hari. Dengan melakukan hal ini, saya akan bebas dari penyakit ataupun penderitaan. Saya akan menikmati kesehatan, kekuatan maupun kehidupan yang nyaman.

Selang beberapa waktu kemudian, Buddha dan sekelompok bhikkhu menuju suatu kota bernama Kitagiri di Negara bagian Kasi. Lalu di kota ini ada sekelompok bhikkhu yang berjalan-jalan dan bertemu Bhikkhu Assaji dan Punabbasuka. Lalu terjadi diskusi. Bhikkhu Assaji dan Punabbasuka menyatakan bahwa menghindari makan malam adalah bukan suatu hal yang penting karena walaupun mereka makan di waktu sembarangan, mereka tetap sehat. Akhirnya, Buddha-lah yang menyelesaikan diskusi yang tidak berujung ini dan semuanya mengerti manfaat menghindari makan di malam hari demi menjaga kesehatan. Hal ini karena sistem pencernaan dapat beristirahat di waktu yang tepat dan makanan yang masuk ke tubuh dapat diproses dengan baik dan tidak menimbulkan gangguan penyakit.

Kitagiri Sutta mengajarkan pentingnya menjaga pola makan agar pencernaan menjadi lancar dan sehat. Pencernaan yang ancar dan sehat menjadi kunci dari sistem metabolisme tubuh agar bekerja maksimal dan tidak menimbulkan aneka penyakit. Dengan sehatnya tubuh kita, imunitas menjadi kuat dan kemungkinan masuknya serangan virus ke dalam tubuh juga akan menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tubuh yang sudah memiliki berbagai penyakit.

Melalui dua teks ajaran Buddha tersebut untuk mencapai kesehatan dan kebebasan dari penyakit (pandemi) umat Buddha perlu melakukan pola hidup bersih dan sehat, pola makan yang baik dan meningkatkan pikiran-pikiran bajik. Bentuk nyata pada masa pandemi ini adalah ketaatan mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Saṅgha (organisasi Bhikkhu) sebagai pembina utama spiritualitas umat Buddha juga ikut mengeluarkan berbagai himbauan yang mendukung program pemerintah dalam menghadapi pandemi ini. Himbauan-himbauan ini dapat dilihat dalam website-website berbagai organisasi Saṅgha di Indonesia. Dalam berbagai anjurannya Saṅgha menekankan pentingnya melindungi diri untuk menyelamatkan orang lain dengan melaksanakan protokol kesehatan.

Sikap dan Peran Pemimpin Agama (laki-laki dan

Dalam dokumen Daya Juang Perempuan Lintas Iman (Halaman 34-41)