S
ebetulnya masyarakat Khonghucu adalah ma-syarakat yang masih sangat patriarkal. Ajaran Khonghucu juga menghadapi tuduhan serius, diang- gap mengerdilkan posisi dan peranan perempuan. Khonghucu yang diidentikkan dengan masyarakat Tionghoa pada hari ini, melihat perempuan sebagai sosok inferior, tugasnya adalah urusan rumah. Kalau kita baca di kitab-kitab klasik Khonghucu sulit sekali menemukan kata perempuan. Misal dalam 5 hubungan kemasyarakatan, Khonghucu dituduh hanya bicara tentang peranan laki-laki, peran anak laki-laki, dan pemimpin. Ada memang poin yang menyebutkan hubungan suami-istri, tapi istri dianggap sebagai alat reproduksi, menghasilkan anak untuk melanjutkan keturunan yang sifatnya patriarkal. Perempuan dituduh hanya mengurusi urusan rumah tangga dan anak. Di ruang-ruang publik, perempuan minim peranannya. Ini yang menjadi tantangan.
Tetapi itu sebenarnya adalah problem budaya. Kalau kita tarik lebih dalam, dalam konteks teologi Khonghucu, kita menemukan konsep yin dan yang,
yang salah satu definisinya adalah laki-laki dan perempuan. Konsep
yin-yang itu sifatnya komplementer, bukan berlawanan. Kalau kita
mendalami ajaran ini maka kita akan mendapati bahwa posisi laki-laki dan perempuan sama dan seimbang, saling mendukung untuk mencapai jalan suci/ jalan surgawi (tao). Dalam tradisi Khonghucu tidak disebutkan secara spesifik perempuan itu harus begini-begitu. Cuma memang karena tradisi yang patriarki, mau tidak mau perempuan dianggap tidak punya peranan.
Di luar itu, peranan perempuan tidak ditemukan. Tetapi unik, dalam tradisi Ajaran Khonghucu, pada masa dinasti Song, Tzu zi menuliskan dalam ritual, perempuan menjadi leading person dalam persiapan pemujaan ritual. Laki-laki wajib memimpin ritual, perempuan yang wajib memersiapkan. Peranan ini sebenarnya sangat sentral. Di zaman sekarang, dengan perempuan diberi statemen yang mengatur segala urusan rumah tangga, ia menjadi tokoh yang punya kedudukan penting dan besar. Seperti yang digambarkan dalam film Crazy Rich Asian, bagaimana Michelle Yeoh, yang suaminya sudah meninggal, punya kekuasaan untuk menentukan siapa yang akan menikah dengan anaknya. Ia yang menentukan bagaimana sebuah pesta keluarga diatur.
Kajian mendalam tentang Ajaran Khonghucu menunjukkan bahwa ajaran ini juga telah turut membantu paradigma baru tentang peran perempuan yang dapat membuka pintu ke dalam wacana intelektual gerakan feminisme dengan menyapa perempuan secara langsung. Jadi terlepas dari pandangan sekilas yang dianggap merugikan kaum perempuan, ajaran Khonghucu sebenarnya telah membantu peran perempuan kepada sebuah bentuk kemandirian dalam konteks masyarakat Tionghoa yang telah lama didominasi oleh kaum laki-laki.
Ajaran Khonghucu melakukan penafsiran baru untuk ajaran yang sudah dianggap tidak sesuai dengan zaman dengan mengakomodir tradisi lain (Fairbank and Goldman 2006, 98) . Ajaran Khonghucu menyerukan orang untuk mengintrospeksi paradigman lama dan mendorong masyarakat untuk berkontribusi nyata dalam amal perbuatan. Tujuan utama Ajaran Khonghucu adalah sebagai sarana untuk melestarikan tatanan manusia dalam relasi keluarga dan pemerintahan serta memberi manfaat sambil memberikan kode etik pada masyarakat (Fairbank and Goldman 2006, 96)
Ajaran Khonghucu yang seolah-olah tidak tampak adanya ruang bagi seorang perempuan untuk melatih pikirannya dan memperbaki dirinya secara intelektual, namun dengan caranya yang halus, paradigma baru dari Ajaran Khonghucu telah mengundang perempuan untuk melakukan hal itu. Terlepas dari aturan ketat yang diterapkan pada perempuan di bawah tradisi ajaran Khonghucu untuk Perempuan seperti yang terdapat pada Kitab Bakti untuk Perempuan dan Analects, di situ diajarkan agar masyarakat memahami pentingnya menarik peran perempuan sebagai orang yang mampu berpikir dan bertindak mandiri (Mann and Cheng 2001, 47–48).
Dengan tidak menyebut kata perempuan sama sekali, itu telah menjadi perdebatan sendiri. Namun, di bawah ajaran Khonghucu peran perempuan dirinci untuk mencari pengetahuan mereka sendiri dan juga pengetahuan tentang laki-laki [Mann, 49-67]. Dengan menerbitkan teks-teks yang diperuntukkan bagi perempuan, masyarakat diajak mengakui kemampuan perempuan untuk berpikir secara moral dan intelektual. Ajaran Khonghucu telah mengundang perempuan ke dunia wacana intelektual.
Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bahwa Ajaran Khonghucu telah lama memainkan peran sentral dalam masyarakat Tionghoa sehingga tidak mengherankan bahwa kebangkitan Ajaran Khonghucu memiliki peran besar dan dampak pada masyarakat luas, serta perempuan khususnya. Peran perempuan di bawah Konfusianisme, seperti pekerjaan rumah dan memimpin ritual leluhur, membuat mereka erat terikat dengan rumah dan mengajak keluar dari ruang publik. Namun, terlepas dari kenyataan bahwa doktrin ajaran Khonghucu juga tetap berusaha menjaga perempuan sebagai makhluk yang patuh dan tunduk pada kehendak lelaki, pesan ini disampaikan kepada para perempuan dan untuk membantu para perempuan agar mampu mengenali kemampuan intelektual mereka sendiri. Dengan menafsirkan paradigma baru untuk dipersembahkan kepada perempuan, ajaran Khonghucu dapat memulai wacana intelektual mereka sendiri, bahkan jika pada awalnya hanya terbatas pada urusan rumah tangga.
Memang, kalau dibandingkan dengan peranan perempuan dalam konteks gerakan feminisme hari ini agak sulit. Di mana perempuan berperan di ruang publik, boleh menjadi tentara, dan sebagainya. Tetapi dalam tradisi Khonghucu, paling tidak ada 5 perempuan yang diceritakan mempunyai peranan penting, yaitu ibunda Konfusius (551 SM), ibunda Mengzi (289 SM), ibunda Yue Fei (1100 M), Ban Zhao (49-120 M), dan Auw Tjoei Lan (1889-1965 di Indonesia).
Dikisahkan, Konfusius atau Khong Zi ketika umur 3 tahun ditinggal mati ayahnya. Ibunya mendidiknya dengan baik sehingga Khonghucu (gelar dari Konfusius) bisa menjadi orang hebat dan disegani. Dalam catatan, ketika itu sudah lazim laki-laki punya istri banyak, namun Khonghucu hanya punya 1 istri.
Selanjutnya dikisahkan, bagaimana Mèngzǐ, seorang shengren
Ru (nabi dalam Khonghucu), memiliki seorang ibu yang bijaksana.
Ayah Mèngzǐ meninggal sewaktu ia kecil sehingga sang ibu harus menghidupi keluarga. Ibu Mèngzǐ lalu mencari tempat tinggal yang tepat bagi keluarganya, pindah sampai 3 kali. Awalnya keluarga mereka pindah ke lingkungan dekat pemakaman. Di sana, Mèngzǐ kecil bermain dengan teman-temannya meniru orang-orang yang melakukan upacara pemakaman. Hal ini tidak diinginkan ibunya, karena takut setelah dewasa, Mèngzǐ akan bekerja di bidang pemakaman.
Kemudian mereka pindah ke dekat pasar. Karena tinggal di pasar, Mèngzǐ kecil bermain bersama teman-temannya meniru tingkah laku orang pasar. Ibunya yang bijaksana berpikir kalau tetap tinggal di situ, anaknya akhirnya kemungkinan besar akan menjadi seperti orang-orang pasar yang tingkah lakunya kurang baik (mis: mencari keuntungan dengan menipu).
Terakhir, ibu Mèngzǐ memindahkan keluarganya ke dekat sebuah sekolah. Di sana Mèngzǐ kemudian meniru murid-murid sekolah dan mulai belajar. Sejak itu Mèngzǐ mulai mengecap pendidikan.
Namun suatu saat Mèngzǐ pulang dari sekolah lebih awal dan mengatakan kepada ibunya bahwa dia merasa belajar itu tidak berguna. Ibunya yang kecewa dengan hal itu kemudian menggunting kain sutera yang tengah ditenunnya (kain sutera yang digunting saat ditenun menjadi tidak berharga). Ibu Mèngzǐ kemudian mengibaratkan Mèngzǐ belajar setengah jalan seperti kain sutera yang digunting di tengah tenunan, alias tidak berguna. Sejak itu Mèngzǐ tergugah untuk belajar dan menjadi seorang filsuf terkemuka.
Tentang peranan perempuan di dalam tradisi Khonghucu yang bisa dipetik pelajarannya untuk masa pandemi ini adalah misalnya cerita tentang ibu muda beserta bayinya berumur satu bulan dengan tabah dan cekatan masuk ke dalam sebuah gentong untuk berlindung. Mereka terombang-ambing diseret arus banjir bandang. Berhari-hari terapung-apung dan akhirnya terdampar di suatu daratan yang kering. Yu Fei kecil bersama ibunya lolos dari ancaman banjir tanpa terluka, namun kehilangan segala harta bendanya dan tidak memiliki uang sepeser pun.
Yu Fei sudah gemar belajar sejak usia yang masih sangat muda. Sang ibu terlalu miskin untuk mengirimnya ke sekolah, bahkan untuk membelikannya tinta dan kertas. Beliau mencari nafkah dengan menenun untuk orang lain, penghasilannya sangat minim, juga mengajarkan puteranya apa saja yang dipahami dengan menggunakan sebatang bilah untuk menulis di atas tanah dan juga sering bercerita kepada puteranya riwayat para pahlawan negara yang hidup pada zaman kuno mengenai perbuatan mulia yang dilaksanakan.
Di bawah bimbingan yang keras tetapi penuh kasih, Yu Fei tumbuh dewasa dengan baik, menjadi seorang yang teguh dalam prinsip. Yu Fei mempraktikkan ilmu perang di bawah bimbingan seorang guru yang termasyur, menguasai dengan benar dan baik sastra beserta ilmu pedang.
Pada waktu itu, orang-orang negeri Kiem (Jin) di wilayah Utara selalu menyerang dinasti Song. Negeri tetangganya yang besar tetapi lemah. Hal ini membawa kekacauan dan penderitaan bagi rakyat dinasti Song. Dengan tekad mengabdi kepada tanah air yang sangat membutuhkannya Yu Fei memutuskan untuk masuk militer. Malam sebelum ia berangkat melawan penyerang dari utara,
ibunya mentato empat huruf pada punggung Yu Fei. Empat huruf itu berbunyi Cien Tiong Poo Kok yang bermakna : “dengan sepenuh kesetiaan melindungi Negara”. Demikianlah sang ibu mengingatkan puteranya untuk senantiasa berbuat yang terbaik untuk negara yang dicintai [Tjiong Giok Hwa, h. 40-42].
Dalam konteks Indonesia, ada tokoh perempuan bernama Auw Tjoei Lan, 1899 – 1965 [Kementerian Negara, h. 46]. Ia adalah seorang tokoh perempuan Khonghucu Indonesia yang peka terhadap permasalahan kaum perempuan. Tahun 1928 ia ikut ambil bagian dalam perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) yang didirikan sebagai hasil Kongres Perempuan I di Jogyakarta tahun 1928. Tahun 1939 beliau mendirikan organisasi kemanusiaan Ati Soetji yang amat menaruh perhatian pada praktik jual beli perempuan. Tahun 1937, Auw Tjoei Lan mewakili Indonesia ke Konferensi Liga Bangsa-bangsa mengenai perdagangan perempuan. Tahun 1939 beliau juga mendirikan Tjie Liang Sah, rumah khusus bagi kaum perempuan yang berhasil diselamatkan dari prostitusi [Dewi Riawati Saputra, h.135].
Dalam kisah dan tradisi Tionghoa, juga dikenal kisah Mulan. Ia menyamar menjadi laki-laki menggantikan ayahnya ikut perang. Saat mengetahui kisah Mulan ini Kaisar kemudian memberi penghargaan yang besar. Juga dalam kisah Sam Pek Eng Tay, yang memang berdasar kejadian nyata. Pada zaman Han, yang boleh sekolah hanya laki-laki. Keluarga Eng Tay cukup paham pentingnya pendidikan, maka mereka menyekolahkan Eng Tay dengan menyamar sebagai lelaki. Sam Pek dan Eng Tay awalnya teman sekolah lalu menjadi pasangan kekasih. Ini kisah emansipasi.
Disamping itu masih banyak tokoh perempuan Khonghucu lainnya seperti Nabi Nuwa yang merupakan adik perempuan Fu
XI (30 – 29 M) yang menciptakan Hukum dan Etika Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan). Juga ada Nabi Lei Zu yang merupakan Nabi perempuan kedua dalam Agama Khonghucu. Ia mengajarkan cara dan etika berpakaian dan tata busana untuk menentukan peringkat jabatan dalam tata pemerintahan yang sesuai dengan kesusilaan. Ia juga mengajarkan cara beternak ulat sutera dan menemukan alat untuk menenun kain sutera.
Selain itu ada Nabi Jiang Yuan yang adalah Permaisuri Raja Di Ku (cicit Baginda Huang Di), 2435 – 2365 SM, yang oleh rakyat disebut Dewa Pertanian. Ada juga Nabi Tai Ren, Yan Zheng Zai (Ibu Nabi Kongzi), Ibu Huang Yue Ying istri Zhuge Liang, Ibunda Gu Yan Wu seorang yang terpelajar dan patriotik [Dewi Riawati Saputra, h.131-133].
Dalam konteks Indonesia, konsep imam di Khonghucu, tidak sama dengan konsep asalnya dari Tiongkok. Di Tiongkok imam hanya laki-laki. Tapi di Indonesia perempuan juga bisa menjadi imam. Ada perempuan yang menjadi haksu, rohaniawan paling senior dalam tradisi Khonghucu. Di Blitar ada tokoh Haksu Titis, tokoh yang mampu mengorganisir pergerakan umat Khonghucu. Di Indonesia, perempuan bisa menjadi pemimpin upacara ritual, sedangkan di Tiongkok hanya laki-laki yang bisa. Seperti Liliany Lontoh yang fasih dalam memimpin upacara, hal ini umum terjadi sejak tahun 60-an. Para ilmuwan kaget dengan hal ini. Ini menjadi modal. Ini keunikan. Belajar Khonghucu belajarlah di Indonesia karena sangat berbeda liturginya.
Di Tiongkok tidak ada imam perempuan karena di Tiongkok pasca Tiongkok menjadi komunis agama Khonghucu pernah dipersekusi. Agama Khonghucu menjadi korban ideologi komunis. Akibatnya banyak ajaran Khonghucu yang tidak didalami secara
utuh. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia ajaran Khonghucu pada zaman dinasti-dinasti masa lampau di Tiongkok diperdalam dan dipraktikkan dengan baik.