Sikap dan Peran Pemimpin Penghayat Menghadapi
Pandemi Covid-19
Covid-19 sedang menjadi buah bibir dan menimbulkan keresahan bagi manusia sejagat. Kenyataan di belahan dunia Eropa virus corona banyak memakan korban meninggal. Tetapi perlu kita ingat, itu di dunia belahan Eropa yang memiliki musim berbeda dengan Asia tempat kita hidup (Indonesia). Kultur kehidupan yang berbeda dengan Indonesia. Material konsumsi yang berbeda dengan yang menjadi menu makan orang Indonesia yang penuh rempah. Suhu yang berbeda dengan Indonesia. Limpahan sinar matahari yang sangat jauh berbeda dengan Indonesia. Khusus sinar matahari itu kulit kita orang Asia sangat membutuhkan vitamin darinya, dan posisi Khatulistiwa beruntung melingkupi negeri ini. Hendaknya kita petakan dan tidak menyamakan begitu saja. Kita percaya diri bahwa alam kita, alam Indonesia ini cukup menjaga manusia yang hidup di dalamnya,asal ingat masker, tangan bersih, dan di rumah saja.
Pranataning jagad. Imbauan pemerintah untuk selalu
menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, tetap berada di rumah harus dihormati sebagaimana posisi kita sebagai warga negara. Namun, kata-kata kunci dalam imbauan tersebut juga coba dimaknai berbeda sesuai dengan keyakinan Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu:
Masker : adalah simbol mulut yang terjaga dari pembicaraan yang tidak perlu, tidak “open” sehingga pikiran tidak terbawa pada yang bukan urusannya, bukan kapasitasnya. Nafas diatur selayaknya, tertata dan disadari sebagai pintu gerbang “anugrah” dari Sang Pemberi hidup.
Tangan bersih : adalah gambaran tentang bagaimana manusia dijauhkan dari keinginan untuk menguasai yang bukan haknya, yang bukan miliknya. Tidak terobsesi milik orang lain. Tidak mengharap yang bukan jatahnya.
Di rumah saja : mengandung pemahaman bahwa hendaknya hati, rasa batin, dalam kalbu masing-masing “dijumenengke” (dirumahkan). Perasaan jangan merajalela ke mana-mana penuh halusinasi, cukup senantiasa semuanya diheningkan dalam telenging
manah, dalamnya hati. Ini kunci. Mari berusaha
untuk menghindari mendahulukan peran pikiran, akan tetapi mencoba menyaring dalam rasa, (rasa dalam, sedalam-dalamnya di dalam hati nurani) sebelum semua dilakukan. Gagasan-gagasan terlebih dahulu “dirumahkan“ dalam kalbu kita masing-masing.
Menjaga Jarak : mengandung makna menghormati liyan. Hormatilah orang lain, hormatilah kedaulatannya, hormatilah kemerdekaan orang lain di luar kita, jaga nilai kemanusiaannya. Bahwasanya kita sama dan setara. Jaga jarak pandang kemanusiaannya, niscaya damai yang akan ada. Saling mengapresiasi, bukan menjajah dan memaksa. Karena kita adalah sama, menghirup dari udara yang sama, minum air dari bumi yang sama, kembali terkubur di dalam bumi yang sama. Jarak pandang demikian yang menjadi sebenar-benarnya.
Manusia kini sangat responsif terhadap apa-apa yang tergelar, apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang tertera, apa yang banyak dilakukan orang, apa yang ada di media sosial, apa yang lagi hits, apa yang dihoakskan, apa yang dibuihkan, apa kata angin yang berdesis. Akhirnya terikut pada gelombang yang mengombang-ambingkan diri, menjadi semakin jauh dengan hati kecilnya, sehingga jauh dari kebahagiaannya. Hati kecil yang teramat dalam adalah kunci, adalah timbangan luhur yang sudah banyak ditinggalkan. Ini refleksi yang tentu menjadi rambu-rambu. Senyatanya hati kecil itu berdekatan
dengan kesadaran.
Pengalaman meninggalkan hati kecil, terperangkap ilusi pikiran dan logika yang belum tentu benar dan selaras, akan menjauhkan diri meraih kesadaran. Akibatnya, semakin jauh dengan visi hidupnya. Bila menghendaki lebih aman dan nyaman, biasanya semua dipulangkan ke rumah kalbunya masing-masing, kembali ke diri sejatinya, kembali ke jati diri budayanya, kembali ke nilai-nilai yang kita miliki. Kalaupun terkendala bagi kaum muda atau milenial, berusahalah gali sejarah bangsa ini melalui
artefak-artefak, peradaban luhur tangible dan intangible, maupun konsep-konsep pemikiran luhur dari pendahulu kita, yang jelas sesuai dengan kondisi dan alam lingkungan hidupnya. Ada baiknya kita terusik untuk memetakan budaya bangsa yang selaras dengan keterpengaruhan dan perubahan atas kekurangwaspadaan kita menerima pengaruh yang masuk atau memetakan bagaimana olahan logika atas konsep yang tidak berakar dari nilai budaya dari jati diri sendiri. Hal ini akan membawa sikap yang dapat menangkal apapun bencana atau berita-berita yang santer beredar, yang kita sendiri sulit menerjemahkan apa dan bagaimana itu Covid-19.
Yang diperlukan adalah kembali merenungkan apa yang berseliweran di luar sekeliling kita dan menarik diri untuk kembali berdialog dengan hati yang paling dalam. Setelah hening, apa pun itu, syukuri nikmat yang sedang terjadi, di sini, kini, dan saat ini. Bahagia bisa kita raih.
Dalam konteks ini, para pemimpin Paguyuban perlu mengutamakan sikap ngemong terhadap anggota Paguyuban melalui beragam cara, antara lain:
1. Memfasilitasi komunikasi antaranggota Paguyuban (perempuan dan laki-laki) dengan mengenalkan dan memahamkan tentang mekanisme penggunaan teknologi informasi dalam berinteraksi di antara anggota Paguyuban dan sujud berjamaah. Diharapkan anggota Paguyuban merasa tidak ada jarak di antara mereka dan masih tetap bisa berinteraksi dengan akrab, baik di saat sujud berjamaah maupun di saat tukar pendapat.
2. Menjaga keguyuban di antara anggota Paguyuban, sesuai
kasanggeman yang menyebutkan “Ngraketaken pasedherekan adhedhasar rasa sih”(merekatkan persaudaraan berdasar rasa cinta kasih)
3. Mengembangkan sikap sumrambah dalam bersosialisasi kepada masyarakat umum, sesuai kasanggeman yang menyebutkan “Tumindak saha makarti anjembaraken wajibing ngagesang sarta
anggatosaken perluning bebrayan umum netepi wajibing warga negari, ingkang mahanani tata tentreming jagad raya” (Selalu
tidak berhenti untuk mendampingi dan selalu taat kepada aturan negara)
4. Mewujudkan sikap ideal seorang pemimpin, perempuan maupun laki-laki, sesuai dengan pandangan Paguyuban (Sumarah), yakni:
• Ajer-ajer (empati) kepada anggota dan masyarakat umum • Prasaja (sederhana) tata lakunya
• Mboten fanatik (menghindari dari merasa benar sendiri) atau
pandaku (sombong)
• Dalam menjalankan kehidupan selalu berada dalam tuntunan Tuhan YME.
• Bertindak wisesa, sesuai dengan kasanggeman yang menyebutkan “Ngaosi ing sesami, mboten nacad kawruh liyan,
malah tumindak kanthi sih, murih sadaya golongan (agami lan kapitadosan) saged nunggil gegayuhan.” (menghargai sesama,
tidak menjelekkan/merendahkan pengetahuan lain, hanya bertindak/melakukan amalan dengan rasa kasih, agar semua golongan - agama dan kepercayaan - bisa menyatu tujuannya - yaitu selalu iman terhadap Tuhan YME).
Peran Komunitas Perempuan dalam Menghadapi Krisis
Covid-19
Dalam menghadapi krisis pandemi Covid-19, beberapa forum komunikasi lintas Iman, misalnya di Yogyakarta ada FKUB (Forum
Komunikasi Umat Beriman), Jaringan Gusdurian, Srikandi Lintas Iman (Srili), telah melakukan berbagai kegiatan dan gerakan, seperti memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak Covid-19, memberikan penyuluhan tentang penanganan keamanan terhadap dampak Covid-19. Organisasi dan komunitas-komunitas tersebut cukup memberikan tempat yang adil bagi perempuan untuk ikut berperan.
Hikmah di Balik Wabah
Beberapa hikmah yang bisa dipetik dari adanya pandemi cpvid-19 ini.
1. Terkait dengan kehidupan berkeyakinan: Meningkatkan sujud berjamaah/bersama-sama dengan cara jarak jauh, melalui teknologi informasi dan meningkatkan pemahaman wewarah dan pitutur luhur melalui sarasehan jarak jauh.
2. Terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara: Menambah pengertian tentang gerakan Pembumian Pancasila, lewat seminar jarak jauh dengan wacana webinar, menambah wawasan tentang prinsip-prinsip perbedaan di antara suku dan adat di nusantara, sehingga memahami kekayaan budaya lewat acara temu budaya dan seminar jarak jauh dengan wacana webinar dan menambah keakraban di antara suku dari daerah lain di wilayah negara Indonesia ini.
3. Terkait dengan kehidupan manusia: Mengetahui kondisi negara lain yang terkena pandemi Covid-19 dan menambah pengetahuan tentang mekanisme penanganannya. Selain itu perlu juga membuka mata untuk melihat keadaan di negara lain yang berbeda iklim dan kesengsaraan yang ditimbulkan akibat Covid-19.
4. Membuka hati dan diri bahwa bencana tersebut bukan hanya pelajaran dan ujian bagi umat manusia di saat ini, tetapi juga menjadi bahan renungan di hati tentang kemungkinan-kemungkinan muncul pada generasi selanjutnya dan secara massal.