• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

B. Akhlak terhadap Orang Tua

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang tua didefinisikan sebagai ayah dan ibu kandung, suami istri (seorang laki-laki dan seorang perempuan) yang terikat dalam tali pernikahan, kemudian melahirkan anak, maka suami istri tersebut adalah orang tua bagi anak-anak mereka. Orang tua adalah pendidik yang teutama dan semestinya. Merekalah pendidik asli yang menerima tugas sebagai kodrat dari Tuhan untuk mendidik anak-anak.

Kajian akhlak terhadap orang tua yang digali dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy ini mencakup tiga hal utama, yaitu: perkataan lemah lembut kepada orang tua, perbuatan baik kepada orang tua, dan pemuliaaan kepada teman-teman orang tua.

1. Perkataan Lemah Lembut kepada Orang Tua

Setiap manusia dalam komunitas sosial memiliki ragam budi bahasa yang berbeda. Namun, pada dasarnya, setiap manusia menghendaki budi bahasa yang baik dan tutur kata yang lemah lembut guna memuliakan lawan bicaranya. Terlebih kepada orang tua, setiap anak sudah semestinya berkata dengan lemah lembut.

73

Allah Swt. berfirman:

“…maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (Q.S. al-Isrâ'/17: 23)27

Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak tentang perkataan lemah lembut kepada orang tua. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengandung konsep pendidikan akhlak tentang perkataan lemah lembut kepada orang tua.

Nduk, aku ingin bicara sebentar denganmu bisa?” Kata Abahnya,

dengan wajah serius.

Inggih, bisa Abah.” Jawabnya sambil menghadapkan seluruh wajahnya pada sang Abah.28

Pada bagian ini tampak jelas bahwa Habiburrahman El Shirazy menampilkan konsep akhlak perkataan lemah lembut kepada orang tua. Dalam kutipan di atas, ditampilkan dialog antara tokoh Abah (Kiai Lutfi) dengan Anna Althafunnisa. Abah yang menjadi figur orang tua mengajak bicara Anna Althafunnisa yang menjadi figur seorang anak.

Saat Abah mengajak bicara, Anna Althafunnisa menjawab dengan perkataan lemah lembut dalam bahasa Jawa disertai dengan memposisikan seluruh wajahnya menghadap Abah. Tidak hanya lemah lembut dari tutur kata, melainkan juga dari bahasa tubuh. Hal inilah yang sepatutnya dicontoh oleh setiap anak saat diajak bicara oleh orang tuanya, tak terkecuali dengan para peserta didik.

Dalam bagian lain, Habiburrahman El Shirazy juga menampilkan gambaran akhlak berkata lemah lembut kepada orang tua sebagai berikut.

Angin itu ternyata bisa menyampaikan perkataan-perkataan kaum ibu itu ke telinga Bu Nafis sekeluarga. Bu Nafis paling sedih dan resah. Husna juga, ia tidak rela kakaknya yang menjadi pahlawannya dijadikan

27Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 284.

74

gunjingan. Pengangguran memang sangat tidak nyaman. Akhirnya Bu Nafis tidak bisa menahan keresahannya. Suatu pagi ia berkata pada Azzam,

“Nak, terserah bagaimana caranya agar kamu tidak tampak menganggur. Kalau pergi pergilah, berangkatlah kerja bersama orang-orang yang berangkat kerja. Dan kalau sore atau malam pulanglah ke rumah. Supaya kau tidak jadi bahan ocehan. Ibu juga malu kau lulusan luar negeri cuma jualan bakso!”

Bu Nafis menyampaikan hal itu dengan mata berkaca-kaca. Husna yang mendengarnya juga trenyuh hatinya.

“Bue, perkataan orang lain jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati. Yang penting ibu percayalah pada Azzam. Azzam bisa mandiri. Azzam bisa makan dengan kedua tangan dan kaki Azzam sendiri. Ibu kan juga tahu di Cairo dulu Azzam juga jualan bakso.”

“Terserah kamu Nak. Tapi pikirkanlah bagaimana caranya supaya

kamu aman dari gunjingan masyarakat.”

“Masyarakat kita memang paling hobi menggunjing kok Bue. Tapi baiklah Azzam akan ikuti permintaan ibu. Pagi berangkat kerja, sore

pulang kerja.”29

Dalam bagian ini, Habiburrahman El Shirazy menampilkan dialog antara Bue (Bu Nafis) dengan Azzam. Bue yang terpengaruh oleh omongan tetangganya menegur Azzam agar segera bekerja sebagaimana lazimnya orang lain bekerja. Dari dialog yang terjadi, terasa bahwa teguran Bue bersifat emosional. Namun Azzam tetap menanggapi teguran tersebut dengan perkataan yang halus.

Dari kedua gambaran tersebut, Habiburrahman El Shirazy berusaha menyampaikan pesan pendidikan akhlak yang dalam. Yaitu jika seorang anak sedang berbicara dengan orang tuanya, dalam kondisi emosi seperti apa pun, sepatutnya sang anak menjadi pendengar yang baik dan merespon pembicaraan orang tua dengan perkataan lemah lembut.

2. Perbuatan Baik kepada Orang Tua

Menurut Moh. Ardani, ajaran Islam menyerukan kepada umatnya untuk selalu berbuat baik kepada orang tua, bahkan ketika orang tua dalam keadaan

75

marah kepada anak. Allah melarang sang anak menyinggung perasaan orang tua, membalas atau mengimbangi ketidakbaikan orang tua.30

Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa andaikan orang tua dalam keadaan marah kepada anak, maka sang anak tidak boleh membalas dengan perbuatan yang buruk kepada orang tua. Apalagi jika orang tua yang selalu berbuat baik, tentu menjadi kewajiban sang anak untuk selalu berbuat baik kepada orang tuanya.

Perintah untuk berbuat baik kepada orang tua terdapat dalam Alquran, salah satunya di Surat al-Isrâ' ayat 23:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak…” (Q.S. al-Isrâ'/17: 23)31

Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak tentang perbuatan baik kepada orang tua. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengandung konsep pendidikan akhlak tentang perbuatan baik kepada orang tua.

“Bue, jangan memaksakan diri tho. Kalau sudah capek ya istirahat.

Besok pagi dilanjutkan lagi. Nanti sakit lagi.” Ucap perempuan muda

berjilbab cokelat sambil menghentikan aktivitas membacanya. Perempuan berjilbab coklat itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju ibunya. Ia lalu memijit pundak ibunya yang masih sesekali batuk dengan penuh kasih sayang.

“Yang keras sedikit Na. Ke arah tengkuk Na. Pegel rasanya. Ini biar Bue teruskan sedikit lagi ya. Biar selesai sekalian. Masalahnya ibu sudah janji besok pagi bisa diambil. Kalau besok belum jadi terus yang pesan

datang kan mengecewakan.” Lirih Sang Ibu sambil terus melanjutkan pekerjaannya.

“Kalau Husna bisa menjahit, pasti Husna bantu. Biar Bue istirahat saja. Bue kan sudah tua, tidak perlu memaksakan diri bekerja.” Sahut

perempuan berjilbab cokelat itu sambil terus memijit Sang Ibu.32

30Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf…, h. 81.

31Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 284.

76

Dalam kutipan di atas, Habiburrahman El Shirazy menggambarkan tokoh Husna yang sedang memijat ibunya. Karena terlalu letih menjahit, dengan kesadaran sendiri Husna berinisiatif untuk meringankan beban sang ibu. Bahkan Husna juga meminta ibunya untuk tidak terlalu memaksakan diri dalam bekerja.

Dari penggambaran tersebut, Habiburrahman El Shirazy berusaha

menyampaikan pesan pendidikan akhlak kepada pembaca, yaitu seorang anak sudah sewajarnya berbuat baik kepada orang tua. Berbuat baik dalam hal ini tidak saja terbatas pada tindakan membantu meringankan pekerjaan, namun bisa juga dengan upaya keras dari sang anak untuk mewujudkan sesuatu yang membanggakan dan membahagiakan orang tuanya, misalnya dengan meraih prestasi belajar di sekolah.

3. Pemuliaan kepada Teman-teman Orang Tua

Akhlak terhadap orang tua tidak hanya dilakukan seorang anak ketika orang tuanya masih hidup, namun juga ketika orang tuanya telah meninggal dunia. Salah satu akhlak terhadap orang tua yang telah meninggal dunia ialah dengan memuliakan teman-teman orang tua. Dalam sebuah hadis, dikisahkan bahwa seorang laki-laki pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw. seraya

bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah sisa kebaikan yang dapat saya kerjakan

untuk ibu-bapak saya setelah wafatnya?”

Rasulullah Saw., sebagaimana dikutip oleh Hamzah Ya’qub, menjawab:

“Ada, yaitu salat atas jenazah keduanya, mintakan ampun bagi keduanya, sempurnakan janji keduanya, hormati sahabat keduanya dan beri pertolongan kepada keluarga yang bergantung kepada keduanya.” (H.R. Abû Dâwûd)33

Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak tentang memuliakan teman-teman

77

orang tua. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengandung konsep pendidikan akhlak tentang pemuliaaan kepada teman-teman orang tua.

Pak Mahbub ikut menyalaminya dan memeluknya erat-erat dengan mata berkaca-kaca, “Semoga ilmumu barakah Zam. Aku bangga padamu,

Anakku. Aku jadi teringat ayahmu, teman seperjuangan Bapak. Semoga

manfaat ilmumu menjadikan ayahmu diangkat derajatnya di sisi Allah.”

“Amin. Doanya Pak Mahbub. Dan mohon bimbingannya, saya masih

harus banyak belajar.” Lirih Azzam.34

Pada bagian ini, Habiburrahman El Shirazy menggambarkan tokoh Azzam yang sangat memuliakan Pak Mahbub. Azzam yang seorang lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, memohon doa restu dan bimbingan dari Pak Mahbub yang hanya seorang imam masjid di lingkungan rumahnya. Hal ini dilakukan oleh Azzam sebagai bentuk pemuliaan terhadap Pak Mahbub yang menjadi teman dekat almarhum ayahnya.

Dalam bagian lain, Habiburrahman El Shirazy juga menampilkan gambaran akhlak pemuliaaan kepada teman-teman orang tua sebagai berikut.

Azzam akrab dengan siapa saja. Karena akrab dengan Kang Paimo, ia ditawari belajar mengendarai truk. Ia sambut tawaran itu dengan penuh antusias. Kepada tokoh masyarakat ia sangat hormat. Ia sangat dekat dengan Pak Mahbub, teman seperjuangan ayahnya dulu saat merintis pendirian Masjid Al Mannar. Kini Pak Mahbub jadi ketua takmir sekaligus imam masjidnya. Setiap kali shalat berjamaah dan ia diminta Pak Mahbub menjadi imam. Tapi ia menolak. Ia merasa Pak Mahbub lebih berhak dan layak. Kecuali kalau Pak Mahbub tidak ada dan jamaah memaksanya maka ia baru maju ke depan.35

Dalam kutipan di atas Habiburrahman El Shirazy kembali menampilkan tokoh Azzam dan Pak Mahbub. Kali ini ia menggambarkan penghormatan Azzam terhadap Pak Mahbub untuk menjadi imam saat salat berjamaah. Azzam menganggap Pak Mahbub lebih layak daripada dirinya sendiri untuk memimpin salat.

34Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 528-529. 35Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 505.

78

Dokumen terkait