NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM NOVEL
KETIKA CINTA BERTASBIH
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)
Oleh:
ARIEF MAHMUDI
NIM: 106011000075
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i
ABSTRAK
Nama : Arief Mahmudi
NIM : 106011000075
Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam
Judul : “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta
Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”
Manusia dapat dianggap sebagai makhluk yang beradab jika memiliki akhlak terpuji. Tanpa akhlak terpuji, derajat manusia akan lebih rendah daripada hewan. Untuk menumbuhkan akhlak terpuji diperlukan pembiasaan secara terus-menerus melalui bimbingan dan pendidikan. Salah satu faktor lingkungan pendidikan menurut Imâm al-Ġazâlî adalah lingkungan kesusastraan. Karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik, benar dan mulia akan membawa pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak perilaku dan kepribadian anak.
Salah satu bentuk karya sastra yang berkembang pesat dan populer di Indonesia adalah novel. Salah satu novel populer yang digemari masyarakat Indonesia adalah novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Novel tersebut merupakan sebuah novel yang sarat dengan pesan-pesan akhlak terpuji yang direfleksikan dari sikap dan perilaku para tokoh di dalamnya. Berangkat dari latar belakang ini penulis ingin membahasnya dalam skripsi dan
mengambil judul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta
BertasbihKarya Habiburrahman El Shirazy”.
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu suatu jenis penelitian yang mengacu pada khazanah kepustakaan seperti buku-buku, artikel, atau dokumen-dokumen lainnya. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap isi karya sastra, serta metode deskriptif, yaitu metode yang membahas objek penelitian secara apa adanya sesuai dengan data-data yang diperoleh.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâhi Rabb al-
‘âlamîn, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan kekuatan lahir dan batin sehingga penulisdapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat beriring salam semoga tercurah kepada
Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta
Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy” ini merupakan tugas akhir yang
harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih berbagai pihak yang telah
membantu dan memberi dukungan baik moril maupun materil. Untuk itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Sri Purwiyati dan Iswandi HS (almarhum) yang
telah merawat, mendidik, dan mendukung penulis dengan kasih sayang
tulus sepanjang masa.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. beserta para
pembantu dekan dan segenap jajarannya.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Bahrissalim, M.Ag. dan
Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Drs. Sapiudin Shidiq,
M.Ag. beserta pengadministrasi jurusan, Bapak Faza Amri, S.Th.I.
4. Dosen penasihat akademik penulis, Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon,
M.Ag. atas bimbingan yang selama ini telah diberikan.
5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Drs. E. Kusnadi yang telah
memberi saran dan arahan dalam penulisan skripsi.
6. Kepala Pusat Penjaminan Mutu dan Pengembangan Kerjasama (PPMPK)
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Sururin dan Sekretaris
PPMPK, Bapak Abdul Muin, S.Si., M.Pd. yang telah mempercayakan
penulis sebagai salah satu mahasiswa yang membantu beliau berdua di unit
iii
7. Teman-teman mahasiswa PAI, khususnya kelas B angkatan 2006 atas
pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan saat
berinteraksi dengan mereka. Terima kasih secara khusus penulis
sampaikan kepada Ahmad Syahroni, S.Pd.I., Abdul Goni Jamal, S.Pd.I.,
Abdul Azis, S.Pd.I., Ach. Hidayatul Wahyudi, S.Pd.I., Ahmad
Nasehuddin, S.Pd.I., Ansori, S.Pd.I., Deden Rahman Budiman, S.Pd.I.,
dan Ahmad Sidrotul Muntaha, S.Pd.I. yang telah mengawal, mengingatkan
dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
8. Teman-teman mahasiswa yang pernah (dan sedang) terlibat di PPMPK:
Muhammad Alimudin, Abu Salam, S.Pd.I., Rahmawati, S.Pd., Lilis
Komariah, S.Pd., Naeli Zakiyah, S.Pd., Ika Rifqiawati, S.Pd., Zaenal
Umar, Lilis Marina Angraini, S.Pd., Desy Bangkit Arihati, S.Pd., Endang
Erika, S.Pd.I., Aji Payumi, Junaedi, S.Pd.I., Andi Basyuni, S.Pd.I., Lia
Kurniawati, dan Wiwin Pratiwi.
9. Teman-teman PPKT SMP Darul Ma’arif, Cipete angkatan Februari – Mei 2010, Pendidikan Fisika angkatan 2006, Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia angkatan 2006, Karang Taruna RT. 001 RW. 07 Cijantung,
Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Ciputat, Lingkar Sastra Tarbiyah dan
Tongkrongan Sastra Senjakala.
10. Adinda Kelly Aprilla yang dengan sabar telah menyertai, mendukung dan
menyemangati penulis.
11. Serta kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu per satu,
penulis mengucapkan terima kasih.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dari
Allah Swt. Âmîn yâ Rabb al-’âlamîn.
Jakarta, 20 Juni 2011 Penulis,
iv
DAFTAR ISI
COVER
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 6
C.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
F. Tinjauan Pustaka ... 9
BAB II KAJIAN TEORI ... 11
A.Konsep Pendidikan Akhlak ... 11
1. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 11
2. Dasar Pendidikan Akhlak ... 15
3. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 18
4. Metode Pendidikan Akhlak ... 19
B.Konsep Novel ... 24
1. Pengertian Novel ... 24
2. Macam-macam Novel ... 26
v
BAB III TINJAUAN NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH ... 34
A.Tinjauan Internal ... 34
1. Sinopsis ... 34
2. Tema ... 37
3. Alur ... 38
4. Penokohan ... 38
5. Latar ... 44
6. Sudut Pandang ... 51
B.Tinjauan Eksternal ... 52
1. Biografi Pengarang... 52
2. Lingkungan Sosial Budaya ... 55
3. Lingkungan Pendidikan ... 56
4. Lingkungan Ekonomi ... 56
5. Pandangan Hidup Pengarang ... 57
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 58
A.Akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya ... 59
1. Syukur ... 59
2. Sabar ... 62
3. Tobat ... 64
4. Ikhlas ... 66
5. Sunnah ... 68
6. Salawat ... 70
B.Akhlak terhadap Orang Tua ... 72
1. Perkataan Lemah Lembut kepada Orang Tua ... 72
2. Perbuatan Baik kepada Orang Tua ... 74
3. Pemuliaan kepada Teman-teman Orang Tua ... 76
C.Akhlak terhadap Diri Sendiri ... 78
1. Kerja Keras ... 78
2. Cita-cita Tinggi ... 80
3. Giat Belajar ... 82
vi
5. Pemeliharaan Kesucian Diri ... 85
D.Akhlak terhadap Sesama Manusia ... 87
1. Tolong-Menolong ... 87
2. Rendah Hati ... 90
3. Pemaaf ... 91
4. Penepatan Janji ... 93
5. Pemuliaan Tamu ... 95
BAB V PENUTUP ... 98
A.Kesimpulan ... 98
B.Saran ... 99
DAFTAR PUSTAKA ...100
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Unsur-unsur Novel ... 33
Tabel 2 Penokohan dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman
El Shirazy ... 43
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Pengajuan Proposal Skripsi
Lampiran 2 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 3 Surat Pernyataan Uji Referensi
Lampiran 4 Daftar Uji Referensi
1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati posisi yang teramat
penting, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan
bangsa, sebab jatuh-bangunnya sebuah masyarakat bergantung kepada bagaimana
akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Namun,
bila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya.
Untuk mencapai akhlak yang baik, manusia bisa mencapainya melalui dua
cara. M. Yatimin Abdullah menjabarkannya sebagai berikut.
Pertama, melalui karunia Tuhan yang menciptakan manusia dengan fitrahnya yang sempurna, akhlak yang baik, serta nafsu syahwat yang tunduk kepada akal dan agama. Manusia tersebut dapat memperoleh ilmu tanpa belajar dan tanpa melalui proses pendidikan. Manusia yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah para nabi dan rasul Allah. Kedua, melalui cara berjuang secara bersungguh-sungguh (mujahadah) dan latihan (riyadhah), yakni membiasakan diri melakukan akhlak-akhlak mulia. Ini yang dapat dilakukan oleh manusia biasa, yaitu dengan belajar dan terus-menerus berlatih.1
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa salah satu cara untuk mencapai akhlak
yang baik adalah melalui pendidikan.
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.”2
Dari definisi di atas tampak bahwa pendidikan akhlak merupakan bagian
integral dari keseluruhan sistem pendidikan nasional. Sehingga sama penting dan
tidak terpisahkan dengan aspek-aspek lainnya seperti spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan.
Pendidikan akhlak dalam agama Islam mendapat perhatian yang serius. Dalam
ajaran Islam, kaidah untuk mengerjakan perbuatan baik dan buruk telah tertera di
dalam Alquran dan hadis. Nabi Muhammad Saw. adalah teladan ideal dalam hal
ini. Beliau adalah sosok manusia utama yang menjadi sumber rujukan akhlak
umat Islam. Firman Allah Swt.:
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Q.S. al-Ahzâb/33: 21)3
Pembentukan kepribadian muslim dalam pendidikan akhlak merupakan
pembentukan kepribadian yang utuh, menyeluruh, dan berimbang. Pembentukan
kepribadian muslim sebagai individu adalah bentuk kepribadian yang diarahkan
kepada peningkatan dan pengembangan faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar
(lingkungan), dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman.4
2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2010), Cet. I, h. 2-3.
3Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 420.
3
Untuk mencapai konsep ideal tersebut dibutuhkan sistem yang paripurna.
Dalam hal ini, pendidikan memiliki posisi penting dan strategis. Karena
pendidikan merupakan upaya untuk mengoptimalkan semua potensi manusia,
yaitu dalam masalah moral (akhlak), intelektual, juga jasmani. Dalam proses
pendidikan, segala potensi tersebut dibina dan diarahkan ke dalam koridor positif,
melalui pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan.5
Pendidikan juga merupakan bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar
setelah menerima bimbingan dan asuhan tersebut, para peserta didik mampu
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Lebih dari itu, peserta
didik juga menjadikan ajaran agama tersebut sebagai suatu pandangan hidupnya
demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun akhirat.6 Karena
proses pendidikan memang diselenggarakan untuk memupuk jiwa agama dengan
berupaya menanamkan rasa cinta kasih kepada Allah, menanamkan itikad dan
kepercayaan yang benar dalam jiwa, agar menjadi orang yang bertakwa,
membiasakan dan membimbing peserta didik untuk berakhlak mulia serta
memiliki adat kebiasaan yang baik.7 Dengan demikian, eksistensi manusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi bisa terwujud.
Akan tetapi, jika diamati bagaimana keadaan nyata dunia pendidikan dewasa
ini, tampak adanya gejala-gejala yang menunjukkan rendahnya kualitas akhlak
para peserta didik. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus, misalnya,
maraknya perilaku seks bebas para remaja, menggejalanya tawuran antarsekolah,
dan mewabahnya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di dalam
dunia remaja usia sekolah.
Masalah di atas sudah tentu memerlukan solusi. Dalam hal ini, tindakan
preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan individu kepada terjaminnya
akhlak generasi penerus yang menjadi tumpuan dan harapan bangsa di masa
5Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1998), h. 4.
6Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 23.
4
depan serta dapat menciptakan dan sekaligus memelihara ketenteraman dan
kebahagiaan di tengah-tengah masyarakat.
Mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan
yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut
secara intensif. Pendidikan akhlak dalam kaitan ini berfungsi sebagai panduan
bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan pada
gilirannya dapat menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, serta
menerapkan perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku yang buruk tersebut.
Selain Alquran dan hadis yang merupakan acuan utama dalam pendidikan
akhlak terpuji, karya sastra juga dapat dijadikan rujukan, mengingat di dalam
karya sastra sering termuat pesan atau amanat untuk berbuat baik.
Apa yang tertulis dalam karya sastra merupakan observasi yang tajam dari
pengarangnya terhadap realitas yang terjadi di sekelilingnya. Membaca karya
sastra memungkinkan seseorang mendapatkan masukan tentang manusia atau
masyarakat dan menimbulkan pikiran dan motivasi untuk berbuat sesuatu bagi
manusia atau masyarakat itu; dalam diri manusia sebagai pribadi dan anggota
masyarakat timbul kepedulian terhadap apa yang dihadapi masyarakat.
Imâm al-Ġazâlî, sebagaimana dikutip oleh Zainuddin, dkk., berpendapat
bahwa kesusastraan termasuk ke dalam salah satu faktor lingkungan pendidikan.
Karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik, benar dan mulia akan
membawa pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak
perilaku dan kepribadian anak.8
Salah satu bentuk karya sastra yang berkembang pesat di Indonesia adalah
novel. Jakob Sumardjo menyatakan bahwa novel merupakan bentuk karya sastra
yang paling banyak dibaca daripada bentuk yang lainnya, semisal puisi.9
Novel merupakan salah satu bentuk dari prosa fiksi, mempunyai arti sebuah
karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian kehidupan seseorang
bersama orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku.
8Zainuddin, dkk., Seluk-beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. I, h. 93.
5
Novel dibangun atas dua unsur pembentuknya, yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam
karya sastra itu sendiri, yang secara langsung turut serta membangun cerita.
Unsur-unsur tersebut adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, sudut
pandang penceritaan, gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur
yang berada di luar karya sastra, yang secara tidak langsung turut mempengaruhi
bangunan atau sistem organisasi karya sastra. Unsur-unsur tersebut, misalnya,
pendidikan, psikologi, politik, ekonomi dan sosial.10
Novel sejatinya bukan hanya sekadar bacaan, melainkan mengandung
nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. Di dalam novel tergambar lingkungan
kemasyarakatan serta jiwa tokoh yang hidup di suatu masa dan di suatu tempat.
Secara sosiologis, manusia dan peristiwa dalam novel adalah pantulan realitas
yang ditampilkan oleh pengarang dari suatu keadaan tertentu.11
Gambaran-gambaran kehidupan tersebutlah yang pada gilirannya dapat memengaruhi
pembaca.
Salah satu novel yang cukup populer di tengah masyarakat adalah novel
berjudul Ketika Cinta Bertasbih. Novel ini ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy,
seorang sarjana lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang lahir pada
tanggal 30 September 1976 di Semarang. Ia dikenal secara nasional sebagai dai,
novelis, penyair, penerjemah, dosen dan baru-baru ini sebagai sutradara.
Sebelum menulis novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy
telah dikenal lewat sejumlah karyanya yang fenomenal dan laris terjual di pasaran,
seperti novel Ayat Ayat Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, novelet Dalam
Mihrab Cinta, dan kumpulan kisah Di Atas Sajadah Cinta. Bahkan, novel Ayat
Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, serta novelet Dalam Mihrab Cinta
kemudian difilmkan dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat.
10Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), Cet. VIII, h. 23-24.
6
Dalam kapasitasnya sebagai penulis, Habiburrahman El Shirazy berhasil
meraih beberapa penghargaan, di antaranya: Pena Award Tahun 2005, The Most
Favorite Book and Writer Tahun 2005, dan IBF Award Tahun 2006.
Pada tahun 2007 silam, Habiburrahman El Shirazy dipilih oleh harian umum
Republika sebagai salah satu Tokoh Perubahan Indonesia Tahun 2007 dengan
predikat “The Sound of Moral”.12 Dari penghargaan ini, dapat dilihat bahwa
Habiburrahman El Shirazy dan karyanya dinilai telah membawa pengaruh positif
dalam gerakan perbaikan moral di Indonesia.
Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy mengisahkan
seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Melalui tokoh utama bernama Azzam dalam novel tersebut, ia berupaya
menyampaikan berbagai pesan akhlak kepada para pembaca.
Maka, untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel tersebut,
dalam skripsi ini penulis akan membahasnya dengan judul: “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya
Habiburrahman El Shirazy”.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Banyaknya kemerosotan akhlak yang terjadi di tengah masyarakat, mulai
dari kalangan generasi muda hingga tua.
2. Banyaknya peserta didik usia sekolah yang terlibat tawuran, seks bebas dan
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dikarenakan kurangnya
pemahaman mereka terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak terpuji.
3. Pentingnya upaya pendidikan akhlak terpuji melalui media yang mampu
menarik minat peserta didik, antara lain melalui bahan bacaan berupa novel.
7
C.Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan tidak melebar, maka dalam penelitian ini dibatasi
hanya pada nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Ketika Cinta
Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Yang dimaksud dengan akhlak
dalam penelitian ini adalah sikap yang mengakar dalam jiwa yang mampu
melahirkan berbagai perbuatan dengan mudah, tanpa perlu dipikirkan dan
dipertimbangkan kembali.13 Jika sikap tersebut melahirkan perbuatan yang
baik dalam pandangan Islam, maka hal itu disebut akhlak terpuji.
Sedangkan bila yang timbul dari sikap tersebut adalah perilaku tercela
dalam pandangan Islam, maka hal demikian disebut akhlak tercela. Adapun
yang dimaksud dengan akhlak dalam skripsi ini ialah akhlak terpuji.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
“Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Ketika Cinta
Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy”.
D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
skripsi ini adalah untuk:
1. Mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Ketika Cinta
Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.
Sedangkan kegunaan penelitian ini yaitu:
1. Kegunaan bagi penulis adalah untuk memperkaya wawasan keilmuan,
khususnya dalam bidang pendidikan akhlak.
2. Bagi para pembaca, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan
rujukan dalam mengembangkan pendidikan akhlak di Indonesia.
13Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. dari Tahżîb al-Akhlâq wa Taţhîr al
8
3. Bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam.
E.Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research)
dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang
berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan akhlak.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek
permasalahan pada penelitian ini, yaitu novel Ketika Cinta Bertasbih
karya Habiburrahman El Shirazy.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk
membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari
penulis lain yang berbicara tentang pendidikan, akhlak dan teori fiksi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu
cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya14.
4. Teknik Analisis Data
a. Metode Analisis Isi (Content Analysis)
Yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami
dan menangkap isi karya sastra. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud
adalah pesan-pesan yang disampaikan pengarang melalui karya
sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang
9
bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif
kepada para pembacanya.15
b. Metode Deskriptif
Yaitu suatu cara yang digunakan untuk membahas objek penelitian
secara apa adanya berdasarkan data-data yang diperoleh.16 Adapun teknik
deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.
Dengan analisis kualitatif akan diperoleh gambaran sistematik mengenai
isi suatu dokumen. Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian
diklasifikasikan menurut kriteria atau pola tertentu. Yang hendak dicapai
dalam analisis ini adalah menjelaskan pokok-pokok penting dalam
sebuah manuskrip atau dokumen.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2007.
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah pemaparan hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti lainnya atau para ahli. Dengan adanya tinjauan pustaka ini penelitian
seseorang dapat diketahui keasliannya.
Setelah penulis melakukan tinjauan di Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, penulis tidak menemukan judul skripsi yang sama dengan
yang penulis kaji. Adapun yang penulis temukan hanya beberapa judul yang
hampir sama. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
mencontek hasil karya orang lain, penulis perlu mempertegas perbedaan di antara
masing-masing judul dan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. “Analisis Isi Pesan Dakwah pada Novel Dalam Mihrab Cinta Karya
Habiburrahman El Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Siti Maryam,
10
mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 2009. Penelitiannya dibatasi pada analisis isi pesan
dakwah yang meliputi akidah, akhlak dan syariah.
Persamaan penelitian Siti Maryam dengan penelitian ini terletak pada
pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Habiburrahman El
Shirazy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek
kajian. Penelitian Siti Maryam mengkaji aspek pesan dakwah dan
menggunakan objek kajian novel Dalam Mihrab Cinta, sedangkan dalam
penelitian ini penulis mengkaji aspek pendidikan akhlak dan menggunakan
objek kajian novel Ketika Cinta Bertasbih.
2. “Nilai Moral dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El
Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Hena Khaerunnisa, mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011. Penelitiannya
dibatasi pada kajian nilai moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya
Habiburrahman El Shirazy. Hena mengungkapkan delapan nilai moral
dalam novel Ketika Cinta Bertasbih yang meliputi optimis, toleransi,
santun, memelihara lisan, sabar, tanggung jawab, kuasai emosi, dan
tolong-menolong.
Persamaan penelitian Hena Khaerunnisa dengan penelitian ini terletak
pada objek kajiannya, yaitu sama-sama mengkaji novel Ketika Cinta
Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Sedangkan perbedaannya
terletak pada aspek kajiannya. Penelitian Hena Khaerunnisa mengkaji aspek
moral yang menggunakan tolak ukur norma Pancasila, sedangkan dalam
penelitian ini penulis mengkaji aspek pendidikan akhlak yang menggunakan
tolak ukur ajaran Islam, meliputi Alquran dan hadis.
Perbedaan lainnya adalah dalam penelitian Hena Khaerunnisa, ia tidak
berusaha mengaitkan nilai moral dengan pendidikan, sedangkan dalam
penelitian ini penulis mengaitkan nilai-nilai akhlak dengan konteks
pendidikan, khususnya kebermanfaatan gambaran akhlak yang ditunjukkan
11
BAB II KAJIAN TEORI
A.Konsep Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Akhlak
Istilah pendidikan berasal dari kata dasar “didik”, yang artinya “memelihara
dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran”.1
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.2
Sedangkan arti pendidikan menurut istilah yang dikemukakan oleh para ahli
pendidikan beraneka ragam. Di antaranya sebagai berikut:
Menurut Muzayyin Arifin pendidikan adalah “menumbuhkan personalitas
(kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi
1Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Edisi IV, h. 425.
12
manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi
pertumbuhan manusia”.3
Sementara itu, Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan sebagai
“pengembangan pribadi dalam semua aspeknya”. Dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri
sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru).
Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah
bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara
maksimal.4
Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dikutip oleh
Abuddin Nata berpendapat bahwa:
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk kesalamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.5
M. Ngalim Purwanto mendefinisikan pendidikan sebagai “segala usaha orang
dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan
jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.” Atau lebih jelas lagi, pendidikan
ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada
anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri
dan bagi masyarakat.6
Dari definisi-definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan
adalah suatu proses atau usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan
kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan
nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya
3Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. I, h. 7.
4Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 26-27.
13
menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya
sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya.
Selanjutnya pengertian akhlak. Ditinjau dari segi bahasa, kata “akhlak” berasal
dari bahasa Arab akhlâq yang berarti “perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan,
sopan dan santun agama”.7
Secara linguistik, kata akhlâq merupakan isim jamid atau isim ġair mustaq,
yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang
begitu adanya. Kata akhlâq adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang
artinya sama dengan arti kata akhlâq sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik
kata akhlâq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam Alquran
maupun hadis sebagaimana terlihat di bawah ini:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”8
(Q.S. al-Qalam/68: 4)
“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu.”9 (Q.S. asy-Syu’arâ'/26: 137)
“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya.”(H.R. Tirmiżî)
“Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.” (H.R. Ahmad)
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia
sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu
argumen keanekaragaman tersebut.10
“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.”11 (Q.S. al-Lail/92: 4)
7Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia, 2005), Cet. II, h. 25.
8Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), h. 564.
9Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya…, h. 373.
14
Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua
menggunakan kata akhlâq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang
pertama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua
menggunakan kata akhlâq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata
akhlâq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan,
perangai, muru'ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi.12
Adapun pengertian akhlak menurut istilah dapat dilihat dari beberapa pendapat
pakar berikut.
Menurut Imâm al-Ġazâli, akhlak ialah:
13
“Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”
Sedangkan Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai:
14
“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Adapun Ibrâhîm Anîs, dkk. dalam al-Mu’jam al-Wasîţ menyatakan bahwa
akhlak ialah:
15
12Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf…, h. 26.
13Abû Hâmid al-Ġazâlî, Ihyâ' ‘Ulûm ad-Dîn, Jilid III, (Kairo: Dâr ar-Rayyân, 1987), h. 58.
15
“Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”
Jika diperhatikan dengan saksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak
sebagaimana dipaparkan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling
melengkapi, yakni suatu sikap yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam
perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran
lagi dan sudah menjadi kebiasaan.
Dari definisi pendidikan dan akhlak di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian pendidikan akhlak ialah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik
untuk membentuk tabiat yang baik pada peserta didik sehingga terbentuk manusia
yang taat kepada Allah.
2. Dasar Pendidikan Akhlak
Dasar secara bahasa berarti “fundamen, pokok atau pangkal suatu pendapat
(ajaran, aturan), atau asas”.16 Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar adalah “landasan
berdirinya sesuatu yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan yang akan
dicapai”.17
Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang ada
dalam Islam memiliki dasar pemikiran. Begitu pula dengan pendidikan akhlak.
Adapun yang menjadi dasar pendidikan akhlak dalam Islam ialah Alquran dan
sunnah.
a. Alquran
Alquran ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya terkandung
ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek
kehidupan melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan
15Ibrâhîm Anîs, dkk., al-Mu’jam al-Wasîţ,Jilid I, (Tt.p.: t.p., t.t.), h. 252.
16
yang disebut akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut
syariah.18
Alquran diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai pedoman
hidupnya. Sebab pada dasarnya Alquran banyak membahas berbagai aspek
kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang
dibahasnya. Setiap ayat yang terkandung di dalamnya merupakan bahan
baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan manusia.
Di antara ayat Alquran yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah
seperti ayat di bawah ini:
“Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”19
(Q.S. Luqmân/31: 17-18)
Menurut M. Quraish Shihab, Alquran secara garis besar memiliki tiga
tujuan pokok yaitu:
1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepastian akan adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. 20
18Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h. 21. 19Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya…, h. 412.
17
b. Sunnah
Dasar pendidikan akhlak berikutnya adalah sunnah. Menurut bahasa,
sunnah berarti “perjalanan atau sejarah, baik atau buruk masih bersifat
umum”. Sedangkan menurut istilah, sunnah berarti “segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi atau kepada seorang sahabat atau seorang
setelahnya (tâbi’în), baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan
sifat”.21
Mengingat kebenaran Alquran dan sunnah adalah mutlak, maka setiap
ajaran yang sesuai dengan Alquran dan sunnah harus dilaksanakan dan
apabila bertentangan harus ditinggalkan. Dengan demikian, berpegang teguh
kepada keduanya akan menjamin seseorang terhindar dari kesesatan.
Sebagaimana diterangkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis
berikut:
22
“Dikabarkan dari Abû Bakar bin Ishâq al-Faqîh diceritakan dari Muhammad bin ‘Îsâ bin Sakr al-Wâsiţî diceritakan dari Dâwûd bin ‘Umar dan Đabî diceritakan dari Şâlih bin Mûsâ aţ-Ţalahî dari ‘Abdul Azîz bin Rafî’ dari putra Şâlih dari Abû Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua (pusaka), kamu tidak akan sesat apabila (berpegang) pada keduanya, yaitu Kitab Alah dan sunnahku dan tidak akan tertolak oleh hauđ.” (H.R. Hâkim)
Dari ayat serta hadis tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta
pendidikan akhlak terpuji sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw. harus diteladani agar manusia dapat hidup sesuai dengan
tuntunan syariat, yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat
manusia itu sendiri. Sesungguhnya Rasulullah Saw. adalah contoh serta
21Abdul Majid Khon, dkk., Ulumul Hadits, (Jakarta: PSW UIN Jakarta), h. 4-5.
18
teladan sempurna bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan
nilai-nilai akhlak terpuji kepada umatnya.
3. Tujuan Pendidikan Akhlak
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu
mempunyai tujuan. Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam
melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya
penyimpangan dalam kegiatan.
Begitu pula halnya dengan pendidikan akhlak. Menurut Muhammad ‘Aţiyyah
al-Abrâsyî, tujuan pendidikan akhlak adalah “untuk membentuk orang-orang yang
bermoral baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia
dalam tingkah laku serta beradab”.23
Adapun menurut Imâm al-Ġazâlî, tujuan pendidikan akhlak dalam prosesnya
haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan
insani, dapat membentuk kepribadian muslim yang memiliki sifat terpuji,
sehingga setiap perbuatan baik yang dilakukan terasa nikmat, dan pada akhirnya
dapat mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan
di dunia dan akhirat. Sehingga tujuan pendidikan akhlak dirumuskan sebagai
pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk membentuk manusia yang saleh, yang
mampu melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan
kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hamba-Nya.24
Rumusan yang sederhana namun cukup mengena ditawarkan oleh Zakiah
Daradjat. Menurutnya, tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk
karakter muslim yang memiliki sifat-sifat terpuji. Zakiah berpendapat bahwa
dalam ajaran Islam, akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman. Iman merupakan
pengakuan hati, dan akhlak adalah pantulan iman tersebut pada perilaku, ucapan
23Muhammad ‘Aţiyyah al-Abrâsyî, Dasar-dasar Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), Cet. III, h. 103.
19
dan sikap. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam
perbuatan, yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata.25
Dalam hal ini, Zakiah menekankan bahwa akhlak adalah implementasi dari
iman. Tujuan pendidikan akhlak dengan demikian adalah untuk membuat peserta
didik mampu mengimplementasikan keimanan dengan baik.
4. Metode Pendidikan Akhlak
Berbicara mengenai masalah pembinaan dan pembentukan akhlak sama
dengan berbicara mengenai tujuan pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai
pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
pembentukan dan pembinaan akhlak terpuji.
Ada dua pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak. Pendapat
pertama mengatakan bahwa akhlak tidak perlu pembinaan. Menurut aliran ini
akhlak adalah insting yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini akhlak
adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan
atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau
intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini,
maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, atau dengan kata lain tanpa perlu
dibentuk (ġair muktasabah).
Selanjutnya pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari
pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh.
Kelompok yang mendukung pendapat kedua ini umumnya berasal dari
ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibn Miskawaih, Ibn Sînâ, dan al-Ġazâlî
termasuk di antara kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha
(muktasabah).26
Imâm al-Ġazâlî, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, misalnya
mengatakan bahwa:
25Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1993), h. 67-70.
20
“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis Nabi yang mengatakan ‘perbaikilah akhlak kamu sekalian’”.27
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ada banyak usaha yang dilakukan
oleh manusia untuk membentuk akhlak yang terpuji. Bermunculannya
lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka pembinaan akhlak semakin memperkuat
pendapat bahwa akhlak memang perlu dibina dan dilatih.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai “cara yang
teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud”.28
Adapun metode pendidikan akhlak adalah sebagai berikut:
a. Metode Keteladanan
Yang dimaksud dengan metode keteladanan adalah “suatu metode
pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik,
baik di dalam ucapan maupun perbuatan”.29
Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan
Rasulullah Saw. dan paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan
penyampaian misi dakwahnya. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa
pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil.
‘Abdullâh Nâşih ‘Ulwân, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly,
misalnya mengatakan bahwa “pendidik akan merasa mudah
mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa
kesulitan dalam memahami pesan itu apabila pendidiknya tidak memberi
contoh tentang pesan yang disampaikannya”.30
Hal ini disebabkan karena secara psikologis anak adalah seorang peniru.
Peserta didik cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai
tokoh identifikasi dalam segala hal.
27Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf…, h. 157.
28Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 1022. 29Syahidin, Metode Pendidikan Qurani: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Misaka Galiza,1999), Cet. I, h. 135.
21
b. Metode Pembiasaan
Pembiasaan menurut M.D. Dahlan, seperti dikutip oleh Hery Noer Aly,
merupakan “proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah
cara-cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis
(hampir tidak disadari oleh pelakunya)”.31
Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan tingkah laku,
keterampilan, kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk
memudahkan peserta didik dalam melakukannya. Karena seseorang yang
telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan
mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya
menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk diubah dan akan tetap
berlangsung sampai tua.
c. Metode Memberi Nasihat
‘Abdurrahmân an-Nahlâwî, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly,
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah “penjelasan
kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang
dinasihati dari bahaya serta menunjukannya ke jalan yang mendatangkan
kebahagiaan dan manfaat”.32
Dalam metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan
yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan
kemaslahatan umat. Di antaranya dengan menggunakan kisah-kisah Qurani,
baik kisah nabawi maupun umat terdahulu yang banyak mengandung
pelajaran yang dapat dipetik.
d. Metode Motivasi dan Intimidasi
Metode motivasi dan intimidasi dalam bahasa Arab disebut uslûb
at-tarġîb wa at-tarhîb. “Tarġîb berasal dari kata kerja raġġaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata ini diubah menjadi
kata benda tarġîb yang bermakna suatu harapan untuk memperoleh
22
kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan yang mendorong seseorang
sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya”.33
Metode motivasi akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya
pendidik menggunakan bahasa yang menarik dan bisa meyakinkan
pendengar. Oleh karena itu hendaknya pendidik bisa meyakinkan peserta
didiknya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya, apabila
bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka peserta didik akan malas
memperhatikannya.
Sedangkan metode tarhîb berasal dari kata rahhaba yang berarti
“menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancam di sini sebagai reaksi bila peserta didik melakukan dosa atau kesalahan yang
dilarang Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang
diperintahkan Allah”.34
Metode intimidasi atau hukuman baru bisa digunakan apabila
metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk
mewujudkan tujuan.
e. Metode ‘Ibrah
Secara sederhana, ‘ibrah berarti merenungkan dan memikirkan. Dalam
arti umum dapat diartikan dengan “mengambil pelajaran dari setiap
peristiwa”. ‘Abdurrahmân an-Nahlâwî mendefinisikan ‘ibrahsebagai “suatu
kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari dari
suatu peristiwa yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan,
ditimang-timang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat
mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada
perilaku berpikir sosial yang sesuai”.35
f. Metode Kisah
Metode kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik murid agar
mengambil pelajaran dari kejadian di masa lampau. Apabila kejadian
33Syahidin, Metode Pendidikan Qurani…, h. 121. 34Syahidin, Metode Pendidikan Qurani…, h. 121.
23
tersebut merupakan kejadian yang baik, maka harus diikutinya. Sebaliknya,
apabila kejadian tersebut bertentangan dengan ajaran Islam maka harus
dihindari.
Metode ini sangat digemari khususnya oleh anak kecil, bahkan sering
kali digunakan oleh seorang ibu ketika anak tersebut akan tidur. Apalagi
jika metode ini disampaikan oleh orang yang pandai bercerita, akan menjadi
daya tarik tersendiri. Namun perlu diingat bahwa kemampuan setiap peserta
didik dalam menerima pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh
tingkat kesulitan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, hendaknya setiap
pendidik bisa memilih bahasa yang mudah dipahami oleh setiap anak.
Lebih lanjut an-Nahlâwî menjabarkan dampak penting dari pendidikan
melalui kisah yaitu:
Pertama, kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembaca tanpa cerminan kesantaian dan keterlambatan sehingga dengan kisah, setiap pembaca akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah tersebut sehingga pembaca terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut.
Kedua, interaksi kisah Qur’ani dan Nabawi dengan diri manusia dalam keutuhan realitasnya tercermin dalam pola terpenting yang hendak ditonjolkan oleh al-Qur’an kepada manusia di dunia dan hendak mengarahkan perhatian pada setiap pola yang selaras dengan kepentinganya.
Ketiga, kisah-kisah Qur’ani mampu membina perasaan ketuhanan melalui cara-cara berikut: 1) Mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela dan lain-lain. 2) Mengarahkan semua emosi tersebut sehingga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita. 3) Mengikutsertakan unsur psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita sehingga pembaca, dengan emosinya, hidup bersama tokoh cerita. 4) Kisah Qur’ani memiliki keistimewaan karena, melalui topik cerita, kisah dapat memuaskan pemikiran seperti pemberian sugesti, keinginan, dan keantusiasan, perenungan dan pemikiran.36
24
B.Konsep Novel 1. Pengertian Novel
Karya sastra dapat digolongkan sebagai salah satu sarana pendidikan dalam
arti luas. Pendidikan dalam arti ini tidak terbatas pada buku-buku teks (text
book) pelajaran dan kurikulum yang diajarkan di sekolah, namun dapat berupa
apa saja, termasuk karya sastra, baik yang berbentuk novel, cerpen, puisi,
pantun, gurindam, dan bentuk karya sastra lainnya.
Kata sastra menurut A. Teeuw, sebagaimana dikutip oleh Atmazaki,
“berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti
‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi’. Akhiran -tra biasanya menunjuk alat, sarana. Maka dari itu, sastra dapat berarti ‘alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran’”.37
Dunia kesusastraan secara garis besar mengenal tiga jenis teks sastra, yaitu
teks naratif (prosa), teks monolog (puisi), dan teks dialog (drama).38 Salah satu
dari ragam prosa adalah novel.
Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short
story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan
dalam perkembangannya kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi.
Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk ke
Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah, novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan
kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.39
Menurut Alterbernd dan Lewis, sebagaimana dikutip oleh Burhan
Nurgiyantoro, fiksi—sebagai sinonim dari novel—adalah:
Prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara
37Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (T.tp.: Angkasa Raya, t.t.), h. 16-17.
38Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), Cet. I, h. 14.
25
selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.40
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel diartikan sebagai “karangan
prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang
dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat
setiap pelaku”.41
Novel menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan, diri sendiri, serta dengan Tuhan. Novel
merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap
lingkungan dan kehidupannya. Walau berupa khayalan, tidak benar jika novel
dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penuh penghayatan
dan perenungan secara intens terhadap hakikat hidup dan kehidupan, serta
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.42
Bagi pembaca, kegiatan membaca karya fiksi seperti novel berarti
menikmati cerita dan menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.
Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang
ditawarkan, sebuah novel haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap
merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan
estetik.
Daya tarik inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk
membacanya. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap orang senang
dengan cerita, baik yang diperoleh dengan cara membaca maupun
mendengarkan. Melalui sarana cerita ini pembaca secara tidak langsung dapat
belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang
secara sengaja ditawarkan oleh pengarang. Oleh karena itu, cerita, fiksi, atau
karya sastra pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia menjadi
lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.43
40Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 2-3.
41Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 1079. 42Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 3.
26
2. Macam-macam Novel
Dilihat dari segi mutunya, novel dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Novel Serius
Novel serius atau disebut juga novel literer merupakan novel yang
memerlukan daya konsentrasi yang tinggi dan kemauan jika ingin
memahaminya.44 Novel ini merupakan makna sastra yang sebenarnya.
Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel
jenis ini disorot dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang
bersifat universal. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga secara
implisit bertujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca,
atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara
lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru
dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya, unsur kebaruan
diutamakan. Novel ini mengambil realitas kehidupan sebagai model,
kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus.
Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca. Oleh
karena itu, pembaca novel jenis ini tidak banyak. Namun demikian,
meskipun jumlah novel dan pembacanya tidak terlalu banyak, novel ini akan
mempunyai gaung dan bertahan dari waktu ke waktu.
Novel serius mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Karya sastra ini tidak hanya berputar-putar dalam masalah cinta asmara muda-mudi saja, namun membuka diri terhadap masalah penting untuk menyempurnakan hidup manusia. Masalah cinta dalam novel serius kadang hanya berperan untuk menyusun plot cerita saja, sedangkan permasalahan yang sebenarnya berkembang di luar itu.
2) Karya sastra ini tidak berhenti pada gejala permukaan saja, tetapi selalu mencoba memahami suatu masalah secara mendalam dan mendasar. Hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan kematangan pribadi pengarang sebagai seorang intelektual.
3) Kejadian atau pengalaman yang diceritakan dalam karya sastra ini bisa dialami oleh manusia mana saja dan kapan saja. Karya sastra ini
27
membicarakan hal-hal yang universal dan nyata, serta tidak membicarakan kejadian yang artifisial (dibuat-buat) dan bersifat kebetulan.
4) Isi cerita penuh inovasi, segar dan baru. Sastra adalah penafsiran hidup yang jitu, merekam alam kehidupan dan menyajikan kembali dengan serba kemungkinan.
5) Mementingkan tema, karakteristik, plot, dan unsur-unsur cerita lainnya dalam membangun cerita.45
b. Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan
masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai
pada tingkat permukaan.46
Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih
intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian
halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius,
dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu, novel
populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat
ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali
lagi. Biasanya novel ini akan cepat dilupakan orang, apalagi dengan
munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya.
Novel jenis ini lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia
memang semata-mata menyampaikan cerita. Ia tidak berpretensi mengejar
efek estetis, melainkan memberi hiburan langsung dari aksi ceritanya.
Adapun ciri-ciri novel populer sebagai berikut:
1) Tema dalam novel ini selalu hanya menceritakan kisah percintaan saja, tanpa menyentuh permasalahan lain yang lebih serius.
2) Meskipun utuh, alurnya datar dan sering mengabaikan karakterisasi tokoh sehingga terasa dangkal.
3) Menggunakan bahasa yang aktual, lincah, dan gaya bercerita yang sentimental.
4) Bertujuan hiburan sehingga cerita disuguhkan dengan cara yang ringan, mengasyikkan, namun tetap memiliki ketegangan, penuh aksi, warna dan humor.
28
5) Karena cerita berorientasi untuk konsumsi massa saja, maka pengarang novel populer rata-rata tunduk pada hukum cerita konvensional, sehingga jarang dijumpai usaha pembaharuan dalam novel jenis ini, sebab yang demikian itu akan ditinggalkan oleh massa pembacanya.47
3. Unsur-unsur Novel
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang
bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai unsur-unsur yang
saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang
sering digunakan para kritikus dalam mengkaji dan membicarakan novel atau
karya sastra pada umumnya.48
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun
karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang secara faktual akan
dijumpai oleh pembaca saat membaca karya sastra. Kepaduan antarunsur
intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.49
Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari: tema, alur, penokohan, latar, dan
sudut pandang.
1) Tema
Tema adalah dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel.
Gagasan dasar umum inilah—yang tentunya telah ditentukan sebelumnya
oleh pengarang—yang digunakan untuk mengembangkan cerita. Tema
dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna yang
mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir sebagai
sebuah kesatuan yang padu.50 Berbagai unsur fiksi seperti alur,
47Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia…, h. 43. 48Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi…, h. 23.
29
penokohan, sudut pandang, latar, dan lain-lain akan berkaitan dan
bersinergi mendukung eksistensi tema.
Dalam sebuah cerita, tema jarang diungkapkan secara eksplisit, tetapi
menjiwai keseluruhan cerita. Adakalanya memang dapat ditemukan
sebuah kalimat, alinea, atau percakapan yang mencerminkan tema secara
keseluruhan. Namun, walaupun demikian, tema harus ditemukan lewat
pembacaan mendalam dan pemahaman yang kritis dari pembaca.
2) Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah
cerita. Atau lebih jelasnya, alur merupakan peristiwa-peristiwa yang
disusun satu per satu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat
dari awal sampai akhir cerita.51
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa tiap peristiwa tidak berdiri
sendiri. Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa
yang lain, peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya
peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai cerita tersebut berakhir.
3) Penokohan
Penokohan merupakan unsur penting dalam karya fiksi. Dalam kajian
karya fiksi, sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan,
watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian
dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut
sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang sama, atau paling tidak
serupa. Namun dalam skripsi ini penulis tidak akan terlalu membahas
perbedaan tersebut secara fokus, sebab inti kajian skripsi ini bukan
terletak pada masalah tersebut.
Istilah penokohan lebih luas cakupannya daripada tokoh. Sebab ia
sekaligus mencakup masalah siapa tokoh dalam cerita, bagaimana
perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam
sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada