BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan Akhlak
4. Metode Pendidikan Akhlak
Berbicara mengenai masalah pembinaan dan pembentukan akhlak sama dengan berbicara mengenai tujuan pendidikan. Karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan akhlak terpuji.
Ada dua pendapat terkait dengan masalah pembinaan akhlak. Pendapat pertama mengatakan bahwa akhlak tidak perlu pembinaan. Menurut aliran ini akhlak adalah insting yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, atau dengan kata lain tanpa perlu dibentuk (ġair muktasabah).
Selanjutnya pendapat kedua mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat kedua ini umumnya berasal dari ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibn Miskawaih, Ibn Sînâ, dan al-Ġazâlî
termasuk di antara kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah).26
Imâm al-Ġazâlî, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, misalnya mengatakan bahwa:
25Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1993), h. 67-70.
20
“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis Nabi yang mengatakan ‘perbaikilah akhlak kamu sekalian’”.27
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ada banyak usaha yang dilakukan oleh manusia untuk membentuk akhlak yang terpuji. Bermunculannya lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka pembinaan akhlak semakin memperkuat pendapat bahwa akhlak memang perlu dibina dan dilatih.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai “cara yang
teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud”.28
Adapun metode pendidikan akhlak adalah sebagai berikut: a. Metode Keteladanan
Yang dimaksud dengan metode keteladanan adalah “suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan”.29
Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah Saw. dan paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan penyampaian misi dakwahnya. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil.
‘Abdullâh Nâşih ‘Ulwân, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly,
misalnya mengatakan bahwa “pendidik akan merasa mudah
mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila pendidiknya tidak memberi
contoh tentang pesan yang disampaikannya”.30
Hal ini disebabkan karena secara psikologis anak adalah seorang peniru. Peserta didik cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal.
27Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf…, h. 157.
28Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 1022.
29Syahidin, Metode Pendidikan Qurani: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Misaka Galiza,1999), Cet. I, h. 135.
21
b. Metode Pembiasaan
Pembiasaan menurut M.D. Dahlan, seperti dikutip oleh Hery Noer Aly, merupakan “proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis
(hampir tidak disadari oleh pelakunya)”.31
Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk memudahkan peserta didik dalam melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk diubah dan akan tetap berlangsung sampai tua.
c. Metode Memberi Nasihat
‘Abdurrahmân an-Nahlâwî, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah “penjelasan kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukannya ke jalan yang mendatangkan
kebahagiaan dan manfaat”.32
Dalam metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Di antaranya dengan menggunakan kisah-kisah Qurani, baik kisah nabawi maupun umat terdahulu yang banyak mengandung pelajaran yang dapat dipetik.
d. Metode Motivasi dan Intimidasi
Metode motivasi dan intimidasi dalam bahasa Arab disebut uslûb at-tarġîb wa at-tarhîb. “Tarġîb berasal dari kata kerja raġġaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata ini diubah menjadi kata benda tarġîb yang bermakna suatu harapan untuk memperoleh
31Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 134.
22
kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya”.33
Metode motivasi akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya pendidik menggunakan bahasa yang menarik dan bisa meyakinkan pendengar. Oleh karena itu hendaknya pendidik bisa meyakinkan peserta didiknya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya, apabila bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka peserta didik akan malas memperhatikannya.
Sedangkan metode tarhîb berasal dari kata rahhaba yang berarti
“menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancam di sini sebagai reaksi bila peserta didik melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang
diperintahkan Allah”.34
Metode intimidasi atau hukuman baru bisa digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan.
e. Metode ‘Ibrah
Secara sederhana, ‘ibrah berarti merenungkan dan memikirkan. Dalam arti umum dapat diartikan dengan “mengambil pelajaran dari setiap peristiwa”. ‘Abdurrahmân an-Nahlâwî mendefinisikan ‘ibrahsebagai “suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari dari suatu peristiwa yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimang-timang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku berpikir sosial yang sesuai”.35
f. Metode Kisah
Metode kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik murid agar mengambil pelajaran dari kejadian di masa lampau. Apabila kejadian
33Syahidin, Metode Pendidikan Qurani…, h. 121.
34Syahidin, Metode Pendidikan Qurani…, h. 121.
35‘Abdurrahmân an-Nahlâwî, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. II, h. 289.
23
tersebut merupakan kejadian yang baik, maka harus diikutinya. Sebaliknya, apabila kejadian tersebut bertentangan dengan ajaran Islam maka harus dihindari.
Metode ini sangat digemari khususnya oleh anak kecil, bahkan sering kali digunakan oleh seorang ibu ketika anak tersebut akan tidur. Apalagi jika metode ini disampaikan oleh orang yang pandai bercerita, akan menjadi daya tarik tersendiri. Namun perlu diingat bahwa kemampuan setiap peserta didik dalam menerima pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesulitan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, hendaknya setiap pendidik bisa memilih bahasa yang mudah dipahami oleh setiap anak. Lebih lanjut an-Nahlâwî menjabarkan dampak penting dari pendidikan melalui kisah yaitu:
Pertama, kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembaca tanpa cerminan kesantaian dan keterlambatan sehingga dengan kisah, setiap pembaca akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah tersebut sehingga pembaca terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut.
Kedua, interaksi kisah Qur’ani dan Nabawi dengan diri manusia dalam keutuhan realitasnya tercermin dalam pola terpenting yang hendak ditonjolkan oleh al-Qur’an kepada manusia di dunia dan hendak mengarahkan perhatian pada setiap pola yang selaras dengan kepentinganya.
Ketiga, kisah-kisah Qur’ani mampu membina perasaan ketuhanan melalui cara-cara berikut: 1) Mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela dan lain-lain. 2) Mengarahkan semua emosi tersebut sehingga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita. 3) Mengikutsertakan unsur psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita sehingga pembaca, dengan emosinya, hidup bersama tokoh cerita. 4) Kisah Qur’ani memiliki keistimewaan karena, melalui topik cerita, kisah dapat memuaskan pemikiran seperti pemberian sugesti, keinginan, dan keantusiasan, perenungan dan pemikiran.36
36‘Abdurrahmân an-Nahlâwî, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1992), Cet. II, h. 242.
24
B.Konsep Novel