• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV EKSEKUSI PUTUSAN ATAS KEPEMILIKAN TANAH

C. Akibat Hukum Terjadinya Eksekusi

Dalam penelitian ini, kedua putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yakni putusan No. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 telah memenuhi asas-asas umum eksekusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Hukum Acara Perdata (HIR), antara lain:

1) Menjalankan Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah tidak ada lagi upaya hukum dalam bentuk putusan tingkat pertama, bisa juga dalam bentuk putusan tingkat banding dan kasasi. Sifat dari putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa disengketakan lagi oleh para pihak yang berperkara.

Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 maka kedua perkara perdata tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa. 2) Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Pada prinsipnya, pelaksanaan putusan atau eksekusi sebagai tindakan paksaan menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau memenuhi isi putusan secara sukarela (Pasal 196 HIR dan Pasal 207 R.bg).

122

Pihak yang kalah dianggap tidak mau menjalankan putusan secara sukarela terhitung sejak tanggal ”peringatan (aanmaning)” dilampaui. Sejak dilampauinya tanggal peringatan tersebut, saat itulah definitif berlakunya upaya eksekusi. Sebelum tanggal itu lewat, tindakan eksekusi masih berada dibawah tindakan menjalankan putusan secara sukarela.

Mengenai tenggang waktu peringatan pasal 196 HIR (Pasal 207 R.bg ayat 2), menentukan batas maksimal, yakni paling lama 8 (delapan) hari. Dari batas maksimal tersebut, Ketua Pengadilan Negeri boleh memberi batas kurang dari batas masa peringatan tersebut, seperti misalnya dua atau lima hari. Maksudnya adalah agar dalam batas waktu yang diberikan, tergugat masih diberi kesempatan untuk menjalankan putusan secara sukarela, sehingga bila waktu yang diberikan terlewati maka putusan dapat dieksekusidengan paksa.

Dalam hal ini para pihak yang kalah pada putusan Mahkamah Agung No. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 sama-sama tidak mau menjalankan putusan dengan sukarela karena telah melampaui tanggal peringatan. Dengan kronologis sebagai berikut ;

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pariaman Nomor : 05/PDT/G/1994/PN.PRM tanggal 10 Nopember 1994 yang telah dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor : 55/PDT.G/1995 PT.PDG tanggal 05 Juni 1995 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 telah menjelaskan perkara objek tanah yang telah digugat oleh pihak Ibrahim cs

kepada tergugat H. Basyarudin bahwa dalam putusan menolak permohonan kasasi dari para penggugat/pemohon dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebanyak Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), dimana putusan tersebut diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa tanggal 09 September 1997 dengan Soenarjo, Hakim Agung yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, H. Kahardiman dan Tjung Abdul Mutallib sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 16 September 1997 oleh Ketua Sidang dengan dihadiri oleh Hakim Agung dan anggota dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Pada hari Senin tanggal 06 Mei 2013 jam 09.00 wib di Dusun Olo Desa Rambai Kec. Pariaman Selatan Kota Pariaman telah dilakukan pengukuran batas milik Haji Basyarudin oleh Badan Pertanahan Nasional RI kota Pariaman, namun pada saat pengukuran batas tanah berlangsung datang saudara Sutrijon cs (kemenakan dari penggugat objek perkara Ibrahim) dan menghalang-halangi petugas pada saat melakukan pengukuran dengan alasan bahwa tanah tersebut bukanlah hak dari Haji Basyarudin sehinggal pengukuran batal dilakukan.

Kemudian pada hari kamis tanggal 29 Agustus 2013 jam 09.00 kembali dilakukan pengukuran batas tanah kedua oleh Badan Pertanahan Nasional kota Pariaman dan didampingi oleh petugas keamanan dari polsek Pariaman akan tetapi pengukuran juga batal dilakukan karena sdr. Sutrijon cs kembali menghalangi pengukuran tanah dengan alasan tanah yang dimaksud bukanlah

hak dari Haji Basyarudin dan tidak mau mengakui hasil putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3) Putusan yang dieksekusi bersifat Kondemnator

Hanya putusan yang bersifat Kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu putusan yang amarnya atau diktum nya mengandung unsur ”penghukuman”.123 Sehubungan dengan prinsip ini, ada beberapa sifat yang terkandung dalam putusan yang perlu diketahui, antara lain :

a. Putusan yang bersifat Kondemnator

Pada umunya putusan yang bersifat kondemnator terwujud dalam perkara yang kontentiosa, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a). Berupa sengketa atau perkara yang bersifat partai,

Dalam permasalahan ini yang menjadi objek sengketa adalah sebidang tanah sebidang tanah harta pusaka tinggi. Dimana diatas tanah objek perkara tersebut tumbuh pohon kelapa yang hasil panennya 1200 buah tiap tahun yang telah diambil dan dinikmati para tergugat asli sejak tahun 1957 atau selama 37 tahun. Para penggugat asli telah dirugikan setiap tahun 1200 buah kelapa senilai 1200 x Rp. 200,- = Rp. 240.000,- selama 37 tahun dengan demikian berjumlah 37 x Rp. 240.000,- = Rp. 8. 880. 000,- atau sesuai dengan taksiran pertimbangan hakim.

Pada saat itu yang ada di tanah tersebut hanya pohon kelapa, namun setelah lama Haji Basyarudin kembali dari kota Jakarta, dimana Haji

123

Basyarudin tersebut menurut keterangannya memiliki isteri dua, dimana satu berada di Jakarta. Pada bulan Mei 2013 Haji Basyarudin pulang dari Jakarta untuk melakukan pengukuran tanah namun menemui adanya bangunan 3 (tiga) unit rumah yang ditempati oleh ibu Sutrijon dan adik- adik Sutrijon. SutrijonCstersebut merupakan kemenakan dari penggugat objek perkara Ibrahim. Tanah dimana tempat didirikannya rumah tersebut adalah milik dari Haji Basyarudin.

b) Ada pihak penggugat yang bertindak mengajukan gugatan terhadap pihak Tergugat, yakni :

Pada perkara Pengadilan Negeri Pariaman Nomor : 05/PDT/G/1994/PN.PRM tanggal 10 Nopember 1994 yang telah dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor : 55/PDT.G/1995 PT.PDG tanggal 05 Juni 1995 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997, yang menjadi penggugat adalah Ibrahim cs, dan yang menjadi tergugat adalah Haji Basyarudincs.

c) Proses pemeriksaanya berlangsung secara kotradiktor, yakni pihak penggugat dan tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah. b. Ciri-ciri putusan Kondemnator

Yang dapat dijadikan indikator penentuan suatu putusan bersifat kondemnator antara lain:

a) Menghukum atau memerintahkan ”menyerahkan” suatu barang,

b) Menghukum atau memerintahkan ”pengosongan” sebidang tanah atau rumah

c) Menghukum atau memerintahkan ”membagi”

d) Menghukum atau memerintahkan ”melakukan” suatu perbuatan tertentu e) Menghukum atau memerintahkan ”penghentian” suatu perbuatan atau

keadaan.

f) Menghukum atau memerintahkan melakukan ”pembayaran” sejumlah uang.

g) Menghukum atau memerintahkan untuk ”membongkar”

h) Menghukum atau memerintahkan untuk ”tidak melakukan sesuatu”. Dengan demikian, Putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim atas perkara perdata tersebut telah memenuhi ciri-ciri putusan kondemnator yakni adalah menjatuhkan penghukuman bagi para pihak yang kalah, yaitu:

Putusan Pengadilan Negeri Pariaman Nomor: 05/PDT/G/1994/PN.PRM tanggal 10 Nopember 1994 yang telah dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor: 55/PDT.G/1995 PT.PDG tanggal 05 Juni 1995 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997, menolak permohonan kasasi dari para penggugat/pemohon dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebanyak Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).

4). Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dan dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR (Pasal 206 R.bg), hal ini menentukan :

a. Menentukan Pengadilan Negeri yang berwenang menjalankan putusan atau eksekusi. Pedoman menentukan kewenangan tersebut didasarkan pada faktor : a). Pengadilan Negeri dimana gugatan di daftarkan,

b). Pengadilan Negeri dimana perkara diperiksa dan diputus pada tingkat pertama. Atas, faktor tersebut maka Pengadilan Negeri yang berwenang adalah Pengadilan Negeri Pariaman, sebagai tempat kedua gugatan tersebut didaftarkan sekaligus diperiksa dan diputus.

b. Kewenangan Menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri, yakni Pengadilan Negeri Pariaman.

c. Eksekusi atas Perintah dan dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk memerintahkan eksekusi dan memimpin jalannya eksekusi, merupakan kewenangan formal secara ex officio, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

a). Ketua Pengadilan Negeri memeritahkan dan memimpin jalannya eksekusi,

b) Kewenangan memerintah dan memimpin eksekusi yang ada pada Ketua Pengadilan Negeri adalah secaraex officio,

c). Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berbentuk ”Surat Penetapan”.

d). Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah Penitera atau Juru Sita Pengadilan Negeri.

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat dilihat bahwa pelaksanaan putusan atau eksekusi dari Putusan Pengadilan Negeri Pariaman Nomor: 05/PDT/G/1994/PN.PRM tanggal 10 Nopember 1994 yang telah dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor: 55/PDT.G/1995 PT.PDG tanggal 05 Juni 1995 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 secara hukum sudah dapat dilaksanakan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak dapat dihentikan maupun ditangguhkan dengan adanya Permohonan Peninjauan Kembali (Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 14 tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkmah Agung).

Namun pada kenyataannya pada saat akan dilaksanakan eksekusi Pada hari Senin tanggal 06 Mei 2013 jam 09.00 wib di Dusun Olo Desa Rambai Kec. Pariaman Selatan Kota Pariaman telah dilakukan pengukuran batas milik Haji Basyarudin oleh Badan Pertanahan Nasional RI kota Pariaman, namun pada saat pengukuran batas tanah berlangsung datang saudara Sutrijon cs (kemenakan dari penggugat objek perkara Ibrahim) dan menghalang-halangi petugas pada saat melakukan pengukuran dengan alasan bahwa tanah tersebut bukanlah hak dari Haji Basyarudin sehingga pengukuran batal dilakukan.

Kemudian pada hari kamis tanggal 29 Agustus 2013 jam 09.00 kembali dilakukan pengukuran batas tanah kedua oleh Badan Pertanahan Nasional kota Pariaman dan didampingi oleh petugas keamanan dari polsek Pariaman akan tetapi pengukuran juga batal dilakukan karena Sutrijoncskembali menghalangi pengukuran tanah dengan alasan tanah yang dimaksud bukanlah hak dari Haji Basyarudin dan tidak mau mengakui hasil putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Hal tersebut akhirnya membuat pelaksanaan eksekusi terganggu dan tidak dapat dilaksanakan. Sehingga akhirnya Haji Basyarudin meminta bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Sumatera Barat Resor Pariaman dalam melakukan eksekusi. Sebelum dilaksanakannya eksekusi pihak kepolisian Resor Pariaman melakukan laporan penugasan (Lapgas) Nomor : R/ /LAP-GAS/XI/2013/IK dengan personil berjumlah 3 (tiga) orang, perihal penyelidikan dan pengumpulan bahan keterangan terhadap sengketa tanah yang terjadi antara Haji Basyarudin dengan Sutrijoncsberlokasi di Dusun Olo Desa Rambai Kec. Pariaman Selatan Kota Pariaman.

Kemudian setelah dilakukan laporan penugasan, lalu dilakukan suatu perencanaan tugas (Rengas) Nomor: R/Rengas/111/XI/2013/IK, setelah itu dilakukan penjabaran tugas (Bargas) Nomor: R/111/Bargas/XI/2013/IK. Dan selanjutnya barulah dibuat Unsur-Unsur Keterangan Nomor: R/111/UUK/XI/2013/Sat IK.

Setiap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap secara mutlak mengikat asas “litis finin opperte” yaitu semua putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sudah bersifat final, tidak diganggu gugat lagi. Putusan yang demikian

sudah mengikat secara mutlak para pihak yang berperkara, orang-orang yang mendapat hak dari mereka atau para ahli waris mereka. Juga dengan sendirinya menurut hukum telah berkekuatan pembuktian yang mutlak kepada para pihak, sekaligus mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yang mutlak kepada mereka yang berperkara. Suatu perkara disebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila terhadap perkara tersebut sudah tidak ada lagi upaya hukum, baik upaya hukum banding maupun hukum kasasi.