• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN YURIDIS ATAS KEPEMILIKAN DAN

C. Analisis Atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah atau Rumah

Akibat perkembangan kehidupan manusia yang satu sama lain tidak mempunyai nasib yang sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah barang tentu tanah milik bersama dalam satu kawasan atau satu keluarga pun akan menjadi sasaran untuk dikeluarkan bahagian-bahagian tertentu kepada individu anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan kepemilikan bersamanya. Proses seperti ini bahkan semakin lama semakin menjadi kegiatan manusia secara ilmiah dan tidak terelakkan terjadi di atas tanah-tanah adat atau tanah milik keluarga sekalipun seperti yang diteliti ini.71

70ibid, hal. 138.

Akhirnya milik bersama yang sifatnya publiekrechtelijke pun berkembang ke semakin terindividualisasi menjadi privat (hak milik adat). Milik bersama tersebut tidak mungkin ditahan untuk menjadi benda/barang milik individu dan untuk kemudian dapat dialihkan dan beralih dari kepemilikan bersama tersebut.72

Hubungan hukum antara orang dengan tanah bersifat universal, berawal dari hubungan yang bersifat kolektif (tanah sebagai hak bersama) kemudian berkembang menjadi hubungan yang bersifat individual. Hukum tanah bersumber pada hukum adat.

Hukum Adat, khususnya hukum tanah adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam berlakunya tergantung dari basis sosial yang mendukungnya yaitu masyarakat itu sendiri. Namun demikian dalam berlakunya mendapat pengaruh dari berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat termasuk pengaruh dari kekuatan politik dimana sebagian diantaranya telah diformulasikan melalui berbagai ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian sekalipun sebenarnya berlakunya hukum adat khususnya hukum tanah adat dalam masyarakat tidak tergantung pada ketentuan perundangan sebagai hukum tidak tertulis tapi dalam pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari rumusan Pasal-Pasal perundangan yang mengatur persoalan tersebut.

Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau diatur dalam ketentuan adat dalam bentuk peraturan yang tidak tertulis. Peraturan ini dipelihara dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat secara turun temurun dengan baik, sehingga apabila timbul sengketa mengenai masalah tanah, maka mereka juga akan

menyelesaikan dengan peraturan adat yang ada dalam masyarakat yang disebut juga dengan hukum acara perdata adat. Ketentuan-ketentuan adat ini baik dalam penguasaan tanah maupun dalam mempertahankan ataupun menyelesaikan sengketa yang timbul sehubungan dengan tanah akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat sebagai asas dalam pergaulan bermasyarakat bagi masyarakat Minangkabau. Dalam mufakat ini masyarakat Minangkabau akan slalu mengikutsertakan dan berpegang kepada unsur-unsur yang ada dan berkembang dakam kehidupan masyarakat, serta yang mengatur masyarakat. Unsur-unsur ini lebih dikenal dengan tali tigo sapilin(tali tiga sepilin) yaitu meliputi unsur-unsur agama, adat dan undang- undang. Diatas ketiga unsur inilah dibangun Nagari dan diatur masyarakatnya berdasarkan asas musyawarah dan mufakat.73

Terjadinya sengketa-sengketa harta pusaka tinggi yang pada akhirnya bermuara ke pengadilan disebabkan karena rasa ketidakpuasan para pihak yang bersengketa atas putusan pengadilan adat atau penguasa adat. Adalah ironi sekali dimana sengketa harta pusaka tinggi pada waktu sebelumnya dapat diselesaikan secara baik pada tingkat penyelesaian adat nagari tempat sengketa berawal, dengan kata lain jarang sekali sengketa tersebut sampai pada tingkat pengadilan umum seperti dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 2511K/PDT/1995 tanggal 09 September 1997 tersebut. Dimana yang menjadi objek sengketa adalah tanah pusaka tinggi.

73 Firman Hasan Dkk, Dinamika Masyarakat Adat dan Minangkabau, (Padang: Pusat

Pasal 1 huruf (f) Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 36 Tahun 2003 menyatakan “ Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pimpinannya.”

Adapun fungsi dari Nagari tersebut adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum adat antara lain sebagai berikut:74

1. Membantu Pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan disegala bidang, terutama dibidang kemasyarakatan dan budaya.

2. Mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat dalam Nagari.

3. Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat Nagari guna kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya sengketa atau perkara perdata adat. 4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat

Minangkabau dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khususnya.

5. Menjaga, memelihara, dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari.

Seperti yang telah diketahui bahwa harta pusaka tinggi adalah merupakan harta menurut adat Minangkabau dapat dibagi sebagai berikut:75

1. Harta pusaka tinggi adalah harta pusaka yang diterima secara turun-temurun dalam suatu kaum yang bertalian darat menurut garis keturunan ibu.

2. Harta pusaka rendah adalah harta peninggalan bukan turun-temurun tetapi diperoleh dari harta pencaharian suami istri yang dipusakai oleh anak- anaknya, tidak dipusakai oleh kemenakannya.

Dalam harta pusaka tinggi sering terjadi perselisihan atau persengketaan dalam suatu kaum yang mana harta pusaka tinggi tersebut dijual tanpa sepengetahuan

74Amir, MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Mutiara Sumber

widya, 2001), hal. 56.

75H. Idroes Hakimy Dt. R. Penghuloe, Sako Pusako dan Sangketo Menurut Adat Minangkabau, (Sumatera Barat: penerbit LKAAM, 1986), hal. 10.

kaumnya. Sebab didalam adat Minangkabau harta pusaka tinggi merupakan martabat dan harga diri suatu kaum, maka dari itu apabila terjadi penjualan harta tinggi sama halnya menghilangkan salah satu dari daerah suatu kaum atau suku, akhirnya mengurangi ulayat atau Nagari.76

Sebagaimana telah dijelaskan didalam latar belakang masalah bahwa sengketa yang diteliti ini telah sebelumnya dilakukan suatu musyawarah pada tanggal 18 Pebruari 1993 jam 14:00 wib, dimana telah disepakati secara bersama bahwa tanah yang menjadi sengketa tersebut adalah milik Haji Basyarudin yang diperolehnya secara turun-temurun dari Marak. Dalam musyawarah tersebut juga sudah saling sepakat bahwa pihak Ibrahimcstidak boleh menggarap atau mendirikan rumah diatas tanah tersebut tanpa sepengetahuan pihak Haji Basyarudin cssebagaimana terlampir dalam surat pernyataan/perdamaian bermaterai Rp.1000,-

Sebagaimana diketahui kebutuhan dasar manusia dalam menjalani kehidupan yaitu dengan ketersediaan akan pangan, papan dan sandang. Sesuai dengan Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia, yang berarti “terpenuhinya kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, perawatan medis dan pelayanan sesuai yang diperlukan”.77

Menurut Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 menyatakan “bahwa hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Yang artinya dalam kelangsungan hidupnya harus ada ketersediaan papan/perumahan berarti adanya bangunan rumah sebagai tempat tinggal bagi setiap orang dan keluarganya sebagai warga negara yang dibebani hak dan kewajiban oleh Negara”.78

76Ibid.

77Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis,Op. Cit, hal. 33. 78Ibid, hal. 33.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang disempurnakan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa “rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya”.

Sebenarnya pada prinsipnya rumah adalah tempat tinggal atau tempat hunian untuk membina keluarga.79 Maka pemilikan rumah harus didukung oleh sarana dan prasarana yang mendukung ketertiban, keamanan dan kenyamanan, tidak hanya keamanan fisik tetapi dikaitkan dengan keamanan dalam penguasaan dan penggunaan tanah dan rumah berupa pemberian jaminan kepastian hukum dalam pemilikan dan pemanfaatan rumah tersebut.80

A.P Parlindungan dalam mengomentari terbitnya UU No. 4 Tahun 1992 dengan tegas menyatakan bahwa sangat disayangkan bahwa undang-undang ini tidak terkait dengan UUPA maupun UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sebab seharusnya undang-undang ini dapat mengatur pembatasan luas tanah yang boleh dimiliki seseorang dan banyaknya persil seperti yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, yang menyebutkan untuk kepemilikan persil keenam harus ada izin.81

79Affan Mukti,Op. Cit, hal. 110. 80

Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis,Op. Cit, hal. 34. 81

A.P Parlindungan,Beberapa Pelaksanaan Kegiatan UUPA, (Bandung : Mandar Maju, 1992), hal. 63.

Menurut Pasal 3 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, menyatakan bahwa tujuan dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah untuk:

a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi

pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik dikawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan.

d. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

e. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya,

f. Menjamin terwujudnya rumah layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Bentuk rumah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dibedakan berdasarkan hubungan atau keterikatan antar bangunan, meliputi:82

a. Rumah tunggal yakni rumah yang mempunyai kavling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kavling.

b. Rumah deret adalah beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kavling sendiri.

c. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan, secara fungsional, baik dalam arahan horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

Terkait dengan kepastian hukum pembangunan rumah dan perumahan, Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman menentukan bahwa pembangunan rumah tunggal, rumah deret dan rumah susun dapat dilakukan di atas tanah:

a. Hak milik;

b. Hak gunan bangunan, baik diatas tanah Negara mapun diatas tanah pengelolaan; atau

c. Hak pakai di atas tanah negara.

Pemberian status Hak Milik atas pemilikan rumah tempat tinggal tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemiliknya dalam rangka penguasaan dan penggunaan tanahnya agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan tersebut, formalitas tersebut dilakukan dengan kegiatan pendaftaran tanah.

Melihat dari unsur rumah yang terdapat dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 2511K/PDT/1995 tanggal 9 September 1997 tersebut sudahlah memenuhi unsur-unsur dari adanya rumah yang terdapat di dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, di mana rumah tersebut layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Bangunan 3 (tiga) unit rumah yang ditempati oleh ibu Sutrijon dan adik-adik Sutrijon. Sutrijon Cs tersebut merupakan kemenakan dari penggugat objek perkara Ibrahim. Tanah dimana tempat didirikannya rumah tersebut adalah milik dari Haji

Basyarudin. Status hak kepemilikan rumah yang dilakukan oleh Sutrijon cs adalah hak kepemilikan yang tidak sah dan merupakan perbuatan yang melawan hukum. Hal tersebut dilihat dari Pasal 43 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mengatur bahwa pembangunan untuk rumah tinggal, rumah deret dan/atau rumah susun dapat dilakukan diatas tanah: a) Hak Milik; b) Hak Guna Bangunan baik atas tanah negara maupun diatas tanah pengelolaan; dan c) Hak Pakai di atas tanah Negara.

Secara jelas undang-undang ini menentukan bahwa jika disebut pemilikan rumah, maka maksudnya adalah pemilikan rumah berikut hak atas tanahnya. Dengan demikian jelas bahwa pemberian status hak atas tanah atas pemilikan rumah secara hukum mencakup pemilikan rumah berikut tanahnya.83

Pemilikan dan penguasaan tanah atau rumah yang dilakukan oleh Sutrijon cs (kemenakan dari Ibrahim cs) tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum sehingga pemilikannya juga tidak sah, dan seharusnya pihak Sutrijon cs dapat mengembalikan/menyerahkan tanah tersebut kepada pemiliknya kembali tanpa suatu perlawanan atau tindakan anarkis.

BAB III

ANALISIS HUKUM ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2511K/PDT/1995 TANGGAL 9 SEPSTEMBER 1997 ANTARA IBRAHIM CS

MELAWAN HAJI BASYARUDIN CS