• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN YURIDIS ATAS KEPEMILIKAN DAN

B. Upaya Mempertahankan Hak Atas Tanah

Dalam mempertahankan hak atas tanah yang ada pada seseorang atau badan hukum sebagai subyek yang ditunjuk oleh UUPA dapat diwujudkan dengan dua bentuk yaitu pertama, melakukan serangkaian tindakan agar sangat sedikit kemungkinannya dapat diambil atau dikuasai oleh orang/pihak lain, hal tersebut dapat berwujud tindakan-tindakan pencegahan (preventif). Kedua, sebagai tindakan represif yaitu penanggulangan dan penyelesaian terhadap akibat di luar sepengetahuan atau kemampuan si pemilik yang berhak atas tanah itu telah diambil dan dikuasai oleh pihak lain. Penguasaan ataupun pemilikan yang dimaksud dapat berwujud penguasaan fisik dan non fisik.

1. Upaya Pencegahan (Preventif)

Upaya ini adalah upaya yang mengandung resiko yang paling kecil dibanding upaya lainnya. Namun orang atau badan hukum yang berhak atas tanah tersebut haknya itu.48 Ada beberapa hal pokok upaya yang dapat menjamin terlindunginya

47Dody Tabrani, http://bangunrumahkpr.com/rumah-kpr/biaya-jual-beli-rumah/jenis-

sertifikat-kepemilikan-rumah-atau-tanah, tanggal 30 April 2014, pukul 22:33.

48Tampil Anshari Siregar,Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan : Multi Grafik Medan,

tanah dari gangguan pihak lain, baik terhadap tanah yang sudah terdaftar (bersertipikat) maupun yang belum, yaitu:

a. Pemilikan tanah itu atas sepengetahuan masyarakat sekitar

Perolehan tanah tersebut baik melalui mutasi atau pengalihan hak seperti jual beli, tukar menukar, hibah maupun melalui beralihnya hak karena pewarisan seperti kasus yang sedang di teliti harus diupayakan agar masyarakat sekitar mengetahuinya. Jika masyarakat sekitar mengetahui, maka mereka akan menjadi pencegah jika sekiranya ada pihak-pihak lain yang akan mengambil dan menduduki tanah tersebut secara paksa tanpa alas hak yang sah.

Dalam hal ini sudah memberikan fungsi yang jelas dimana masyarakat sekitar yang menjadi saksi akan adanya sengketa tanah yang terjadi antara para pihak sebagaimana yang terdapat didalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2511K/PDT/1995 yang di teliti.

b. Tanahnya diberi batas yang pasti dan jelas

Penetapan batas tanah tidak bisa ditetapkan hanya secara sepihak oleh yang mewariskan tanah itu pada waktu peralihan haknya. Tanda batas dapat dinyatakan sudah pasti jika pemilik yang berbatasan sepakat atas tanda batas dimaksud. Dan jika telah ada bukti-bukti tertulis maka ukuran tanah dan tanda batas itu harus bersesuaian dengan keadaan yang sebenarnya. Tanda batas itu semestinya jelas bagi siapa saja yang ingin menyaksikannya. Oleh karena itu tanda batas yang permanen tidak mudah rusak, tidak mudah bergeser dan

tidak mudah hapus harus diupayakan, misalnya dengan tanda batas yang terbuat dari besi atau semen yang harus timbul diatas permukaan tanah sekitar 2-cm dan tertanam 80cm.49

c. Tanah tersebut diusahai atau digunakan

Penggunaan tanah harus sesuai dengan sifat dan peruntukan haknya akan merupakan bukti fisik yang nyata adanya hak seseorang atasnya. Sekalipun yang bersangkutan tidak berdiam di atas tanah tersebut tetapi dengan diusahainya atau digunakannya secara baik dan benar akan menghambat niat orang lain untuk mengambil atau mendudukinya. Apalagi penguasaan/pemilikannya telah di dukung oleh bukti hak tertulis yang benar. Dengan kata lain jika tanahnya tanah hak seseorang, penggunaannya (right to use) tidak menyimpang dari ketentuan dan telah dipergunakan secara terus- menerus akan lebih kokohlah kepemilikannya atas tanah tersebut. Pihak lain akan lebih tidak mungkin mengambil atau menguasainya tanpa alas hak yang sah.

Tanah-tanah yang sudah dimiliki seseorang bahkan meskipun sudah terdaftar atau bersertipikat jika dengan sengaja tidak dipergunakan menurut sifat dan tujuan pemberian haknya maka akan jatuh menjadi tanah terlantar. Adapun pengertian dari “tanah terlantar” tersebut dapat dipedomani dengan ketentuan sebagai berikut:50

49Ibid, hal.118. 50Ibid.

1.) Tanah diterlantarkan adalah tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya (penjelasan Pasal 27 UUPA).

2.) Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak dasar atas tanah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998).

3.) Tanah milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998).

Akibat hukum yang timbul jika tanah diterlantarkan, hak si pemilik atas tanah tersebut akan hapus. Sebagai contoh, bahwa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai akan hapus jika diterlantarkan (Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA dan Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).

d. Berdiam di atas tanahnya

Walaupun tanah yang dimiliki seseorang itu tidak dipergunakan secara baik dan benar, jika pemiliknya berdiam di atasnya akan mempunyai daya

cegah yang tinggi. Karena setiap saat ada pantauan terhadap usaha-usaha pihak lain yang ingin menguasai dan mendudukinya secara tidak sah.

Jika dilihat dari kacamata hukum dalam praktek, keberadaan seseorang di atas tanahnya sekalipun tidak didukung oleh bukti hak yang benar akan lebih beruntung daripada orang yang berhak atas tanah itu secara hukum tetapi tanahnya tersebut dikuasai oleh orang lain. Artinya orang lain yang tidak berhak secara hukum yang menguasai dan berdiam di atasnya akan memperoleh keuntungan.

e. Pendaftaran Tanahnya

Dengan hak apapun suatu bidang tanah dikuasai, tanah yang bersangkutan tersebut adalah sebagian dari tanah bersama Bangsa Indonesia. Maka penetapan peruntukan dan penggunaannya misalnya selain berpedoman pada kepentingan pribadi pemegang haknya, wajib juga memperhatikan kepentingan bersama. Kepentingan bersama tersebut antara lain diwujudkan dan dituangkan dalam Rencana Tata Ruang atau Rencana Tata Guna Tanah Wilayah yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.51

Dalam tataran Peraturan Perundang-undangan, objektif pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA semakin disempurnakan posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dalam hal kepastian akan haknya dan kepastian pemegang haknya, termasuk jaminan teknis dalam arti

51M.J Pello dkk, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, (Mahkamah

kepastian batas-batas fisik bidang tanah, kepastian luas dan kepastian letaknya serta bangunan yang ada diatas tanah tersebut.52

Pasal 19 UUPA telah menetapkan ketentuan mengenai pendaftaran tanah yaitu sebagai berikut:53

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah;

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi: a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria;

4. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang berkaitan dengan pendaftaran tanah termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Implementasi dari Pasal 19 UUPA diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yaitu pendaftaran tanah dengan sistem Rechts-Cadaster, bukan Fiscale-Cadasterjadi tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hukum.54

Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah:55

“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, 52Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis,Op. Cit, hlm. 105.

53A.P. Parlindungan, Pendaftaran dan Konvensi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA,

(Bandung: Alumni, 1985), hal. 1.

54Affan Mukti,Loc. Cit.

55Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Jilid I, Djambatan, 2003), hal. 460.

dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan- satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

Dengan diterbitkannya ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 merupakan upaya untuk mencapai kesempurnaan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Jika dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut menurut A.P Parlindungan telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, karena:56

1. Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.

2. Dengan informasi pertanahan yang tersedia di Kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.

3. Dengan Administrasi Pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, lembaga pendaftaran tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda (tanah) terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Tanpa sifat kebendaan hak atas tanah belum mempunyai kaitan dengan milik. Dalam arti selama pendaftaran belum dilakukan, hak hanya mempunyai arti terhadap para pihak pribadi, dan umum belum mengetahui perubahan status hukum dari benda. Pengakuan masyarakat baru terjadi pada saat hak milik atas

benda tersebut didaftarkan. Dengan pendaftaran lahirlah pengakuan umum atas hubungan hak dengan benda.57

Menurut beberapa ahli Agraria menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia adalah sistem Torrens, yang diidentifikasikan dari:58

1. Orang yang berhak atas tanah harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah itu agar Negara dapat memberikan bukti hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan.

2. Dilakukan penelitian atas alas hak dan objek bidang tanah yang diajukan permohonan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang bersifat sporadis. Pendaftaran tanah secara sistematis merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan disuatu wilayah dengan inisiatif pelaksanaan berasal dari Pemerintah.59

Pendaftaran ini pelaksanaannya didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini bisa dilihat pada PRONA (Program Operasi Nasional Agraria) dan Pendaftaran Tanah melalui Proyek Ajudikasi. Pendaftaran tanah secara sistematik akan memuat daftar isian yang mencantumkan peta bidang

57Mariam Darus Badrulzaman,Op. Cit, hal. 37.

58Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis,Op. Cit,hal. 114. 59Ibid, hal. 138.

atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran, yang diumumkan selama 30 (tiga puluh ) hari yang dilakukan di Kantor Desa atau Kelurahan dimana tanah itu terletak, hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan pada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan terhadap penerbitan sertifikat. Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal, dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut hanya satu bidang tanah yang dilakukan atas permintaan pihak yang berkepentingan.60

Pendaftaran tanah secara sporadik ini pelaksanaannya dapat dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individu atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik diumumkan selama 60 (enam puluh) hari dan pengumuman bisa dilakukan di Kantor Pertanahan atau Kantor Desa atau Kelurahan dimana tanah itu terletak dan juga bisa melalui media masa. Pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individu dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan yang akan makin meningkat kegiatannya.

Asas pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:61

60Ibid, hal. 139.

1. Asas Aman

Yaitu untuk menunjuk bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan dari pendaftaran tanah tersebut.

2. Asas Sederhana

Yaitu dimana dalam pendaftaran tanah tersebut ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama kepada pemegang hak atas tanah.

3. Asas Terjangkau

Yaitu dimana pendaftaran tanah tersebut harus memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah dengan memberikan pelayanan yang terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

4. Asas Mutakhir

Yaitu dimana dalam pendaftaran tanah tersebut merupakan suatu kelengkapan memadai di dalam pelaksanaan dan kesinambungan di dalam pemeliharaan data, untuk itu perlu diikuti dengan kewajiban mendaftarkan dan pencatatan perubahan yang terjadi dikemudian hari.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah yaitu:62

62

A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 126.

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Objek pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Tanah sebagai berikut:

1. Objek Pendafataran Tanah meliputi:

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

b. Tanah hak pengelolaan. c. Tanah wakaf.

d. Hak milik atas satuan rumah susun. e. Hak tanggungan.

f. Tanah negara.

2. Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya

dilakukan dengan cara membukukan sebidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.

2. Tindakan Penanggulangan (Represif) a. Prosedur Hukum

Bila tanah hak seseorang akan diambil pihak lain melalui prosedur hukum maka yang bersangkutan dapat menghadapinya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

1) Secara konvensional

Pengambilan tanah secara konvensional maksudnya dengan cara yang biasa seperti melalui jual-beli, tukar-menukar, dan lain-lan tentu diawali dengan pertemuan untuk tercapainya suatu kesepakatan, tanpa adanya kesepakatan tentu tidak akan bisa terjadi pengalihan hak yang dimaksud.63

Ada ketentuan khusus untuk jenis tanah terdaftar dan belum terdaftar yaitu jika tanahnya belum terdaftar/bersertipikat maka dapat dilakukan sekaligus pengalihan dan pendaftaran tanahnya dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali. Tentu untuk masalah biaya akan memerlukan biaya yang besar. Sedangkan jika tanahnya sudah terdaftar/bersertipikat Cuma memerlukan pendaftaran pengalihan/penyerahan haknya saja. Sertipikat tetap (tidak dibuat yang baru) namun didalamnya dicatat bahwa pemegang hak sudah beralih kepada pihak lain.

2) Melalui Lembaga Pengadaan

Pengambilan tanah melalui lembaga pengadaan tanah tentu diawali dengan musyawarah. Dalam musyawarah tentu dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah dengan beberapa hal yang harus diperhatikan untuk disepakati secara bersama yaitu:64

a. Tata cara pelaksaan musyawarah;

b. Siapa-siapa peserta musyawarah, apakah seluruh pemilik tanah jika jumlahnya lebih dari 1 (satu) orang atau cukup dengan perwakilan saja; c. Besar dan bentuk ganti kerugian yang dibayarkan kepada pemilik/yang

menguasai tanah;

d. Waktu penyerahan ganti kerugian; e. Hal-hal lain yang dianggap penting.

Atas dasar kesepakatan itulah yang dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan dan pelepasan hak atas tanahnya. Namun jika tidak tercapai kesepakatan maka dapat ditempuh dengan permohonan pencabutan hak atas tanah tersebut.

3) Melalui Lembaga Pencabutan Hak

Pengambilan tanah melalui lembaga pencabutan hak atas tanah harus memenuhi syarat-syarat yang utama yaitu sebagai berikut:65

a. Harus dan hanya untuk kepentingan umum; 64

Ibid. 65Ibid.

b. Harus diberi ganti kerugian yang layak;

c. Harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku (sekarang Undang-Undang No. 20 Tahun 1961) dan peraturan pelaksanaannya. Pencabutan hak atas tanah tersebut dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: a. Pencabutan hak atas tanah secara biasa

Yaitu harus sudah melalui musyawarah berkali-kali antara pihak yang memerlukan tanah dan pemilik/yang menguasai tanah tersebut dan telah pasti bahwa tidak akan mungkin lagi diperoleh tanah tersebut atas persetujuan si pemilik/yang menguasainya. Atas dasar itulah oleh pihak yang memerlukan tanah mengajukan permohonan pencabutan hak kepada Presiden. Setelah keputusan Presiden keluar yaitu penetapan bahwa tanah tersebut dicabut haknya dan surat keputusan tersebut sudah sampai ke tangan si pemilik tanah dan pihak yang memohon pencabutan hak itu maka segeralah disusul dengan pembayaran ganti kerugian si pemilik tanah, baru kemudian tanah tersebut dapat diambil, dikuasai dan dipergunakan oleh si pemohon pencabutan hak itu.

b. Pencabutan hak atas tanah secara mendesak

Yaitu harus dilatarbelakangi adanya hal-hal yang sangat mendesak dan memerlukan tanah tersebut harus diambil dan digunakan segera, seperti karena adanya bencana alam, perang, wabah penyakit dan lain-lain. Namun juga harus diminya kepada si pemilik sebagaimana

pada pencabutan hak secara biasa, tentu tidak perlu dan mesti berkali- kali. Dalam hal ini jika Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah menerima permohonan yang ditujukan kepadanya secara langsung melalui Kakanwil BPN Provinsi (melampaui instansi dibawahnya) telah menyetujui pengambilan tanah yang dimohon itu maka pihak lebih dahulu menunggu terbitnya keputusan pencabutan hak oleh Presiden dan pembayaran ganti kerugiannya kepada si pemilik. Jauh sebelum UUPA berlaku pada tanggal 24 September 1960, sudah banyak peraturan hukum yang dijadikan alat untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebutlah yang dipandang sebagai perwujudan upaya mempertahankan hak-hak si pemilik tanah melalui lembaga pengadilan dan/atau lembaga lain yang ditentukan oleh Pemerintah.

Peraturan Perundang-undangan yang pernah dilaksanakan sebelum UUPA berlaku adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954

Undang-undang ini berkaitan dengan penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat yang menegaskan bahwa barang siapa melanggar/merintangi ketentuan dalam surat keputusan bersama antara Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman yaitu pemakaian tanah perkebunan dimaksud jika tidak dengan seizin pengusaha setelah berlakunya undang-undang

tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500,-66

Dan menurut Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1956, jika rakyat menyerahkan tanah yang dipakainya tanpa izin tersebut kepada orang lain (selain kepada negara atau pengusaha yang bersangkutan) sebelum berlakunya undang-undang darurat itu maka hapuslah haknya mendapatkan penyelesaian soal pemakaian tanah tersebut.

Namun kedua undang-undang darurat tersebut sudah dicabut setelah berlakunya Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1951 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya.67

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1956

Sementara undang-undang N. 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan dijelaskan bahwa telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1957 tentang penjelasan undang-undang No. 28 Tahun 1956 dan undang-undang No. 29 Tahun 1956 yang menegaskan bahwa bagi pemohon yang tidak memberi keterangan yang benar sesuai dengan persyaratan dan pemegang hak atau pengurus tanah perkebunan yang tidak memenuhi kewajiban akan dipidana.68 3. Peperpu No. 11 Tahun 1958

66

Tampil Anshari Siregar,Op.Cit, hal. 134.

67

Lihat, Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1951tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya.

68

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu) ini berkaitan dengan larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya menegaskan bahwa:69

a. Barangsiapa setelah berlakunya Peperpu No. 11 Tahun 1958 tersebut memakai tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya yang sah sedang sebelumnya ia tidak memakai tanah itu, dan/atau,

b. Barangsiapa mengganggu pemilik atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas sebidang tanah dan/atau,

c. Barangsiapa menyuruh, mengajak atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melaksanakan perbuatan yang dimaksud dan/atau,

d. Barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan di atas dan/atau

e. Barangsiapa menyampaikan laporan yang tidak benar mengenai hal-hal tersebut di atas, di ancam dengan hukuman pidana.

Adapun upaya hukum yang semestinya dilakukan pemilik atau yang menguasai sebidang tanah apabila tanahnya telah diambil dan dikuasai oleh pihak lain adalah sebagai berikut:

1. Musyawarah

Melakukan pertemuan dengan pihak yang mengambil/menguasai tanah dimaksud dengan tujuan untuk menyadarkan pihak dimaksud bahwa tindakan

69

itu telah melanggar hukum dan harus mengembalikan/menyerahkan tanah tersebut kepada pemiliknya kembali.

Berkaitan dengan hal tersebut jika seandainya pihak yang mengambil/menguasai tanah yang bukan miliknya itu menuntut sejumlah