• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV EKSEKUSI PUTUSAN ATAS KEPEMILIKAN TANAH

A. Tinjauan Tentang Putusan Hakim

Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan utama yang menjadi pedoman dalam melihat dasar hukum eksistensi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang- undang”.

Definisi Putusan Hakim menurut Andi Hamzah adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.103

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.104

Dalam suatu proses perkara perdata Hakim (Majelis) yang memeriksa perkara memerlukan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Penggugat yang menuntut hak dan kepentingan hukumnya maupun dari pihak yang menyangkal/ membantah dari Tergugat yang juga berusaha mempertahankan dan membuktikan hak dan

103Andi Hamzah,Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hal. 485.

kepentingannya. Para pihak yang masing-masing ingin mengajukan bukti-bukti untuk dirinya itu hanya mungkin dilakukan dengan cara pembuktian.

Sedangkan maksud dari membuktikan dari pihak Penggugat maupun Tergugat itu berarti, memberi fakta-fakta sebanyak-banyaknya dari pihak tersebut guna keyakinan dan memberikan kesimpulan kepada Hakim atas kebenaran dalil-dalil tuntutannya sebagaimana dalam gugatan Penggugat dan sebaliknya kebenaran dari dali-dalil sangkalan/bantahannya Tergugat. Membuktikan berarti berkaitan dengan penyajian atau pengajuan fakta-fakta/fakta hukum dengan alat-alat bukti sah, baik dari Pengugat maupun dari Tergugat.105

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak lawan saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa di antara pihak-pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak yang penggugat atau sebaliknya, yaitu pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian.

Pembuktian yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang dapat

105

dibuktikan, akan tetapi adanya sesuatu hak juga dapat dibuktikan.106 Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.107

Yang dimaksud dengan “mempunyai sesuatu hak”, dalam pasal 163 H.I.R adalah misalnya, bahwa pengugat atau tergugat menyatakan bahwa ia berhak atas sawah sengketa, oleh karena ia memperolehnya itu berdasarkan pembelian dari seseorang. Yang dimaksud dengan “menyebutkan sesuatu perbuatan”, misalnya bahwa ia telah diangkat sebagai anak angkat. Perkataan “untuk meneguhkan haknya” berarti bahwa penggugat atau tergugat yang mendalilkan adanya hak atau kejadian tersebut, yang berkewajiban untuk membuktikan dalilnya itu. Perkataan “untuk membantah hak orang lain”, misalnya, pihak penggugat/tergugat yang mendalilkan adanya hak tersebut, dan tergugat/penggugat membantah hal tersebut.108

Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu(past event)sebagai suatu kebenaran(truth).Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang absolute(ultimate truth),tetapi bersifat kebenaran relative atau bahkan cukup bersifat

106Teguh Samudera,Hukum dalam Acara Perdata.(Bandung: P.T. Alumni 2004), hal. 9. 107 Retnowulan Sutantio,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.(Bandung: Maju

Mundur, 2009), hal. 58.

kemungkinan(probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian pun, tetap menghadapi kesulitan.109

HIR tidak mengatur secara rinci mengenai kekuatan putusan. Namun para ahli hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing. Di antaranya adalah ; 1. Soepomo dalam literaturnya menjelaskan 3 (tiga) kekuatan putusan, yakni:110

a. kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (kracht van gewijsde, power of force), tidak dapat diganggu gugat lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum pasti bersifat mengikat (bindende kracht, binding force).

b. kekuatan pembuktian, yakni dapat digunakan sebagai alat bukti oleh para pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau juga untuk eksekusi. Sedangkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berperkara sepanjang mengenai peristiwa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut.

c. kekuatan eksekutorial, putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power).

2. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu:111

109Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pegadilan.(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 496.

110Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Pradnya Paramita,

a. Kekuatan Mengikat

Untuk dapat melaksanakan atau merealisasi suatu hak secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menentapkan hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang sangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat : mengikat kedua belah pihak (Pasal 1917 BW). b. Kekuatan Pembuktian

Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Putusan itu sendiri merupakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti.

c. Kekuatan Eksekutorial

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnnya saja melainkan juga realisasi atau

pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Suatu putusan memperoleh kekuatan eksekutorial, apabila dilakukan oleh Peradilan di Indonesia yang menganut ”Demi Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa” (Ps. 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun 2004) dan semua putusan pengadilan di seluruh Indonesia harus diberi kepala di bagian atasnya yang berbunyi ”Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa” (Ps. 435 Rv jo. Ps. 4 ayat 1 Undang-Undang No. 4 tahun 2004).112

Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan yang adil dan bijaksana adalah dengan memperhatikan alat-alat pembuktian yang diajukan. Mengenai alat-alat pembuktian itu sendiri di dalam HIR ketentuannya dapat kita temukan pada Pasal 164 (Pasal 1866 KUH Perdata) yang berbunyi,maka yang disebut bukti, yaitu

a. Bukti Surat / Tulisan; b. Bukti Saksi;

c. Bukti Persangkaan;

d. Bukti Pengakuan; e. Bukti Sumpah.

Pemilikan tanah merupakan hak asasi dari setiap warga negara Indonesia yang diatur dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28 H yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Negara menjamin hak warga negaranya untuk memiliki suatu hak milik pribadi termasuk tanah. Penjaminan ini lahir atas dasar hak menguasai negara yang dimuat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara.