• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Latar Belakang Pertanian Karet Di Desa Rumah Sumbul

6.3 Akibat Peralihan Pertanian Karet

. Sensitifitas tanaman karet terhadap penyakit, hal ini secara umum dikarenakan letak produksi karet berada pada batang sedangkan kelapa sawit berada pada buah(TBS). Hal ini menyebabkan karet sangat rentan terhadap hujan yang dapat mematahkan bagian batang, hujan juga dapat merusak latek karet yang telah dipupuk sehingga tidak menjadi lump karet. Seperti ilustrasi dari Desa Rumah Sumbul penyakit yang paling sering melanda pertanian karet adalah Cendawan Akar Putih(Rigidoporus Lignosus). Dalam kasus hama penyakit dari karet sangat rentang penyakit ini yang ditularkan melalui kontak akar tanaman sehingga dapat menyebabkan keseluruhan lahan petani tidak dapat berproduksi masalah terbesar dapat menimbulkan kematian pada karet. Persoalan ini terjadi dikarenakan penyebaran spora melaui media yang dinamis dan mobilitas secara efesien yakni melalui udara, angin dan hujan. Berbeda dengan tanaman kelapa sawit sebagian besar disebabkan karena hewan liar yang pencegahannya dapat dengan mudah diatasi. Persoalan yang nyata dengan lahan kelapa sawit yang berada di sekitar pemukiman penduduk atau jauh dari hutan tindakan hewan liar dapat ditanggulangi tanpa melalui pencegahan(preventif) dan pemberantasan.

Berkurangnya luas lahan karet di Desa Rumah Sumbul yang berganti ke tanaman kelapa sawit membawa perubahan yang bardampak pada desa dan sistem

94 Suharjo, Harahap Habid, Ishak Razali, Purba Asmah, Lubis Elvidiana, Budiyana Sri, Kusmahadi, Bidang Tanaman Vadmecum Kelapa Sawit, Pematang Siantar: PT Perkebunan Nusantara IV (Persero), 1996.

pertanian merupakan akibat peralihan pertanian. Dampak pada perubahan desa terlihat luas hutan semakin meyempit hanya sekitar 2,3% yang tersisa sebanyak 30 ha. Hutan yang berdekatan dengan desa sampai-sampai tidak ada yang tersisa membuat keadaan desa menjadi padat pertanian.

Jumlah truck pengangkut pohon karet bekas konversi pun meningkat pula. Lahan yang dikonversi mengeluarkan hasil sisa-sisa pohon karet. Satu truck pohon karet dihargai sebesar Rp.10.000 dengan perbandingan satu truck dapat mengangkut 150-200 pohon karet, jumlah truck pengangkut dalam satu hektar sebanyak 3 truck. Selain truck pengangkut hasil penebangan pohon karet, truck juga berangkutan bibit- bibit kelapa sawit. Bibit kelapa sawit ini didatangkan dari Sei Putih dan perkebunan yang disekitar Desa Rumah Sumbul. Truck ini dapat mengangkut 1000 bibit kelapa sawit polibeg. Sehingga dengan satu truck dapat menyebarkan 8 ha luas pertanian kelapa sawit.

Pada umumnya, kelompok yang mengkonversi kelapa sawit adalah orang-orang yang memiliki luas lahan sebesar 4-6 ha. Kebanyakan dari mereka memiliki usaha seperti sebagai tengkulak, pengusaha pupuk, lahan warisan yang luas dari orang-tua. Dengan beralihnya kelompok kaya dalam bentuk ekonomi pertanian menyebabkan berpengaruh kepada kelompok-kelompok kecil. Melihat usaha dan biaya pengangkutan yang berat dalam produksi kelapa sawit sehingga lahan yang dipenuhi kelapa sawit dilakukan minimal seluas 2 ha dan dekat dengan jalan besar dan perkampungan. Kelompok-kelompok kecil di desa mengikuti jejak peralihan kelapa

sawit yang berdekatan dengan lahan pertanian kelompok pengusaha tersebut.

Semakin meningkatnya jumlah truck yang setiap hari berlalu-lalang di desa untuk mencapai pertanian penduduk terutama kelapa sawit mengakibatkan terjadi kerusakan jalan raya. Kerusakan jalan semakin parah pada tahun 1992. Terjadinya kerusakan disebabkan lahan perkebunan besar yang melewati Desa Rumah Sumbul menggunakan tranportasi darat dengat ukuran besar. Truck ini terus bergerak dalam seminggu terjadi 3 kali. Keadaan jalan raya setelah 1975 tidak ada lagi pembaharuan dan renovasi membuat faktor ini pun berakibat kerusakan pada fisik jalan.

BAB VII KESIMPULAN

Bagian bab ini membahas mengenai kesimpulan ditujukan menjawab hasil dari pertanyaan pada rumusan masalah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan serta penjelasan yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya, masuk dan berkembanganya karet di Desa Rumah Sumbul diartikan sebagai peran harga yang menjanjikan sebagai penopang ekonomi keluarga petani.

Peranan keunggulan karet di Desa Rumah Sumbul muncul dan berkembangnya merupakan alasan utama masyarakat bertani karet. Hasil pertanian karet yang dirasakan masyarakat, tidak terlepas dari latar belakang masuknya pertanian ini ke Desa Rumah Sumbul, seperti ketersediaan lahan, keuntungan ekonomi, infrastruktur yang mendukung dan budidaya karet yang mudah. Awal karet dalam pembudidayaan hasil dari anjuran pihak Kolonial Belanda lalu diteruskan dengan keuntungan karet yang dieroleh tanpa komersialisasi harga. Kepekaan masyarakat desa menjadikan karet sebagai tanaman pembatas solusi perampasan lahan beralih menjadi tanaman sekunder yang semakin diperhitungkan sebagai keuntungan ekonomi. Fasilitas infrastruktur jalan hasil dari pemberian Kolonial Belanda mempermudah mobilisasi berkembangnya karet di Desa Rumah Sumbul. Sistem budidaya juga ikut mendukung sebagai fungsi tanaman sekunder memberi keuntungan dan mempermudah karet bagian utama komersialisasi pertanian.

perubahan terhadap masyarakat maupun pertanian karet itu sendiri. Secara keseluruhan dari semua pengaruh perkembangan terhadap dinamika karet, dengan tidak terdapat bagian yang konsisten bertumbuh secara sistematis. Adapun dinamika pertanian karet di Desa Rumah Sumbul dari tahun 1953 sampai 1995 mengarah pada pertambahan jumlah petani, penurunan luas lahan, penurunan jumlah pohon, peningkatan jumlah produksi, peningkatan jumlah modal dan tenaga kerja dan perubahan pola pemasaran. Terjadinya perbedaan dinamika pada bagian jumlah petani dan jumlah produksi yang cendrung terus mengalami peningkatan pada setiap periodenya berbeda dengan luas lahan dan jumlah pohon yang mengalami penurunan pada periode 1995 berdampak konversi lahan. Faktor utama terjadinnya dinamika karet dengan penghasilan yang semakin menurun. Penurunan harga bersamaan terjadinnya pergeseran karet olah dari bentuk plain sheet ke slab. Harga karet olah

plain sheet per kilonya sebesar Rp.18.000,- sedangkan harga slab sebesar Rp.4000,- dengan sistem budidaya keuntungan diperoleh kelapa sawit melalui efektivitas dan efesien.

Pengaruh pertanian karet rakyat terhadap kehidupan petani di Desa Rumah Sumbul pada tahun 1953 sampai 1995 meliputi penghasilan petani yang semakin meningkat, kesejahteraan, pengaruh terhadap desa, dan gaya hidup. Dengan perolehan penghasilan rata-rata petani per hektarnya pada periode 1955 sebesar Rp. 1.331,- mengalami peningkatan pada periode 1965 sebesar Rp.9.743,- pada periode 1975 sebesar Rp. 94.930,- dan kembali meningkat pada periode 1985 sebesar Rp.

319.840,- dan pada tahun 1995 berkisar Rp. 421.874. Perolehan penghasilan ini berdampak terhadap individu mengarah kepada kesejahteraan petani dan gaya hidup.

Namun terjadi peralihan dari karet ke kelaa sawit pada tahun 1990-an diakibatkan dari sistem pembudidayaan kelapa sawit yang lebih menguntungkan, keuntungan ekonomi, dan sensitifitas tanaman karet terhada penyakit. Perbedaan jarak harga antara karet dengan kelapa sawit berkisar Rp.517.146,- meski harga karet berada ditingkatan tertinggi tidak dapat menjadi patokan bahwa keadaan karet lebih menguntungkan, hal ini didasari karena perbedaan masa panen. Masa panen produksi pohon karet rata-rata berada pada usia 25-30 tahun sehingga merupakan usia produktif pada karet berbeda dengan kelapa sawit usia produktif berada pada 3-4 tahun. Keadaan sistem budidaya dan rentan terhadap penyakit membuat petani secara perlahan berangsur angsur beralih dari pertanian karet ke kelapa sawit.

7.2 Saran

Setelah membahas setiap babnya mengenai karet terutama terjadinya peralihan pertanian karet ke kelapa sawit dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan ini dapat disamakan dengan pertanian perkebunan tembakau pada masa pemerintahan Kolonial Belanda yang laku keras di pasaran dunia dan berlangsung lama, namun tetap mengalami kelesuan ekonomi yang tidak dapat dipertahankan terus menerus. Masalah kelesuan ekonomi ini tidak dijadikan persoalan rumit. Tindakan Kolonial Belanda mencari tanaman lain yang memiliki progres yang cerah kedepanya seperti kopi, karet, kelapa sawit dan teh. Sistem budidaya kesemua tanaman ini tetap

dilakukan secara disiplin dalam pembudidayaan dan perawatan. Sehingga tanaman pengganti ini pun mendapat hasil yang baik.

Hal ini dapat menjadi cerminan terhadap pertanian yang ada di Indonesia terutama karet. Diperlukannya monopoli karet di pasaran dunia dan penyerapannya secara menyeluruh. Bertujuan agar harga karet di mata petani yang kebanyakan menyandarkan hidupnya pada tanaman ini.

Sebagai saran dari penulis, melihat Indonesia tidak memiliki sistem yang sama dalam pertanian dengan Kolonial Belanda. Sistem pertanian Indonesia dimiliki oleh banyak petani, berbeda dengan sistem Kolonial Belanda yang hanya memiliki sistem tunggal sehingga lebih merata dalam mengembangkan pertanian. Melihat majemuknya kepemilikan lahan pertanian tersebut, penulis menyarankan di Indonesia diadakan pariwisata pertanian. Pariwisata pertanian ini disamakan seperti studi tour yang ditujukan kepada petani-petani kecil yang ingin bertukar pikiran dan ingin mendapatkan informasi lebih, dari berbagai tempat di Indonesia yang memiliki pertanian yang maju sehingga pertanian di Indonesia merata perkembanganya. Saran yang kedua dari penulis yakni, semakin dinyatakan fungsi dan tugas dari pegawai pertanian. Keinginan penulis hendaknya pegawai pertanian disatukan di satu tempat di setiap desa seperti halnya bidan desa. Sehingga petani yang ingin meminta pertolongan, mereka dapat dibantu sesegera mungkin dan sebagai patner dalam kunjungan pariwisata pertanian. Yang ketiga yakni, diperlukan campur tangan pemerintah terlebih untuk memberikan pupuk yang berkualitas dan merata yang

harganya dapat dijangkau petani dan adanya tanggung jawab pemerintah dalam mensubsidi jika terjadi harga yang anjlok di tengah petani. Untuk menjaga keseimbangan kehidupan petani.

BAB II

DESKRIPSI DESA RUMAH SUMBUL SEBELUM TAHUN 1953

Gambaran umum Desa Rumah Sumbul sebelum tahun 1953 sebagai lokasi penelitian ini adalah, wilayah dan bentuk pemerintahan, komposisi penduduk, dan mata pencarian. Hal ini untuk menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi Desa Rumah Sumbul tentang keberadaan penduduk yang homogen sebelum tahun 1953. Adapun persoalan yang dibahas adalah wilayah dan bentuk pemerintahan, komposisi penduduk, dan mata pencarian. Persoalan yang dibahas ini sangat erat hubungannya

dengan pertumbuhan maupun perkembangan penduduk kuta8

Keadaan desa ini sebelum terbentuk terbagi dalam bentuk kuta-kuta dan terdapat delapan kuta menjadi bagian dari desa. Delapan kuta ini memiliki adat istiadat yang homogen, yang mempengaruhi bentuk pemerintahan yang sejalan dari kedelapan kuta tersebut.

sebelum transisi wilayah.

Untuk memperjelas deskripsi Desa Rumah Sumbul sebelum tahun 1953 akan dibahas dalam uraian di bawah ini.

2.1 Wilayah dan Bentuk Pemerintahan

Kata Rumah Sumbul berasal dari bahasa Karo, yang terdiri dari dua kata, yaitu Rumah yang berarti tempat tinggal sebuah keluarga, dan Sumbul yang berarti

8

Kuta memiliki istilah yang sama dengan kampung, namun kuta lebih spesifik kepada sekelompok manusia yang membentuk perkampungan atas persamaan marga yang sama dalam Suku Karo.

mata air. Dengan demikian dapat diartikan bahwa Rumah Sumbul berarti tempat tinggal / pemukiman yang berada dekat dengan sumber mata air. Desa Rumah Sumbul terbentuk dari gabungan delapan kuta. Kuta tersebut adalah Kuta Langguren, Kuta Lau Perira, Kuta Rumah Perira, Kuta Tanjung Jahe, Kuta Sigempual, Kuta Surbakti, Kuta Sulo dan Kuta Bintang Asi. Delapan kuta ini menggabungkan diri pada tahun 1953.

Luas Desa Rumah Sumbul berkisar 2.100 ha, dengan lahan berbukit 450 ha, dataran tinggi 350 ha, dan dataran rendah 1.300 ha. Ketinggian dari permukaan laut kira kira 350 meter s/d 600 meter9

Sebelah Utara : Desa Gunung Manupak A dan Desa Durian IV Belang . Desa Rumah Sumbul merupakan salah satu desa di Kecamatan STM-Hulu, Kabupaten Deli Serdang. Adapun batas-batas Desa Rumah Sumbul adalah sebagai berikut:

Sebelah Timur : Kecamatan Bangun Purba Sebelah Selatan : Desa Tanah Gara Hulu Sebelah Barat : Desa Tiga Juhar Desa ini memiliki tiga dusun10

Desa Rumah Sumbul beriklim sedang, dengan dua musim yaitu: musim yaitu dusun I, dusun II, dan dusun III. Konsentrasi pertanian berada di Dusun II dan Dusun III, sedangkan Dusun I sebagian besar adalah tempat pemukiman penduduk. Jarak antara Desa Rumah Sumbul dengan Desa Tiga Juhar selaku Ibu Kota Kecamatan kurang dari 1 km.

9Wawancara, dengan Sadam Ginting, Desa Rumah Sumbul, 20 Oktober 2014. 10Ibid

penghujan dan musim kemarau11. Biasanya musim penghujan terjadi pada bulan Agustus sampai bulan Januari, dan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Februari sampai Juli. Kedua musim ini dipengaruhi oleh dua arah angin yang disebut angin laut dan angin Gunung. Angin laut membawa musim hujan terjadi awal bulan Agustus, sedangkan angin gunung membawa musim kemarau terjadi pada bulan Februari. Desa ini dialiri oleh tiga sungai yakni Sungai Batu Mukak, Sungai Gerpang, dan Sungai Belukum12

Ketika Belanda berkuasa di Sumatera Timur, wilayah ini masuk dalam keresidenan Sumatera Timur. Kebijakan ini bertujuan agar pengawasan terhadap wilayah ini lebih terkontrol yang sebelumnya berada dalam wilayah kerajaan.

.

Senembah Tanjung Muda dibagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hilir dan Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hulu pada masa penjajahan Belanda disebut VAN.N. Pada masa pemerintahan Belanda Senembah Tanjung Muda Hulu dipimpin oleh perbapaan bermarga13

Terbentuknya Desa Rumah Sumbul pada tahun 1953 tidak terlepas dari tindakan gerombolan yang menyerang kuta-kuta yang merupakan bagian cikal bakal Barus dan tunduk kepada Sultan Serdang di Perbaungan. Setelah terbentuknya kecamatan STM- Hulu maka kecamatan ini dibagi menjadi 20 desa, salah satunya adalah Desa Rumah Sumbul.

11 Badan Pusat Statistik Kecamatan STM-Hulu Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka 2002.

12Ibid.

dari Desa Rumah Sumbul. Kemelut yang terjadi pada tahun 1950 dengan banyaknya pihak yang ingin mendominasi bentuk negara sesuai maklumat partai dan ideologi masing-masing, di awal kemerdekaan mengantarkan pergolakan antara sesama di tubuh bangsa. Pihak Kolonel Simbolon14

Tindakan anarkis gerombolan mengharuskan penduduk kuta meninggalkan kediaman mereka. Warga kuta mencari perlindungan ke tempat yang lebih aman. Kedelapan kuta ini berlindung dekat Desa Tiga Juhar sebagai ibu kota kecamatan dan bagian dari pos perlindungan tentara keamanan rakyat. Masyarakat kuta membuka lahan pengungsian di sekitar sumber mata air. Setelah keadaan kondusif dan pihak Gerombolan berdamai dengan pemerintah

beranggapan perjuanganya selama ini tidak sama dengan yang beliau dapat melalui kemerdekaan bangsa yang baru, sehingga beliau melakukan protes dalam bentuk perang geriliya di sekitar Desa Rumah Sumbul. Simpatisan dari pihak Kolonel Simbolon sering dipanggil dengan sebutan gerombolan. Pihak Gerombolan meresahkan warga kuta setempat karna masuk kewilayah pemukiman warga, meminta makanan, mencuri ternak dan mencuri hasil panen.

15

Bentuk pemerintahan masyarakat kuta sebelum terbentuk menjadi Desa Rumah Sumbul terdiri dari simantek kuta (pendiri kampung), ginemgem (masyarakat

, posisi desa yang berdekatan dengan sumber mata air dijadikan pemukiman tetap yang diberi nama Desa Rumah Sumbul.

14 Harapan Sinar, Berbagai Tanggapan dan Komentar Masa Media Tentang Buku dan Pribadi Kolonel Simbolon, Medan : Bina Nusa, 1995.

15 Pihak gerombolan diberi kesepakatan oleh pemerintah sebagai bentuk kerja sama untuk senyepakati kata damai agar terhindar dari konflik yang berkepanjangan. Pihak pemerintah menawarkan pengangkatan status sebagai Tentara Indonesia bagi anggota gerombolan yang mau berdamai.

yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan simantek kuta), dan rayat derip

(penduduk biasa). Kepeminpinan pemerintahan kuta terletak di tangan simantek kuta

atau pemimpin kuta (pengulu), dan dipegang oleh keturunan tertua dari kelompok pendiri kuta atau merga taneh16

Selama masa pengungsian, warga kuta memilih seorang penghulu untuk kedelapan kuta sebagai pemimpin dan pengayom agar tidak terjadi perselisihan di antara mereka. Pemilihan penghulu ini dilakukan secara demokrasi dan setiap penduduk hanya dapat memilih dua calon. Setelah terpilih dua calon penghulu, diambil sebuah uang logam lalu di angkat ke atas. Bagi calon penghulu yang memilih satu bagian dari uang tersebut jika jatuh ke tanah dan bagianya menghadap langit dijadikan pemenang dari perebutan jabatan penghulu tersebut. Sistem ini hanya berlaku satu kali selama berdirinya desa

.

17

Tuak Barus adalah penghulu yang memegang jabatan paling lama daripada penghulu penghulu lainnya. Hal ini wajar karna selama kepeminpinannya ia sangat dekat dengan penduduk dan mengerti apa yang dibutuhkan oleh penduduk maupun desa

. Pihak yang memenangkan pemilihan penghulu tersebut bernama Tuak Barus.

18

Lahan di Desa Rumah Sumbul dalam perkembanganya menimbulkan konflik menyangkut kepemilikan tanah. Antara pihak penduduk desa dengan pihak

.

16 Merga taneh merupakan istilah kepada mereka yang lebih dahulu menempati kuta. Biasanya untuk membuka kuta terlebih dahulu melakukan pembukaan hutan belantara, dengan kondisi, dekat dengan sungai dan lahan sekitar kuta dapat ditanami tanaman pertanian. Mereka yang membuka kuta memiliki tanah dengan luas yang lebih besar daripada mereka yang datang belakangan.

17 Wawancara, dengan Terang Barus, Desa Rumah Sumbul, 10 Januari 2015. 18Ibid.

perkebunan besar. Konflik ini dinamai konflik antara tanah seribu dengan tanah afdeling19. Sebagian lahan Desa Rumah Sumbul merupakan bekas lahan perkebunan tembakau pada masa kekuasaan Belanda. Setelah Belanda angkat kaki dari Sumatera Timur, lahan perkebunan tembakau tersebut diakui dimiliki oleh perkebunan besar swasta. Konflik bermula ketika masyarakat hendak membangun perumahan di lahan desa dilarang oleh pihak perkebunan, sehingga memunculkan konflik yang tidak dapat dihindari20. Untuk mengatasi konflik ini, beberapa masyarakat pergi menghadap pemerintah setempat. Hasil penyelesaian tersebut menyatakan masyarakat desa menang atas tanah tersebut, dan tanah afdeling dibagi bagi ke setiap masyarakat desa mendapat 2 ha21

2.2 Komposisi Penduduk

, Masyarakat yang telah memiliki lahan tersendiri di sekitar area desa tidak berhak mendapatkan pembagian tanah dari bekas perkebunan tembakau tersebut.

Masyarakat kuta sebelum terbentuk menjadi Desa Rumah Sumbul

merupakan bagian masyarakat yang homogen, kebanyakan masyarakat Suku Karo. Kesamaan masyarakat di desa ini karena wilayahnya berada pada posisi berdekatan dengan Desa Bangun Purba dan Desa Delitua yang memiliki mayoritas penduduk Suku Karo22

19 Wawancara, dengan Tolap Barus, Desa Rumah Sumbul, 17 April 2014.

.

20 Konflik yang terjadi berupa pemukulan dan tindakan lainnya yang kurang baik. Masyarakat melakukan pembakaran dan berlaku anarkis sehingga membuat desa menjadi tidak terkendali. Pihak perkebunan swasta menanggapinya dengan menaikkan perkara tersebut ke ranah hukum.

21Ibid.

Kedelapan kuta tersebut merupakan bagian dari marga yang lahir dan mendominasi. Struktur masyarakat dalam adat karo yang wilayahnya disebut Desa genealogis(keturunan). Desa Genealogis merupakan kesatuan masyarakat dimana para anggota masyarakatnya terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah atau kekerabatan23

Jumlah rata-rata kepala keluarga setiap kuta kira-kira 15 kk, dengan jumlah penduduk kira-kira 75 jiwa. Jika digabungkan kedelapan kuta, jumlah keseluruhan penduduk kira-kira 600 jiwa. Satu sama lain hidup rukun dan mampu memelihara adat istiadat karena masih dalam satu lingkup suku yang sama

.

24

Dari kedelapan kuta, terdapat marga yang dominan di setiap masing-masing

kuta. Dari kedelapan kuta tersebut, dapat diurutkan marga yang dominan dari urutan marga terbanyak sampai terkecil adalah sebagai berikut

.

1. Marga Barus dari empat kuta (240 jiwa) 2. Marga Tarigan dari tiga kuta (165 jiwa) 3. Marga Ginting dari dua kuta (120 jiwa)25

Marga mayoritas dari kedelapan kuta adalah marga Barus yang meliputi empat kuta

yakni Kuta Tanjung Jahe, Kuta Surbakti, Kuta Rumah Perira, dan Kuta Sigempual Ginjulu. Di urutan kedua terdapat Marga Tarigan yang meliputi tiga kuta yakni Kuta Lau Perira, Kuta Solu dan Kuta Sigempual Ginjahe, dan yang terakhir terdapat Marga

perjalanan dengan berjalan kaki. Sedangkan Jarak Desa Rumah Sumbul dengan Desa Delitua dapat ditempuh selama 8 jam perjalanan dengan berjalan kaki.

23 Samosir Djamanat, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Bandung : CV Nusantara Aulia, 2003, hlm 82.

24Wawancara, dengan Tukiman Ginting, Desa Rumah Sumbul 12 April 2015. 25Ibid.

Ginting yakni Kuta Bintang Asi dan Kuta Langguren26

Penduduk kuta yang homogen memiliki kepercayaan yang sama yakni kepercayaan animisme dan dinamisme, dan dalam masyarakat Karo disebut Pemena

(agama asli Karo). Pemena merupakan kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat supranatural dan kekuatan adikodrati. Seseorang dapat dikatakan pemimpin agama atau spiritual bila memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia supranatural dan menghubungkanya dengan alam fana. Peminpin spiritual masyarakat kuta disebut Guru Sibaso.

.

Masyarakat dari kedelapan kuta hanya sebagian kecil dapat mengecap pendidikan. Dari Kuta Rumah Perira terdapat 4 orang yang menempuh pendidikan di Sekolah Bumi Putera. Letak sekolah berada di Desa Gunung Manupak A memiliki jarak 5 km dari Kuta Rumah Perira27

Dalam mempertahankan budaya, biasanya masyarakat dari setiap kuta

berkumpul pada waktu yang telah ditentukan, untuk mendengar ajaran dan petuah dari penghulu dan petinggi kuta dengan membahas cerita-cerita rakyat yang ada di sekitar kuta. Mereka juga mengadakan syukuran atas panen yang sedang berlangsung atau meminta doa kepada roh-roh yang telah meninggal agar diberi panen yang

. Kebanyakan warga kuta yang berusia produktif enggan untuk mengecap pendidikan. Di samping biaya, faktor jarak dan lamanya pendidikan membuat penduduk tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka.

26Wawancara, dengan Beras Barus, Desa Rumah Sumbul, 13 April 2015.

Dokumen terkait