• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian Karet Rakyat Di Desa Rumah Sumbul Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang 1953-1995

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanian Karet Rakyat Di Desa Rumah Sumbul Kecamatan Stm Hulu Kabupaten Deli Serdang 1953-1995"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Ali Ginting

Umur : 76 tahun

Pekerjaan : Agen Tokeh Getah

Alamat : Desa Tiga Juhar

2. Nama : Benar Ginting

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Pedagang Kelontong

Alamat : Desa Rumah Sumbul

3. Nama : Beras Barus

Umur : 79 tahun

Pekerjaan : Petani

(2)

4. Nama : Benar Ginting

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Pedagang Kelontog

Alamat : Desa Rumah Sumbul

5. Nama : Dison Perangin-Angin

Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Pedagang Kelontog

Alamat : Desa Tiga Juhar

6. Nama : Jam Sitepu

Umur : 73 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

7. Nama : Jenda Br Karo

Umur : 42 Tahun

Pekerjaan : Bidan Desa Rumah Sumbul

(3)

8. Nama : Kueh Saragih

Umur : 80 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

9. Nama : Murni Br Sitepu

Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Tokeh karet olah Slabdan Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

10.Nama : Nueh Ginting

Umur : 75 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

11.Nama : Nini Br Surbakti

Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Petani

(4)

12.Nama : Pinter Tarigan

Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

13.Nama : Runggun Tarigan

Umur : 71 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

14.Nama : Simula Br Sinuhaji

Umur : 77 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Kuta Surbakti

15.Nama : Suruhen Perangin Angin

Umur : 59 Tahun

Pekerjaan : Petani

(5)

16.Nama : Japen Tarigan

Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

17.Nama : Tukiman Ginting

Umur : 85 Tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Rumah Sumbul

18.Nama : Terang Barus

Umur : 81 Tahun

Pekerjaan : Petani

(6)

ampiran I:

Gambar I

Karet Okulasi di Desa Rumah Sumbul

Sumber: Koleksi Pribadi, Desa Rumah Sumbul, 12 Mei 2015

Gambar 2

Karet Okulasi Saat Beroperasi berproduksi berupalateks

(7)

Lampiran II:

Alat-Alat Yang Dibutuhkan Dalam Budidaya dan Penyadapan Karet

Gambar 3

Tempurung Sebagai Penampung Getah Lateks

(8)

Gambar 4

Pisau Deres, Alat Utama Dalam merobek Bagian Luar Pohon Karet Untuk Mendapatkan Lateks

(9)

Gambar 5

Goni, Berguna Untuk Tempat Pengumpulan Getah Lumb Yang Telah Mengeras

(10)

Lampiran 3

Prosses dan Hasil Penyadapan Produksi Karet Petani Saat Melakukan Penyadapan Karet

Gambar 6

Petani Karet Saat Melakukan Penyadapan

Sumber: Koleksi Pribadi, Desa Rumah Sumbul, 12 Mei 2015

Gambar 7

Produksi Karet Dalam Bentuk Karet Olah Slab

(11)

Lampiran 4

Karet Olah Slab Saat Terjadinya Pemasaran Dengan Terlebih Dahulu di Timbang dan Diangkut

Gambar-8

Proses Penimbangan dan Pengangkutan Karet Olah Slab

(12)

Lampiran 5

Keadaan Petani Memilih Melakukan Konversi Karet Ke Kelapa Sawit

Gambar 9

Pemanenan Kelapa Sawit Membutuhkan Waktu Lebih Sedikit Sehingga Lebih Menguntungkan Daripada Karet

(13)

Gambar 10

Produksi Kelapa Sawit Saat Terjadinya Transaksi Pemasaran

(14)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Awan, Setya Mubyarto. Karet Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta : Penerbit Aditya Media Yogyakarta 1991.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press. 1985.

Indera. “ Pertumbuhan dan Perkembangan Deli Spoorweg Maatschappij 1883-1940”,

dalam Tesis S2, belum diterbitkan. Jakarta : Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996.

Kementerian Penerangan R.I. Republik Indonesia : Provinsi Sumatera Utara. Medan: CV Karya Purna. 1953.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta. 1990. Mongoensoekarjo Soepadiyo. Semangun Haryono. Manajemen Agrobisnis Kelapa

Sawit. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2003.

Mubyarto. Pengantar Ekonomi Pertanian . LP3ES. Jakarta : Anggota IKAPI. 1989. Penebar Swadaya Tim. Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000 Budidaya dan

Pengolahan. Jakarta : PT Penebar Swadaya. 1993.

Proseding Konfrensi Negara Karet, Volume I, II, III, Medan. Medan : Balai Penelitian Sungai Putih. 1986.

(15)

Sadona, Sukirno. Beberapa Aspek dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Jakarta : LP-FEUI.

Said, mohammad. Kuli Kontrak Tempo Dulu : Dengan Derita dan Kemarahannya.

Medan : Percetakan Waspada. 1977.

Sumarno, Edi. “ Karet Rakyat di Sumatera Timur 1863-1942”, dalam Tesis S2, belum Diterbitkan. Yogyakarta : Pascasarjana Univeritas Gajah Mada, 1998.

Suharjo, Habid, dkk. Bidang Tanaman Vadmecum Kelapa Sawit. Pematang Siantar: PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). 1996.

Wahid, Asrul. “ Faktor Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengkonversi Lahan

Karet Menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Asahan”, dalam Tesis S2, belum Diterbitkan. Medan : Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 1992.

(16)

BAB III

LATAR BELAKANG PERTANIAN KARET DI DESA RUMAH SUMBUL

Pada bab ini akan membahas berbagai faktor yang melatarbelakangi

masuknya karet ke Desa Rumah Sumbul. Secara umum terdapat empat faktor yang

melatarbelakangi yakni ketersediaan lahan, keuntungan ekonomi, infrastruktur yang

mendukung, dan sistem budidaya karet yang lebih mudah dibandingkan dengan

tanaman palawija. Pada tahun 1953 luas hutan mendominasi lahan pertanian

berbanding 90% sehingga hutan dijadikan sebagai lahan mentah yang dapat

dieksploitasi menjadi lahan pertanian karet.

Secara historis, awal keberadaan karet di Desa Rumah Sumbul didasari atas

kebijakan pihak Belanda yang memberikan bibit karet39 kepada penghulu-penghulu

kuta. Kueh Saragih menyatakan setelah Belanda angkat kaki dari Desa Rumah Sumbul terdapat beberapa area yang ditumbuhi oleh pohon karet yang sudah siap

untuk diproduksi40. Menurutnya juga, awalnya pihak Belanda menyerahkan beberapa

bibit karet untuk ditanami di area pertanian penghulu. Dalam hak penanaman karet

tersebut, pihak Belanda hanya mempercayakan penghulu dan keluarganya yang

menanam tanaman tersebut41

39 Bibit karet yang diberikan pihak Belanda berupa bibit tunas biji, dengan di bagikan kepada kedelapan pengulu kuta. Jenis bibit ini Karet Hevea Brasiliensis yang dibawa dari Desa Bangun Purba sebagai pusat bagian perkebunan karet pada waktu itu.

. Penghulu yang tunduk kepada Belanda mengawali

40Wawancara, dengan Kueh Saragih, 17 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

(17)

masuknya Karet Hevea Brasiliensis ini ke Desa Rumah Sumbul.

Keadaan alam Desa Rumah Sumbul juga mendukung keberadaan dan

perkembangan tanaman karet. Ketinggian desa ini dari permukaan air laut kira kira

350 s/d 600 meter, luas dataran rendah 1.300 ha. Curah hujan merata setiap tahun,

dengan dua musim yakni: musim penghujan dan musim kemarau. Desa ini dialiri

oleh tiga sungai yakni Sungai Batu Mukak, Sungai Gerpang, dan Sungai Belukum

dengan lebar 8 m dengan panjang Sungai Batu Mukak 2,80 km42

Karet yang diserahkan kepada penghulu dan keluarga terdekat penghulu

mengakibatkan tanaman ini berkembang cepat di kedelapan kuta yang menganut sistem kekerabatan Karo itu. Keluarga terdekat penghulu menjadikan pohon karet

sebagai pembatas lahan pertanian. Sistem ladang berpindah yang diterapkan

masyarakat kuta membuat lahan pertanian sering berpindah tangan begitu saja kepada lain pihak. Tindakan keluarga penghulu menjadikan pohon karet sebagai pembatas

lahan pertanian, secara tidak sengaja diikuti oleh masyarakat lainya yang bukan dari

sanak keluarga penghulu.

. Keadaan ini

menjadi pendukung tumbuhnya tanaman dengan baik di area desa tersebut.

Untuk memperjelas mengenai latar belakang masuknya pertanian karet di

Desa Rumah Sumbul akan dibahas di sub bab selanjutnya.

penduduk kuta lainya. Baca juga, Wara Sinuhaji , “ Kehidupan Aron di Tanah Karo pada tahun 1890-1962”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan, Jakarta : Pasca Sarjana UI, 1998.Hal20.

(18)

3.1 Ketersediaan Lahan

Pembahasan mengenai ketersediaan lahan sudah disinggung sedikit di

bagian pengantar sub bab. Hutan yang mendominasi lahan pertanian berbanding 90%

dengan luas hutan 1890 ha. Adapun lahan pertanian dan pemukiman dengan luas 210

ha43

Lahan karet di desa beragam, ketika Belanda menyerahkannya kepada pihak

penghulu seperti lahan yang disediakan secara khusus dari pihak Belanda sendiri,

lahan dari pengulu, dan lahan dari warga yang meninggalkan kuta

memberi peluang untuk jenis tanaman lain di desa, itu terutama tanaman karet.

44

Lahan yang dijadikan tempat budidaya karet merupakan lahan hutan dan

tumpang sari dengan tanaman palawija. Luas hutan yang belum dijamah oleh warga

kuta menjadi tempat penanaman karet. Berbeda dengan lahan palawija, karet yang ditanam biasanya dalam bentuk tumpang sari. Lahan padi yang telah selesai dipanen

dijadikan lahan pertanian karet dengan system jerami dibiarkan tanpa dibersihkan

agar menjadi pupuk alami terhadap karet muda tersebut. Selain sistem tumpang sari . Lahan yang

disediakan oleh Kolonial Belanda memiliki ketentuan ketentuan tersendiri dari

perkebunan besar karet. Ketentuan tersebut misal, lahan berada dekat dengan

perkebunan Belanda untuk memudahkan dalam pengawasan dan berada di area datar.

Kuta Surbakti dan Kuta Bintang Asi kerap menjadi tempat percobaan tanaman karet

karena jarak kuta berdekatan dengan perkebunan.

43Wawancara, dengan Tolap Tarigan, Desa Rumah Sumbul 22 April 2015.

(19)

lahan karet juga hasil konversi lahan palawija, dengan keuntungan lebih ekonomis, karena biaya penyiapan lahan seperti pembukaan hutan sudah dulu dilakukan ketika

mempersiapkan tanaman palawija. Keuntungan dari lahan yang ditanam ketika

membuka hutan yakni unsur hara tanah sangat subur sehingga karet dapat

dimanfaatkan lebih lama dari lahan bekas palawija.

Seperti yang telah disebutkan proses pembukaan hutan untuk menjadi lahan

pertanian karet membutuhkan proses yang sama dengan padi. Hutan yang akan

diubah menjadi lahan pertanian karet dikerjakan secara bertahap. Tahap pertama

menebang hutan. Batang pohon setelah ditebang dibiarkan begitu saja untuk

beberapa waktu. Pekerjaan selanjutnya melakukan pemangkasan dahan-dahan pohon.

Alat yang digunakan dalam penebangan dan pemangkasan dengan kapak dan pisau

laras panjang. Pohon yang tumbang diusahakan terkena sinar matahari agar cepat

kering dan agar mudah disusun dengan rapi nantinya tidak mengganggu dalam proses

penanaman. Setelah selesai ditebang, petani membersihkan rumput dengan cara

membabat dan membakar. Menunggu datangnya hujan pertama untuk membasahi

lahan yang baru, bertujuan untuk menyegarkan lahan dari sisa sisa bakaran dan tanda

proses penanaman karet siap dilakukan45

Proses pembersihan hutan selesai, selanjutnya yakni penanaman karet.

Karet mudah tumbuh subur dari unsur hara tanah hasil pelapukan hutan yang masih berlimpah.

.

(20)

3.2 Keuntungan Ekonomi

Faktor lainya dari keberadaan karet di Desa Rumah Sumbul adalah

keuntungan ekonomi. Karet dihargai Rp. 600 per kilo sebanding dengan dua kaleng

beras46

Keuntungan karet dari segi produksi. Hal ini dapat diketahui sejak

mempersiapkan lahan. Lahan karet hasil konversi dari tanaman palawija memiliki keuntungan tanpa harus mengeluarkan biaya seperti pada lahan yang masih dalam

bentuk hutan. Tenaga kerja hanya memaksimalkan tenaga anggota keluarga yang ada

tanpa mengeluarkan biaya sewa tenaga kerja. Modal dalam membudidayakan karet

hampir tidak ada. Bibit karet misalnya, hanya dipungut dan diambil begitu saja dari

lahan karet yang ada

. Keuntungan ini dijadikan petani sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder

seperti membeli televisi, radio, emas, dan sepeda. Harga tanaman sekunder lainya

seperti cabe dan jagung, memiliki harga lebih tinggi dari karet, namun karena

tanaman jenis itu sering gagal akibat hama penyakit busuk daun oleh Cendawan Phytophtora Infestano membuat harga jual tanaman ini menurun.

47

46Wawancara, dengan Terang Barus, Desa Rumah Sumbul, 22 April 2015.

, dan ditanam tanpa ada pemupukan dan perawatan terlebih

dahulu. Dalam bidang manajemen, awal pertama karet ditanam, karet dibiarkan

begitu saja oleh masyarakat kuta. Karet yang tumbuh dan dapat bertahan hidup menjadi keuntungan bagi petani. Karet juga tahan terhadap hama penyakit. Karet

yang dapat tumbuh dan masa produktif untuk disadap menjadi keuntungan ekonomi

(21)

dengan menambah nilai output. Dengan 1 hektar petani dapat mengumpulkan 30 kg karet setiap panennya.

Dilihat dari sisi ekonomi karet memiliki keuntungan. Karet tahan terhadap

hama penyakit yang dapat membuat tanaman palawija gagal panen dan sudah ada

penampung hasil produksi karet rakyat sudah ada yang menampung yakni para

tengkulak Cina. Tanaman karet yang selama ini hanya dipandang sebagai penjaga

lahan pertanian kini dilihat memiliki keuntungan lainya.

Hasil yang diperoleh petani karet dari satu hektar yakni 30 kg. Jumlah pohon

yang terdapat dalam satu hektar sekitar 100-120 batang. Jumlah ini sebenarnya tidak

maksimal karena biasanya jumlah pohon di dalam area satu hektar lahan, minimal

berkisar 500 batang. Keuntungan karet ini didasari dari tindakan masyarakat yang

menjadikan karet hanya sebagai tanaman sekunder, sehingga biaya budidaya dan

produksi dapat di tekan sekecil mungkin. Hal ini berbeda dengan tanaman primer

seperti padi, karena sebagai kebutuhan pokok masyarakat desa menyebabkan dalam

pengolahannya membutuhkan biaya perawatan yang tinggi.

3.3 Infrastruktur yang Mendukung

Faktor lain yang melatarbelakangi perkembangan pertanian karet di Desa

Rumah Sumbul adalah infrastruktur jalan yang mendukung. Masa kolonial Belanda

berkuasa di Sumatera Timur, jalan di Desa Rumah Sumbul telah dapat

menghubungkan jarak dari Desa Rumah Sumbul ke Desa Bangun Purba dan Desa

(22)

desa itu dijadikan sebagai lahan perkebunan tembakau. Jalan ini lebarnya tiga meter

yang masih berbentuk tanah yang diratakan, dengan lebar 3 meter sehingga dapat

dilalui oleh mobil gardang dua milik kolonial belanda48

Peran jalan sangat vital bagi kemajuan perekonomian ekonomi pertanian.

Semakin dinamisnya dan tertatanya infrastruktur jalan, dipastikan mobilisasi ekonomi

pun semakin meningkat. Meningkatnya mobilisasi ekonomi menambah

meningkatnya perilaku ekonomi dalam jumlah dan variasi tindakan-tindakan

ekonomi lainnya. Sistem ekonomi seperti produksi, distribusi dan konsumsi hanya

dapat berjalan baik dengan bantuan dari infrastruktur jalan. .

Peran jalan di Desa Rumah Sumbul menghubungkan empat titik yang

penting dalam menciptakan ekonomi pertanian. Secara tingkat kebutuhan dapat

diurutkan dari panjang jarak mulai dari urutan yang terkecil yakni

1. Jalan desa menuju perkebunan karet rakyat

2. jalan desa menuju pusat pasar

3. jalan menghubungkan Tengkulak Cina dengan petani karet

4. jalan menghubungkan desa dengan pusat kota, yakni Lubuk

Pakam dan Medan (20 km-40km)

Rute pertama, yakni jalan menuju perkebunan karet rakyat memiliki rute Desa

Rumah Sumbul – Kuta Surbakti – Kuta Bintang Asi dengan jarak 5km. Rute kedua,

yakni jalan besar menuju pusat pasar melalui rute Desa Rumah Sumbul - Desa Tiga

Juhar dengan jarak kurang dari 1 km. Rute ketiga, jalan yang menghubungkan

(23)

Tengkulak Cina dengan petani karet dengan jarak asal tengkulak Cina dari Medan -

Desa Rumah Sumbul sejauh 40 km. Rute keempat, jalan yang menghubungkan Desa

Rumah Sumbul dengan Kota Bangun Purba dan Kota Delitua dengan jarak 20-40 km.

Jalan buatan Kolonial Belanda memiliki rute yang panjang yakni sejauh 40 km yang

menghubungkan Desa Rumah Sumbul dengan Kota Lubuk Pakam dan Kota Medan.

Fasilitas ini dimanfaatkan oleh Tengkulak Cina sehingga dapat mencapai Desa

Rumah Sumbul sebagai penampung hasil karet yang menguntungkan petani setempat.

Faktor jalan yang dapat menghubungkan Desa Rumah Sumbul dengan

tengkulak sangat membantu petani karet. Tengkulak ini terbagi menjadi dua

golongan, yakni Tengkulak Cina dan Tengkulak yang berstatus sebagai anggota TNI.

Para tengkulak ini menggunakan mobil gardang dua.Pihak TNI ini datang dari Pasar

6 Delitua, sedangkan Tengkulak Cina datang dari Medan. Pihak TNI yang memiliki

tugas mengumpulkan karet rakyat menggunakan mobil TNI sendiri49

Para Tengkulak Cina berperan untuk memasarkan karet olahan petani.

Produksi karet yang telah selesai di proses akan dijual. Pemasaran hasil karet

dilakukan setelah melalui proses penjemuran dan setelah menghasilkan warna

kekuningan maka karet ini siap untuk di pasarkan. Biasanya dalam menjajakan hasil

produksi karet para petani meletakkannya di depan rumah dan menjualnya ke pasar

pada hari pasar mingguan dibuka.

.

Para tengkulak berperan tidak saja sebagai pemasar produksi karet, tetapi

juga menjual keperluan rumah tangga kepada petani karet. Dalam proses jual beli ini

(24)

para petani dapat membayar secara tunai uang dari hasil penjualan karet yang telah

diterima, atau mengambil terlebih dahulu barang tersebut dan pada pertemuan berikut

para petani akan membayarnya. Cara ini dilakukan agar para petani tetap memiliki

hubungan dengan tengkulak dan para petani karet lebih serius sebagai petani karet.

Proses pemasaran selanjutnya setelah dari tangan tengkulak biasanya di tahan di area

perumahan tengkulak ini untuk menambahkan beberapa hal agar kualitas dari

produksi karet ini bertambah nilainya. Dalam pemasaran tanaman karet lebih unggul

dari tanaman palawija karena penampung hasil produksi karet langsung datang ke

desa. Berbeda dengan tanaman palawija yang harus dipikul dan dibawa ke pusat

pasar untuk dijual yang memiliki jarah cukup jauh.

3.4 Budidaya Karet yang Mudah

Faktor lainnya mengenai keberadaan karet di Desa Rumah Sumbul karena

budidaya karet yang lebih mudah dan tahan terhadap hama penyakit daripada

tanaman palawija. Masalah yang sering timbul terhadap tanaman palawija karena

dibutuhkanya biaya yang tinggi dalam membudidayakannya dan tanaman palawija

sangat sensitif terhadap hama penyakit Cendawan Phytophtora Infestano50

Sejak tahun 1950 pembudidayaan karet dilakukan petani melalui proses

pembibitan, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, produksi dan pengolahan

pasca panen. Dalam proses pembibitan, biji karet diambil dari lahan perkebunan .

(25)

dalam bentuk tunas batang dan tunas biji, dan untuk mendapatkan bibit karet petani

sama sekali tidak mengeluarkan biaya. Bibit yang diambil oleh para petani berada di

pinggiran jalan perkebunan. Bibit tersebut langsung dimasukkan ke sumpit dan

dibawa ke lahan petani. Bibit yang masih dalam bentuk biji disemaikan terlebih

dahulu di pekarangan belakang rumah petani, setelah dia mengeluarkan tunas dan

telah siap, maka akan dipindahkan ke lahan yang sesungguhnya.

Budidaya karet kedua, yakni persiapan lahan. Dalam proses kedua ini,

petani karet kembali diuntungkan, karena lahan yang dipakai untuk tanaman karet

adalah hasil dari konversi tanaman palawija, sehingga tidak memerlukan biaya tambahan untuk membersihkan lahan. tidak seperti pada lahan yang masih berbentuk

hutan. Keuntungan yang lainnya menyangkut mengenai persiapan lahan. Kondisi

desa yang telah kondusif dari gangguan para gerombolan sehingga petani dapat lebih

berkonsentrasi dalam mengolah lahan pertanian mereka.

Budidaya karet ketiga yakni penanaman. Dalam proses ini, karet yang sudah

siap ditanam memiliki kriteria yaitu biji karet sudah mengeluarkan tunas dan lepas

dari biji asal. Lahan yang dipersiapkan merupakan lahan bekas tanaman padi, dengan

memanfaatkan jerami sebagai pendorong kesuburan tanah. Dalam proses penanaman,

ukuran jarak penanaman tidak ditetapkan, sehingga jarak karet yang satu dengan yang

lainya tidak menentu. Dalam budidaya penanaman ini tidak ada biaya tambahan,

kecuali tenaga kerja yang berupa tenaga kerja keluarga.

(26)

dilakukan, petani membiarkan karet sampai berumur 6-7 tahun. Hal ini sangat

menguntungkan petani karet, karena tidak diperlukan lagi biaya untuk pemupukan,

pembersihan lahan, peremajaan. Lahan yang berada di lahan bekas padi, setelah

pohon karet berumur dua tahun, tanaman padi kembali ditanam di lahan yang sama.

Tanaman karet dapat lebih terawat ketika petani membersihkan lahan padi, karena

tanaman karet juga ikut dibersihkan51

Budidaya karet yang kelima yakni produksi. Setelah karet mencapai masa

produksi, banyak tanaman karet yang mati dan tidak dapat tumbuh dengan baik. Hal

ini karena tidak adanya proses pemeliharaan dan premajaan karet. Karet hanya dapat

tumbuh sekitar 30% dari awal penanaman. Kualitas produksi karet juga kurang

memuaskan. Adapun jenis tanaman karet yang dibudidayakan petani Desa Rumah

Sumbul yakni karet jenis GT 1, karet jenis 46, dan karet jenis PR 228 .

52

Dalam proses produksi dan pengolahan pasca panen, bentuk produksi karet

sebelum memakai pupuk dalam menggumpalkan lateks adalah dengan menggunakan

cuka, jenis bahan olah karet ini disebut Plain-Sheet

.

53

51Wawancara, dengan Dison Perangin-Angin, Desa Rumah Sumbul, 21 April 2015.

. Jenis bahan olah karet ini

diproses terlebih dahulu setelah selesai disadap, lalu hasilnya yang masih dalam

bentuk susu dikumpulkan ke suatu tempat, seperti goni dan ember. Hasil sadapan

dibawa ke tempat mesin penggilingan yang terdapat di kuta lalu dituang ke dalam bak berbahan alumanium lalu dicampur dengan cuka. Setelah pencampuran dengan cuka

52Ibid.

(27)

tindakan selanjutnya dikocok kocok, setelah itu dituang ke alas yang terbuat dari

papan kayu, lalu diratakan dengan menekanya melalui kedua tangan, setelah itu

masukkan ke penggilingan pertama dengan memakai penggilingan halus. Didalam

penggilingan ini karet olah dibentuk agar menjadi halus, setelah halus karet kembali

dimasukkan ke penggilingan, kali ini ke penggilingan bunga. Setelah selesai dari

penggilingan kedua, langkah selanjutnya dengan mengeringkan hasil olah karet

tersebut. Dalam pengeringan hasil olah karet ini dapat dilakukan dengan dengan dua

cara. Cara yang pertama yakni dengan mengeringkannya di perapian dapur yang

dinamakan pengasapan. Cara yang kedua yakni dengan mengeringkanya dibawah

sinar matahari yang diletakkan dipelataran pekarangan rumah petani. Hasil olah karet

ini tidak lengket dan tidak berbau, namun dalam proses mengubah lateks ke bentuk

sheet prosesnya lebih panjang dari karet dengan bentuk lump54

Kriteria standarisasi karet olah dalam bentuk lump yang baik yakni dengan

melihat bentuk dari berat lump itu sendiri. Bentuk besaran lump sejalan dengan berat

tafsiran sebelum dilakukan penimbangan. Jika hasil tafsiran lebih berat ketika lump

telah ditimbang kemungkinan besar karet olah lump tersebut telah dicampur sesuatu

hingga beratnya bertambah

.

55

54 Lump, bentuk lateks yang menggumpal secara utuh. Lihat juga Edi Sumarno, “ Karet Rakyat di Sumatera Timur 1863-1942”, Dalam Tesis S2 Belum Diterbitkan, Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM, 1998.

. Kriteria lump yang baik yakni tidak dicampur sama

sekali dengan air, keadaan lump benar benar tanpa ada campuran selain pupuk yang

berfungsi untuk memadatkan lateks tersebut.

(28)

Kecurangan-kecurangan yang sering terjadi pada produksi karet bentuk lump

bertujuan untuk mendapatkan harga yang lebih. Adapun tindakan kecurangan itu

seperti mencampur lump tersebut dengan tanaman kompi yang telah dihaluskan

dengan sengaja, atau ditambahkan air ke dalam lumb. Sistem penambahan air ke

lump dilakukan ketika lateks akan disusun menjadi lump disediakan celah di tengah

tengah lump dengan diisi air di dalam plastik. Berat air dapat mencapai 5-10 kg.

Setelah air dalam bentuk ditempatpatkan di plastik langkah selanjutnya ditimbun

dengan lump lump di atasnya lalu disatukan dengan susu lateks, merekatlah karet

lump yang satu dengan yang lainya bersama dengan berat lump menjadi bertambah.

Pihak tengkulak yang sudah terbiasa dengan permainan kecurangan-kecurangan dari

perlakuan petani karet ini menyiasatinya dengan dua cara. Cara yang pertama dengan

membuka kedok kecurangan petani, yakni karet yang hendak ditimbang langsung

ditusuk terlebih dahulu dengan pisau. Jika lump mengeluarkan air dengan besaran

yang tidak wajar maka terbukti petani sudah melakukan permainan kotor sehingga

lump tidak dihargai. Cara yang kedua yakni dengan menukangi ukuran berat

timbangan sehingga berat karet yang sebelumnya mencapai 100 kg setelah ditimbang

dapat menyusut hingga 20 kg sehingga berat karet tinggal 80 kg56

Tanaman karet dalam masa produksi juga lebih menguntungkan dari tanaman

palawija. Jika harga turun tanaman karet tanaman karet dapat dijadikan tanaman tidur.

Tanaman tidur maksudnya karet tidak disadap menunggu harga karet naik dan lateks

juga akan meningkat selama tidak disadap berbeda dengan tanaman palawija lainya .

(29)

jika masa produksi tanaman ini tidak diambil hasilnya maka hasil tanaman akan

(30)

BAB IV

DINAMIKA KARET DI DESA RUMAH SUMBUL 1953-1995

Bab ini membahas tentang dinamika karet di Desa Rumah Sumbul selama

kurun waktu 42 tahun, dari awal terbentuknya desa sampai tahun 1995 dengan

beralihnya pertanian karet ke pertanian kelapa sawit. Adapun faktor fluktuasi harga

dan sistem budidaya yang menguntungkan mempengaruhi banyak hal, seperti

pertambahan jumlah petani karet, luas lahan pertanian karet, jumlah pohon karet,

produksi, tenaga kerja yang dibutuhkan, dan pemasaran.

Dari semua pengaruh dinamika tersebut, tidak terdapat bagian yang konsisten

bertumbuh secara sistematis. Keadaan ini tidak terlepas dari sifat tanaman karet

sendiri, yang mengenal masa terek, yakni tertahannya masa produksi bersamaan dengan musim ganti daun pada Bulan Januari dan Februari diikuti Musim Penghujan

pada Bulan November dan Desember di Desa Rumah Sumbul. Keadaan ini

berpengaruh terhadap produksi dan harga, yang berakibat pada penurunan produksi

dan terkait pula pada penghasilan. Di sisi lain, fluktuasi harga juga mempengaruhi

pola pertanian petani, terutama guna mencukupi biaya hidup. Kondisi ini disikapi

dengan penanaman tanaman sekunder lainnya seperti padi, pisang, cabe, durian dan

jagung. Suasana karet yang terus menunjukkan angka kerugian dari segi budidaya

dan pemasaran mengakibatkan petani beralih dari tanaman karet ke kelapa sawit.

Pada pembahasan sub bab ini, penulis banyak menggunakan data sampel

(31)

pembahasan mengenai jumlah petani, luas lahan, jumlah pohon dan produksi sebagai

perbandingan untuk mendapatkan data mendekati kebenaran objektifitas.

Untuk lebih jelasnya mengenai dinamika karet, mulai dari tahun 1953 sampai 1995

akan dibahas di sub bab selanjutnya.

4.1 Jumlah Petani

Sistem budidaya pertanian karet yang lebih kompleks pada tahun 1985 dengan

pemakaian pupuk, obat tanaman, dan bibit klon unggul seperti karet okulasi

membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Peningkattan jumlah penduduk desa

yang semakin meningkat setiap tahunya juga menjadikan jumlah petani karet

melonjak. Kebutuhan produksi karet yang semakin vital perannya dalam

meningkatkan kesejahtraan masyarakat menggeser jumlah petani tanaman palawija

lainya. Informasi dari beberapa orang perangkat desa dan petani karet membenarkan

lebih 90 % masyarakat Desa Rumah Sumbul terlibat dalam pertanian karet.57 Angka

ini dapat dibandingkan dengan pemilik karet di tahun 1955, 1965, 1975, 1985, 1995.

57

(32)

Tab el 1

Jumlah Petani Karet Rakyat di Desa Rumah Sumbul 1955-1995 Tahun Jumlah Keluarga di

Desa Rumah Sumbul

Sumber: Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji

Dari tabel 1 di atas, menerangkan tentang pertambahan KK (kepala

Keluarga) dalam jangka waktu 40 tahun, dengan perincian tahun 1955 terdapat 60

KK meningkat pada tahun 1995 jumlah penduduk Desa Rumah Sumbul menjadi 781

KK terjadi peningkatan jumlah KK sebesar 721 KK. Peningkatan jumlah KK di Desa

Rumah Sumbul diikuti dengan pertambahan jumlah petani karet. Jumlah petani karet

dari tahun 1955 sampai 1995 meningkat sebesar 88,8%. Rata-rata peningkatan petani

karet setiap tahunya didapat dari jumlah petani tahun 1995 sebesar 700 KK dibagi 40

tahun dari jumlah periode didapat 18 KK/tahun. Secara keseluruhan periode dari

1955 sampai 1985 terjadi peningkatan jumlah petani terus bertambah namun pada

periode 1995 terjadi penurunan. Persentase penurunan jumlah petani terhadap jumlah

KK di Desa Rumah Sumbul sebesar 7,1% atau sama dengan terdapat 5,04 petani

(33)

Peningkatan jumlah petani menandakan bahwa pertanian karet dapat membantu

perekonomian masyarakat Desa Rumah Sumbul. Peningkatan petani ini juga

dipengaruhi oleh faktor adanya pembagian warisan dan munculnya petani karet yang

baru. Kehadiran petani karet yang baru hasil dari infrastruktur jalan raya membaik

dan harga. Pengaruh perbaikan jalan raya terhadap pemasaran produksi karet

memiliki andil yang besar dengan bertambahnya jumlah petani yang baru secara

signifikan pada periode 1975 sampai 1985 didorong suasana harga karet yang

menjanjikan. Dari periode 1965 ke 1975 terjadi peningkatan jumlah petani karet

sebesar 255 KK. Pada periode 1985 terjadi perkembangan jumlah petani sebanyak

600 KK. Peran masuknya pupuk ke desa juga turut mempengaruhi peningkatan

jumlah petani. Sebagian besar lahan karet yang dimiliki oleh masyarakat merupakan

tanah warisan dari orang tua dari periode 1965 dan 1975. Pada periode 1995 terjadi

penurunan jumlah petani karet. Jumlah penduduk desa sekitar 781 KK, sedangkan

jumlah petani karet sebesar 700 KK, sebesar 81 KK memilih untuk berpindah ke

tanaman lain. Terdapat indikasi dari 81 KK, terdapat petani yang beralih ke kelapa

sawit, penyebab perpindahan karena terjadinya pergeseran karet olah pasca produksi

(34)

4.2 Luas Lahan

Sub bab ini membahas tentang luas lahan pertanian karet di Desa Rumah Sumbul.

Luas lahan karet, terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan

memanfaatkan lahan hutan menjadi lahan pertanian karet. Sebagai perbandingan

pada tahun 1955 luas lahan hutan di Desa Rumah Sumbul mencapai 1.800 ha terjadi

pengurangan lahan dengan sistem eksploitasi besar besaran pada tahun 1985

memperkecil luas hutan menjadi berkisar 10 ha58

Utuk memperoleh gambaran tentang luas area pertanian karet di Desa Rumah

Sumbul pada tahun 1955 digunakan data rata-rata luas lahan yang disajikan dalam

bentuk tabel di bawah ini,

. Kondisi hutan yang tertinggal ini

tidak layak untuk ditanami produk pertanian. Keadaan yang curam dan terjal menjadi

bagian hutan yang tidak terjamah penduduk desa. Luas pertanian karet juga

bertambah melalui penanaman dengan sistem tumpang sari dan konversi lahan.

Tab el 2

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul Tahun 1955

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha)

Tukiman Ginting 1 ha

2,04 ha

Tolap Barus 1 ha

Kueh Saragih 2 ha

Beras Barus 4 ha

Terang Barus 2,2 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Tolap Barus, Kueh Saragih, Beras Barus, dan Terang Barus, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

(35)

Dari tabel 2 diatas, menerangkan tentang jumlah keseluruhan luas lahan pada

tahun 1955 sebesar 10,2 dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,04 ha.

Adapun luas lahan perorangan terbesar mencapai 4 ha dan terkecil sekitar 1 ha. Pada

tahun 1955 jumlah petani karet sebanyak 5 KK. Maka jumlah pemilik berkisar

0,85%, dimana pada tahun 1955 penduduk berjumlah 420 jiwa. Luas lahan petani ini

dapat diketahui dari jumlah lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima.

Untuk mengambil rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1955, jumlah petani yakni 5

KK dan dikalikan 2,04 ha. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah

Sumbul tahun 1955 yakni: 10,2 ha. Maka dapat ditafsir bahwa luas lahan karet

masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1955 yakni: 10.5 ha.59 Untuk

membandingkan luas kepemilikan lahan masyarakat tahun 1955 dengan tahun 1965,

maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan pertanian karet tahun 1965 sebagai

berikut:

59

(36)

Tab el 3

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul, Tahun 1965

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha)

Runggun Tarigan 1,5 ha

2,2 ha

Nueh Ginting 3 ha

Pinter Tarigan 2 ha

Simula Sinuhaji 2 ha

Nini br Surbakti 2,5 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Runggun Tarigan, Nueh Ginting, Pinter Tarigan, Simula Br Sinuhaji, dan Nini Br Surbakti, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 3 diatas, jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1965 sebesar

31,0% dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,2 ha. Adapun luas lahan

perorangan terbesar mencapai 3 ha dan terkecil sekitar 1,5 ha. Terjadi penurunan

jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1955 sebesar 4 ha menjadi 3 ha pada tahun

1965. Namun luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1955 sebesar 1 ha mengalami

peningkatan menjadi 2 ha pada tahun 1965. Pada tahun 1965 jumlah petani karet

adalah 30 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 31,0%, dimana pada tahun 1965

penduduk berkisar 665 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari jumlah lahan

keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil rata-rata luas

keseluruhan lahan tahun 1965, jumlah lahan keseluruhan sampel dari lima sampel

dibagi 5 dikali jumlah petani karet keseluruhan diperoleh hasil 2,2 x 30. Jadi, luas

lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1965 yakni: 66 ha. Maka

dapat ditafsir bahwa luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1965

(37)

dengan tahun 1975, maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan pertanian karet

tahun 1975 sebagai berikut:

Tab el 4

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul, Tahun 1975

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha)

Japen Tarigan 1,5 ha

2,6 ha

Jam Sitepu 1,5 ha

Suruhen Perangin-Angin

2 ha

Jenda Br Karo 2 ha

Ali Ginting 6 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Japen Tarigan, Nueh Ginting, Jam Sitepu, Suruhen Perangin-Angin, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 4 diatas menerangkan jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1975

sebesar 43% dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,6 ha. Adapun luas

lahan perorangan terbesar mencapai 6 ha dan terkecil sekitar 1,5 ha. Terjadi

peningkatan jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1965 sebesar 3 ha menjadi 6 ha

pada tahun 1975. Namun luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1965 sebesar 2 ha

mengalami penurunan menjadi 1,5 ha pada tahun 1975. Pada tahun 1975 jumlah

petani karet adalah 350 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 43%, dimana pada tahun

1975 penduduk berkisar 2.450 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari jumlah

lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil rata-rata luas

keseluruhan lahan tahun 1975, jumlah petani yakni 350 KK dan dikalikan 2 ,6 ha.

(38)

ha. Maka dapat ditafsir bahwa luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul

tahun 1975 yakni: 350 ha. Untuk membandingkan luas kepemilikan lahan masyarakat

tahun 1975 dengan tahun 1985, maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan

pertanian karet tahun 1985 sebagai berikut:

Tab el 5

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Rumah Sumbul, Tahun 1985

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha)

Tukiman Ginting 2 ha

3,02 ha Dison

Perangin-angin

2 ha

Japen Tarigan 2,1 ha

Jam Siteppu 2,5 ha

Ali Ginting 6,5 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Dison Perangin-Angin, Japen Tarigan, Jam Sitepu, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 5 diatas, jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1985 sebesar 94,2%

dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 3,02 ha. Adapun luas lahan

perorangan terbesar mencapai 6,5 ha dan terkecil sekitar 2 ha. Terjadi peningkatan

jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1975 sebesar 6 ha menjadi 6,5 ha pada

tahun 1985. Luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1975 sebesar 1,5 ha

mengalami peningkatan menjadi 2 ha pada tahun 1985. Pada tahun 1985 jumlah

petani karet adalah 600 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 94,2%, dimana pada

tahun 1985 penduduk berkisar 4.340 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari

(39)

rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1985, jumlah petani yakni 600 KK dan dikalikan

3,02 ha. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1985

yakni: 1812 ha. Dengan memperhatikan jumlah KK dan jumlah pemilik seperti yang

terlihat dalam sub bab 4.1 dengan jumlah petani 94.2 %. Maka dapat ditafsir bahwa

luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1985 yakni: 1812 ha. Untuk

membandingkan luas kepemilikan lahan masyarakat tahun 1985 dengan tahun 1995,

maka dibuat tabel sampel luas kepemilikan lahan pertanian karet tahun 1995 sebagai

berikut:

Tab el 6

Sampel Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Karet Desa Desa Rumah Sumbul, Tahun 1995

Nama Petani Luas Lahan(ha) Rata-Rata(ha)

Jenda Br Karo 1,1 ha

2,16 ha Ali Ginting 4,2 ha

Murni Br Sitepu 2 ha Benar Ginting 1,5 ha Jam Sitepu 1 ha

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Jenda Br. Karo, Ali Ginting, Murni Br Sitepu, Benar Ginting, dan Jam Sitepu, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 6 diatas, jumlah keseluruhan luas lahan pada tahun 1995 sebesar

77,1% dengan rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2,16 ha. Adapun luas lahan

perorangan terbesar mencapai 4,2 ha dan terkecil sekitar 1 ha. Terjadi penurunan

jumlah luas lahan perorangan pada tahun 1985 sebesar 6,5 ha menjadi 4 ha pada

tahun 1995. Namun luas lahan perorangan terkecil pada tahun 1985 sebesar 2 ha

(40)

petani karet adalah 700 KK. Maka jumlah pemilik berkisar 77,1%, dimana pada

tahun 1995 penduduk berkisar 5.467 jiwa. Lahan petani ini dapat diketahui dari

jumlah lahan keseluruhan dari lima sampel dan dibagi lima. Untuk mengambil

rata-rata luas keseluruhan lahan tahun 1995, jumlah petani yakni 700 KK dan dikalikan

2,16 ha. Jadi, luas lahan keseluruhan masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1995

yakni: 1620 ha. Dengan memperhatikan jumlah KK dan jumlah pemilik seperti yang

terlihat dalam sub bab 4.1 dengan jumlah petani 77,1 %. Maka dapat ditafsir bahwa

luas lahan karet masyarakat Desa Rumah Sumbul tahun 1995 yakni: 1620 ha.

Dari rata-rata luas yang diperoleh setiap periodenya didapat besaran luas lahan karet

keseluruhan dengan perbandingan terhadap luas desa sebesar 2.100 ha.

Tab el 7

Jumlah Keseluruhan Luas Lahan Karet Dengan Perbandingan Terhadap Luas Desa Rumah Sumbul 1955-1995

Sumber: Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji

(41)

1.609 ha dengan setiap tahunnya lahan bertambah sebesar 40,5 ha. Perbandingan luas

lahan karet dengan desa terbesar pada periode 1985 yakni 2.100 ha lahan desa

berbanding 1812 lahan karet. Pada periode 1955 sampai 1965 terjadi peningkatan

luas lahan 10,2 menjadi 66 ha. Indikasi pertambahan luas lahan pada periode ini

dikarenakan hasil warisan dari keluarga penghulu terdahulu dan pertambahan luas

lahan dijadikan pohon karet sebagai pembatas lahan pertanian masyarakat Desa

Rumah Sumbul.

Pada periode tahun 1975 sampai 1985 kembali terjadi pertambahan luas lahan

karet sebesar 94,2 % dari luas lahan desa. Pertambahan lahan karet yang terluas

terjadi pada periode ini. Pada periode 1975 luas rata-rata penambahan lahan karet di

Desa Rumah Sumbul sebesar 2,6 ha dengan 350 lahan keseluruhan karet. Sedangkan

pada periode 1985 luas rata-rata penambahab lahan karet di desa sebesar 3,02 dengan

1812 ha. Idikasi yang menjadikan perode ini sebagai perluasan lahan karet terbesar

di Desa Rumah Sumbul terjadi penanaman lahan karet pada tahun 1967 dengan isu

pembenahan jalan raya yang dilakukan salah seorang mantan pegawai penerangan.

Bersamaan dengan selesainya jalan pada tahun 1976, penduduk desa semakin

memperluas lahan dengan membuka lahan baru melalui eksploitasi hutan. Harga

yang melonjok pada periode 1985 dengan karet olah plan sheet memperluas lahan dengan pengalihan lahan palawija ke lahan karet. Lahan sebagai hasil warisan

memperbanyak kepemilikan lahan karet.

(42)

sebesar 192 ha dari 1620 ha. Dengan perbandingan terhadap lahan desa sebesar

77,1%. data ini menunjukan bergesernya lahan karet ke lahan kelapa sawit. Tindakan

ini bentuk kegelisahan petani terhadap persoalan harga, pohon karet sudah tua, dan

budidaya karet yang tidak efektif dan efesien sehingga mendekat kepada angka

kerugian yang memangkas keuntungan produksi karet. Daerah yang menjadi titik

konversi lahan yakni dusun 2 dan 3.

Sebagai perbandingan terjadinya penambahan lahan karet dengan lahan desa akan

dibahas melalui grafik balog di bawah ini,

Gambar 1

Perbandingan Luas Lahan Karet Dengan Lahan Desa Rumah Sumbul 1955-1999

Sumber: Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji

Dari gambar di atas menerangkan tentang terjadinya penambahan luas lahan

karet dalam kurun 40 tahun. Setiap tahun terjadinya penambahan luas lahan rata-rata

(43)

sekitar 40,5 ha. Peningkatan luas lahan karet diartikan sebagai fungsi karet terhadap

masyarakat semakin kompleks. Pada periode 1955 peran karet hanya sebagai

pembatas lahan pertanian masyarakat sehingga luas lahan yang terpakai pada periode

1955 sampai 1965 sebesar 66 ha dengan jumlah petani karet 30 KK setara dengan

210 jiwa. Pada periode 1975 sampai 1985 terjadi perubahan luas lahan mengarah

kepada penambahan luas lahan karet. Pertambahan lahan karet sebesar 1812 ha,

tersisa lahan desa sekitar 288 ha. Dengan klasifikasi lahan desa yakni pemukiman 10

ha, lahan persawahan 170 ha, lahan perkuburan 3 ha, sungai 5 ha, hutan 8 ha, dan

lahan pertanian lainnya 92 ha60

• Masa pohon karet sudah berada pada batas usia produktif (usia karet 20-30

tahun), sehingga terjadi penebangan pohon di lahan penduduk.

. Peningkatan luas lahan karet salah satu faktor dari

hasil warisan sebagai karet tanaman turun temurun. Sedangkan periode 1995

terjadinya pengurangan lahan karet dari 1812 ha menjadi sekitar 1620. Beberapa

analisa menguatkan terjadinya penurunan luas lahan karet karena:

• Adannya indikasi penurunan luas lahan dengan peralihan karet ke kelapa

sawit.

• Lahan karet sebagai lahan warisan kepada keluarga yang telah merantau di

luar desa, mengkonversi lahan karet ke tanaman tua lainnya, seperti pohon jati

dan durian.

(44)

4.3 Jumlah Pohon

Produksi berdasarkan tingkatan harga tidak terlepas dari kualitas dan kuantitas

pohon karet. Pohon karet berdasarkan kualitas di Desa Rumah Sumbul pada awal

desa terbentuk terhambat dengan pemasaran dan harga tanaman palawija seperti padi

yang lebih dominan mempercepat waktu transaksi pendapatan dari proses pasar.

Dampaknya pembudidayaan karet tidak terawat hanya sebagai penjaga dan pembatas

lahan masyarakat. Sulitnya pemasaran produksi karet memperkecil jumlah pohon dari

standarisasi yang ditentukan. Jumlah pohon dalam 1 ha berdasarkan pola tanam

masyarakat Desa Rumah Sumbul berkisaran 100-120 pohon. Dengan bagian pohon

pada masa produksi-aktif hanya berkisar 60-70 pohon. Bagian pohon masa

pertumbuhan dan pohon berusia tua berkisar 30-45%. Perkembangan dan

penambahan jumlah pohon berangsur berubah keterkaitannya dengan aspek jalan

raya yang semakin kondusif dalam kemantapan infrastruktur dan pemasaran yang

semakin mudah dengan budidaya yang bermutu dengan kemudahan pupuk, obatan,

dan teknologi pertanian karet dengan mudah digapai penduduk desa.

Utuk memperoleh gambaran tentang jumlah pohon karet di Desa Rumah Sumbul

pada tahun 1955 digunakan data rata-rata luas lahan yang disajikan dalam bentuk

(45)

Tab el 8

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1955

Nama Luas Lahan

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Tolap Barus, Kueh Saragih, Beras Barus, dan Terang Barus, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

Pada tabel 8 berdasarkan dari 5 sampel informan yang ada, kepemilikan

pohon yang paling banyak dengan 480 pohon sedangkan kepemilikan pohon yang

paling sedikit hanya 100 pohon. Rata-rata jumlah pohon sebesar 105,2 pohon dari

jumlah total sebesar 1130 pohon. dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon yang

ditanami oleh masyarakat di Desa Rumah Sumbul tahun 1955 yakni :1.073,04 pohon.

Jumlah pohon di sini adalah jumlah rata-rata/ha di kalikan dengan luas lahan

keseluruhan tahun 1955.61 Untuk melihat perbandingan jumlah pohon tahun 1955

dengan tahun 1965 maka akan dilihat pada tabel sebagai berikut:

61

(46)

Tab el 9

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1965

Nama Luas Lahan

(ha)

Jumlah Pohon Keseluruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon/ha

Runggun Tarigan 1,5 ha 225 pohon 150 pohon

Nueh Ginting 3 ha 600 pohon 200 pohon

Pinter Tarigan 2 ha 450 pohon 225 pohon

Simula Br Sinuhaji

2 ha 360 pohon 180 pohon

Nini Br. Surbakti 2,5 ha 750 pohon 300 pohon

Total 11 ha 2385 pohon 211 pohon

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Runggun Tarigan, Nueh Ginting, Pinter Tarigan, Simula Sinuhaji, dan Nini br Surbakti, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 9, dapat dilihat bahwa jumlah pohon yang paling banyak dengan

600 pohon sedangkan jumlah pohon yang paling sedikit dengan 225 pohon. Rata-rata

jumlah pohon sebesar 211 pohon dari jumlah total sebesar 11 ha meningkat sebesar

105,8 pohon dari priode sebelumnya.

Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon yang ditanami oleh masyarakat di Desa

Rumah Sumbul tahun 1965 yakni :14.586 pohon. Untuk melihat perbandingan jumlah

(47)

Tabel 10

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1975

Nama Petani Luas Lahan

(ha)

Jumlah Pohon Keselruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon /ha

Japen Tarigan 1,5 ha 525 pohon 350 pohon

Jam Sitepu 1,5 ha 525 pohon 350 pohon

Suruhen Perangin-Angin 2 ha 800 pohon 400 pohon

Jenda Br. Karo 2 ha 600 pohon 300 pohon

Ali Ginting 6 ha 2400 pohon 400 pohon

Total 10.2 ha 4850 pohon 360 pohon

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Japen Tarigan, Nueh Ginting, Jam Sitepu, Suruhen Perangin-Angin, Jenda Br. Karo dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 10, dapat dilihat bahwa jumlah pohon yang paling banyak 2400

pohon sedangkan kepemilikan lahan yang paling sedikit sebanyak 525 pohon.

Rata-rata luas lahan sebesar 360 pohon dari jumlah total pohon sebesar 4850 pohon

meningkat sebesar 2492 pohon dari priode sebelumnya.

Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon karet di Desa Rumah Sumbul tahun 1975

yakni 327.600 pohon. Untuk melihat perbandingan jumlah pohon tahun 1975 dengan

(48)

Tab el 11

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1985

Nama Petani Luas Lahan

(Ha)

Jumlah Pohon Keseluruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon/ha

Tukiman Ginting 2 ha 1100 pohon 550 pohon

Dison-Prangin-Angin

2 ha 1180 pohon 590 pohon

Japen Tarigan 2,1 ha 1171.8 pohon 558 pohon

Jam Sitepu 2,5 ha 1225 pohon 490 pohon

Ali Ginting 6,5 ha 3770 pohon 580 pohon

Total 10.2 ha 8446.8 pohon 553.6 pohon

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Dison Perangin-Angin, Japen Tarigan, Jam Sitepu, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 11, dapat dilihat bahwa kepemilikan jumlah pohon yang paling

luas sebesar 3770 pohon meningkat 1370 pohon sedangkan kepemilikan pohon yang

paling sedikit sebesar 1100 pohon. Rata-rata luas jumlah pohon sebesar 553.6 pohon

dari jumlah total sebesar 8446.8 pohon meningkat sebesar 3596.8 pohon dari priode

sebelumnya.

Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon karet di Desa Rumah Sumbul tahun 1985

yakni 1.003.123 pohon. Untuk melihat perbandingan jumlah pohon tahun 1995

(49)

Tabel 12

Sampel Jumlah Pohon Karet di Desa Rumah Sumbul 1995

Nama Petani Luas Lahan

(Ha)

Jumlah Pohon Keseluruhan

(Pohon)

Rata-Rata Jumlah Pohon/ha

Jenda Br. Karo 1,1 ha 550 500

Ali Ginting 4,2 ha 2322 553

Murni Sitepu 2 ha 1176 588

Benar Ginting 1,5 ha 649.5 433

Jam Sitepu 2 ha 800 400

Total 10.2 ha 5447.5 494,8

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Jenda Br. Karo, Ali Ginting, Murni Br Sitepu, Benar Ginting, dan Jam Sitepu, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Pada tabel 12, dapat dilihat bahwa kepemilikan lahan sebesar 2322 pohon

menurun sebesar 1448 pohon sedangkan kepemilikan lahan yang paling sedikit

dengan jumlah pohon 800 pohon. Rata-rata jumlah pohon sebesar 494,8 pohon dari

jumlah total sebesar 5447.5 pohon terjadi penurunan sebesar 2999,3 pohon dari

priode sebelumnya. Dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah pohon karet di Desa Rumah

Sumbul tahun 1995 yakni 801.576 pohon.

Dari rata-rata jumlah pohon yang diperoleh setiap priodenya didapat jumlah pohon

(50)

Tabel 13

Jumlah Keseluruhan Pohon Karet Desa Rumah Sumbul 1955-1995 Tahu

Sumber:Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula Br Sinuhaji

Dari tabel 13 di atas, menggambarkan mengenai jumlah pohon karet

pertambahan selama kurun waktu 40 tahun sebesar 800.502,96 pohon dengan setiap

tahunnya pohon karet bertambah sebanyak 20.039,4 pohon. Peningkatan jumlah

pohon karet terbesar pada periode 1985 yakni 1.003.123 pohon. Pada periode 1955

sampai 1965 terjadi peningkatan jumlah pohon karet sebesar 1.073,04 pohon

menjadi 14.586 pohon. Indikasi pertambahan jumlah pohon pada periode ini

dikarenakan pohon karet dijadikan sebagai pembatas lahan masyarakat. Namun

(51)

sebagai pembatas tersebut. Untuk menghindari pemotongan pohon karet secara

sengaja oleh pihak yang tidak bertanggung jawab maka pihak petani menambah

jumlah bibit pohon.

Pada periode tahun 1975 sampai 1985 terjadi pertambahan jumlah pohon karet

sebesar 327.600 pohon menjadi 1.003.123 pohon. Pertambahan jumlah pohon karet

yang terluas terjadi pada periode ini. Pada periode 1975 jumlah rata-rata penambahan

pohon karet di Desa Rumah Sumbul sebesar 360 pohon. Sedangkan pada periode

1985 jumlah rata-rata penambahan pohon karet secara keseluruhan di desa sebesar

1.003.123 pohon dengan rata-rata 553.6 pohon. Indikasi yang menjadikan periode ini

sebagaai pertambahan jumlah pohon karet terbesar di Desa Rumah Sumbul

diakibatkan terjadinya penambahan pohon secara standar menurut aturan dinas

pertanian yang menuntut penambahan jumlah pohon dalam area satu hektar.

Terstrukturnya jalan raya dengan baik membawa informasi dengan penyuluhan

penyuluhan mengenai jumlah pohon yang ideal ditanam dalam satu hektar.

Masyarakat desa menambah jumlah pohon dari 100 pohon/ha menjadi 500/ha.

Pada periode 1995 terjadi penurunan jumlah pohon karet sebesar 201.547

pohon dari 1.003.123 pada periode 1985. Indikasi penurunan jumlah pohon

disebabkan adanya konversi lahan pohon karet ke kelapa sawit dan pohon karet sudah

mencapai non produktif dengan umur 20-30 tahun. Pohon karet yang telah melewati

usia produktif langsung ditebang dengan menyisipi lahan berupa tanaman palawija

(52)

4.4 Produksi

Bab ini menjelaskan tentang bagian produksi. Bagian produksi didefenisikan

kedalam dua bagian yakni produksi dalam bentuk kuantitas dan produksi dalam

bentuk kualitas. Nilai kuantitas didasarkan pada volume atau jumlah yang diperoleh

melalui ukuran standar yang telah disepakati antara pihak perusahaan terhadap

tengkulak dan sebaliknya pihak tengkulak kepada petani karet. Sedangkan defenisi

arti kualitas yakni mutu hasil karet setelah melakukan sentuhan akhir dari karet olah

pasca produksi. Bagian produksi dari kuantitas terdiri dari beberapa bagian seperti

jumlah produksi karet setiap minggunya, jumlah pohon yang berproduksi, jumlah

produksi karet pasca olah plan sheet dan slab , dan jumlah produktivitas setiap pohon per bulanya.

Produksi karet olah plant sheet dengan slab memiliki perbedaan jumlah produksi dan harga. Karet olah plant sheet degan slab perbandingannya 1:3 dengan perbandingan harga 3:1. Plant sheet mendapatkan volume produksi 10 kg/ha dengan jumlah pohon maksimal 100 pohon sedangkan karet olah slab mendapat nilai produksi 30-35 kg/ha dengan maksimal pohon 100 pohon. Pada priode 1955

masyarakat Desa Rumah Sumbul lebih memilih produksi karet olah plant sheet. Lahkah yang diambil petani karena faktor pemasaran yang sulit. Jalan yang rusak dan

berlubang menjadi medan yang sulit dilalui oleh mobil para tengkulak yang hendak

menampung hasil produksi karet setempat.

(53)

petani karet di Desa Rumah Sumbul tentang jumlah rata-rata produksi karet pada

tahun 1955 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 14

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet Desa Rumah Sumbul 1955

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Tolap Barus, Kueh Saragih, Beras Barus, dan Terang Barus, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul.

Dari tabel 15 diatas pada tahun 1955 jumlah produksi karet diolah

masyarakat desa menjadi karet olah plan sheet. Produksi karet olah sheet berbading 1:3 dengan produksi lumb. Total produksi karet pada tahun 1955 sebesar 111,66 kg dengan rata rata 23,3. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah

kuantitas produksi tahun 1955 adalah 23,3 kg/minggu. Jumlah produksi di sini

(54)

rata-rata/minggu.62

Tabel 15

Satu batang karet mampu menghasilkan lebih 3 ons. Untuk

membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1955 dengan tahun 1965 maka akan

dilihat pada tabel dibawah ini:

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet di Desa Rumah Sumbul 1965

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Runggun Tarigan, Nueh Ginting, Pinter Tarigan, Simula Sinuhaji, dan Nini Br Surbakti, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 16 diatas pada tahun 1965 total produksi karet pada tahun 1965

sebesar 203,2 kg dengan rata rata 40,69 kg. Untuk mendapatkan jumlah produksi

keseluruhan dengan perhitungan jumlah produksi sheet setiap minggu dikali jumlah petani dihasilkan 40,64 kg. Terjadi peningkatan rata-rata produksi sheet setiap minggu dari periode 1955 sebesar 23,3 kg dengan jumlah keseluruhan produksi 111,

62

(55)

66 kg meningkat menjadi 40,69 kg dengan jumlah keseluruhan 40,64 kg. Untuk

membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1955 dengan tahun 1965 maka akan

dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 16

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet dan Slab Desa Rumah Sumbul 1975

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Japen Tarigan, Nueh Ginting, Jam Sitepu, Suruhen Perangin-Angin, dan Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 17 diatas, pada tahun 1975 total produksi karet sebesar 272,5 kg

dengan rata rata 54,5 kg. Untuk mendapatkan jumlah produksi keseluruhan dengan

perhitungan jumlah produksi karet olah sheet dan slab setiap minggu dikali jumlah petani dihasilkan 16.350 kg. Terjadi peningkatan rata-rata produksi setiap minggu

dari periode 1965 sebesar 40,69 kg dengan jumlah keseluruhan produksi 203,2 kg

(56)

Untuk membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1975 dengan tahun 1985

maka akan dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 17

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Sheet dan Slab Desa Rumah Sumbul 1985

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Tukiman Ginting, Dison Perangin-Angin, Japen Tarigan, Jam Sitepu, Ali Ginting, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari data 18 diatas pada tahun 1985 jumlah produksi karet diolah masyarakat

desa menjadi karet olah plan sheet dan slab. Produksi karet olah sheet berbading 1:3 dengan produksi slab. Total produksi karet pada tahun 1985 sebesar 501,6 kg dengan rata rata 100,32. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kuantitas

(57)

jumlah pohon keseluruhan tahun 1985 dikalikan dengan jumlah petani.63

Tabel 18

Untuk

membandingkan jumlah kuantitas produksi tahun 1985 dengan tahun 1995 maka akan

dilihat pada tabel dibawah ini:

Jumlah Rata-Rata Produksi Karet Olah Slab Desa Rumah Sumbul 1995

Nama Petani Luas

Sumber: Diolah Dari Wawancara dengan Jenda Br. Karo, Ali Ginting, Murni Br Sitepu, Benar Ginting, dan Jam Sitepu, 22 April 2015, Desa Rumah Sumbul

Dari tabel 19 diatas pada tahun 1995 jumlah produksi karet diolah

masyarakat desa menjadi karet olah slab bergeser dari karet olah sheet. Total produksi karet pada tahun 1995 sebesar 335,2 kg dengan rata rata 67.04 kg. Dari tabel

di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah kuantitas produksi tahun 1995 adalah

46.928 kg/minggu.

Dari rata-rata jumlah produksi yang diperoleh setiap priodenya didapat jumlah

63

(58)

produksi karet keseluruhan dengan data yang diolah berdasarkan tabel di bawah ini,

Tabel 19

Jumlah Keseluruhan Produksi Karet Desa Rumah Sumbul 1955-1995 Tahun Jumlah

Sumber: Diolah Dari Wawancara Data Diolah dari Wawancara Japen Tarigan, Tukiman Ginting, Kueh Saragih, Nueh Ginting, Simula br Sinuhaji

Perkembangan jumlah produksi karet secara menyeluruh dari priode 1955

sampai 1995 berkisar, 108 238 kg. Jumlah produktivitas karet dengan tingkatan yang

paling besar terjadi pada priode 1985. Dengan jumlah produksi keseluruhan berkisar

108604 kg/minggu. Sedangkan jumlah produktivitas karet dengan tingkatan yang

paling kecil terjadi pada priode 1955. Dengan jumlah produksi keseluruhan setiap

pohon berkisar 2.04 kg. Sedangkan terjadi penurunan jumlah produksi pada priode

(59)

ke slab. Pada periode 1955 sampai 1965 rata-rata produksi karet setiap petani berkisar 22,33 kg dengan jumlah produksi secara keseluruhan setiap minggunya

sebesar 116,65 kg. Pada periode ini produksi karet merupakan produksi terlemah.

Indikasi lemahnya produksi karet disebabakan karena petani mengolah karet menjadi

bentuk plan sheet. Bentuk plan sheet mengurai berat berbanding 1/3 dengan karet bentuk lumb. Para tengkulak yang datang dari kota lebih memilih dan menampung produksi karet olah plan sheet dikarenakan faktor jalan menuju Desa Rumah Sumbul sangat membahayakan bagi tengkulak sendiri dan produksi yang ditampung. Keadaan

harga juga membuat produksi karet lambat bergerak. Harga yang lemah membuat

petani tidak termotivasi untuk melakukan penyadapan dan peremajaan. Lahan

pertanian yang berisi karet lebih sering terbelangkalai dan disebut sebagai tanaman

tidur.

Pada periode 1975 dan 1985 terjadi peningkatan produksi besar besaran. Para

tengkulak menampung karet masyarakat desa berupa plan sheet dan slab. Produksi karet olah plan sheet lebih diutamakan pengerjaan dan pemasaran sedangkan slab

merupakan bagian produksi karet yang terkena percampuran dengan serpihan serbuk

kayu dengan kualitas rendah. Namun beberapa masyarakat lebih memilih mengolah

produksi karet menjadi slab dengan jumlah yang minim. Peningkatan produksi disebabkan beberapa faktor seperti, harga karet olah plan sheet melambung tinggi, pemakaian pupuk dan teknologi pertanian karet telah intens dilakukan petani,

(60)

pembukaan lahan-lahan pertanian karet yang baru baik secara konversi maupun

replanting dan lahan bentuk warisan.

Pada periode 1995 terjadi penurunan jumlah produksi karet. Adapun indikasi

menurut petani setempat merupakan pertama, pohon karet yang telah memasuki usia

tua, sehingga pohon karet dibiarkan begitu saja maupun dilakukan penebangan

sebagai lahan konversi maupun replanting. Kedua, adanya aktivitas penebangan pohon masa produktif dari petani karet dengan mengalihkannya ke kelapa sawit.

Ketiga, faktor harga yang menurun setelah terjadi peralihan penjualan karet bentuk

plan sheet ke slab. Faktor produksi menurun akibat dari jumlah pohon yang ditebang. Pada periode 1985 jumlah pohon secara keseluruhan desa sebesar 1.003.123 pohon

mengalami penurunan 801.576 pohon pada periode 1995. Penurunan jumlah pohon

ini berdampak pada jumlah produksi rata rata hanya mencapai 67,4 kg dari 46.928 kg

produksi keseluruhan setiap minggu. Berbeda pada periode 1985 jumlah produksi

mencapai 60.192 kg dengan rata-rata produksi 100.32 kg , terjadi penurunan jumlah

produksi keseluruhan dalam setiap minggu sebesar 13.264 kg dengan rata rata

penurunan setiap tahun 1.326,4 kg.

Dari bagian kualitas karet, terdapat dua jenis bentuk karet olah pasca produksi

yang dilakukan petani Desa Rumah Sumbul. Yang dimaksud dengan kualitas

produksi dalam tulisan ini ialah banyak getah karet yang dihasilkan berdasarkan jenis

dan ukuran getah karet/minggu di Desa Rumah Sumbul umumnya petani menjual

(61)

terdapat perbedaan dalam proses mengolah sehingga takaran-takaran kualitas juga

menjadi berbeda. Bentuk karet olah Plain-Sheet dalam menentukan kualitas terdapat kelebihan yang memumpuni daripada hasil dalam bentuk slab. Dalam priode tahun 1955 sampai 1985 penggunaan karet olah Sheet lebih diunggulkan penggunnaannya. Bagian karet olah slab dari bagian karet lateks yang telah bercampur dengan remah-remah pohon dengan mutu yang rendah. Getah susu yang memiliki kualitas baik

adalah getah yang terdapat pada bagian atas dari wadah penampungan yang dapat

berupa alumanium, plastik dan tempurung dengan cairan lateks seperti tahu yang hanya dapat dijadikan bentuk karet olah sheet dengan kualitas tinggi. Getah susu yang higenis merupakan getah susu hasil dari sadapan kedua atau ketiga pada

pembukaan awal produksi pohon karet64

Awalnya petani karet tidak menggunakan wadah sebagai penampung lateks.

Cairan getah yang telah disadap dan mengering langsung ditarik dari batang.

Sedangkan cairan getah yang telah jatuh ke tanah dan mengering diangkat bersamaan

dengan campuran tanah. Pada tahun-tahun selanjutnya priode 1965 petani karet

menggunakan daun sebagai penampung lateks dan terus berkembang. Pada pertengahan tahun 1975 petani lebih cendrung menggunakan batok kelapa. Harganya . Hal ini agar terhindar dari tercampurnya

getah susu pada penyadapan yang pertama dengan remah-remah dari pohon karet

berupa serbuk-serbuk kayu yang dapat mempengaruhi kualitas karet olah Sheet

sendiri.

(62)

lebih ekonomis dan mudah ditemukan di sekitar desa. Dalam posisi peletakan, petani

menempatkan tempurung tersebut tepat di atas tanah. Hal ini membuat percikan

lateks berbaur dengan tanah yang menurunkan nilai kualitas. Bentuk batok tergolong

kata baik yakni batok yang lebar dan tidak keropos. Batok yang sudah rapuh dan

keropos dapat memberi kerugian terhadap petani karet sendiri.

Bentuk Plan-Sheet lebih memiliki kualitas yang teruji daripada bentuk slab.

Keadaan ini terdapat pada proses pembentukan dari masa sadap sampai dibentuk ke

plain-sheet. Proses interval waktu dapat mencapai 2-3 hari karena harus dijemur di panas api yang membuat warna menjadi kuning dan mengurai berat karet. Kualitas

karet dari bentuk plain-sheet pada penghujung pengolahan tidak berbau sehingga pada tahap pemasaran karet bentuk olah ini lebih tiba tepat waktu dan tidak banyak

memakan biaya. Hanya menggunakan anggota keluarga telah mudah menghemat

pengeluaran ekonomi.

Pada karet olah bentuk slab terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan petani sehingga mengurangi kualitas karet itu sendiri yang merugikan

petani. Sebelum tahun 1985 karet olah slab dibentuk bersamaan tanpa terpisah dengan karet Sheet, dari susu getah yang berada di bawah wadah penampung getah

lateks. Posisi awal getah slab berada di akhir yang membuat mudahnya masuk serbuk kayu. Terkontaminasinya karet olah membuat kualitas karet menurun dan

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 7
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Bukti Pengalaman Kerja (SPK /kontrak) asli sesuai dengan pada isian kualifikasi.. pada SPSE paket pekerjaan tersebut

The tool can be used to monitor and predict vegetation health at a high resolution in regions in which no local data is available, where it could support

[r]

4.2 Mempraktikkan variasi dan kombinasi pola gerak dasar lokomotor, non-lokomotor, dan manipulatif dalam permainan bola kecil yang dilandasi konsep gerak dalam berbagai

[r]

Pada saat pengakuan awalnya, aset keuangan tersedia untuk dijual diakui pada nilai wajarnya ditambah biaya transaksi dan selanjutnya diukur pada nilai wajarnya dimana keuntungan

Aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual adalah aset keuangan yang ditetapkan untuk dimiliki untuk periode tertentu dimana akan dijual dalam rangka pemenuhan likuiditas