• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Variabel Independen dengan Keluhan Subjektif

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.4 Deskripsi Hasil Penelitian

4.4.3 Hubungan Variabel Independen dengan Keluhan Subjektif

Untuk mengetahui hubungan variabel independen (tekanan panas, umur, masa kerja, jenis kelamin, status gizi dan konsumsi air minum) dengan keluhan subjektif yang telah diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hubungan Variabel Independen dengan Keluhan Subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018

Variabel

Berdasarkan tabel 4.3 diatas, pada variabel tekanan panas diperoleh nilai p

= 0,007 hal ini menunjukkan ada hubungan antara tekanan panas dengan keluhan

subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018, yang berarti nilai p value < titik kritis (0,05).

Pada variabel umur diperoleh nilai p = 1,000 hal ini menunjukkan tidak ada hubungan antara umur dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018, yang berarti nilai p value > titik kritis (0,05).

Pada variabel masa kerja diperoleh nilai p = 1,000 hal ini menunjukkan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018, yang berarti nilai p value >

titik kritis (0,05).

Pada variabel jenis kelamin diperoleh nilai p = 0,267 hal ini menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018, yang berarti nilai p value >

titik kritis (0,05).

Pada variabel status gizi diperoleh nilai p = 1,000 hal ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status gizi dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018, yang berarti nilai p value >

titik kritis (0,05).

Pada variabel konsumsi air minum diperoleh nilai p = 0,001 hal ini menunjukkan ada hubungan antara konsumsi air minum dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018, yang berarti nilai p value < titik kritis (0,05).

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Tekanan Panas dengan Keluhan Subjektif pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018

Berdasarkan analisis bivariat dapat diketahui bahwa dari 20 pekerja, pekerja di tempat kerja memenuhi syarat yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 3 orang (42,9%) dan yang tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 4 orang (57,1%) dan pekerja di tempat kerja tidak memenuhi syarat yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 13 orang (100,0%). Berdasarkan uji chi square diperoleh nilai p = 0,007 (p

< 0,05) hal ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tekanan panas dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fajrin (2014) terhadap pekerja instalasi Laundry Rumah Sakit di Kota Makassar yang mengatakan bahwa suhu ruangan memiliki hubungan yang signifikan terhadap keluhan kesehatan akibat tekanan panas. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value <

0,05, yaitu sebesar 0,000.

Tenaga kerja yang bekerja dengan beban kerja tertentu di lingkungan kerja dengan panas yang tinggi dapat menderita gangguan dan penyakit yang berhubungan dengan suhu udara panas. Perubahan fisiologis dalam tubuh manusia merupakan hasil dari tekanan panas (heat stress) yang didedikasikan atau ditujukan untuk menghilangkan panas dari tubuh (ACGIH, 2005). Apabila perubahan fisiologis

tersebut tidak ditangani dengan baik, maka dapat berujung kepada terjadinya heat-related disorder yang lebih serius dan membahayakan tubuh. Menurut Harrianto (2010), kebanyakan individu akan merasa nyaman bekerja pada suhu udara 20-27oC dan kelembaban 35-60%, bila lebih tinggi dari nilai ini tidak terasa nyaman, penampilan kerja akan menurun, bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

Berdasarkan teori yang yang ada, dapat disimpulkan bahwa pemaparan tekanan panas yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya keluhan subjektif. Teori yang ada mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan responden yang mengalami keluhan subjektif lebih banyak berada di tempat kerja tidak memenuhi syarat (> 28 oC) sebanyak 13 orang dari tempat kerja memenuhi syarat (≤ 28 oC) sebanyak 3 orang.

Hasil pengukuran tekanan panas di Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan menunjukkan rata-rata ISBB lingkungan kerja berkisar antara 27,6-30,1oC.

Paparan panas di Instalasi laundry bersumber dari mesin yang digunakan untuk menunjang proses pengelolaan linen. Berdasarkan hasil pengukuran tekanan panas di area penelitian bahwa ISBB area linen bersih melebihi NAB artinya tempat kerja tidak memenuhi syarat dan area linen kotor tidak melebihi NAB artinya tempat kerja memenuhi syarat. Menurut observasi yang dilakukan peneliti bahwa hal ini terjadi karena area linen kotor berada di dekat pintu masuk yang selalu terbuka lebar sehingga udara dari luar turut masuk mengurangi tekanan panas dari mesin, sedangkan area linen bersih berada di ruangan tertutup dan terdapat mesin setrika rol

57

paling berkontribusi meningkatkan suhu lingkungan di Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan. Ketika beroperasi, mesin setrika rol membutuhkan suhu yang tinggi, bentuk mesin yang terbuka dan memiliki silinder yang panas dengan cepat menaikkan suhu lingkungan kerja sehingga paparan panas paling besar diterima oleh pekerja yang berada di area linen bersih. Meningkatnya tekanan panas di area linen bersih juga disebabkan oleh beberapa unit fasilitas pendingin temperatur ruangan seperti kipas angin yang tidak dapat berfungsi atau mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut juga akan mempengaruhi tekanan panas meningkat. Hal ini dikarenakan bahwa kipas angin berfungsi untuk mengurangi penyebaran panas di lingkungan kerja. Keadaan lingkungan yang ada di Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan ini mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa ada hubungan tekanan panas dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

5.2 Hubungan Umur dengan Keluhan Subjektif pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018

Umur pekerja laundry dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan teori Worksafe BC (2007) menjadi < 40 tahun dan ≥ 40 tahun. Berdasarkan analisis bivariat dapat diketahui bahwa dari 20 pekerja, pekerja dengan umur < 40 tahun yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 10 orang (76,9%) dan yang tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 3 orang (23,1%) dan pekerja dengan umur ≥ 40 tahun yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 6 orang (85,7%) dan yang tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 1 orang (14,3%). Berdasarkan uji chi square

diperoleh nilai p = 1,000 (p > 0,05) hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah (2013) terhadap tenaga kerja di PT. Iglas (Persero) yang mengatakan bahwa umur tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keluhan subjektif dengan nilai p value 0,684. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indra (2014) terhadap pekerja bagian dapur rumah sakit di Kota Makassar menunjukkan bahwa tidak ada hubungan umur dengan keluhan akibat tekanan panas. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value > 0,05, yaitu sebesar 0,447.

Semakin bertambahnya umur seseorang akan menyebabkan respon kelenjar keringat terhadap perubahan temperatur menjadi lebih lambat, sehingga proses pengeluaran keringat menjadi kurang efektif dalam mengendalikan suhu tubuh (NIOSH, 2016). Daya tahan seseorang terhadap panas akan menurun pada umur yang lebih tua. Pekerja dengan umur lebih tua (40 sampai 65 tahun) umumnya kurang mampu dalam mengatasi panas (Worksafe BC, 2007).

Berdasarkan teori yang ada dapat disimpulkan bahwa semakin bertambah umur seseorang maka akan semakin sulit untuk mengatasi tekanan panas sehingga akan lebih mudah mengalami keluhan subjektif. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada menunjukkan pekerja dengan umur lebih muda (< 40 tahun) lebih banyak mengalami keluhan subjektif dari umur ≥ 40 tahun.

59

Hasil uji statisitik menujukkan tidak ada hubungan karena sebagian besar responden berumur < 40 tahun sehingga pekerja dengan umur ≥ 40 tahun lebih sedikit ditemukan mengalami keluhan subjektif. Dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa sebagian besar umur pekerja laundry relatif muda, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengalami keluhan subjektif. Kondisi hasil penelitian ini kemungkinan tidak tergantung tua atau muda umur seseorang melainkan faktor lain seperti tekanan panas yang berlebihan diterima oleh pekerja juga berpengaruh terhadap keluhan subjektif pada kedua kategori umur. Ketika pekerja laundry yang berumur lebih muda (< 40 tahun) menerima tekanan panas yang berlebihan, tidak mampu beradaptasi dan tidak memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja saat berada di lingkungan kerja panas maka akan berpotensi untuk mengalami keluhan subjektif, hal ini terbukti bahwa pekerja muda lebih banyak mengonsumsi air minum ≤ 7 gelas tidak sesuai anjuran dalam memenuhi kebutuhan cairan yang diperlukan saat pekerja berada di lingkungan kerja panas, yaitu sebanyak 9 pekerja laundry.

5.3 Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan Subjektif pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018

Masa kerja pekerja laundry dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan penelitian Fajrin (2014) menjadi ≤ 1 tahun dan > 1 tahun. Berdasarkan analisis bivariat dapat diketahui bahwa dari 20 pekerja, pekerja dengan masa kerja ≤ 1 tahun yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 3 orang (90,9%) dan pekerja dengan masa kerja > 1 tahun yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 13 orang (13,6%)

dan yang tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 4 orang (3,4%). Berdasarkan uji chi square diperoleh nilai p = 1,000 (p > 0,05) hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anjani (2013) terhadap pekerja yang terpajan tekanan panas (heat stress) di pengasapan ikan industri rumah tangga Kelurahan Ketapang Kecamatan Kendal yang mengatakan bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keluhan subjektif dengan nilai p value, yaitu sebesar 0,559.

Semakin lama seseorang dalam bekerja maka akan semakin banyak pula dia akan terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Masa kerja ini berkaitan dengan aspek durasi terhadap paparan tekanan panas. Semakin lama durasi seseorang terkena paparan panas, maka kemungkinan orang tersebut mengalami keluhan kesehatan akan semakin tinggi. Seseorang dapat mengalami keluhan subjektif dimulai saat masa kerja kerja sudah mencapai satu tahun. (Fazrin, 2014).

Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada kemungkinan karena pekerja dengan masa kerja > 1 tahun sudah beradaptasi terhadap lingkungan kerja yang panas atau sudah teraklimatisasi. Menurut Salami dkk (2015), aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologis terhadap suhu tinggi. Aklimatisasi panas biasanya tercapai setelah dua minggu. Bekerja dalam suhu tinggi saja belum dapat menghasilkan aklimatisasi sempurna (Salami dkk, 2015). Maka kemungkinan pekerja

61

Hasil penelitian ini juga didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Suma’mur (1994) yang dikutip oleh Anjani (2013) bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan subjektif pekerja, sebab semakin lama masa kerja akan berpengaruh terhadap keterampilan dan pengalaman pekerja dalam melakukan pekerjaannya, semakin tinggi keterampilan kerja yang dimiliki semakin efisien bagi pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga dapat mengurangi beban kerja yang pada akhirnya mengurangi kelelahan yang ditimbulkan. Masa kerja yang lama membuat fisiologis tubuh seseorang sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang menunjukkan pekerja dengan masa kerja > 1 tahun lebih banyak tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 4 pekerja, pekerja laundry dengan masa kerja > 1 tahun telah mengonsumsi air minum

> 7 gelas sehingga kebutuhan cairan yang diperlukan tubuh sudah terpenuhi saat berada di lingkungan kerja panas. Banyaknya mengonsumsi air minum menunjukkan bahwa pekerja laundry memiliki pengalaman kerja yang baik sehingga saat berada di lingkungan kerja panas dapat beradaptasi dengan mengonsumsi air minum sesuai kebutuhan air dalam tubuh. Dalam penelitian ini, bahwa faktor masa kerja bukan faktor utama yang menyebabkan terjadinya keluhan subjektif melainkan faktor tekanan panas yang berlebih diterima pekerja dan faktor konsumsi air minum.

5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Keluhan Subjektif pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018

Berdasarkan analisis bivariat dapat diketahui bahwa dari 20 pekerja, pekerja yang berjenis kelamin perempuan yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 10

orang (71,4%) dan yang tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 4 orang (28,6%) dan pekerja yang berjenis kelamin laki-laki yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 6 orang (100,0%). Berdasarkan uji chi square diperoleh nilai p = 0,267 (p > 0,05) hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anjani (2013) terhadap pekerja yang terpajan tekanan panas (heat stress) di pengasapan ikan industri rumah tangga kelurahan Ketapang Kecamatan Kendal yang mengatakan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keluhan subjektif dengan nilai p value, yaitu sebesar 0,353.

Menurut WHO (1969) yang dikutip oleh Salami dkk (2015) mengemukakan adanya perbedaan dalam hal aklimatisasi antara pria dan wanita. Wanita tidak dapat melakukan aklimatisasi sebaik pria dikarenakan mereka memiliki kapasitas kardiovaskuler yang lebih kecil. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada, kondisi tersebut dikarenakan pekerja laki-laki lebih besar tepapar panas dari pekerja wanita sehingga seluruh pekerja laki-laki mengalami keluhan subjektif.

Dari hasil observasi peneliti di lapangan bahwa paparan panas di Instalasi laundry bersumber dari mesin yang digunakan untuk menunjang proses pengelolaan linen.

Diketahui bahwa seluruh pekerja berjenis kelamin laki-laki dalam proses kerjanya di Instalasi laundry memiliki tanggung jawab secara langsung dalam mengoperasikan

63

pekerja laki-laki akan lebih besar terpapar tekanan panas dan pekerja laki-laki mengabaikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja seperti kurangnya mengonsumsi air minum yaitu 5 pekerja laki-laki dari 6 pekerja mengonsumsi air minum kurang dari sesuai anjuran saat berada di lingkungan kerja panas yang meningkatkan risiko pekerja untuk mengalami keluhan subjektif.

Jenis kelamin tidak terlalu banyak memberi pengaruh terhadap efek tekanan panas. Kecenderungannya adalah laki-laki lebih sedikit mudah berkeringat dan wanita yang memiliki tubuh gemuk lebih sulit untuk melakukan proses pendinginan tubuh (Iriadisti, 2016). Teori ini mendukung hasil penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan jenis kelamin dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan. Jadi, jenis kelamin tidak menjadi faktor yang berhubungan dengan keluhan subjektif pada pekerja melainkan faktor tekanan panas berlebihan yang diterima oleh pekerja dan faktor konsumsi air minum menyebabkan munculnya keluhan subjektif.

5.5 Hubungan Status Gizi dengan Keluhan Subjektif pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018

Berdasarkan analisis bivariat dapat diketahui bahwa dari 20 pekerja, pekerja dengan status gizi normal yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 11 orang (78,6%) dan yang tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 3 orang (21,4%) dan pekerja dengan status gizi lebih yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 5 orang (83,3%) dan yang tidak mengalami keluhan subjektif sebanyak 1 orang (16,7%).

Berdasarkan uji chi square diperoleh nilai p = 1,000 hal ini menunjukkan tidak ada

hubungan yang signifikan antara status gizi dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2012) terhadap pekerja di area produksi pelumas Jakarta PT. Pertamina (Persero) yang mengatakan bahwa status gizi (Indeks Massa Tubuh) tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keluhan subjektif dengan nilai p value, yaitu sebesar 0,336.

Seseorang yang status gizinya jelek akan menunjukkan respon yang berlebihan terhadap tekanan panas yang disebabkan oleh sistem kardiovaskuler yang tidak stabil (Salami dkk, 2015). Kelebihan lemak menyebabkan meningkatnya insulasi terhadap tubuh yang dapat mengurangi kehilangan panas dalam tubuh. Orang dengan kelebihan berat badan juga dapat menghasilkan panas lebih banyak selama kegiatan (Worksafe BC, 2007). Berat badan ekstra sering mengalami kesulitan dalam situasi lingkungan kerja panas karena tubuh mengalami kesulitan menjaga keseimbangan panas yang baik (Kuswana, 2016).

Berdasarkan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki kelebihan berat badan akan lebih mudah untuk menghasilkan panas sehingga lebih berisiko untuk mengalami keluhan subjektif. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang ada. Hal ini bisa dikarenakan sebaran dari indeks massa tubuh responden dalam sampel penelitian yang tidak merata. Jika dilihat dari distribusi responden yang memiliki status gizi lebih yaitu sebanyak 6 orang. Jumlah

65

normal, yaitu sebanyak 14 orang dan diketahui bahwa proporsi kejadian keluhan subjektif paling banyak dialami oleh responden yang memiliki status gizi dengan kategori normal dibandingkan status gizi kategori lebih. Hal ini juga didukung hasil penelitian puspita (2012), menunjukkan tidak ada hubungan indeks massa tubuh dengan keluhan subjektif dikarenakan sebagian besar responden memiliki indeks massa tubuh yang normal sehingga tidak proporsional indeks massa tubuh dalam sampel penelitian yang menyebabkan sedikitnya ditemukan keluhan subjektif pada pekerja IMT lebih dibandingkan IMT normal.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan distribusi responden berdasarkan status gizi dengan kategori normal dan lebih (gemuk) lebih besar mengalami keluhan subjektif dibandingkan tidak mengalami keluhan subjektif. Hal ini disebabkan sebagian besar pekerja menerima paparan tekanan panas yang berlebih sehingga dengan tekanan panas yang diterima, pekerja akan tetap mengalami keluhan subjektif meskipun pekerja memiliki status gizi tidak lebih. Maka dari itu, status gizi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

5.6 Hubungan Konsumsi Air Minum dengan Keluhan Subjektif pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018

Berdasarkan analisis biavariat dapat diketahui bahwa dari 20 pekerja, pekerja dengan konsumsi air minum ≤ 7 gelas yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 15 orang (100,0%) dan pekerja dengan konsumsi air minum > 7 gelas yang mengalami keluhan subjektif sebanyak 1 orang (20,0%) dan yang tidak mengalami

keluhan subjektif sebanyak 4 orang (80,0%). Berdasarkan uji chi square diperoleh nilai p = 0,001 hal ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara konsumsi air minum dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fajrin (2014) terhadap pekerja instalasi laundry Rumah Sakit di Kota Makassar yang mengatakan bahwa konsumsi air minum memiliki hubungan yang signifikan terhadap keluhan akibat tekanan panas dengan nilai p value, yaitu sebesar 0,000.

Air minum merupakan unsur pendingin tubuh yang penting dalam lingkungan panas. Air diperlukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi akibat berkeringat berlebih dan pengeluaran urin (Salami dkk, 2015). Keadaan dehidrasi akan mulai tampak bila individu kehilangan cairan sekitar 2 liter air dalam tubuh. Lingkungan kerja yang panas ataupun jenis pekerjaan yang berat membutuhkan air minum ≥ 2,8 Liter, sedangkan untuk jenis pekerjaan sedang atau pekerjaan dengan suhu lingkungan tidak terlalu panas membutuhkan air minum minimal 1,9-2 Liter (Soemarko, 2014).

Berdasarkan teori yang ada dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berada dilingkungan panas dalam kurun waktu tertentu dapat menimbulkan dehidrasi.

Konsumsi air minum dalam jumlah yang cukup selama jam kerja dapat mencegah timbulnya keluhan subjektif akibat tekanan panas. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang ada bahwa pekerja yang mengonsumsi air minum > 7 gelas lebih sedikit

67

mengonsumsi air minum ≤ 7 gelas, yaitu sebanyak 15 responden. Pekerja laundry yang mengonsumsi air minum > 7 gelas sudah dapat mengganti cairan yang hilang selama jam kerja dimana seseorang mulai tampak mengalami dehidrasi ketika kehilangan cairan sebanyak 2 liter air dalam tubuh, ketika pekerja sudah mengonsumsi air minum > 7 gelas atau setara 1 gelas sama dengan 250 ml maka pekerja sudah mengonsumsi ± 2 liter air minum selama jam kerja sehingga konsumsi air minum yang cukup akan mengurangi risiko mengalami keluhan subjektif.

Menurut hasil observasi di area penelitian, perusahaan telah menyediakan fasilitas penyediaan air minum berupa air kemasan galon namun hanya berada di area linen bersih sehingga bagi pekerja di area linen kotor sulit untuk menjangkau fasilitas air minum yang tersedia. Hal ini kemungkinan akan berdampak pada banyaknya konsumsi air minum pekerja, semakin jauh jangkauan lokasi fasilitas air minum maka akan semakin sedikit pula konsumsi air minum dari pekerja.

Kurangnya konsumsi air minum juga dikarenakan pekerja yang kurang memanfaatkan fasilitas air minum yang telah disediakan perusahaan dan kurang peduli terhadap kesehatan mereka sehingga masih banyak didapati pekerja laundry yang jarang mengonsumsi air mineral selama bekerja sehingga apabila pekerja kurang dalam memenuhi cairan yang hilang akibat tekanan panas maka akan mudah mengalami keluhan subjektif.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja laundry di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan Tahun 2018, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara tekanan panas dan konsumsi air minum dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

2. Tidak ada hubungan antara umur, masa kerja, jenis kelamin dan status gizi dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

6.2 Saran

1. Rumah Sakit perlu melakukan perbaikan dan perawatan terhadap fasilitas pendingin temperatur ruangan yang tersedia seperti kipas angin agar dapat dimanfaatkan secara optimal.

2. Rumah Sakit perlu menambah jumlah fasilitas penyediaan air minum di Instalasi laundry yang mudah dijangkau oleh pekerja.

3. Pekerja harus meningkatkan konsumsi air minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang selama bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

ACGIH. 2005. Heat Stress and Heat Strain. http://www.acgih.org/docs/default-

source/TLV-BEI-Guidelines/tlv-bei-committee-operations-manuals/tlv-pac_ops_man.pdf?sfvrsn=12. Diakses 24 November 2017.

source/TLV-BEI-Guidelines/tlv-bei-committee-operations-manuals/tlv-pac_ops_man.pdf?sfvrsn=12. Diakses 24 November 2017.