• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN SUBJEKTIF AKIBAT TEKANAN PANAS PADA PEKERJA LAUNDRY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN SUBJEKTIF AKIBAT TEKANAN PANAS PADA PEKERJA LAUNDRY"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN SUBJEKTIF AKIBAT TEKANAN PANAS PADA PEKERJA

LAUNDRY DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) DR PIRNGADI MEDAN

TAHUN 2018

SKRIPSI

OLEH : RIA TRIAMI NIM. 141000653

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH : RIA TRIAMI NIM. 141000653

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN SUBJEKTIF AKIBAT TEKANAN PANAS PADA PEKERJA LAUNDRY DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) DR PIRNGADI MEDAN TAHUN 2018 ” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara – cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, April 2018

Ria Triami

(4)
(5)

ABSTRAK

Tekanan panas merupakan salah satu kondisi kerja dari faktor fisik di lingkungan kerja yang merupakan beban tambahan bagi pekerja. Dalam keadaan tertentu tekanan panas berpengaruh terhadap produktivitas, performa kerja dan juga berpotensi menimbulkan berbagai keluhan kesehatan bagi pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan subjektif akibat tekanan panas pada pekerja laundry di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan Tahun 2018.

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 20 pekerja laundry. Sampel adalah total populasi sebanyak 20 pekerja laundry. Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan sebagai tempat bekerja bagi pekerja laundry. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji chi square.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 16 pekerja (80%) mengalami keluhan subjektif dan 4 pekerja (20%) tidak mengalami keluhan subjektif. Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tekanan panas dan konsumsi air minum dengan keluhan subjektif. Sedangkan umur, masa kerja, jenis kelamin dan status gizi menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan keluhan subjektif.

Disarankan agar perusahaan melakukan perbaikan dan perawatan terhadap fasilitas pendingin temperatur ruangan yang tersedia agar dapat dimanfaatkan secara optimal, menambah jumlah fasilitas penyediaan air minum yang mudah dijangkau oleh pekerja dan sebaiknya pekerja meningkatkan mengonsumsi air minum.

Kata kunci : Keluhan Subjektif, Pekerja Laundry, Tekanan Panas

(6)

stress that effect on productivity, the performance of the work and also potentially cause a variety of health complaints for workers. This research aims to know the factors that are associated with subjective complaints due to heat stress on the laundry workers in the Regional General Hospital Dr Pirngadi Medan at 2018.

This type of research method used was analitytic survey with cross sectional design. The population in this study as many as 20 laundry workers. The sample is a total population of as many as 20 laundry workers. The location of research carried out at the Regional General Hospital Dr Pirngadi Medan as a place of work for laundry workers. Data analysis was univariate and bivariate analysis using chi square test.

The results of this research show that there were 16 workers (80%) experienced the subjective complaints and 4 workers (20%) do not experience subjective complaints. Chi square test results showed a significant relationship among heat stress and consumptions of drinking water with subjective complaints.

While the age, working period, gender and nutrional status showed no significant relationship with subjective complaints

It is recommended that companies to do the repair and maintenance of cooling facilities available so that the room temperature can be utilized optimally, increase the number of facilities taking drinking water that is easily accessible by workers and workers should increase the intake of drinking water

Keywords : Subjective complaints, laundry workers, heat stress

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ria Triami dilahirkan pada tanggal 30 April 1996 di Medan. Beragama Islam, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Agusman Gafri dan Ibunda Hj. Muliani. Penulis bertempat tinggal di alamat Bromo Ujung/Selamat No. 244, Medan.

Pendidikan Formal penulis, dimulai dari pendidikan dasar di SD Swasta Islam An-Nizam Medan pada Tahun 2002-2008, pendidikan menengah pertama di SMP Swasta Islam An-Nizam Medan pada Tahun 2009-2011, kemudian pendidikan menengah atas di SMA Negeri 3 Medan pada Tahun 2012-2014.

Penulis kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara pada peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

(8)

rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas pada Pekerja Laundry di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Pirngadi Medan Tahun 2018”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Begitu banyak tantangan yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes, selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. dr. Mhd. Makmur Sinaga, MS dan dr. Halinda Sari Lubis, MKKK, selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(9)

5. Dra. Lina Tarigan, Apt., MS dan Eka Lestari Mahyuni, SKM, M.Kes, selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah meluangkan waktunya untuk memberi masukan tehadap skripsi ini.

6. Dr. Juanita, SE, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan akademik selama penulis menjalani perkuliahan.

7. Para Dosen dan Staff di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

8. Dr. Suryadi Panjaitan, M.Kes, Sp.PDFINASIM, selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

9. Yang teristimewa untuk kedua orang tua tercinta ibunda Hj. Muliani dan ayahanda H. Agusman Gafri serta saudara-saudariku Siti Ramadhani, SE, Lisa Zahara, SH, dan Fitri Agusli dan Rizky Pratama Ramadhan yang telah mendoakan, memberikan kasih sayang dan selalu mendukung penulis.

(10)

siapapun yang membacanya serta dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2018

Ria Triami

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... ...vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... ...xiiI DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR ISTILAH ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4 Hipotesis Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Tekanan Panas ... 9

2.1.1 Definisi Tekanan Panas ... 9

2.1.2 Sumber Panas ... 10

2.1.3 Keseimbangan Panas dan Mekanisme Pertukaran Panas ... 12

2.1.4 Respon Tubuh Terhadap Panas ... 15

2.1.5 Akibat Tekanan Panas ... 15

2.1.6 Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas ... 19

2.1.7 Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas ... 20

2.1.8 Pengukuran Tekanan Panas ... 24

2.1.9 Standar Iklim Kerja Panas ... 27

2.1.10 Pengendalian Tekanan Panas ... 28

2.2 Laundri (laundry) ... 30

2.2.1 Pengertian dan Persyaratan ... 30

2.2.2 Tata Laksana ... 31

2.3 Kerangka Konsep ... 34

(12)
(13)

3.3 Populasi dan Sampel ... 35

3.3.1 Populasi ... 35

3.3.2 Sampel ... 36

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 36

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 36

3.5.1 Variabel ... 36

3.5.2 Definisi Operasional ... 37

3.6 Teknik Pengukuran ... 38

3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 42

3.7.1 Teknik Pengolahan ... 42

3.7.2 Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 44

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 44

4.1.1 Sejarah Ringkas RSUD Dr Pingadi Medan ... 44

4.1.2 Struktur Organisasi RSUD Dr Pirngadi Medan ... 45

4.2 Proses Pengelolaan Linen di Instalasi Laundry RSUD Dr Pirngadi Medan ... 46

4.3 Gambaran lingkungan kerja di Instalasi Laundry RSUD Dr Pirngadi Medan ... 48

4.4 Deskripsi Hasil Penelitian ... 50

4.4.1 Gambaran Tekanan Panas di Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 50

4.4.2 Variabel Independen dan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 52

4.4.3 Hubungan Variabel Independen dengan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 53

BAB V PEMBAHASAN ... 55

5.1 Hubungan Tekanan Panas dengan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 55

5.2 Hubungan Umur dengan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 57

5.3 Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 59

5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 61

5.5 Hubungan Status Gizi dengan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 63

(14)

6.2 Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... 69 DAFTAR LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tingkat Kegiatan dan Kalori yang Dihasilkan ... 11 Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja ... 27 Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Tekanan Panas di Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 51 Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Independen dan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 52 Tabel 4.3 Hubungan Variabel Independen dengan Keluhan Subjektif Pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan Tahun 2018 ... 53

(16)
(17)

DAFTAR ISTILAH

Singkatan Singkatan dari

ACGIH American Counsel of Government Industrial Hygienists BTU British Thermal Unit

CCOHS Canadian Centre for Occupational Health and Safety NIOSH National Institute for Occupational Safety and Health OSHA Occupational Safety and Health Administration RSUD Rumah Sakit Umum Daerah

ISBB Indeks Suhu Basah dan Bola NAB Nilai Ambang Batas

(18)

Lampiran 3. Surat Selesai Penelitian

Lampiran 4. Struktur Organisasi RSUD Dr Pirngadi Medan Lampiran 5. Hasil Pengukuran Tekanan Panas

Lampiran 6. Denah Lokasi Penelitian Lampiran 7. Master Data

Lampiran 8. Output Lampiran 9. Dokumentasi

(19)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lingkungan kerja yang aman dan nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif. Lingkungan kerja harus ditangani dan didesain sedemikian rupa sehingga menjadi kondusif terhadap pekerja untuk melaksanakan kegiatan dalam suasana yang aman dan nyaman (Tarwaka dkk, 2004).

Suhu yang nyaman bagi pekerja sekitar 20oC sampai 27oC dan dalam situasi humiditas berkisar 35% sampai 60%. Apabila temperatur dan humiditas lebih tinggi, pekerja akan merasa tidak nyaman, terganggunya mekanisme penyesuaian tubuh dan berlanjut pada kondisi serius bahkan fatal (CCOHS, 2016).

Kesehatan adalah faktor sangat penting bagi produktivitas dan peningkatan produktivitas tenaga kerja selaku sumber daya manusia. Kondisi kesehatan yang baik merupakan potensi untuk meraih produktivitas kerja yang baik pula (Suma’mur, 2009). Di dalam suatu lingkungan kerja, pekerja akan menghadapi tekanan lingkungan. Tekanan lingkungan tersebut berasal dari faktor kimiawi, fisika, biologis dan psikis. Dari berbagai faktor yang ada, temperatur ekstrem merupakan salah satu tekanan lingkungan dari golongan faktor fisika (Salami dkk, 2015).

Temperatur lingkungan kerja adalah salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap produktivitas dan peforma kerja. Temperatur lingkungan kerja juga berpotensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan bagi pekerja apabila berada dalam kondisi temperatur yang ektsrem. Kondisi temperatur lingkungan kerja yang

(20)

ekstrem meliputi kondisi panas dan dingin yang berada diluar batas kemampuan manusia untuk beradaptasi (Hendra, 2009). Tekanan panas (heat stress) di suatu lingkungan kerja merupakan perpaduan antara suhu udara, kelembaban, radiasi, kecepatan gerakan udara, dan panas metabolisme sebagai aktivitas dari seseorang (Salami dkk, 2015). Selanjutnya, apabila pemaparan terhadap tekanan panas terus berlanjut maka resiko terjadi gangguan kesehatan akan meningkat (Tarwaka dkk, 2004).

Menurut Grantham dan Bernard yang dikutip oleh Tarwaka dkk (2004), reaksi fisiologis akibat tekanan panas yang berlebihan dapat dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana sampai terjadi penyakit yang serius berupa dehidrasi, heat syncope, heat rashes, heat cramp, heat exhaustion dan heat stroke. Menurut NIOSH (2016), respon fisiologis akibat tekanan panas yang terjadi pada masing- masing individu tidak sama, munculnya respon fisiologis tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang berhubungan dengan respon fisiologis akibat tekanan panas meliputi status hidrasi dan faktor individu seperti aklimatisasi, umur, jenis kelamin, konsumsi alkohol dan status gizi.

Tekanan panas mengenai tubuh manusia dapat mengakibatkan berbagai permasalahan kesehatan hingga kematian. Berdasarkan laporan Centers for Disease Control and Prevention (2008) yang dikutip oleh NIOSH (2016), hasil penelitian di Amerika menunjukkan terjadi 423 kematian pekerja selama tahun 1992-2006 yang diakibatkan oleh terpajan panas pada tubuh. Menurut Bureau of Labor Statistics

(21)

3

penyakit yang disebabkan oleh paparan panas di lingkungan kerja yang panas dan mengakibatkan pekerja kehilangan waktu kerja selama beberapa hari. Kehilangan waktu kerja dapat menurunkan produktivitas kerja.

Tingginya potensi bahaya pada lingkungan kerja panas tersebut perlu diperhatikan dan dikendalikan agar kondisi keselamatan dan kesehatan pekerja tetap terjaga. Pemerintah telah membuat Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja khususnya pada Permenaker No : Per 13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di lingkungan kerja. Dalam peraturan tersebut berisi tentang standar suhu lingkungan berdasarkan kategori beban kerja dan pola istirahat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Depnakertrans, 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah (2013) mengenai faktor dominan yang berpengaruh terhadap munculnya keluhan subjektif akibat tekanan panas pada tenaga kerja di PT. IGLAS (Persero) Gresik bahwa keluhan subjektif yang paling sering dirasakan pekerja adalah rasa sangat haus (73%) dari 52 pekerja sebagai sampel. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan shift kerja (p value = 0,001) dan ukuran tubuh (p value = 0,005) terhadap munculnya keluhan subjektif akibat tekanan panas.

Bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit disebabkan oleh berbagai faktor.

Salah satunya faktor fisik seperti suhu panas yang dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja (Sucipto, 2014). Lingkungan kerja di Rumah

(22)

Sakit yang berpotensi menimbulkan dampak bahaya suhu panas adalah Instalasi laundry. Hal ini sejalan dengan penelitian Fajrin (2014) tentang faktor yang berhubungan dengan keluhan kesehatan akibat tekanan panas pada pekerja instalansi laundry di Rumah Sakit Kota Makassar menunjukkan suhu ruangan berkisar antara 27,2-30,3oC dan sebanyak 60 pekerja sebagai sampel, 100% diantaranya mengalami banyak berkeringat sebagai keluhan yang paling banyak dirasakan akibat tekanan panas. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna keluhan kesehatan akibat tekanan panas dengan suhu (p value = 0,000), umur (p value = 0,004), lama kerja (p value = 0,000), masa kerja (p value = 0,000), waktu istirahat (p value = 0,000) dan konsumsi air minum (p value = 0,000).

RSUD Dr Pirngadi Medan adalah salah satu unit pelayanan kesehatan yang berstatus milik pemerintah Kota Medan dengan tipe kelas B dan memiliki unit pengelolaan linen sendiri yang diatur dalam instalasi laundry. Diketahui bahwa pekerja sebanyak 20 orang. Jam kerja masuk hari Senin sampai dengan Sabtu mulai dari pukul 08:00 WIB sampai pukul 14:30 WIB dan 60 menit waktu istirahat. Waktu kerja yang terlalu lama yaitu lebih dari 40 jam seminggu dalam 6 hari kerja dengan tekanan panas yang besar berisiko bagi pekerja untuk mengalami penyakit akibat tekanan panas. Pekerja laundry termasuk kategori beban kerja sedang seperti berdiri, kerja sedang pada mesin, mengangkat dan mendorong beban yang beratnya sedang.

Proses pengelolaan linen di Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan, dimulai dari proses penerimaan linen kotor, pencucian, pengeringan, penyetrikaan,

(23)

5

menangani linen pada setiap tahapan proses, tetapi setiap pekerja menangani pekerjaan sejak dari penerimaan sampai pencucian terdiri dari 7 orang di area linen kotor dan proses pengeringan sampai pendistribusian terdiri dari 13 orang di area linen bersih namun pekerja laki-laki memiliki tanggung jawab langsung dalam mengoperasikan mesin. Setelah dilakukan pengamatan di Instalasi laundry bahwa tekanan panas terjadi saat proses pencucian, pengeringan dan penyetrikaan yang dihasilkan dari mesin dan iklim kerja paling panas adalah proses penyetrikaan menggunakan 2 unit mesin setrika rol yaitu flat work ironer dengan temperatur inlet 80-100oC. Mesin ini tidak tertutup dan memiliki silinder yang panas. Lokasi kerja berada disatu tempat yang sama sehingga semua pekerja terkena dampak dari paparan panas yang mempengaruhi produktivitas kerja, kesehatan pekerja dan gangguan kenyamanan dalam melakukan pekerjaan.

Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan mengelola linen sebanyak ± 500 kg per hari. Dalam menunjang aktivitasnya, instalasi laundry dilengkapi dengan beberapa sarana, yaitu 4 unit mesin cuci memiliki temperatur inlet 60-70 oC, 2 unit mesin pengering memiliki temperatur inlet 60-70 oC, 2 unit mesin setrika rol dengan temperatur inlet 80-100 oC, 2 unit mesin cuci selimut, 4 unit meja berbentuk persegi untuk pelipatan linen dan 12 unit troli. Luas tempat kerja kira-kira 12 x 8 meter persegi berbentuk persegi panjang, terdiri dari area linen kotor yang terdapat proses penerimaan dan pencucian linen dengan luas kira-kira 12 x 4 meter persegi dan area linen bersih terdapat proses pengeringan sampai pendistribusian dengan luas kira-kira 12 x 4 meter persegi. Lantai terbuat dari keramik dan atap terbuat dari asbes.

(24)

Terdapat 12 ventilasi yang dilapisi kain kasa dan 5 kipas angin, tetapi yang berfungsi hanya 3. Ketersedian kipas angin tidak mengurangi efek panas pada beberapa pekerja.

Hasil wawancara singkat peneliti dengan 3 pekerja saat proses penyetrikaan, 3 pekerja tersebut mengaku tetap merasa panas meskipun kipas angin telah dihidupkan.

Berdasarkan hasil wawancara singkat peneliti dengan 6 pekerja mengenai keluhan-keluhan yang dirasakan saat bekerja, seluruh pekerja mengaku merasakan panas, tidak nyaman saat bekerja, merasa lemas, merasa haus dan banyak mengeluarkan keringat dan keluhan yang dirasakan pekerja sebagai bentuk keluhan subjektif akibat tekanan panas. Oleh karena itu, peneliti berkeinginan untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas pada Pekerja Laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan keluhan subjektif akibat tekanan panas pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan subjektif akibat tekanan panas pada pekerja laundry di RSUD Dr

(25)

7

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara tekanan panas dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

2. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

3. Untuk mengetahui hubungan antara masa kerja dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

4. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

5. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

6. Untuk mengetahui hubungan antara konsumsi air minum dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

1.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut :

1. Ada hubungan antara tekanan panas dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

2. Ada hubungan antara umur dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

3. Ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

4. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

(26)

5. Ada hubungan antara status gizi dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

6. Ada hubungan antara konsumsi air minum dengan keluhan subjektif pada pekerja laundry.

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak :

1. Memberikan informasi kepada tenaga kerja khususnya di Instalasi laundry

RSUD Dr Pirngadi Medan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan subjektif akibat tekanan panas sehingga pekerja sadar dan tahu tindakan

yang sebaiknya dilakukan.

2. Memberikan masukan bagi rumah sakit agar dapat melakukan tindakan preventif terhadap pekerja laundry RSUD Dr Pirngadi Medan dalam hal pengendalian terjadinya penyakit akibat kerja dan perbaikan lingkungan kerja dalam rangka meminimalisasi risiko pajanan tekanan panas.

3. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk diadakan penelitian selanjutnya.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tekanan Panas

2.1.1 Definisi Tekanan Panas

Tekanan panas adalah batasan kemampuan penerimaan panas yang diterima pekerja dari kontribusi kombinasi metabolisme tubuh akibat melakukan pekerjaan dan faktor lingkungan (temperatur udara, kelembaban, pergerakan udara, dan radiasi perpindahan panas) dan pakaian yang digunakan. Pada saat heat stress mendekati batas toleransi tubuh, risiko terjadinya kelainan kesehatan menyangkut panas akan meningkat (ACGIH, 2005).

Iklim (cuaca) kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi. Kombinasi dari keempat faktor tersebut yang dipadankan dengan produksi panas oleh tubuh sendiri disebut tekanan panas (heat stress). Suhu nyaman bagi orang Indonesia adalah antara 24- 26°C (Suma’mur, 2009). Suhu lingkungan di tempat kerja yang terlalu panas ataupun terlalu dingin berbahaya terhadap kesehatan individu pekerja. Pajanan suhu yang terlalu panas disebut heat stress (Harrianto, 2010).

Potensi bahaya yang terdapat di lingkungan kerja dan mendapat perhatian khusus adalah tekanan panas. Tekanan panas adalah beban panas keseluruhan pada tubuh, temasuk panas lingkungan dan produksi panas tubuh bagian dalam karena bekerja keras. Ringan atau sedang tekanan panas, mungkin tidak nyaman dan dapat mempengaruhi kinerja dan keamanan, tetapi biasanya tidak berbahaya bagi kesehatan (Kuswana, 2016).

(28)

Menurut Salami dkk (2015), Tekanan panas (heat stress) di suatu lingkungan kerja merupakan perpaduan antara suhu udara, kelembaban, radiasi, kecepatan gerakan udara, dan panas metabolisme sebagai aktivitas dari seseorang.

Tekanan panas juga diartikan suatu mikro metereologi dari lingkungan kerja.

Tekanan panas yang berlebihan merupakan beban tambahan yang harus diperhatikan dan diperhitungkan. Beban tambahan berupa panas lingkungan dapat menyebabkan beban fisiologis, misalnya kerja jantung menjadi bertambah.

Tekanan panas yang berlebihan juga dapat mengakibatkan perubahan fungsional pada organ yang bersesuaian pada tubuh manusia serta dapat mengakibatkan rasa letih dan kantuk, mengurangi kestabilan dan meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja sehingga menurunkan efisiensi kerja.

2.1.2 Sumber Panas

Tubuh dapat menerima panas dengan dua cara, yaitu mendapatkan panas dari tubuh itu sendiri melalui aktivitas dan juga dapat menyerap panas dari lingkungan.

1. Panas dari aktivitas

Panas dari aktivitas merupakan jumlah panas yang berasal dari tubuh pekerja itu sendiri (Worksafe BC, 2007). Panas yang diakibatkan metabolisme sangat tergantung kepada aktivitas tubuh. Berikut ini adalah tabel yang menyajikan hubungan antara panas yang dihasilkan oleh metabolisme dan tingkat kegiatan tubuh (Suma’mur, 2009).

(29)

11

Tabel 2.1 Tingkat Kegiatan dan Kalori yang Dihasilkan

Tingkat Kegiatan BTU/jam

Ringan Tidur

Duduk Tenang

Duduk, dengan gerakan lengan ringan misalnya mengetik

Duduk, dengan gerakan tangan dan kaki ringan misalnya main piano atau menyetir mobil

Berdiri, kerja ringan pada mesin atau membongkar sesuatu dengan tangan dan kaki

Berdiri, kerja ringan dengan mesin atau membongkar barang, kadang-kadang jalan

250 400 450-500

550-650

550-650

650-800

Sedang Berdiri, kerja sedang pada mesin atau membongkar barang dan kadang-kadang jalan

Berjalan dengan mengangkat atau mendorong beban yang beratnya sedang Mengangkat, mendorong, dan menaikkan benda berat secara terputus-putus misalnya pekerjaan menyekop

750-1000

1000-1400

1500-2000

Berat Mengangkat, mendorong, dan menaikkan benda berat terus-menerus

2000-2400

Sumber: Suma’mur (2009)

2. Panas dari lingkungan

Selain tergantung kepada tingkat kegiatan, metabolisme, panas juga sangat dipengaruhi oleh keadaan suhu lingkungan sekitar. Iklim (cuaca) kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi (Suma’mur, 2009).

(30)

Operasi yang melibatkan udara suhu tinggi, sumber panas radiasi, kelembaban tinggi, kontak fisik langsung dengan benda panas, atau kegiatan fisik yang berat memiliki potensi untuk menginduksi tekanan panas pada pekerja yang terlibat dalam operasi tersebut. Tempat tersebut meliputi peleburan besi dan baja, pabrik roti, dapur komersial, binatu (laundry), pabrik kimia, pengalengan makanan, lokasi pertambangan, peleburan dan terowongan uap. Operasi terbuka yang dilakukan dalam cuaca panas, seperti konstruksi, penyulingan, pemindahan asbes dan kegiatan situs limbah berbahaya (Kuswana, 2016).

Suhu nikmat kerja adalah suhu yang diperlukan seseorang agar dapat bekerja secara nyaman. Suhu nikmat kerja berkisar antara 24-26°C bagi orang Indonesia. Orang Indonesia pada umumnya beraklimatisasi dengan iklim tropis yang suhunya sekitar 29-30°C dengan kelembaban 85-95%. Aklimatisasi terhadap panas berarti suatu proses penyesuaian yang terjadi pada seseorang selama satu minggu pertama berada di tempat kerja (Suma’mur, 2009).

2.1.3 Keseimbangan Panas dan Mekanisme Pertukaran Panas 1. Keseimbangan Panas

Salah satu konsep penting dalam pengaturan temperatur manusia adalah kesetimbangan suhu tubuh. Panas yang keluar ataupun yang diperoleh tubuh dapat dinyatakan sebagai (Bernard dalam Iriadisti, 2016) :

Dengan,

S = Jumlah total panas yang diperoleh atau keluar dari tubuh; idealnya, nilai ini mendekati nol

S = M + C + R + K + E

(31)

13

M = Panas yang diperoleh dari proses metabolisme kerja

C = Panas yang diperoleh atau hilang melalui mekanisme konveksi R = Panas yang diperoleh atau hilang melalui mekanisme radiasi K = Panas yang diperoleh atau hilang melalui mekanisme konduksi E = Panas yang hilang melalui proses berkeringat (evaporasi) 2. Mekanisme Pertukaran Panas

Panas dari lingkungan dapat berpindah dari satu objek ke objek lain setiap waktu. Pertukaran panas pada tubuh pekerja dalam lingkungan yang dihadapi dapat terjadi melalui cara-cara berikut ini.

a. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas langsung kulit di sekitar tubuh dengan benda-benda kerja yang dihadapi (Kuswana, 2016). Konduktivitas panas sangat penting didalam pemilihan material untuk keperluan suatu perancangan, misalnya lantai, mebel, dan bagian-bagian peralatan yang dipegang (handle) yang berada pada stasiun kerja (Nurmianto, 2008).

b. Konveksi

Pertukaran panas oleh proses konveksi bergantung pada pergerakan udara dari hembusan angin dan ventilasi (Harrianto, 2010). Konveksi adalah perpindahan panas melalui perantaraan gerakan molekul, gas atau cairan.

Konveksi bergantung pada aliran fluida untuk mengangkut panas dari objek yang didinginkan ke lingkungan sekitarnya. Dalam konveksi bebas, gerak fluida adalah hasil dari daya apung fluida hangat dalam pendingin cairan sekitarnya. Jika ada

(32)

aliran eksternal yang dipaksakan, seperti angin maka tingkat konvektif akan ditingkatkan (Kuswana, 2016).

c. Radiasi

Menurut Nurmianto (2008), proses pertukaran melalui radiasi terjadi diantara tubuh manusia dan sekelilingnya (dinding, benda mati, manusia) dalam kedua arah dan sepanjang waktu. Sebagai kebalikan dari proses konduksi atau konveksi, radiasi panas banyak dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban, dan aliran udara. Hal itu bergantung sekali pada perbedaan temperatur diantara kulit dan medium yang berdekatan dengan kulit.

Pertukaran panas tubuh oleh proses radiasi bergantung pada suhu benda- benda yang berada di sekeliling permukaan tubuh (Harrianto, 2010). Jumlah panas radiant yang hilang dalam sehari oleh seseorang (pakaian lengkap/sempurna) sangat bervariasi sekali tergantung dari kasusnya. Rata – rata panas yang hilang adalah sebesar 1000-1500 kkal dalam sehari, terhitung untuk 40-60% total panas yang hilang dari tubuh manusia (Nurmianto, 2008).

d. Evaporasi

Evaporasi ini tidak dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi akibat difusi molekul air secara terus-menerus melalui kulit dan sistem pernapasan (Kuswana, 2016). Salah satu respon tubuh yang bersifat otomatis untuk mengatasi kenaikan suhu adalah dengan berkeringat. Jumlah keringat yang dikeluarkan manusia cukup besar, sekitar 500 gram/m2 permukaan kulit per jam bahkan dapat mencapai 1-2 kilogram per jam (Iriadisti, 2016).

(33)

15

Pertukaran panas tubuh oleh proses evaporasi bergantung pada suhu benda-benda yang berada di sekeliling permukaan tubuh (Harrianto, 2010). Pada temperatur sekeliling diatas 25oC, kulit manusia mampu untuk kehilangan panas melalui proses konveksi, radiasi dan keluarnya keringat merupakan satu-satunya mekanisme yang ada. Dari sini hilangnya panas karena proses penguapan keringat akan meningkat secara drastis setelah dicapai temperatur kritis tertentu (Nurmianto, 2008).

2.1.4 Respon Tubuh Terhadap Panas

Manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan panas tubuh dengan lingkungan melalui mekanisme pengaturan panas tubuh. Apabila mekanisme pengaturan panas di dalam tubuh manusia gagal, dapat terjadi penyimpangan dalam tubuh atau biasa dikenal dengan heat strain (Puspita, 2012). Heat strain adalah keseluruhan respon fisiologis hasil dari tekanan panas (heat stress).

Respon fisiologis tersebut didedikasikan atau ditujukan untuk menghilangkan panas dari tubuh (ACGIH, 2005).

Reaksi fisiologis (heat strain) yang berlebihan dapat dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana sampai terjadi penyakit yang serius.

Penyakit serius tersebut berupa dehidrasi, heat syncope, heat rashes, heat cramp, heat exhaustion dan heat stroke (Tarwaka dkk, 2004).

2.1.5 Akibat Tekanan Panas

Tekanan panas memerlukan upaya tambahan pada anggota tubuh untuk memelihara keseimbangan panas. Menurut Tarwaka dkk (2004) bahwa reaksi

(34)

fisiologis tubuh (heat strain) oleh karena peningkatan temperatur udara diluar comfort zone adalah sebagai berikut :

a. Vasodilatasi

b. Denyut jantung meningkat c. Temperatur kulit meningkat

d. Suhu inti tubuh pada awalnya turun kemudian meningkat dan lain-lain

Kebanyakan individu akan merasa nyaman bekerja pada suhu udara 20- 27oC dan kelembaban 35-60%, bila lebih tinggi dari nilai ini tidak terasa nyaman, penampilan kerja akan menurun, bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

Penyakit akibat pajanan lingkungan sebagai berikut (Harrianto, 2010) : 1. Kelainan Kulit :

a. Heat edema biasanya terjadi pada pekerja yang berada pada lingkungan panas. Paling sering terlihat di pergelangan kaki.

b. Heat rash (miliaria) adalah obstruksi saluran kelenjar keringat yang mengakibatkan timbulnya warna kemerahan dan papel-papel kecil di permukaan kulit (biang keringat).

2. Heat cramps, yaitu timbul rasa nyeri tajam di otot paling sering terjadi pada otot-otot fleksor tangan dan kaki untuk beberapa menit atau jam.

3. Heat exhaustion diakibatkan kegagalan tubuh untuk beradaptasi. Gejala yang timbul pengeluaran keringat yang berlebihan, rasa lemas, lelah, pusing, penglihatan gelap, rasa sangat haus, mual, muntah, diare, kesemutan dan kram otot.

(35)

17

4. Heat syncope, yaitu kesadaran menurun secara mendadak. Biasanya terjadi pada pekerja tidak beraklimatisasi.

5. Heat stroke, yaitu gangguan kesehatan yang paling serius ditandai dengan gejala kulit memerah, kering, suhu tubuh lebih dari 41oC, lemas, sakit kepala, rasa berputar, nadi cepat, kesadaran menurun sampai koma.

Menurut Suma’mur dan Soedirman (2014), Tenaga kerja yang bekerja dengan beban kerja tertentu di lingkungan kerja dengan panas yang tinggi dapat menderita gangguan dan penyakit yang berhubungan dengan suhu udara panas (heat- related disease). Dengan demikian, sangat penting untuk mengetahui dan mampu mengenali tanda-tanda serta gejala dari heat- related disease, berkisar dari yang menyebabkan ketidaknyamanan sementara (temporary discomfort), sampai yang biasanya berupa kondisi fatal, antara lain heat stroke. Berikut ini adalah beberapa dari heat- related disease dan gejala-gejalanya :

1. Heat rash adalah iritasi kulit yang disebabkan oleh keringat yang terlalu banyak atau biang keringat karena panas dan lembab. Pada kulit tampak seperti cluster merah dan kulit melenting (pimples) atau blister kecil.

2. Heat cramp ditandai dengan banyak keluar keringat dan mengakibatkan hilangnya garam Na dari tubuh. Heat cramp terasa sebagai otot lengan, kaki, atau perut menjadi nyeri akibat kontraksi mendadak (muscle spasms). Suhu badan biasanya normal, kulit lembab dan dingin, tetapi berkeringat.

3. Heat syncope adalah tiba-tiba terserang pusing atau fainting yaitu keadaan tidak sadar secara sementara atau lemas sesudah bekerja atau mengeluarkan tenaga dalam lingkungan yang panas atau terpapar suhu yang tinggi dengan

(36)

tanda-tanda kulit pucat dan berkeringat tetapi tetap dingin, denyut nadi cepat tapi lemah, dan suhu tubuh normal.

4. Kelelahan akibat panas (heat exhaustion) adalah isyarat bahwa tubuh menjadi terlalu panas. Penderita heat exhaustion akan mengalami haus, kepala puyeng, lemah, mungkin pingsan, tidak terkoodinasi, mual, berkeringat sangat banyak, suhu tubuh biasanya normal, denyut nadi normal atau meningkat, kulit dingin, lembab, dan lengket. Heat exhaustion adalah bentuk heat related-disease yang dapat berkembang beberapa hari setelah terpapar suhu tinggi.

5. Heat stroke adalah kondisi serius yang mengancam nyawa apabila tubuh kehilangan kemampuan mengontrol suhu sehingga perlu mengetahui gejala- gejala awal muncul dalam heat stroke yaitu :

a) Demam yang meningkat cepat menjadi suhu yang berbahaya dalam hitungan menit, suhu tubuh di atas 40oC bahkan, mungkin lebih tinggi b) Kebingungan

c) Hasrat untuk berkelahi d) Perilaku eksentrik

e) Merasa keadaan tidak sadar secara sementara atau lemah f) Berdiri atau jalan tidak mantap, tidak percaya diri (staggering) g) Denyut nadi kuat dan cepat

h) Kulit kering dan panas i) Tidak berkeringat

j) Vertigo, tremor, dan konvulsi

(37)

19

k) Gangguan mental ditandai dengan percakapan membingungkan dan halusinasi atau delirium, serta koma

6. Dehidrasi adalah kehilangan air dari tubuh karena terlalu banyak keluar keringat akibat terpapar panas tinggi dalam waktu relatif lama.

7. Hipertermia adalah penyakit akibat pemanasan berlebihan dari tubuh tenaga kerja yang bekerja pada suhu tinggi.

Menurut Kuswana (2016), terjadi tiga tahap yang timbul jika terpapar dengan suhu tinggi yang ekstrem. Tahapan ini dapat dimulai dari yang paling ringan, lalu berlanjut ke tingkatan yang paling berat yang berpotensi menimbulkan kematian. Tingkatan yang paling ringan dikenal dengan istilah heat cramps. Gejalanya adalah kram otot yang amat menyakitkan akibat keringat yang berlebihan. Biasanya terjadi pada otot lengan atau kaki. Tingkatan yang berikutnya dikenal dengan istilah heat exhaustion, gejalanya adalah berkeringat berat, merasa haus, lemas, pusing, mual, sakit kepala dan lelah. Jika heat exhaustion tidak segera ditangani maka cepat berlanjut ke tingkatan yang terberat yang dikenal dengan istilah heat stroke. Gejalanya antara lain berkeringat, suhu tubuh lebih dari 41oC, kulit yang panas, memerah, sampai tidak berkeringat (kering), penurunan kesadaran, denyut nadi yang cepat dan pernapasan yang cepat dan dalam.

2.1.6 Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas

Keluhan subjektif akibat tekanan panas adalah gejala-gejala yang dirasakan seseorang akibat tekanan panas. Menurut Harrianto (2010). Kebanyakan individu akan merasa nyaman bekerja pada suhu udara 20-27oC dan kelembaban

(38)

35-60%, bila lebih tinggi dari nilai ini tidak terasa nyaman. Apabila gejala-gejala akibat tekanan panas tidak segera ditangani dengan baik dapat berujung pada heat-related disease (Suma’mur dan Soedirman, 2014).

Munculnya gejala akibat tekanan panas melalui beberapa tahap dari gejala tingkat ringan sampai dengan gejala tingkat berat (Kuswana, 2016). Adapun keluhan subjektif yang paling sering muncul akibat tekanan panas berdasarkan teori Harrianto (2010), Suma’mur dan Soedirman (2014) serta Kuswana (2016), yaitu banyak mengeluarkan keringat, merasa haus dan merasa lemas. Maka dalam penelitian ini, responden dikatakan mengalami keluhan subjektif akibat tekanan panas apabila merasakan 3 keluhan subjektif tersebut.

2.1.7 Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Subjektif Akibat Tekanan Panas

Faktor individu yang berhubungan dengan akibat tekanan panas berdasarkan beberapa teori, yaitu : aklimatisasi, umur, jenis kelamin, konsumsi alkohol, status gizi dan masa kerja. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan keluhan subjektif adalah tekanan panas (Suma’mur, 2009). Menurut NIOSH (2016) dan Hunt (2011), respon fisiologis akibat tekanan panas dipengaruhi oleh status hidrasi. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan subjektif akibat tekanan panas sebagai berikut :

1. Tekanan Panas

Tekanan panas akan mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efisiensi dan efektivitas kerja. Saat pekerja berada di tempat kerja dengan tekanan panas akan mengalami pross aklimatisasi, yaitu suhu tubuh akan meningkat dan untuk

(39)

21

mencegah terjadinya peningkatan suhu tubuh yang lebih tinggi, tubuh akan melepas panas melalui peningkatan aliran darah dan keluar keringat. Jika pelepasan panas tidak seimbang dengan panas yang diproduksi tubuh akan terjadi penyakit serius seperti heat syncope, heat exhaustion sampai heat stroke (Suma’mur, 2009).

2. Umur

Daya tahan seseorang terhadap panas akan menurun pada umur yang lebih tua. Pekerja dengan umur lebih tua (40 sampai 65 tahun) umumnya kurang mampu dalam mengatasi panas. Pada orang dewasa yang lebih tua, fungsi jantung menjadi kurang efisien. Oleh karena itu, pengeluaran keringat terjadi lebih lambat dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengembalikan suhu tubuh menjadi normal setelah terpajan panas (Worksafe BC, 2007). Semakin bertambahnya umur seseorang akan menyebabkan respon kelenjar keringat terhadap perubahan temperatur menjadi lebih lambat, sehingga proses pengeluaran keringat menjadi kurang efektif dalam mengendalikan suhu tubuh (NIOSH, 2016).

3. Jenis Kelamin

Menurut WHO (1969) mengemukakan adanya perbedaan dalam hal aklimatisasi antara pria dan wanita. Wanita tidak dapat melakukan aklimatisasi sebaik pria dikarenakan mereka memiliki kapasitas kardiovaskuler yang lebih kecil (Salami dkk, 2015). Kapasitas rata-rata wanita mirip dengan seorang anak laki-laki. Mereka cenderung tidak bisa melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerjaan rata-rata pria dewasa. Semua aspek toleransi panas pada wanita belum

(40)

sepenuhnya diteliti, tetapi kapasitas termoregulatori mereka telah diteliti. Ketika mereka bekerja pada proporsi yang sama, wanita melakukan pekerjaan tersebut kurang baik daripada pria. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat sedikit perbedaan dalam kapasitas termoregulatori antara pria dan wanita (NIOSH, 2016).

4. Status gizi

Seseorang yang status gizinya jelek akan menunjukkan respon yang berlebihan terhadap tekanan panas yang disebabkan oleh sistem kardiovaskuler yang tidak stabil (Salami dkk, 2015). Kelebihan lemak menyebabkan meningkatnya insulasi terhadap tubuh yang dapat mengurangi kehilangan panas dalam tubuh. Orang dengan kelebihan berat badan juga dapat menghasilkan panas lebih banyak selama kegiatan (Worksafe BC, 2007).

5. Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologis yang ditandai dengan pengeluaran keringat yang meningkat, penurunan denyut nadi, dan suhu tubuh sebagai akibat pembentukan keringat. Aklimatisasi terhadap suhu tinggi merupakan hasil penyesuian diri seseorang terhadap lingkungannya. Aklimatisasi panas biasanya tercapai sesudah 2 minggu (Salami dkk, 2015).

Proses penyesuaian tersebut terutama penting saat-saat awal seseorang berada pada tempat dengan iklim (cuaca) baru. Proses aklimatisasi memerlukan perhatian khusus saat minggu-minggu pertama seseorang berada di iklim (cuaca) baru. Pekerja baru yang mulai bekerja pada lingkungan kerja dengan tekanan panas demikian akan mengalami proses aklimatisasi terhadap intensitas paparan panas yang sebelumnya tidak pernah mengalaminya (Suma’mur, 2009).

(41)

23

6. Konsumsi Alkohol

Alkohol akan mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat dan peripheral yang bekerja sama dengan hipodehidrasi dengan menekan produksi ADH sehingga produksi urine banyak menyebabkan dehidrasi. Konsumsi alkohol selama bekerja seharusnya tidak diperbolehkan karena akan mengurangi toleransi panas dan meningkatkan resiko terjadinya heat strain (NIOSH, 2016). Asupan alkohol dapat meningkatkan kehilangan air dan bahkan dapat menyebabkan pekerja mengalami dehidrasi, meskipun sudah teraklimatisasi (Worksafe BC, 2007).

7. Status Hidrasi

Air menjadi kebutuhan utama bagi tubuh manusia. Tubuh manusia kehilangan air melalui urin, keringat, feses dan pernafasan. Terutama melalui keringat saat bekerja di lingkungan kerja yang panas. Dengan kehilangan air tubuh menyebabkan pengurangan volume plasma. Menjaga volume darah yang beredar tetap besar sangat penting untuk keamanan termoregulasi tubuh saat terjadi pajanan panas. Dehidrasi cepat terjadi jika tubuh kehilangan air dan tidak segera digantikan melalui makanan dan konsumsi cairan. Secara umum, dehidrasi karena pajanan panas menyebabkan berkurangnya kapasitas mengeluarkan keringat dan aliran darah kulit sehingga perpindahan panas dari tubuh berkurang, suhu tubuh meningkat dan resiko heat stress lebih tinggi (Hunt, 2011).

Keadaan dehidrasi akan mulai tampak bila individu kehilangan cairan sekitar 2 liter air dalam tubuh. Lingkungan kerja yang panas ataupun jenis pekerjaan yang berat membutuhkan air minum ≥ 2,8 Liter, sedangkan untuk jenis pekerjaan sedang atau pekerjaan dengan suhu lingkungan tidak terlalu panas

(42)

membutuhkan air minum minimal 1,9-2 Liter. Memastikan bahwa pekerja dalam lingkungan panas cukup terhidrasi dengan baik adalah salah satu cara yang paling efektif untuk melindungi kesehatan dan keselamatan kerja. Agar terhindar dari dehidrasi, seseorang harus minum secara teratur yakni satu jam sekali. Umumnya, manusia membutuhkan 2-2,5 liter air. Paling sederhana, jika kebutuhan air 2 liter air maka seseorang membutuhkan 150-250 ml air atau setara 8-16 gelas (Soemarko, 2014).

Menurut Harrianto (2010), hidrasi merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kemampuan pekerja dalam meneruskan pekerjaannya. Hidrasi yang terbaik dicapai dengan meminum sejumlah air dengan interval waktu yang pendek, misalnya 250-300 ml setiap 20-30 menit dan lebih baik bila juga mengonsumsi minuman hipotonis dengan kandungan elektrolit untuk mengganti NaCL yang hilang akibat pengeluaran keringat.

8. Masa Kerja

Semakin lama seseorang dalam bekerja maka akan semakin banyak pula dia akan terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Masa kerja ini berkaitan dengan aspek durasi terhadap paparan tekanan panas. Semakin lama durasi seseorang terkena paparan panas, maka kemungkinan orang tersebut mengalami keluhan kesehatan akan semakin tinggi. Seseorang dapat mengalami keluhan subjektif dimulai saat masa kerja mencapai satu tahun (Fajrin, 2014).

2.1.8 Pengukuran Tekanan Panas

Pengukuran tekanan panas dilakukan menggunakan termometer mencakup termometer basah, termometer kering dan termometer bola (globe thermometer),

(43)

25

dapat diukur menggunakan Area Heat Stress Monitor yaitu suatu alat digital untuk mengukur tekanan panas dengan parameter indeks suhu bola basah (ISBB).

Alat ini dapat mengukur suhu basah, suhu kering, dan suhu radiasi.

Pengukuran temperatur lingkungan kerja dilakukan dengan memperhatikan beberapa alasan sebagai berikut (Hendra, 2009) :

a. Kajian secara kualitatif mengindikasikan adanya kemungkinan terjadinya tekanan panas karena adanya sumber panas atau terpajan panas.

b. Adanya keluhan subjektif yang terkait dengan kondisi panas di tempat kerja.

c. Pada area tersebut terdapat pekerja yang melaksanakan pekerjaan dan berpotensi mengalami tekanan panas.

d. Apabila terdapat laporan mengenai ketidaknyamanan yang berkaitan dengan tekanan panas di tempat kerja.

A. Indikator Tekanan Panas

Indikator digunakan sebagai metode pengukuran sederhana untuk menyatakan besarnya pengaruh panas lingkungan pada tubuh. Indikator tekanan panas menurut Suma’mur (2009) terdiri dari :

1. Suhu Efektif

Suhu efektif yaitu indeks sensoris tingkat panas (rasa panas) yang dialami oleh seseorang tanpa baju dan bekerja enteng dalam berbagai kombinasi suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara. Kelemahan penggunaan suhu efektif ialah tidak memperhitungkan panas radiasi dan panas metabolisme tubuh. Untuk penyempurnaan pemakaian suhu efektif dengan memperhatikan panas radiasi, dibuat Skala Suhu Efektif Dikoreksi (Corected Effective Themperature Scale),

(44)

namun tetap saja ada kelemahan pada suhu efektif yaitu tidak diperhitungkannya panas hasil metabolisme tubuh.

2. Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)

Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Bulb-Globe Temperature Index), yaitu rumus-rumus sebagai berikut :

a) ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,2 x suhu bola + 0,1 x suhu kering (untuk bekerja dengan sinar matahari)

b) ISBB = 0,7 x suhu basah + 0,3 x suhu bola (untuk pekerjaan tanpa sinar matahari)

3. Prediksi Kecepatan Keluarnya Keringat Selama 4 Jam

Prediksi kecepatan keluarnya keringat selama 4 jam (Predicted 4 Hour Sweetrate disingkat P4SR), yaitu banyaknya prediksi keringat keluar selama 4 jam sebagai akibat kombinasi suhu, kelembaban dan kecepatan aliran udara serta panas radiasi. Nilai prediksi ini dapat pula dikoreksi untuk bekerja dengan berpakaian dan juga menurut tingkat kegiatan dalam melakukan pekerjaan.

4. Indeks Belding-Hacth

Indeks Belding-Hacth yaitu kemampuan berkeringat dari orang standar yaitu orang muda dengan tinggi 170 cm dan berat 154 pond, dalam keadaan sehat dan memiliki kesegaran jasmani, serta beraklimatisasi terhadap iklim kerja panas.

B. Metode Pengukuran

Pengukuran ISBB dilakukan dengan menggunakan Area Heat Stress Monitor, dimana alat ini dioperasikan secara digital yang meliputi parameter suhu basah, suhu kering, dan suhu radiasi (Tarwaka dkk, 2004).

(45)

27

Cara Kerja :

1. Tombol power ditekan

2. Tombol °C atau °F ditekan untuk menentukan suhu yang digunakan 3. Tombol globe ditekan untuk menentukan suhu bola

4. Tombol wet bulb ditekan untuk mendapatkan suhu basah 5. Hasil akan keluar kemudian dicatat

6. Tombol power ditekan kembali untuk mematikan 2.1.9 Standar Iklim Kerja Panas

Standar dan prosedur serta rekomendasi iklim kerja panas di Indonesia ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.

PER. 13/MEN/X/2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja. Nilai ambang batas ini dimaksudkan untuk meminimalisasi risiko terjadinya gangguan kesehatan akibat suhu lingkungan kerja yang terlalu panas.

Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja Pengaturan waktu kerja

Setiap jam

ISBB (°C) Beban Kerja

Ringan Sedang Berat

75%-100% 31,0 28,0 -

50%-75% 31,0 29,0 27,5

25%-50% 32,0 30,0 29,0

0%-25% 32,0 31,1 30,5

Sumber : Lampiran Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per.13/MEN/X/2011

Catatan :

1. Beban kerja ringan membutuhkan kalori 200 kilokalori/jam

2. Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan kurang 350 kilokalori/jam

(46)

3. Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan kurang 500 kilokalori/jam

2.1.10 Pengendalian Tekanan Panas

Risiko gangguan kesehatan akibat bekerja di lingkungan panas yang terlalu tinggi dapat dikurangi dengan cara (Harrianto, 2010) :

1. Pengendalian Administratif

a. Periode aklimatisasi yang cukup sebelum melaksanakan beban kerja yang penuh.

b. Untuk mempersingkat pajanan dibutuhkan jadwal istirahat yang pendek tetapi sering dan rotasi pekerja yang memadai.

c. Ruangan dengan penyejuk rasa (AC) perlu disediakan untuk memberikan efek pendingin pada pekerja waktu istirahat.

d. Penyediaan air minum yang cukup.

2. Pengendalian Teknik

Pengendalian teknik merupakan usaha yang paling efektif untuk mengurangi pajanan lingkungan panas yang berlebihan, yaitu dengan cara :

a. Mengurangi produksi panas metabolik tubuh.

b. Automatisasi dan mekanisasi beban tugas akan meminimalisasi kebutuhan kerja fisik pekerja.

c. Mengurangi penyebaran panas radiasi dari permukaan-permukaan benda yang panas, dengan cara isolasi/penyekat (melapisi permukaan benda-benda yang panas dengan bahan yang memiliki emisi yang rendah seperti aluminium atau cat), perisai (bahan yang dapat memantulkan panas) dan remote control.

(47)

29

d. Mengurangi bertambahnya panas konveksi, seperti penggunaan kipas angin untuk meningkatkan kecepatan gerak udara di ruang kerja panas.

e. Mengurangi kelembaban. AC, peralatan penarik kelembaban dan upaya lain untuk mengeliminasi uap panas sehingga dapat mengurangi kelembaban di lingkungan tempat kerja.

3. Alat Pelindung Diri

a. Untuk bekerja di tempat kerja yang panas dan lembab, perlu disediakan baju yang tipis dan berwarna terang hingga pengeluaran panas tubuh dengan proses evaporasi keringat menjadi lebih efisien.

b. Kacamata yang dapat menyerap panas radiasi bila bekerja dekat dengan benda-benda yang sangat panas, misalnya cairan logam atau oven yang panas.

Beberapa teknik pengendalian panas yang disarankan OSHA yang dikutip oleh Iriadiastadi (2016) sebagai berikut :

1. Aklimatisasi, adaptasi secara bertahap di tempat kerja yang panas selama beberapa hari.

2. Cairan, pemberian minuman (dingin, tapi bukan air es) secara berkala, misalnya satu gelas per 20 menit. Dorong pekerja untuk terus-menerus melakukan kebiasaan ini. Minuman cukup beberapa air, tanpa harus mengandung elektrolit tambahan.

3. Engineering, pengendalian dengan ventilasi yang cukup untuk membawa udara segar dari luar ruangan, penggunaan sistem pembuangan udara lokal, penggunaan AC atau Air treatment, penggunaan kipas angin bermanfaat saat

(48)

dry bulb temperature tidak lebih dari 35oC, insulasi objek (mesin dan proses) penghasil panas serta lapisan penangkal antara pekerja dan sumber panas.

4. Administratif, pendendalian dengan cara pelatihan kepada pekerja dengan harapan meningkatkan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan karena paparan panas, pekerja diminta mengenali bahaya, pelatihan kepada pekerja untuk fokus pada kebiasaan yang perlu dilakukan, menurunkan beban kerja melalui modifikasi cara kerja, rotasi kerja, penambahan pekerja, pemberian tempat istirahat yang nyaman dan teduh, pemberian istirahat yang berkala dan terjadwal dan pekerjaan berat dilakukan saat pagi hari atau setelah sore hari.

2.2 Laundri (laundry)

2.2.1 Pengertian dan Persyaratan

Menurut Sabarguna dan Rubaya (2011), Laundry rumah sakit adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi dengan sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan disinfektan, mesin uap (steam boiler), pengering, serta meja dan mesin setrika. Adapun persyaratan dalam pelaksanaan laundry yaitu :

a. Suhu air panas untuk pencucian 70oC dalam waktu 25 menit atau 95 oC dalam waktu 10 menit.

b. Penggunaan jenis deterjen dan desinfektan untuk proses pencucian harus yang ramah lingkungan bertujuan agar limbah cair yang dihasilkan mudah terurai oleh lingkungan.

c. Standar kuman bagi linen bersih setelah keluar dari proses tidak mengandung 6×103 spora spesies Bacillus per inci persegi.

(49)

31

2.2.2 Tata Laksana

Menurut Sabarguna dan Rubaya (2011), adapun tata laksana dalam laundry adalah sebagai berikut :

1. Di tempat laundry tersedia kran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran yang memadai, air panas untuk desinfeksi dan tersedia desinfektan.

2. Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran pembuangan air limbah, serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis- jenis linen yang berbeda.

3. Tersedia ruangan dan mesin cuci yang terpisah untuk linen infeksius dan non infeksius.

4. Laundry harus dilengkapi saluran air limbah tertutup yang dilengkapi dengan pengolahan awal (pre-treatment) sebelum dialirkan ke instalasi pengolahan air limbah.

5. Laundry harus disediakan dalam ruang-ruang terpisah sesuai kegunaannya yaitu ruang linen kotor, ruang linen bersih, ruang untuk perlengkapan kebersihan, ruang perlengkapan cuci, ruang kereta linen, kamar mandi, dan ruang peniris atau pengering untuk alat-alat termasuk linen.

6. Untuk rumah sakit yang tidak mempunyai laundry tersendiri, pencuciannya dapat bekerja sama dengan pihak lain dan pihak lain tersebut harus mengikuti persyaratan dan tata laksana yang telah ditetapkan.

7. Perlakuan terhadap linen

(50)

1. Pengumpulan, dilakukan :

a) Pemilahan antara linen infeksius dan noninfeksius dimulai dari sumber dan memasukkan linen ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya, serta diberi label.

b) Menghitung dan mencatat linen di ruangan.

2. Penerimaan:

a) Mencatat linen yang diterima dan telah terpilah antara infeksius dan noninfeksius.

b) Linen dipilih berdasarkan tingkat kekotorannya.

3. Pencucian :

a) Menimbang berat linen untuk menyesuaikan dengan kapasitas mesin cuci dan kebutuhan deterjen dan desinfektan.

b) Membersihkan linen kotor dari feses, urin, darah dan muntahan kemudian merendamnya dengan menggunakan desinfektan.

c) Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat kekotorannya.

4. Pengeringan 5. Penyetrikaan 6. Penyimpanan

7. Distribusi, dilakukan berdasarkan kartu tanda terima dari petugas penerima, kemudian petugas menyerahkan linen bersih kepada petugas sesuai kartu tanda terima.

(51)

33

8. Pengangkutan:

a) Kantong untuk membungkus linen harus dibedakan dengan kantong yang digunakan untuk membungkus linen kotor.

b) Menggunakan kereta dorong yang berbeda dan tertutup antara linen bersih dan linen kotor, kereta dorong harus dicuci dengan desinfektan setelah digunakan mengangkut linen kotor.

c) Waktu pengangkutan linen bersih dan linen kotor tidak boleh bersamaan.

d) Linen bersih diangkut dengan kereta dorong yang berbeda warna.

e) Rumah sakit yang tidak mempunyai laundry tersendiri, pengangkutannya dari dan ke tempat laundry harus menggunakan mobil.

8. Petugas yang bekerja dalam pengelolaan laundry linen harus menggunakan pakaian kerja khusus, alat pelindung diri, dan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, serta dianjurkan memperoleh imunisasi hepatitis.

(52)

2.3 Kerangka Konsep Variabel Independen

Variabel Dependen

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Keterangan :

Tidak semua faktor individu diteliti, peneliti hanya mengambil faktor umur, masa kerja, jenis kelamin dan status gizi. Faktor individu lainnya yang tidak diteliti, yaitu :

1. Aklimatisasi, tidak diteliti karena semua pekerja sudah teraklimatisasi dengan tekanan panas dalam masa kerja paling tidak dua minggu bekerja di Instalasi laundry adalah pekerja yang memenuhi kriteria responden, sehingga tidak ada variasi dalam kategori aklimatisasi.

2. Konsumsi alkohol, tidak diteliti karena sangat kecil kemungkinan pekerja di Instalasi laundry RSUD Dr Pirngadi Medan tetap bekerja dalam pengaruh alkohol.

Faktor Individu 1. Umur 2. Masa Kerja 3. Jenis Kelamin 4. Status Gizi

Keluhan Subjektif

Faktor pendukung

1. Konsumsi Air Minum 1. Tekanan Panas

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat survei analitik dengan rancangan cross sectional, yaitu pengukuran variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen) dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi laundry Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Pirngadi Medan dan beralamat di Jalan Prof. H.M Yamin, SH No.47 Medan. Alasan dilakukan penelitian dengan pertimbangan instalasi laundry berisiko menimbulkan gangguan kesehatan akibat tekanan panas dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan subjektif akibat tekanan panas pada pekerja laundry di RSUD Dr Pirngadi Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2018 sampai April 2018.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja laundry RSUD Dr Pirngadi Medan yang berjumlah 20 orang.

(54)

3.3.2 Sampel

Seluruh total populasi dijadikan sampel penelitian, yaitu sebanyak 20 orang.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pengukuran langsung berupa tekanan panas menggunakan Area Heat Stress Monitor merk Questemp, status gizi dengan menimbang berat badan pekerja menggunakan timbangan dan mengukur tinggi badan pekerja menggunakan meteran serta wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada para pekerja laundry untuk mengetahui variabel umur, masa kerja, jenis kelamin, konsumsi air minum dan keluhan subjektif.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari pihak RSUD Dr Pirngadi Medan yang berupa data mengenai pekerja di Instalasi laundry dan Profil RSUD Dr Pirngadi Medan.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel

Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi :

1. Variabel bebas (independen variable) adalah faktor yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas dari penelitian ini adalah tekanan panas, umur, masa kerja, jenis kelamin, status gizi dan konsumsi air minum.

(55)

37

2. Variabel terikat (dependen variable) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. variabel terikat dari penelitian ini adalah keluhan subjektif.

3.5.2 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan pada saat meneliti pekerja laundry di RSUD Dr Medan sebagai berikut:

1. Tekanan panas adalah hasil pengukuran indeks suhu bola dan basah (ISBB) dan diukur dengan menggunakan Area Heat Stress Monitor merk Questemp. 2. Umur adalah lama hidup (tahun) pekerja terhitung dari lahir sampai waktu

pengambilan data pekerja laundry.

3. Masa kerja adalah lamanya (tahun) pekerja laundry berkerja di Instalasi laundry.

4. Jenis kelamin adalah status pertanda gender pekerja laundry yaitu laki-laki atau perempuan.

5. Status gizi adalah keadaan gizi pekerja dihitung berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) pekerja laundry saat dilakukan penelitian.

6. Konsumsi air minum adalah jumlah air minum putih yang dikonsumsi oleh pekerja laundry selama jam kerja. Diukur dalam 1 gelas (250 ml).

7. Keluhan subjektif adalah keluhan yang dirasakan secara subjektif akibat tekanan panas oleh pekerja laundry. Dalam hal ini tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh pekerja laundry melainkan hanya gejala-gejala yang dirasakan pekerja laundry akibat tekanan panas selama bekerja seperti banyak mengeluarkan keringat, merasa haus dan merasa lemas.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada hubungan antara umur, lama kerja, lama paparan dan pemakaian APD dengan keluhan subjektif pernapasan pada pedagang unggas wanita di RPU Penggaron.. Saran

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ HUBUNGAN TEKANAN PANAS DENGAN TEKANAN DARAH PADA PEKERJA PERPARKIRAN KENDARAAN BERMOTOR DI BASEMENT PLAZA

Untuk menghindari terjadinya keluhan MSDs akibat dari risiko pekerjaan dapat dilakukan dengan menghimbau pekerja untuk melakukan istirahat disaat pekerja sudah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Determinan yang Berhubungan Dengan Keluhan Akibat Tidak Menggunakan Alat Pelindung

Dampak kesehatan akibat pajanan panas yang diteliti hanya berupa keluhan terkait gejala awal yang dirasakan oleh responden pada saat bekerja, sehingga sangat

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan antara suhu ruangan (p=0,000), umur (p=0,004), lama kerja (p=0,000), masa kerja (p=0,000), waktu istirahat (p=0,000) dan

PEMBAHASAN Hubungan Tekanan Panas dengan Tekanan Darah Pekerja Sektor Konstruksi Area Indoor dan Outdoor proyek Depo Light Rail Transit LRT Jabodebek Berdasarkan hasil

v SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG Skripsi, September 2023 Novita Anggun Sari Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Low Back Pain pada Pekerja Buruh Angkut di